Hari-hari sepanjang liburan berjalan sangat monoton. Tetapi yang membuat hari Via lebih berwarna yaitu hadirnya sahabat lelaki yang baik nan tampan. Dia cukup memenuhi kriteria idaman Via. Tapi sayangnya mereka hanya sekedar sahabat. Tidak lebih.
Namanya Bobby. Via memanggilnya 'Batt'. Ujung dari kata sahabat. Karena jika Via memanggilnya dengan dua huruf nama belakangnya akan sedikit mengganggu pendengaran, yaitu By. Ya kali manggilnya By. Baby? Oh is not good idea. Nanti Via baper. Kalo tiga huruf nama depannya, sudah Via coba alhasil Bobby malah marah.
"Bob, lagi dimana lo?" kata Via di telepon.
"Bob, Bob, emangnya gue Bob Marley, apa?!" jawab Bobby di seberang telepon lalu mengakhiri panggilannya.
Dia tak suka katanya. Lagipula Bobby itu pemarah. Jadi dari pada Via kena marah, lebih baik Via memanggilnya 'Batt'. Bobby pun setuju. Bobby benar-benar sahabat yang baik meskipun terkadang pemarah. Memang, mereka hanya sebatas sahabat. Tapi siapa sangka hati Via justru menolak pernyataan itu, Via menginginkannya lebih. Tapi Via selalu memperingatkan dirinya sendiri agar tahu diri.
Tetapi Bobby sering memakai foto Via di profil akun sosial medianya. Sampai-sampai membuat teman SMP-nya ramai. Karena yang mereka kira Bobby dan Via berpacaran. Jelas saja ramai, Bobby adalah kakak kelas yang sangat terkenal dengan ketampanannya.
Lama mereka berdua bersahabat. Sampai suatu ketika Bobby tiba-tiba menghilang dari kehidupan Via. Benar-benar tak ada kabar. Lenyap. Seolah di telan bumi. Ketika itu Via merasakan hatinya sakit. Beruntung dari jauh-jauh hari Via sudah memperingati dirinya agar tahu diri.
Semua berjalan seperti sedia kala sebelum adanya Bobby. Tapi, 3 lelaki masa lalu Via tiba-tiba muncul kembali. Berusaha mengambil hati Via lagi. Tapi Via tidak bisa menerima siapa pun dari mereka bertiga. Via tak bisa kembali terjebak dihati yang salah lagi.
Mereka yang menyianyiakan hatiku, tapi kenapa justru mereka yang memintaku agar kembali juga? Batin Via.
Setelah Via menjelaskan semua pada mereka, akhirnya mereka pun mengerti dan mencoba pergi dari kehidupan percintaan Via. Beberapa hari kemudian Dio muncul kembali di hidup Via. Mulai mendekatinya. Sikapnya sangat berbeda. Tak lama mereka pendekatan, Dio pun menembak Via untuk jadi kekasihnya.
Dio: Vi
Dio: gue mau ngomong sesuatu sama lo
Alivia: mau ngomong apa?
Dio: lo mau gak jadi pacar gue?
Seketika Via langsung mendudukkan dirinya dengan gerakan cepat. Terlalu terkejut hingga Ponselnya hampir terjatuh.
"SERIUS DIA NEMBAK GUE?!" teriak Via spontan.
"BERISIK!" seru Gito dari luar.
"YEU! MAAF KALI!" balas Via. Lalu kembali melihat layar ponselnya. Berkali-kali ia buka aplikasi linenya lalu ia keluarkan. Ia refresh ponselnya namun sama. Pesan terakhir masih kalimat Dio yang mengajak dirinya berpacaran.
"IH GIMANA DONG?! DIA SERIUS GA SIH NGETIK GITU?!" teriak Via lagi.
"WOI ELAH BERISIK!" seru Gito lagi yang kini berada diambang pintu kamar Via.
"YA LO NGAPAIN PAKE MASUK KAMAR GUE SEGALA?!"
"YA LAGI LO BERISIK BANGET!"
"YA UDAH SIH MAAF! SANA PERGI IH!"
"SELO DONG!"
"INI ANAK MAMA KENAPA PADA TERIAK-TERIAK GINI SIH?!" tanya Mama Via yang tiba-tiba berada di dekat Gito.
"YA ITU JUGA MAMA KENAPA JADI IKUTAN TERIAK NGOMONGNYA?!" tanya Via.
