Keesokannya saat malam hari, Putra menjemput Zahra di rumahnya untuk makan malam. Sesampainya Zahra di kediaman Pratama, Zahra di sambut hangat oleh keluarga Putra. Dewi merangkul pinggang Zahra dan mengajaknya masuk menuju ruang makan, dimana meja makan yang berada disana sudah terisi penuh dengan berbagai hidangan yang terlihat sangat lezat. Dewi menarik bangku yang berada tepat di sebelahnya Putra, "Duduk disini aja ya Zahra." Ujar Dewi dan di balas oleh Zahra, "Terima kasih banyak tante.".
Dewi pun segera duduk di bangkunya yang berada di dekat anak ke duanya. Suara dentingan sendok yang bertabrakan dengan piring menghiasi ruang makan tersebut, tidak ada satu pun dari mereka yang berbicara hingga makan pun usai.
Mereka semua pindah ke ruang santai untuk bercakap-cakap.
"Jadi kamu tinggal sendirian di Jakarta, dan kedua orang tua mu berada di Belanda. Berapa usia mu Zahra?" Tanya Dewi. "25 tahun tante." Jawab Zahra segera.
"Waah sudah pantas itu untuk menikah, apa kamu sudah punya calonnya?" Tanya kembali Dewi. Dengan malu malu Zahra menjawab dengan gelengan kepalanya, "Belum ada.".
"Kebetulan sekali Putra juga belum punya calon, tante sih berharap kalian jodoh." Ujar Dewi yang membuat Zahra merasa malu hingga wajahnya memerah.
Berbagai pertanyaan di ajukan oleh Dewi serta Reza, Zahra terkadang merasa kewalahan dengan serangan pertanyaan tersebut. Putra yang menyadari hal itu segera menghentikan kedua orang tuanya dan terkadang dia yang menjawab pertanyaan tersebut.
"Maaf ya kalau loe kurang nyaman tadi, orang tua gue emang gitu suka kepo kalau udah merasa suka sama seseorang. Pacarnya si Fauzi aja sampai kapok di ajak lagi ke rumah, takut di serang gitu." Ujar Putra yang saat ini sedang mengantar Zahra pulang ke rumahnya.
"Gak apa kok, aku malahan seneng tadi. Keluarga kamu seru, jujur aja aku langsung nyaman banget tadi." Seru Zahra. Putra meminggirkan mobilnya dan menatap Zahra dengan serius. "Ada apa Put?" Tanya Zahra bingung.
"Ehm... Zahra, gue mau bicara serius sama loe. Mungkin ini terlalu cepat, tapi gue gak bisa nahan lebih lama lagi. Jujur sejak awal kita ketemu, gue udah jatuh cinta sama loe. Dan karena orang tua gue juga setuju sama loe bahkan sampai berharap kalau kita jodoh, gue jadi semakin ingin ungkapin ini agar loe tau.
Zahra, gue cinta sama loe. Bener bener cinta banget sama loe. Cuma loe seorang yang bisa bikin jantung gue bergetar sekencang ini. Cuma loe doang yang bikin gue slalu merindu. Jadi Zahra, apa loe mau balas perasaan gue ini dan jadi pacar gue?" Ungkap Putra melimpahkan isi hatinya.
"Aku seneng dengar pernyataan mu, untuk saat ini aku belum terlalu merasakan perasaan yang sama kaya kamu. Tapi aku merasa nyaman dan senang kalau bersama kamu lebih dari yang lainnya. Aku juga seneng karena orang tua mu udah menyetujui jika kita menjalin hubungan. Aku hargai perasaan kamu dan keberanian kamu, tapi bisa beri aku waktu untuk memikirkannya?
Satu hal yang belum kamu tau, aku belum pernah menjalin hubungan dengan siapa pun. Itu karena aku inginnya langsung menikah bukan pacaran. Itu impian ku sejak dulu." Ujar Zahra.
"Gue paham. Kalau begitu gue bakal buktiin kalau gue pantas buat jadi pendamping loe. Setelah itu, gue bakal langsung ngelamar loe dan bukan meminta untuk pacaran. Gue bakal penuhi impian loe itu, jadi tunggu gue ya, gue janji gak akan lama."
