"Nih, lari ke koperasi, beli spidol permanen sama kertas karton. Nggak pake lama!" Bentak Aldo sembari memberikan selembar uang 20 ribuan pada Via.
"I-iya, Kak," jawab Via, gugup.
Langsung saja Via berlari menuju koperasi sekolah. Tiba-tiba langkahnya terhenti.
Eh, Tunggu! Gue 'kan nggak tau dimana koperasinya?! Apes dah! Batin Via.
Gadis itu menepuk jidatnya yang lebar. Sambil berjalan menyusuri koridor, Via mencari kakak kelas yang sekiranya wajahnya tidak garang untuk dia tanya. Akhirnya Via memutuskan untuk bertanya pada kakak kelas laki-laki yang sedang duduk sendirian di bawah pohon dengan wajahnya yang teduh.
"Kak? Saya mau nanya," kata Via sopan sambil sedikit membungkukkan badannya.
Yang dipanggil pun menoleh.
"Oh iya, silakan. Mau nanya apa, Dek?" Jawabnya ramah.
"Koperasi dimana, ya, Kak?"
"Oh koperasi," lalu dia menjelaskan dimana letaknya dengan rinci. Yang percuma saja karena Via tak tahu dimana itu kantor, perpustakaan, taman baca, atau tempat lainnya yang kakak itu sebutkan.
Via hanya menggaruk kepalanya yang tak gatal.
"Hehe kakak baru inget, kamu anak baru, ya? Jadi belum tahu dimana tempat-tempat yang kakak sebutkan tadi. Ya sudah, yuk, kakak antar," Katanya seraya berdiri.
"Emang nggak apa-apa, Kak?" Tanya Via sambil melihat buku yang dipegang Kakak itu.
"Ya nggak apa-apa lha, Dek," jawabnya disertai senyum manis yang dihias lesung pipit nya yang dalam. Ganteng super!
Setelah berterima kasih, Via pun kembali berlari menuju ruang osis dan memberikannya pada Aldo dkk.
"Kak, ini spidol sama kertas kartonnya, sama ini kembaliannya," Kata Via sambil memberikan barang-barang yang di sebutkan tadi.
Aldo mengambilnya dengan kasar lalu memberikannya pada teman-temannya yang langsung di sambut antusias.
"Gue nyuruh lo beli spidol sama kertas karton doang! Bukan buat berdua-duaan sama cowok!" Bentak Aldo.
"Tadi saya cuman nanya dimana kopera--"
"Hukuman lo, gue tambah!" Kata Aldo.
"Ja-jangan dong, Kak," jawab Via lemas.
Tak lama kemudian kertas karton itu telah penuh oleh tulisan.
"Dengerin gue nih," kata salah satu osis. Peraturan khusus untuk Alivia dari gugus 6: 1. Menguncir rambut sesuai dengan tanggal lahir dengan pita warna-warni; 2. Tali sepatu di ganti memakai tali rapia warna kuning; 3. Harus menuruti apa yang di perintahkan oleh seluruh pihak osis terutama kakak Aldo Rihadi; 4. Dilarang menggunakan transportasi pribadi. Dan yang terakhir," osis sekaligus teman Aldo memberikan kertas karton yang bertuliskan 'saya jelek kayak bebek'.
Via menelan ludahnya. Sial banget sih gue! Peraturan yang lain sih fine-fine aja. Tapi yang nomor 3? Yang gue jamin nggak bakal bikin hari MOS gue tenang. Rutuk Via dalam hati.
"Kenapa? Mau protes lagi?" Tanya Aldo melihat ekspresi Via.
Dengan cepat Via menjawab.
"Nggak kok, Kak."
"Bagus! Nih, bawa sama lo. Lo pake besok, jangan lupa! Sana ke kelas!" Bentak Aldo sambil memberikan kertas karton.
Tanpa basa-basi Via langsung membawa karton itu dan berjalan menuju kelas. Saat Via memasuki kelas, lagi-lagi dia menjadi pusat perhatian. Dan teman yang duduk di kursi depannya pun bertanya.
"Kertas karton buat apaan tuh, Vi?" Tanya gadis bernama Desi.
"Tau ah. Baca sendiri deh," Jawab Via sambil memberikan kertas karton itu. Via pun menceritakan semuanya.
Desi pun tertawa.
"Apes banget, ya, gue," kata Via sambil mengacak-acak rambutnya sendiri.
"Emang lo lahir tanggal berapa?"
"Untungnya tanggal dua," jawab Via.
"Ah, lo kalo di kuncir dua sih nggak masalah, Vi. Jadi makin imut malah," ledek Desi diselingi tawa.
"Imut pala lo peyang! Yang ada gue jadi pusat perhatian karena beda sendiri."
"Wkwkwk sabar, ya, Vi."
"Kalo nggak sabar udah gue sobek-sobek kali ah nih karton."
***
Hari kedua MOS. Semua perlatan yang di perintahkan kakak osis pun sudah Via siapkan. Termasuk peraturan hukuman itu. Via melihat bayangannya pada cermin.
Sebenernya gue mau sekolah apa ngapain sih?! Kok jatohnya malah kayak gembel? Batin Via.
Mama Via pun datang memasuki kamarnya.
"Kakak cantik kok, berangkat yuk, Mamah anter," ajak Mama Via.
