Kini hari dimana Via dan teman-teman seperjuangannya merayakan hari kelulusan. Sedih rasanya harus berpisah dengan teman-teman yang di setiap harinya makan-makan bersama sekalipun makan hanya dengan nasi putih dan tahu isi, tertawa bersama, menjahili teman bersama, nakal bersama, terkadang mandi pun bersama (kalo kepepet doang kok, beneran), sampai terkadang naksir dengan cowok yang sama.
Acara begitu meriah. Guru Via yang paling konyol sampai menangis melepas mereka. Karena senakal-nakalnya angkatan mereka, tetap merekalah angkatan yang terbaik. Begitu katanya.
Acara pun selesai. Dan sekarang waktunya Via untuk mengangkut semua barang-barangnya ke dalam mobil. Karena Via tidak mau melanjutkan SMA di asrama ini. Cukup tiga tahun saja merasakan pahit manisnya tinggal di asrama.
***
Liburan yang sangat panjang telah di mulai. Sepuluh hari setelah hari kelulusan, Via dan teman-teman harus kembali ke asrama untuk cap tiga jari. Via pergi ke asrama sendirian menggunakan angkutan umum. Mandiri bukan?
Hanya butuh waktu satu jam untuk Via sampai di asrama walaupun berada di kota yang berbeda dengan rumahnya. Di sana sangat ramai. Seperti biasa, ketika tukang rusuh datang, ya pecahlah suasana. Via bertemu kembali dengan sekumpulan bocah yang hobinya bolos jam pelajaran.
Mereka pun mulai saling bertukar cerita. Entah itu masa liburan ataupun kembali menceritakan masa SMP mereka. Dan anehnya yang paling mereka ingat itu hari dimana Via berdebat dengan Dio atau si mandor itu.
"Wkwk gila ngakak abis kalo inget kejadian si Mandor sama lo, Vi," Nidya mulai tertawa geli sendiri.
"Apaan sih lo, Nid," Jawab Via malas.
"Sumpah di situ gue deg-degan! Soalnya tuh kelas sunyi plus sepi banget udah kayak kuburan," Nidya lagi, dan tawa mereka pun meledak.
Karena saat acara kelulusan Via menjadi tim produksi yang bekerja di belakang panggung dan diamanatkan untuk meliput acara menggunakan kamera milik si Mandor. Dan mau tidak mau Via pun harus menemuinya untuk mengembalikan kamera itu. Via yang sudah biasa saja terhadap Dio (tak lagi benci) berbicara seperlunya saja. Tetapi Dio membuka percakapan melampaui jalur tentang kamera.
"Lo pulang naik apa?" tanya Dio.
Tumben amat nanyain? Batin Via bingung.
"Angkutan umum," Jawab Via sambil memperhatikan kukunya yang tampak lebih menarik dari wajah lawan bicaranya.
"Oh, angkot? Apa bis?"
"Angkot. Why?"
"Sama siapa?"
Pertanyaan gue dikacangin. Batin Via.
"Sendiri."
Nih cewek jutek amat sih! Batin Dio geregetan.
"Ya udah bareng aja sama gue naik bus."
Lha? Kesambet apaan lo? Batin Via.
Kini Via mendongak untuk melihat wajah lawan bicaranya.
"Engga ah, makasih."
"Bahaya perempuan naik angkutan umum sendirian."
"'Kan diangkot nggak sendirian."
"Sama siapa? Tadi katanya sendiri?"
"Sama penumpang yang lain, lha! Emang gue mau booking angkot apa!"
"Yeh, ya, sama aja bahaya."
"Ya bukan urusan lo."
Via pun pergi kembali menemui teman-temannya. Belum sampai ke tempat mereka berkumpul, teman-temannya sudah memberikan tatapan yang menjijikkan pada Via. Tatapan yang artinya semacam 'ciee kok, lama?' Bla bla bla. Dan benar saja, baru saja bokong Via bertemu dengan lantai dengan serempaknya mereka berkata.
"Cieeee."
Sudah kuduga. Batin Via lalu memutar bola matanya malas.
"Lama amat ngembaliin kameranya," ledek Fira sambil menaik turunkan kedua alisnya.
"Mungkin ada sesuatu di antara mereka," ledek Nidya sambil menyipitkan matanya.
"Iya, mungkin mereka rumpi-rumpi dulu," timpal Rani.
"Awas lho, dari benci jadi cinta," Ledek Nidya sambil menyenggol bahu Via.
"Kalian baper amat sih, ya ampun," jawab Via dari sekian ledekan.
"Cerita dong, tadi ngobrol apa aja?" tanya Nidya yang di sambut anggukan teman yang lain.
"Dio bilang 'bareng aja sama gue naik bus' gitu," Jawab Via datar.
"Maksudnya?" tanya Dena.
Mereka saling tatap. Lalu seolah di beri komando semuanya serempak tersenyum jahil melihat ke arah Via yang tampak kebingungan. Beberapa detik kemudian...
"Cieeeee... Diajakin pulang bareng nih ceritanya," ledek mereka.
"Cihuyyy!" timpal Dena.
"Tapi gue nggak mau," jawab Via datar.
"Yaahhh, penonton kecewa bung," kata Fira mendramatisir seolah benar-benar kecewa.
"Emang kenapa, kok, di tolak? Lumayan lho, Dio 'kan ganteng walaupun nyebelin," kata Rani mengedipkan sebelah matanya jahil.
"Ya elah dia sok perhatian gitu sama gue, geli amat," jawab Via bergidik.