"Aku akan tunggu kamu Putra." Ucap Zahra dengan tersenyum membuat tubuh Putra bergerak sendiri dan memberi kecupan pada kening Zahra yang terhalangi oleh poni. "Hei, apaan sih." Seru Zahra. Namun ia tidak terlihat marah, yang terlihat hanya merasa malu.
"Maaf Zahra, tubuh gue bergerak sendiri tanpa gue sadari. Abisnya loe cantik banget sih, apa lagi kalau muka loe memerah kaya kepiting rebus gini, ugh rasanya gemesin banget." Ujar Putra dengan kedua tangannya memberi cubitan pada pipi Zahra.
"Sakit Putra, lepasin..." Pinta Zahra dan segera Putra melepaskan cubitan itu dengan tertawa puas merasa lucu hanya dengan hal sepele itu.
Putra kembali mengendarai mobilnya hingga tiba sudah di rumahnya Zahra. Putra keluar terlebih dahulu dan membukakan pintu Zahra, "Silahkan tuan putri." Ujar Putra layaknya prajurit kepada ratunya.
"Apaan sih, biasa aja dong Putra jangan lebay gini aah." Seru Zahra dan di akhiri dengan kekehan kecil.
"Tidur yang nyenyak ya Zahra, dan jangan lupa mimpiin gue." Ucap Putra setelah Zahra keluar dari mobil. "Gak mau aku, masa aku harus mimpiin kamu yang sekarang aja masih ada di hadapan ku." Ledek Zahra namun tidak membuat Putra kesal atau pun berhenti untuk menggoda wanita cantik di hadapannya.
Angin malam berhembus sedikit kencang dan terasa sedikit dingin menerpa kaum adam hawa ini. "Aku sayang banget sama kamu Zahra." Ujar Putra.
"What? Aku? Kamu? Aneh rasanya aku denger kamu bilang seperti itu hehehe."
"Mulai malam ini, aku bakal bilang aku kamu dan bukan gue loe lagi. Cuma buat kamu seorang yang sudah bertahta di hati ku yang paling dalam. I love you permata hati ku, Permata Zahra." Seru Putra dengan memberi ciuman pada punggung tangan Zahra.
Sedangkan yang di cium hanya tersenyum melihat tindakan Putra, "Terima kasih banyak Putra." ujar Zahra.
Sejak saat itu, sikap Putra sedikit demi sedikit mulai berubah. Ia benar benar menuruti semua perkataan Zahra. Putra kembali mengingat kejadian beberapa minggu lalu ketika Putra datang bermain ke rumah Zahra tak lama setelah undangan makan malam di rumah Pratama.
"Semua fasilitas ku sampai saat ini masih di cabut sama papa kecuali mobil, aku jadi gak leluasa dan gak bisa bebas. Maaf ya, malam minggunya cuma bisa di rumah aja gak pergi kemana-mana, gak bisa ajak kamu nonton, makan di luar apa lagi shopping." Keluh Putra dengan menyesal.
"Memangnya kenapa sampai di cabut begitu? Apa kamu ngelakuin kesalahan yang besar?" Tanya Zahra yang sebenarnya sudah lama ia sangat penasaran tentang diri Putra. Zahra ingin tau banyak hal, bahkan ia pernah bertanya-tanya kepada Chyntia seperti apa kakaknya itu. Namun Zahra merasa kurang puas dengan jawaban yang di berikannya, bahkan Zahra merasa ada yang di sembunyikan dari Chyntia.
"Gimana ceritanya ya, aku takut kamu jadi ilfeel sama aku kalau aku ceritain." Ujar Putra dengan wajah memelas, namun Zahra menatap dalam mata Putra dengan berkata, "Ceritakan saja, aku ingin tau segala hal tentang mu. Hal baik dan hal buruknya juga, karena kalau aku hanya tau hal baik saja, ku rasa itu tidak menyenangkan sama sekali. Karena setiap manusia kan pasti ada baik dan juga buruknya, aku bahkan begitu."