"Aku nggak boleh pake transportasi pribadi, Ma," Jawab Via sedih.
"Ya udah. Nggak apa-apalah, Kak, cuma sampai besok ini 'kan?"
"Iya sih, Ma."
"Ya udah, sarapan, yuk. Habis itu Mama antar sampai ke jalan raya aja."
"Iya, Ma."
Pagi-pagi Via sudah menjadi pusat perhatian. Semua mata tertuju padanya. Melihatnya yang warna-warni sendiri. Via pun bertemu Desi teman satu gugusnya.
"Tuh 'kan. Gue bilang juga apa, lo tambah cute di kuncir dua gitu," kata Desi sambil menunjuk rambut Via.
"Tapi 'kan gue malu, Des, jadi pusat perhatian."
"Santai aja, Vi. Anggap aja mereka nggak ada. Dadahin sekalian," kata Desi yang di sambut tawa mereka berdua.
"Emangnya urat malu gue udah putus apa?"
"Cek, cek."
Terdengar suara seseorang di pengeras suara.
"Di beritahukan kepada siswi bernama Alivia Anna dari gugus 6, untuk segera ke ruang operator sekarang juga. Karena di tunggu oleh ketua osis. Terima kasih."
"Lha? Des? Emangnya gue punya urusan apa sama ketua osis?" Tanya Via bingung. Karena seingatnya, dia hanya punya urusan pada sekumpulan osis-osis tengil yang tidak mungkin salah satu dari mereka ketua osis.
"Gue juga nggak tahu. Coba lo ke sana aja."
"Temenin gue, ya," rengek Via dengan puppy eyes andalannya.
"Nggak ah, gue ngeri. Ntar gue juga ikut diciriin deh sama osis. Gue duluan ke kelas, ya, daahhhh," kata Desi sambil berlari meninggalkan Via yang tengah mengerucutkan bibirnya.
Seseorang tersenyum melihatnya dari dalam ruang operator.
Via pun berjalan menuju ruang operator. Kenapa Via tahu? Karena ruang operator bersebelahan dengan koperasi. Dan di sana ada seorang kakak kelas laki-laki dengan postur tubuh yang tinggi nan tegap bersama seorang perempuan. Menyadari kehadiran Via, mereka pun berbalik menghadapnya.
"Lho? Kakak yang kemarin 'kan? Yang nganterin aku ke koperasi?" Kata Via antusias.
"Hehe iya, Dek. Kamu yang namanya Alivia Anna?" Kata cowok yang di dalam ruang operator itu.
"Iya, Kak."
"Kamu saya kasih tugas membersihkan daun-daun yang jatuh, dan menghitungnya harus ada 200 lembar daun. Tidak boleh lebih atau kurang. Mengerti?"
What?! Gue? Ngumpulin daun jatoh sampe 200? Ini kakak osis ganteng-ganteng nggak punya perasaan banget sih. Masa' cewek disuruh mungutin daun jatoh? Dede nggak kuat bang. Batin Via merengek.
"Kamu keberatan?" Tanyanya dengan nada yang halus dan menyadarkan Via dari lamunan.
Suaranya sopan banget masuk kuping guenya. Batin Via.
"Udah lha, Fik, nggak usah kasihanin anak yang nggak disiplin. Biarin aja dia terima hukumannya," kata Riska pembimbing gugus Via.
"Ya sudah, kerjakan dengan cepat. Saya ke sini harus sudah selesai," katanya sambil pergi bersama Kak Riska.
Via pun mulai dengan daun pertama yang dia masukan dalam karung bekas. Kedua. Ketiga dan seterusnya. Tiba-tiba segerombolan masalah menghampirinya.
"Hai, Dede gemes. Mau kakak bantuin nggak?" Kata salah satu teman Aldo.
Cute banget. Batin Aldo.
Aldo hanya diam menatap Via. Dan temannya pun berbisik padanya yang tak sengaja terdengar Via.
"Kenapa bengong? Lo baru sadar, ya, tuh cewek imut? Apalagi di kuncir dua gitu?" Bisik temannya.
"Iya, Gi, imut. Banget," Jawab Aldo yang berhasil membuat Via dan teman yang membisikkinya terkejut.
"Hah?! Apa lo bilang?! Coba ulangi lagi bro!" Katanya masih belum percaya.
Seolah tersadar dari lamunannya Aldo langsung menyangkalnya.
"Apaan sih lo! Makanya punya duit tuh buat beli korek kuping! Selusin sekalian!" Bentak Aldo.
"Emang tadi Aldo ngomong apaan sih?" Tanya salah satu teman Aldo yang lain.
"Tadi dia bilang kalo Alivia immmhhh--" Kak Aldo tidak memberi kesempatan temannya untuk melanjutkan bicara dengan membungkam mulutnya.
"Cieee. Ada apa nih, Do? Lo naksir sama dede gemesnya gugus 6?" Ledek temannya.
"Ngawur deh lo! Ke kantin aja, kuy! Gue laper!" Kata Aldo mengalihkan pembicaraan sambil pergi mengajak teman temannya pergi ke kantin.
"Apaan sih maksud Kak Aldo sama temennya itu? Cuma ganggu aja deh! Eh! Bentar deh. Ini daun di karung tadi ada berapa, ya? Aarrgggghh! Dasar pengacau!"