Chereads / I Need You, Papa / Chapter 8 - Finally

Chapter 8 - Finally

Sore hari Dio baru pulang, dia melihat Yoga yang tengah asik menonton televisi dengan memakan kemilan. Lalu mata Dio menangkap mbok Endang yang tengah sibuk bekerja. "Kenapa gak bantuin mbok Endang?" Tanya Dio namun di abaikan oleh Yoga, bahkan dia malah ketawa dengan keras. Dio merasa di abaikan lalu ia menuju mbok Endang.

"Mbok gak nyuruh Yoga buat bantuin? Kasian mbok, kelihatan lelah." Tanya Dio. "Gak den, Yoga juga capek abis sekolah tadi, jadi gak apa mbok kerja sendirian." Ucap mbok Endang menjelaskan.

"Ya gak bisa dong mbok, Yoga sendiri yang bilang kalau bakal bantuin mbok sepulang sekolahnya. Lagi pula Yoga masih muda, masa cuma sekolah gitu aja capek, padahal di sekolah juga gak ngapa-ngapain."

Dio bicara seolah dirinya tidak pernah mengeluh lelah sepulang sekolahnya, padahal Dio juga sama tidak pernah ngapa-ngapain di sekolah. Andai ada Eza, sudah pasti ucapan itu di putar balik ke diri Dio.

"Sudahlah den, mbok juga gak keberatan. Sebelum ini mbok juga kerja sendiri kan." Mbok Endang menjeda ucapannya ketika menatap Dio dengan tegas. "Den Dio sakit? Wajah aden pucat banget, sini mbok coba periksa suhu tubuhnya." Dio membiarkan mbok Endang memegangi keningnya untuk periksa suhu tubuhnya melalui punggung tangan mbok Endang.

"Astaga den Dio, badan aden panas banget. Udah sekarang aden masuk ke kamar, terus istirahat. Mbok siapin air buat kompresannya, sekalian makan dan juga obatnya." Titah mbok Endang dan Dio menuruti ucapannya.

"Sudahlah mbok, buat apa perduliin anak itu segala? Udah gede ini, dia bisa ngurus diri sendiri. Biar gak manja juga." Cibir Yoga dengan masih asyik menonton televisi.

"Hush kamu tuh kalau ngomong di jaga jangan ngelantur. Den Dio ini anak majikan kita, udah seharusnya kita mengurusinya juga." Ketus mbok Endang. "Terserah mbok aja, yang jelas aku gak mau ikut campur ngurusin tu anak manja." Yoga berlalu meninggalkan mereka berdua menuju depan rumah.

Saat mbok Endang hendak naik tangga dengan membawa baskom serta handuk kecil untuk kompres Dio, Putra baru saja pulang.

"Untuk apa itu mbok?" Tanya Putra bingung. "Itu den Dio sakit tuan." Setelah mendengar jawaban dari mbok Endang, Putra berlalu menuju kamarnya.

Saat tengah malam, panas Dio semakin tinggi, ia mengigau memanggil manggil ayahnya. Mbok Endang yang masih setia menjaganya merasa iba, hingga akhirnya ia memutuskan untuk memberitaukan kepada tuannya.

"Ada apa mbok tengah malam begini?" Tanya Putra saat membuka pintu, terlihat ia sangat lelah dan mengantuk. "Itu tuan, den Dio panasnya semakin tinggi dan terus panggil tuan." Jawab mbok Endang membuat Putra menjadi kesal.

"Kirain hal penting apa, rupanya cuma tu anak doang? Nyusahin aja. Hubungi dokter mbok, dan jangan ganggu tidur saya lagi." Titah Putra.

"Tapi tuan, sepertinya den Dio butuh tuan. Tolong tuan untuk lihat keadaannya sebentar saja." Pinta mbok Endang yang di abaikan oleh Putra, karena ia kembali masuk ke dalam kamar dan menutup pintu dengan sedikit kencang. Si mbok cuma mengelus dadanya berusaha untuk tidak marah kepada tuannya yang mengabaikan anak kandungnya sendiri sedari kecil.

Mbok Endang bergegas menghubungi dokter keluarga Putra, setelah datang dan di periksa dokter tersebut menyerahkan resep obat untuk Dio.

"Pak Putranya kemana mbok? Gak jagain anaknya?" Tanya dokter tersebut, membuat si mbok gak tau harus menjawab apa.