"Bagiku, kamu itu sempurna Zahra. Sangat sempurna tanpa ada kekurangan sedikit pun. Baiklah, aku akan ceritakan semuanya ke kamu tentang buruknya seorang Rahadian Putra Pratama.
Sejak kepulangan ku dari Amerika, aku menjadi seorang playboy, aku slalu berganti ganti pasangan tapi aku tidak pernah mencintai mereka. Pergaulan bebas yang ku dapatkan selama kuliah disana telah melekat di diriku, sepulangnya aku dari sana hal itu tidak bisa ku lepaskan. Bahkan selama dua tahun ini aku tidak bekerja, aku menganggur dan kegiatan ku hanyalah bersenang-senang, bermain wanita dan juga clubbing.
Aku bahkan bersikap kasar ke orang tua ku, tidak pernah mendengarkan omongan mereka, aku slalu mengabaikan mereka setiap kali mereka memarahi ku dan menasehati ku. Bahkan hampir setiap hari aku nyaris tidak bertatap muka dengan kedua orang tua ku. Lalu belum lama ini, papa ku menyita semua fasilitasku kecuali mobil. Papa meminta ku untuk berubah dan bekerja di kantornya, setelah itu, barulah fasilitasku di kembalikannya lagi.
Pada saat itu terjadi, aku sudah mengenalmu dan jujur saja, kamu itu seperti bisa menarikku dari kegelapan yang slama ini ku tinggali.
Setelah semua fasilitasku di sita papa, aku hanya diam di rumah merenungkan semua yang ku lakukan selama ini dan kamu slalu memberikan secercah cahaya untukku. Aku berkata jujur apa adanya Zahra, aku tidak berbohong. Kamu orang pertama yang aku cintai, kamu orang yang pertama yang bisa membuatku berubah sedikit demi sedikit dan membuatku slalu merindukan mu. Zahra, dengan kehadiran mu disini aku yakin aku bisa sepenuhnya terbebas dari kegelapan itu."
"Aku senang jika aku bisa merubahmu menjadi lebih baik Put, dan terima kasih karena sudah percaya padaku untuk menceritakan semua keburukan mu itu." Ucap Zahra dengan senyuman khasnya yang membuat Putra semakin luluh dan semakin mencintainya.
"Lalu, apa kamu sudah meminta maaf sama orang tua mu?" Tanya Zahra yang di tanggapi gelengan kepala oleh Putra.
"Kamu harus meminta maaf Put, kamu gak boleh seperti ini terus. Setelah itu dengarkan semua perkataan ke dua orang tua mu itu."
"Tapi aku..." Ujar Putra terhenti, kebimbangan nampak jelas di raut wajahnya. "Apa kamu takut dan juga merasa malu?" Seru Zahra seakan ia dapat membaca isi pikiran Putra. "Hilangkan itu semua Put, ini juga demi dirimu sendiri. Mereka adalah orang tua mu, aku yakin mereka akan memaafkan mu dan juga mereka pasti sangat senang jika kamu meminta maaf serta memperbaiki semuanya" Lanjut Zahra kembali.
"Boleh aku memeluk mu sekarang? Aku merasa, aku butuh kekuatan dari mu Ra, sepulang nanti aku akan meminta maaf kepada mereka." Ujar Putra dengan wajahnya yang memelas, Zahra tersenyum kepadanya dengan senyuman khas yang ia miliki. Serta kedua tangan Zahra terbuka lebar untuk menyambut Putra dalam pelukannya yang terasa hangat dan nyaman bagi Putra.
Pria berparas tampan itu menenggelamkan kepalanya di pundak Zahra yang kecil. Tak henti-henti Putra memeluk Zahra dengan eratnya sembari bergumam "Terima kasih." dan Zahra hanya mengusap lembut punggung Putra.
Setelah itu Putra kembali ke rumahnya, melihat kedua orang tuanya sedang bercengkrama di ruang santainya dengan menonton acara talk show pada televisinya.