"MAMA NGGAK TERIAK KOK!" balas Mama Via dengan berteriak.
"TERSERAH MAMA, TERSERAH!" ucap Via sambil menenggelamkan kepalanya pada bantal.
***
Kemarin dengan penuh pertimbangan Via akhirnya menjawab 'iya' yang malah membuatnya tak berhenti uring-uringan tidak jelas.
Hari kedua Via menjadi kekasih Dio. Via baru mengetahui bahwa Dio sangat romantis. Dan pada hari ketiga, Dio mengajak Via pergi ke asrama berdua dengannya. Dia bilang ada urusan yang harus Dio selesaikan di sana.
Entah apapun itu, Via menerima tawarannya. Mereka bertemu di pinggir jalan dekat warung tempo hari mereka di jemput oleh Sivi. Via mondar-mandir karena gelisah menunggu Dio yang katanya sedang dalam perjalanan. Via takut. Di tempat yang dia pijaki saat ini sepi sekali. Panas pula. Warung semuanya tutup. Hanya warung seberang jalan yang buka.
Via mengirimkan voice note pada Dio. Agar Dio mempercepat laju motornya. Tak ada balasan. Via mengirim lagi. Masih tak ada balasan. Via mengirimnya lagi. Dan barulah di balas.
"Aku ada di warung seberang jalan," kata Dio dengan voice note.
"Dimana?" jawab Via masih dengan voice note.
Via melihat warung seberang jalan. Di sana hanya ada sebuah motor bebek berwarna biru dan seorang laki-laki yang Via yakini adalah abang tukang ojek, memakai jaket abri yang melambai pada Via seperti mengisyaratkan neng ojek neng. Via hanya menggelengkan kepala. Lalu Via mengirim pesan lagi pada Dio.
Alivia: Dimana ih? Cepetan napa aku sendirian di sini! Takut!
Dio: nyebrang ke warung.
Alivia: susah nyebrangnya banyak mobil!
Via membaca berulang-ulang pesan dari Dio. Dia ada di warung katanya. Tapi yang Via lihat hanya abang tukang ojek. Tidak ada siapa-siapa selain dia.
Dio: cepet nyebrang, keburu siang!
Alivia: di bilang banyak mobil!
Via memperhatikan warung seberang, untuk memastikan apakah ada Dio di sana. Tapi tidak ada. Tiba-tiba abang tukang ojek pun beranjak dari tempatnya. Via mengacuhkannya. Tapi saat abang tukang ojek itu mendekat, ia terkejut. Dan ketika sudah dihadapannya...
Ya ampun! Malu banget! Gue kira itu abang tukang ojek, ternyata itu Dio! Batin Via malu sendiri.
"Ngapain maju mundur maju mundur terus? Takut nyebrang? Dasar anak kecil," ledek Dio sambil menggenggam tangan Via yang mungil dan membantunya menyebrangi jalan raya. Via masih terdiam. Malu. Saat sudah sampai di warung, Dio menatap Via yang sedari tadi diam seribu bahasa dengan heran.
"Kamu kenapa? Segitu takutnya, ya, nyebrang jalan raya?" tanya Dio.
Ih! Bukan karena itu, Dio! Batin Via.
"Kamu tadi ngapain coba aku 'kan udah manggil kamu pake isyarat tangan, kamu malah geleng-geleng. Emangnya aku tukang ojek apa?" ledek Dio dengan kekehan kecilnya.
Nyess.
Pipi Via memanas, "aku kira kamu tukang ojek," jawabnya malu yang di sambut tawa Dio.
"Hahaha makanya jangan sotoy," Ledek Dio sambil mengacak puncak kepala Via.
"Aku 'kan minus, jadi nggak jelas," jawab Via masih dengan pipinya yang panas.
"Malu, ya?" tanya Dio sanbil mencubit pipi Via yang diselingi tawa.
Pake ditanya, lagi! Batin Via geregetan.
Sikap lo ini, Fit, ngegemesin banget! Eh, Vi! Batin Dio.
"Apa sih! Ayo berangkat keburu siang nih!"
"Orang ganteng gini di kira tukang ojek, parah haha," kata Dio masih tertawa.
"Berisik!" tukas Via.
