Sudah hampir satu minggu Peter tidur di rumah Elish. Ya, rumah Elish. Kedua orang tua mereka memang sengaja membelikan sebuah rumah atas nama Elish.
Meskipun mereka tinggal di kota yang sama, ayah ibu mereka lebih memilih agar Elish tinggal terpisah dengan mereka. Dengan tujuan agar Elish bisa lebih cepat sampai ke kampusnya.
Sedangkan Peter, mereka memilih untuk tetap membiarkan Peter tinggal bersama mereka hingga kelulusannya. Mereka akan melepaskan anak itu tinggal bersama Elish saat anak itu sudah lulus SMA.
***
Peter masih seorang siswa SMA tahun akhir. Berangkat sekolah, belajar, dan kembali lagi ke rumah Elish sudah menjadi kegiatan rutinnya selama 5 hari ini.
Lelaki itu sedang duduk melamun di kantin sekolahnya. Begitu kelihatan dari wajahnya kalau ia sedang memikirkan sesuatu yang berat.
"Hei, Peter! Mau sampai kapan kau melamun? Bahkan kentangmu sudah habis kubuat." Ucap Lucky, teman dekat Peter. Ia menepuk bahu Peter yang kini duduk di hadapannya.
"Ah. Iya." Balas Peter singkat.
"Hanya ah iya?" Lucky dibuat heran oleh Peter.
"Kalau kau sedang ada masalah, bilang saja. Sudah seminggu ini kuperhatikan kau banyak melamun." Ujar Lucky namun tak digubris Peter.
Pasalnya, Peter bukanlah orang yang pendiam. Bahkan Peter adalah salah satu siswa yang sangat ribut di kelas. Begitu juga dengan Lucky. Jika biasanya di kelas saja dia bisa ribut, tentu saja di kantin yang bukan tempat belajar dia lebih ribut.
Tapi, dia benar-benar berbeda saat ini. Seakan tubuhnya dirasuki sesuatu, dia lebih banyak melamun di sekolah akhir-akhir ini.
Plak!
Sebuah tamparan keras mendarat di pipi kanan Peter. Dan hal itu berhasil menyadarkan Peter.
"Kenapa kau menamparku?!" Bentak Peter sambil mengelus pipinya yang panas. Suara Peter yang menggelegar menyebabkan suasana kantin yang tadinya ramai menjadi sunyi. Seluruh mata menatap ke arahnya.
Lucky menarik napas panjang lalu bersandar pada kursinya dengan tangan bersila, "Akhirnya kau sadar juga." Ucapnya enteng sambil tersenyum.
"Ah.. mereka ternyata."
"Oh, mereka."
"Kupikir siapa. Ternyata mereka."
Beberapa bisikan terdengar dan suasana kantin kembali ramai. Tidak ada lagi yang menatap ke arah Peter. Yah.. mereka memang sudah maklum dengan Peter dan Lucky yang suka membuat keributan.
Pernah sekali mereka saling berteriak, memaki dan memukul hingga keduanya terluka. Hal itu menjadi tontonan seru saat itu. Namun saat semua penonton memperhatikan wajah mereka lebih teliti, para penonton mendapati Peter dan Lucky saling memukul sambil tertawa. Gila memang. Bisa-bisanya mereka bercanda sebrutal itu.
Sejak saat itu, jika Peter dan Lucky membuat keributan, orang-orang tidak pernah khawatir dan memakluminya.
***
"Peter." Suara bisikan terdengar dari bibir Lucky.
"Hm?" Peter menoleh ke sumber suara.
Peter mendapati Lucky sudah mendekatkan kursi mereka. Bahkan hampir berdempetan. Ia tak memusingkannya dan membiarkannya. Hal ini sudah menjadi kegiatan sehari-hari Lucky. Bahkan terkadang dia yang merapatkan kursi mereka.
"Malam ini aku menginap di rumahmu lagi ya. Aku sudah bawa pakaianku." Ujar Lucky dengan mata berbinar.
"Uhm, oke." Balas Peter singkat.
Eh? Tunggu.
Aku kan sedang di rumah Kak Elish.
Peter menoleh pada Lucky dan mendapati Lucky sedang menatapnya haru dengan senyuman yang penuh arti.
"Tidak jadi." Ucap Peter singkat yang menyebabkan senyuman makhluk di sampingnya memudar.
"Kenapa? Jangan khawatir. Aku juga bawa celana dalamku. Jadi kau tidak perlu takut kalau aku akan memakai celana dalammu. Ayolah.." Rengek Lucky.
"Ini bukan masalah celana dalam, Lucky."
"Lalu kalau bukan karena celana da-"
"Bisakah kalian berhenti membicarakan celana dalam? Telingaku panas mendengarnya." Seorang gadis berbalik dan menatap tajam Peter dan Lucky bergantian. Perbuatannya berhasil memotong kalimat Lucky.
Gadis itu adalah Lucy. Teman sekelas mereka sekaligus gadis pujaan Peter dan juga adik kembar Lucky. Wajah yang memancarkan kelembutan namun sifat yang tegas dan otak cermat Lucy menjadi alasan Peter yang selalu membungkam Lucky jika ditanya mengapa ia menyukai Lucy.
Namun hal itu tentu tidak diketahui Lucy sama sekali. Yang Lucy tahu, Peter adalah salah satu teman sekelasnya yang sama menyebalkannya dengan Lucky.
"Bisakah kau diam saja dan menyimak pelajaran? Ini urusan pria." Lucky balik menatap wajah Lucy sinis.
"Tapi suara kalian mengganggu konsentrasiku!" Cetus Lucy dengan suara berbisik namun tegas.
"Hmph!" Suara Peter terdengar.
Peter melipat tangannya dan menaruhnya di atas meja. Ia mendekatkan wajahnya ke wajah Lucy yang memang duduk di depannya. Ia tersenyum manis dan menatap mata Lucy dalam. Dan hal itu membuat Lucy membeku. Lucky hanya diam menyaksikan drama yang sahabatnya buat.
"Lucy. Yang kakakmu katakan itu benar. Ini urusan pria." Bisik Peter dengan senyuman yang tak pernah lepas dari wajahnya.
Deg!
Jantung Lucy berdegup. Wajahnya memerah. Wajah Peter memang tampan. Jadi wajar saja seorang gadis bisa tersipu hanya dengan melihat senyumannya. Apalagi Peter menatapnya dalam.
"Jangan karena kau tersenyum seperti itu, kau berpikir aku akan menyukaimu!" Bisik Lucy.
Mendengar perkataan Lucy, Peter malah menatapnya semakin dalam. Dan kini ia tak kuasa menahan tawanya.
"Aku tidak pernah berpikir begitu. Tapi sepertinya kau baru membuat pengakuan kalau kau menyukaiku." Bisik Peter.
"Ya benar." Lucky yang tadinya hanya sebagai penonton kini bersuara.
Ucapan Peter dan dukungan Lucky membuat Lucy kehabisan kata-kata. Wajahnya kian memanas dan memerah. Ia menatap Peter tak percaya.
***