"Ma, Pa..." Sapa Putra lembut dan duduk di dekat mereka. Dewi serta Reza menatap anak sulungnya penuh tanya karena melihat wajah anaknya yang terlihat sedih. "Ada apa nak?" Tanya Reza yang kemudian menatap Dewi karena Putra hanya diam tanpa memandang kedirinya setelah ia bertanya kepada anaknya itu.
Putra mengambil napas panjang dan teringat akan semangat yang di berikan oleh malaikat cantiknya itu, "Semangat Putra, kamu sudah membulatkan tekadmu, kamu tidak boleh mundur lagi. Kalau kamu mundur kamu bukanlah seorang pria yang pantas untuk menikahi ku. Semangat dan tenangkan dirimu, ok!". Ucapan tersebut terus terniang pada otak Putra, setelah merasa tenang karena ia sudah mengambil napas yang begitu panjang, Putra kembali bersuara.
"Putra mau minta maaf atas tindakan Putra selama ini, Putra berharap mama dan papa mau memaafkan Putra." Pinta Putra yang masih saja menundukkan kepalanya dan tidak berani memandang wajah kedua orang tuanya yang kini tengah terkejut mendengar permintaan maaf dari anak sulungnya.
Kedua orang tua itu saling memandang tak percaya bahkan sempat merasa jika ini hanyalah mimpi.
"Putra bersungguh-sungguh ingin meminta maaf, aku sangat menyesalinya sekarang." Lanjut Putra dan Dewi tersenyum bahagia hingga air mata terjatuh membasahi kedua pipinya tersebut.
Dewi menahan isakan tangisnya dengan membungkam mulutnya menggunakan tangan, Dewi menatap Reza yang tentu merasa bahagia mendengar permintaan maaf anaknya itu yang sudah sejak lama ia nantikan.
"Kamu meminta maaf pasti karena sudah tidak betah kan tidak bisa menggunakan kartu mu untuk bersenang-senang?" Tanya Reza untuk memastikan, membuat Putra menatap wajah ayahnya itu dengan keseriusan.
"Tidak pa, aku sudah tidak melakukan itu lagi. Aku benar benar menyesali perbuatan ku dulu, aku benar benar ingin berubah dan juga aku ingin bekerja." Seru Putra dengan bersungguh-sungguh.
"Jadi, kau sudah merenungkan semuanya?" Tanya Reza memastikan kembali. "Iya pa, Zahra juga membantu ku untuk meyakinkan soal ini. Karena dia Putra memikirkan semuanya, dan Putra tidak mau membuat Zahra berpaling dari Putra. Aku mau menikahinya, itu sebabnya Putra harus berubah menjadi lebih baik agar bisa menjadi sosok yang pantas untuknya." Tutur Putra yang kemudian membuat Reza dan Dewi tersenyum senang akan anak sulungnya ini.
"Mama senang sekali akhirnya kamu dapat menyadarinya dan berusaha untuk berubah. Kemarilah nak." Ujar Dewi yang kemudian meminta Putra mendekat kepadanya. Lalu Putra menghampiri ibunya dan memeluk Dewi dan juga Reza.
"Sekarang pergilah ke kamar mu dan istirahat, besok pagi kamu harus siap ikut papa ke kantor. Kamu akan mulai bekerja, tapi papa akan menempatkan mu dari bawah dulu sama seperti Fauzi, agar kamu bisa belajar dari dasar dan dekat dengan karyawan lainnya." Seru papa yang di jawab Putra, "Baik pa, kalau begitu Putra ke kamar dulu. Selamat tidur ma, pa."
Putra masuk ke dalam kamar dan segera menghubungi wanita terkasihnya itu. Dan tak lama panggilan itu tersambung, Zahra cepat mengangkatnya. "Bagaimana Put? Berhasil?" Tanya Zahra yang ingin tau hasilnya. "Semua berjalan dengan lancar, terima kasih banyak Zahra, ini semua berkat kamu." Ujar Putra dengan tersenyum senang, namun sayang Zahra tidak dapat melihat senyum tampan Putra.
"Bukan Put kamu salah, itu bukan berkat aku karena aku tidak melakukan apa pun. Semua itu berkat usaha kamu yang sudah menyadari semua kesalahan mu. Aku senang mendengar semuanya berjalan lancar." Seru Zahra.