"Nggak apalah, Vi. Kali-kali pulang sama Mandor," timpal Dena.
"Iya bener, Vi," timpal Rani.
"Ah! Lo semua, kok, malah ngedukung sih?" jawab Via bete.
"Bukan gitu, Vi. Khawatir juga 'kan perempuan pergi jauh naik angkutan umum sendirian," tukas Fira menahan tawanya.
"Nanti ada kucing garong lho, aarrrgggghh," ledek Nidya dengan tangan ala-ala kucing garong.
"Tau ah!" jawab Via mengacak asal rambutnya.
***
Mereka pun berpisah karena rumah mereka tidak ada yang satu arah. Via mulai berlari. Melewati jalanan yang sepi agar Dio tak bisa menemukannya dan memaksanya untuk pulang bersama. Via mulai lelah dan memutuskan untuk berjalan kaki. Karena mungkin Dio tak akan menemukannya.
Tiba-tiba Via merasakan ada seseorang yang berjalan bersama di belakangnya. Via mulai takut. Sepertinya itu Dio. Via mulai mempercepat langkahnya. Tapi dia merasa orang yang di belakangnya juga mempercepat jalannya. Via mulai berlari kecil. Orang yang di belakang Via pun sama. Via mulai benar-benar berlari kencang. Dia pun sama! Terus seperti itu dan.. Tap! Sebuah tangan menyentuh pundak Via.
Ya ampun. Gue 'kan udah bilang kalo gue nggak mau pulang bareng sama lo. Gerutu Via dalam hati.
Saat Via membalikkan badan...
"Neng," seru seorang pria paruh baya.
Lho? Jadi bukan Dio? Batin Via bingung.
"Tadi neng ngejatohin uang. Saya mau manggil tapi nggak tahu namanya. Nih neng," jelas seorang bapak-bapak sambil memberikan uang selembaran seratus ribu pada Via yang masih dengan muka cengo-nya.
Buset, nih Bapak bikin jantung gue mau copot aja. Batin Via.
"Yeh, si neng malah melamun," katanya lagi.
"Oh iya, makasih banyak ya, Pak."
"Iya neng sama-sama. Lain kali hati-hati, ya, neng."
"Hehe iya, Pak. Saya duluan ya, Pak."
"Mangga, neng."
Via merasa jantungnya mau lepas dari tempatnya. Mungkin Dio lupa atau mungkin sudah pulang duluan. Gadis itu menghembuskan nafas lega.
"Untung aja bukan. Gue kira dia yang megang pundak gue."
"Dia siapa?"
"Itu tuh si man--" belum selesai Via bicara, dia mulai sadar kalau dia kini tak sendirian.
"Man? Siapa?" tanya nya lagi.
"Waa!!" teriak Via saat melihat sesosok manusia di sampingnya. Lalu setelah sadar ia telah teriak terlalu keras Via pun menutup mulutnya dengan kedua tangannya.
Gila! Ini orang kenapa bisa ada di sini sih?! Batin Via terkejut.
"Ngapain lo di sini Mandor?!"
"'Kan tadi gue udah bilang, pulangnya bareng."
"Tapi 'kan gue nggak mau!"
"Segitu bencinya lo ke gue?"
"Iya!"
"Buset dah. Tapi pokoknya gue pengen pulang bareng sama lo."
***
Pada akhirnya mereka menaiki bus bersama. Tentu saja tidak duduk berdampingan. Dio duduk di kursi sebelah kanan pojok, dan Via di sebelah kiri pojok. Kursi tepat di depan Via, duduk seorang pria sekitar 30 tahunan yang memeluk tas namun pandangannya sesekali melihat ke arah Via. Via berusaha menyibukkan diri. Tapi pria itu terus memperhatikannya. Via mulai khawatir. Takut pria itu memiliki niat yang tidak baik terhadapnya. Tiba-tiba Dio memanggil.
"Woi!" panggil Dio sedikit berbisik.
"Apaan?" jawab Via jutek.
"Sini!" kata Dio sambil menepuk kursi di sebelahnya.
"Ogah!" tolak Via mentah-mentah.
"Dibilangin ngeyel banget sih!"
Karena merasa tidak tenang dengan tatapan lelaki di kursi depannya, Via pun pindah ke kursi samping Dio.
"Puas lo?" kata Via sarkas.
"Dengerin gue! Laki-laki yang duduk di depan lo tadi, ngeliatin lo mulu. Gue cuma takut dia macem-macem!" kata Dio setengah berbisik.
"Oh," jawab Via.
"Sialan di jawab oh doang."
"Ya terus lo mau gue jawab apa?"
"Makasih kek, apa kek,"
"Makasih."
"Nah gitu dong, sama-sama."
"Dasar manusia nyebelin!" umpat Via.
Sepanjang perjalanan Dio dan Via sibuk masing-masing. Mungkin Dio merasa jadi canggung, jadi dia membuka percakapan. Dan karena Via juga merasa bosan, akhirnya Via ladeni. Dio bercerita tentang hubungannya dengan pacarnya yang sudah berjalan satu tahun tiba-tiba berakhir begitu saja.
Tapi tiba-tiba saja Dio bilang bahwa dia senang bisa pulang naik bus bersama Via. Secara, jangankan untuk pulang bersama, untuk berbicara saja biasanya mereka tak pernah. Karena Via sangat pelit kata-kata atau jutek katanya. Justru Via malah sebaliknya. Sedikit risih dengan adanya Dio di perjalanannya.