Sesampainya di asrama, berita Via dan Dio berpacaran sudah menyebar luas. Dan sampailah ke telinga mantan kekasih Dio, yaitu Fitri dan sampai juga di telinga Sivi. Kebetulan di asrama, ada Fitri dan Sivi. Alhasil, karena Fitri belum move on dari Dio, dia jutek sekali pada Via.
Via menjadi bahan sindiran. Terutama oleh Sivi. Dia bahkan tak melirik Via sama sekali. Akhirnya Via memutuskan untuk pergi keluar dari gedung asrama. Karena di sini Via merasa tidak punya teman. Via pergi ke tempat parkir dengan muka yang masam.
"Kamu kenapa?" tanya Dio yang tiba-tiba duduk disampingnya.
"Udah selesai?" jawab Via mengalihkan pembicaraan.
"Ditanya malah balik nanya. Iya urusannya udah selesai. Kamu kenapa cemberut gitu?"
"Nggak kenapa-napa, kok. Pulang, yuk," jawab Via dengan senyum yang di buat-buat.
"Jawab dulu. Kenapa kamu cemberut?"
"Tadi 'kan aku ke kamar Fitri. Di sana ada Sivi juga. Aku dijutekin. Nggak di anggap. Gara-gara mereka udah pada tahu aku pacaran sama kamu," jawab Via dengan wajah tertunduk.
"Maafin aku, ya, gara-gara aku semuanya jadi kayak gini," kata Dio.
"Engga, kok, ini bukan salah kamu. Kenapa coba aku main terima kamu aja tanpa mikirin perasaan Fitri sama Sivi? Jahat, ya, aku."
"Kamu nggak jahat, justru aku yang jahat."
"Aku." masih dengan wajah tertunduk.
"Aku, Vi."
"Amang yang salah, neng."
Lho? Suara siapa? Batin Via dan Dio bersamaan.
Kepala mereka mendongak. Dan ternyata itu suara Mang Sadri OB di sana.
"Ih, Mang Sadri ikut-ikutan aja," ledek Via.
"Atuda si neng mah aya-aya wae, kalahkah parebut saha nu jahat. Dasar budak ayeuna," Ledek Mang Sadri di sambut tawa mereka.
Mang sadri pun pergi.
"Ya udah nggak usah dipikirin. Sekarang kita pulang aja, yuk," ajak Dio.
"Iya," jawab Via lesu.
Saat di perjalanan, tiba-tiba Dio menghentikan motornya dan merogoh saku celananya untuk mengambil ponsel yang katanya sedari tadi bergetar. Dio pun menyuruh Via untuk membuka pesan-pesan yang masuk.
Pesan masuk
Papa
Papa
Fatimah
Tio
Bunda
Tio
Papa
Ada satu nama yang mengganggu penglihatan Via. Fatimah. Dia salah satu mantan kekasih Dio. Yang sampai sekarang tetap menyukai Dio dan bersikeras untuk kembali menjadi bagian dari hidup Dio. Suara Dio memecah lamunan Via.
"Pesan dari siapa aja?" tanya Dio.
"Papa kamu, ade kamu, bunda kamu sama mantan kamu," jawab Via seolah tak peduli.
"Mantan? Siapa?"
"Fatimah."
"Oh, dia."
Via hanya membalas dengan dehaman.
"Dia emang sering sms aku akhir-akhir ini. Biasalah nanya-nanya kabar Bunda, Tio, Papa dan masih banyak lagi alasan biar bisa terus smsan sama aku."
"Oh."
"Kebiasaan deh orang ngomong panjang-panjang jawabnya oh doang."
"Kebiasaan deh kalo aku jawab oh doang pasti diprotes."
"Ya iyalah. Oh, aku tahu, kamu cemburu yaaa," ledek Dio.
"Nggak!" jawab Via cepat.
Nggak cemburu sih, tapi ya gitu. Batin Via melengos.
"Cieeee, udah mulai ada rasa nih sama aku? Yang tadinya benci jadi cinta," ledek Dio lagi.
"Apaan sih jangan kebanyakan halusinasi!" elak Via.
"Kamu juga. Jangan kebanyakan lari dari kenyataan, terima kenyataan aja kalo hati kamu sekarang udah kepincut sama aku, iya 'kan?" ledeknya lagi.
Wah. Gila. Karma bener-bener lagi ada di pihak gue kayaknya. Batin Via.
Ternyata rencana gue udah mulai ada kemajuan. Batin Dio.