"Ini juga berkat kamu Zahra, jika bukan karena dorongan dari kamu dan jika kamu tidak memberiku semangat serta jika tidak adanya kamu, aku akan masih menjadi Putra yang brengsek hingga saat ini. Jadi aku sangat berterima kasih pada mu Zahra, terima kasih banyak." Tutur Putra merasa bahagia.
Kemudian saat ini...
"Apa yang kau lamunkan Putra?" Tanya Reza yang membuyarkan lamunan Putra akan kejadian beberapa minggu lalu. "Bukan apa-apa pa." Jawab Putra dan ia merapikan beberapa dokumen yang berserakan di meja kerjanya. "Ada apa pa?" Tanya Putra kepada ayahnya.
"Papa ingin mengajakmu makan siang bersama, Fauzi juga akan menyusul setelah ia menyelasaikan pekerjaannya." Seru Reza dan Putra berdiri dari bangku kerjanya, berjalan bersama dengan sang ayah menuju kantin yang berada di lantai satu belakang kantornya.
"Maaf aku terlambat, pa, kak." Seru Fauzi yang baru saja datang. Mereka bertiga duduk bersama dan menikmati makan siangnya dengan lahap.
"Bagaimana kabar kak Zahra? Dia tidak pernah datang lagi ke rumah, apa dia sibuk?" Tanya Fauzi di sela-sela makan siang mereka.
"Ya dia sedikit sibuk." Jawab Putra. "Bagaimana hubungan kalian? Kalian tidak sedang bertengkar kan?" Tanya Reza. "Hubungan kami masih begini saja pa, tidak ada kemajuan dan kami tidak sedang bertengkar kok." Jawab Putra.
"Kalian masih belum menjalin hubungan? Padahal kalian sudah nampak mesra seperti sepasang kekasih. Apa jangan-jangan kakak cuma main-main saja sama kak Zahra?" Celetuk Fauzi dan Putra segera mendapatkan tatapan tajam dari Reza.
"Apa yang kau bicarakan pao!" Ketus Putra. "Berhenti memanggil ku pao!" Keluh Fauzi yang tidak terima dengan julukan yang suka di ucapkan oleh Putra sedari dulu kecil. "Kenapa marah? Itu kan nama mu, pao hahaha..." Ledek Putra yang berhasil membuat Fauzi semakin geram.
"Hentikan kalian berdua, kalian ini sudah dewasa dan bukan anak-anak lagi. Selain itu ini di tempat umum, apa kalian tidak malu saling meledek seperti itu?" Tegur Reza. "Dan kau Putra, apa benar kau cuma main-main dengan Zahra?" Tanya Reza kepada Putra.
"Tentu saja tidak pa, Zahra tidak mau pacaran dia maunya langsung menikah. Untuk menikahi Zahra, Putra harus menjadi pria yang pantas untuknya." Ujar Putra menjelaskan.
"Bagus sekali itu, lebih baik kau segera menikahinya. Usiamu juga sudah hampir kepala tiga, tunggu apa lagi." Ucap Reza.
"Nanti Putra akan mengajak kalian semua datang ke rumah Zahra untuk melamarnya, Putra janji secepatnya." Tutur Putra.
'Menikah? Hanya itu satu-satunya cara untuk mendapatkan Zahra seutuhnya, tapi menikah...?' Batin Putra dengan menatap gelas minumnya yang ia pegang.
Beberapa hari kemudian tepat pada hari minggu, Putra yang mendapatkan pesan dari Zahra untuk datang ke rumahnya segera melesat kesana usai berdandan tampan. Di pikir Putra mereka akan pergi kencan sepanjang hari, namun sesampainya di rumah Zahra, pikirannya tentang kencan seharian hilang begitu saja. Karena Zahra membuka pintu rumahnya dengan seorang bocah kecil yang membuntutinya di belakang tubuh indah Zahra, Putra yang melihat bocah perempuan itu menaikkan sebelah alis penuh pertanyaan dan merasa kesal.
"Siapa bocah ini?" Tanya Putra dengan datarnya. "Dia keponakan ku, tadi sepupuku datang dan meminta tolong untuk menjaganya karena dia harus pergi karena pekerjaan, dan suaminya sedang dinas keluar kota." Jawab Zahra dan menuntun keponakannya itu ke depan dirinya dan menyuruhnya untuk bersalaman dengan Putra.
"Nama ku Cila om, nama om siapa?" Tanya Cila yang merupakan keponakan Zahra. "Nama om Putra, Cila umurnya berapa tahun?" Tanya Putra yang segera di jawab Cila, "Empat tahun.".
Mereka bertiga masuk ke dalam dimana ruang santai berada, Putra terperangah melihat keadaan ruangan tersebut yang sudah hancur lebur bagaikan kapal pecah, tidak, lebih dari itu namun Putra tidak menemukan kata yang tepat.
Putra duduk di sofa sementara Zahra menyiapkan minuman untuk dirinya, Cila mengambil boneka kesayangannya dan mendekati Putra.
"Om Putra ayo bermain bersama, ayo main rumah-rumahan. Cila jadi ibunya, om jadi anaknya ya." Perintah Cila yang memaksa Putra untuk ikut bermain.
"Kenapa om harus ikut bermain? Kamu main aja sendiri jangan ajak om!" Tolak Putra mentah-mentah namun Cila tidak menyerah. Gadis kecil ini terus menempel pada Putra, ia duduk di pangkuan Putra dengan membawa dua bonekanya.
Putra menyingkirkan Cila agar duduk sendiri, tapi Cila tetap saja antusias untuk bermain bersama Putra.
Putra mulai geram, ia beranjak dari sofa empuk tersebut. Berjalan kesana kemari menghindari Cila, tetapi Cila tidak menyerah, ia membuntuti Putra di belakang tubuh besar Putra membuat Zahra yang sudah datang menemui mereka berdua tertawa melihat tingkah laku Putra dan Cila. "Kalian berdua lucu sekali, tidak ku duga Cila sangat menyukai mu Putra." Ujar Zahra yang menaruh gelas minum untuk Putra di meja dekat sofa.
"Zahra tolong aku, anak ini terus saja mengikuti ku. Aku lelah Zahra." Pinta Putra penuh harap namun Zahra hanya terkekeh dan berkata, "Tolong jaga Cila sebentar lagi ya Put, aku mau mandi dulu."
"Aah Zahra tunggu, jangan tinggalkan aku berdua dengan setan kecil ini."
Zahra yang mendengar ucapan Putra segera berbalik dan menatap Putra dengan tajamnya. "Apa maksud mu dengan setan kecil?" Tanya Zahra dingin. "Tidak, itu maksudku... Aa itu anu..." Jawab Putra gugup tidak tau harus berkata apa.
Zahra mengabaikan Putra dan kembali menuju kamarnya untuk bersiap-siap mandi.
Putra menutup kedua telinganya yang keberisikan akan Cila. Putra sudah mencapai batasnya, ia tidak tahan lagi dan ingin segera keluar dari neraka tersebut. Ketika Putra berdiri hendak keluar dari ruangan santai tersebut, Zahra keluar dari kamarnya dengan penampilannya yang sangat menawan membuat Putra terperangah akan kecantikan bidadari hatinya. "Cantik sekali." Gumam Putra yang dapat di dengar Zahra. "Iya tante Zahra cantik sekali, tante mau kencan dengan om Putra ya?" Celetuk Cila dan di tanggapi oleh Zahra. "Anak kecil seperti mu tau darimana kata kencan itu, hah?" Tanya Zahra yang duduk menyamai tinggi Cila, ia hanya merasa heran dengan ucapan bocah empat tahun yang sudah kenal dengan kata kencan.
"Mama dan papa suka bicara seperti itu, kalau Cila lihat mereka berdandan rapi dan Cila tanya mau pergi kemana, mereka pasti bilangnya mau kencan." Ujar Cila dengan polosnya sementara Zahra tertawa mendengar penjelasan dari keponakannya itu.
"Iya tante mau kencan dengan om Putra, dan juga dengan Cila." Seru Zahra. "Kita akan kencan tante? Horeee... Cila kencan sama om Putra." Semangat Cila dan meloncat kepelukan Putra. Sedangkan Putra dengan enggan menerima pelukan gadis kecil tersebut.
"Keponakan tante senang banget rupanya." Tutur Zahra dengan terkekeh kecil. "Iya dong, Cila kan ikut kencan juga sama om Putra, om kan ganteng jadinya Cila seneng." Seru Cila yang mengeratkan pelukannya. Mendengar perkataan gadis kecil tersebut, Zahra hanya dapat tertawa geli. Setelah itu mereka bertiga pergi menuju supermarket untuk membeli segala kebutuhan rumah Zahra.
Zahra mendorong sebuah troli dan berjalan mencari apa yang di butuhkannya. Cila yang di tawari Zahra untuk duduk pada dudukan troli menolak dan memilih untuk di gendong oleh Putra.
Selama itu Putra menahan kesalnya dengan berdiam diri, apa lagi Cila terlalu banyak bicara, membuat telinga Putra seakan tuli seketika. Karena merasa lelah, Cila pun tidur dalam gendongan Putra.
Zahra menyadari perubahan Putra, ia pun memutuskan untuk segera mengakhiri belanjanya tersebut dan meminta untuk pulang ke rumah. Meski niat awal Zahra setelah berbelanja adalah makan siang bersama di restaurant.
"Kamu tuh kenapa sih? Gak suka sama anak kecil?" Tanya Zahra setelah menidurkan Cila di kamarnya dan berjalan menghampiri Putra yang duduk di sofa pada ruang santai.
Tidak ada jawaban dari Putra, Zahra membuang nafasnya dengan kasar dan kembali berkata. "Bagaimana nanti kalau kamu akan menikah jika kamu sebegitunya tidak menyukai anak kecil?"
"Anak kecil itu terlalu berisik. Belum lagi kalau dia manja-manja gitu ke kita, nempel terus ke kita. Itu tuh bikin aku risih, makanya aku gak suka sama anak kecil, merepotkan juga." Tutur Putra.
"Kamu gak pantas jadi seorang ayah kalau kamu seperti itu, padahal aku kira kamu orang yang lembut terhadap anak-anak." Keluh Zahra.
"Maaf ya Zahra, hari ini aku sudah bikin kamu kecewa. Tapi ku rasa, jika itu anak ku sendiri aku tidak akan bersikap seperti tadi." Ucap Putra sambil tersenyum kepada Zahra.
"Ya aku rasa juga seperti itu, soalnya kalau anak sendiri itu kan berbeda dengan anak orang lain." Tutur Zahra yang membalas senyuman Putra dengan lembut.
Dua bulan pun berlalu sejak insiden Cila, di malam hari yang sangat terang dan langit yang di taburi bintang bintang yang membuat malam semakin memukau. Putra mengajak Zahra pergi makan malam di restaurant bintang lima, nuansa disana sangatlah damai dan dekorasi yang indah serta meja makan yang di tempatinya sekarang nampak romantis.
Namun ada satu hal yang membuat Zahra mengerutkan dahinya dan menatap ke depan tepat kepada Putra yang duduk di hadapannya itu tanpa berkedip.
Alasannya adalah, ada dua wanita yang make upnya terlalu tebal menurut Zahra serta pakaiannya yang sangat kekurangan bahan itu, sedang merangkul tangan Putra dengan eratnya. Bahkan sesekali mereka menatap Zahra dengan pandangan mata yang merendahkan.
Putra seakan menerima perilaku tersebut, Zahra mengabaikan pemandangan di depannya dan mencoba memahami bahwa Putra seorang playboy yang sedang berusaha untuk berubah, ini pasti hal yang sulit baginya untuk menerima cobaan yang datang. Zahra kembali mengangkat sendok serta garpu dan melanjutkan makan malamnya.
"Kalian berdua, bisa lepaskan tangan kalian? Gue lagi makan nih." Ujar Putra. "Eeh, emangnya loe gak kangen apa sama kita berdua?" Ujar wanita di sebelah kanan Putra dan di timpali oleh wanita yang di sebalah kiri Putra. "Tau nih, kita aja kangen berat sama loe. Apa lagi loe udah gak pernah clubbing. Putra sayang, ayo kita pergi dari sini dan nikmati waktu kita bertiga."
Akhirnya Putra melepaskan kedua tangannya dari para wanita itu, setelahnya Putra berkata kepada mereka. "Gue udah berhenti dari semua itu, dan loe liat wanita cantik di depan gue ini! Dia merupakan calon istri gue, jadi gue minta buat kalian berdua untuk pergi dari sisi gue sekarang juga!" Titah Putra.
Kedua wanita itu terus menatap Zahra kesal dan merendahkan, sementara yang di pandangi hanya diam melanjutkan makan malamnya.
"Maaf ya atas kekacauan tadi, lanjut lagi yuk makannya. Setelah itu, ada sesuatu yang mau aku kasih ke kamu." Ucap Putra kepada Zahra, membuat wanita cantik itu penasaran akan hal tersebut.
Kini mereka berdua tengah menikmati makanan penutup, lalu tiba-tiba saja datang dua orang di meja mereka yang sudah di kenali oleh Putra serta Zahra. Salah satu dari mereka membawa gitar dan memainkannya, sedangkan satu lagi sedang asik bernyanyi.
Putra menghampiri Zahra dan berlutut di hadapannya, Putra mengeluarkan kotak kecil dari dalam sakunya, ia buka dan ia unjukkan kepada Zahra sebuah cincin emas putih yang nampak begitu indah.
"Zahra, kamu pasti sudah tau betul akan perasaan ku ini padamu. Setelah aku menyiapkan diri dan belajar untuk menjadi seorang pria yang pantas untuk menjadi pendamping mu, kini aku datang dengan tujuan untuk melamar mu wahai permata hati ku, Permata Zahra. Sejujurnya aku sangat egois dan membenci kata penolakan, namun hanya untuk dirimu saja, aku akan mengalahkan keegoisan ku tersebut dan meminta mu untuk menjawab dengan ketulusan hati mu my queen. Permata Zahra, aku sangat mencintai mu. Bersediakah kamu menjadi istri ku di masa depan dan membalas cinta ku ini yang seumur hidup ku, aku berani jamin hanya untuk mencintai mu." Ucap Putra melamar Zahra.
Wanita cantik dengan bola mata birunya mengeluarkan sedikit air mata pada ujung matanya, kedua tangannya terangkat dan menutupi mulutnya tak percaya.
Sungguh Zahra merasa bahagia akan lamarannya ini, ia mengangguk kepalanya dengan penuh semangat lalu ia menjawab lamaran tersebut. "Aku bersedia Putra, aku juga sangat mencintai mu."
Dua orang yang sedang mengalunkan nada nada romantis seketika berhenti dan ikut senyum senang, yaa mereka adalah Fauzi dan Chyntia. Lalu kedua orang tua Putra yang sedari tadi berada di meja lain tanpa sepengetahuan Zahra ikut menghampiri anaknya dengan merasa senang.
"Terima kasih banyak Zahra karena sudah mau menerima anak ku yang penuh kekurangan ini." Ujar Dewi bahagia hingga mengeluarkan air matanya.
Lalu mereka berenam duduk menjadi satu setelah meja serta bangku di jadikan satu oleh para pelayan.
"Mama ingin secepatnya kalian menikah, dan nak Zahra tolong hubungi orang tua mu untuk datang dan membicarakan pernikahan kalian." Seru Dewi antusias, sejujurnya ia merasa tidak sabar ingin menimang cucu pertama baginya nanti.
"Besok Zahra akan menghubungi orang tua Zahra agar datang ke Indonesia, nanti Zahra akan memberikan kabar ke tante kalau mereka sudah datang nanti." Ujar Zahra yang menatap Dewi dan Reza bergantian.
"Baiklah, mama berharap secepatnya orang tua mu datang dan agar pernikahan kalian secepatnya di laksanakan."