"Papa lagi sibuk kerja om dokter, Dio minta mbok Endang untuk gak hubungi papa takutnya Dio ganggu." Celetuk Dio yang rupanya baru saja bangun.

"Jangan seperti itu Dio, papa kamu harus tau keadaan mu. Kamu kan anak semata wayangnya, jadi papa kamu harus tau." Tutur dokter tersebut lalu berpamitan untuk pulang.

Dio sangat ingin papanya berada disini, tapi Dio tau kalau itu hal yang mustahil. Pagi ini Dio masih berbaring di atas kasurnya, dari lantai dua tersebut, ia dapat mendengar suara ayahnya yang sedang bercengkrama dengan Yoga.

"Kapan Dio bisa berubah seperti Yoga? Biar papa bisa lihat Dio dan Dio bisa ngobrol sama papa seperti itu." Monolog Dio dengan menghela nafasnya.

Tiba-tiba muncul sebuah ide dimana ia bisa mendapatkan perhatian ayahnya untuk saat ini. Karena keadaannya yang sakit ini membuatnya ingin mendapatkan perhatian dari ayahnya serta ingin tangan besar Putra membelai lembut surainya.

Dio meraih ponselnya yang berada di nakas samping tempat tidurnya. "Halo nek..." Ujar Dio ketika Dewi menjawab panggilannya tersebut.

"Tumben cucu nenek hubungi nenek jam segini, emangnya kamu gak sekolah?" Tanya Dewi. "Dio lagi sakit nek, panas banget. Nenek sibuk gak? Kalau gak datang kesini nek, Dio butuh nenek." Setelahnya panggilan itu berakhir ketika Dewi bilang akan datang sekarang juga.

Sesampainya Dewi di rumah Dio, Dewi langsung masuk ke kamar si cucu untuk melihat keadaannya.

"Bagaimana sayang keadaan mu? Apa yang kamu rasa, hmm?" Tanya Dewi dengan lembutnya, Dio langsung memeluk erat Dewi dengan bergumam "Dio kangen nenek." Dewi mengusap lembut punggung Dio dengan penuh kasih sayang.

"Nenek juga kangen Dio, dari kapan kamu sakit? Papa mu sudah tau?" Dio menggelengkan kepalanya seraya berkata. "Semalem Dio sakitnya, papa belum tau soalnya Dio gak berani bilang. Papa pulang kerja pasti capek kan nek, jadi Dio diem aja gak mau nyusahin papa."

"Aduuh cucu nenek perhatian banget sama papanya, ya udah nenek temenin kamu sampai kamu sembuh." Dio berbinar binar, idenya berjalan dengan sempurna. Jika ada neneknya disini, ayahnya pasti mau tidak mau akan merawat Dio. Meski hanya sesaat dan itu hanya akting belaka, setidaknya Dio merasa senang karena ayahnya akan perduli dengan dirinya.

"Beneran nek? Nenek akan temenin Dio?" Dewi tersenyum dengan menganggukan kepalanya.

"Asyiiik... Kalau gitu jangan cepet cepet deh sembuhnya, biar nenek lama disini temenin Dio hehehe..."

"Gak begitu juga dong sayang, Dio harus cepet sembuh. Sakit itu kan gak enak."

"Iya nek, Dio cuma bercanda kok."

Setelah Dio makan siang dan meminum obatnya, Dio pun terlelap tidur. Panasnya masih tinggi tapi tidak setinggi semalam. Dewi keluar dari kamarnya Dio dan mendial nomer Putra.

"Ada apa ma? Putra baru kelar makan siang dan mau siap siap meeting." Ujar Putra dari balik ponsel Dewi.

"Batalin meeting kamu dan segeralah pulang ke rumah, Dio lagi sakit." Serunya. Putra menampakkan kekesalan, untungnya saja Dewi tidak dapat melihatnya. "Dio sakit ma? Beneran?" Putra berakting seakan tidak tau menau soal tersebut.

"Iya beneran, buat apa mama bohong soal begituan sih. Pokoknya sekarang kamu harus pulang!" Titah Dewi merupakan mutlak dan tidak bisa di tolak.

"Bagaimana keadaan Dio ma?" Tanya Putra setibanya di rumah. "Badannya masih panas, 39°, sekarang lagi tidur." Jawab Dewi yang kini sedang membaca tabloid di ruang tengah. "Ganti baju sana terus ke kamar Dio, jagain dia, takut kebangun minta minum." Lanjut Dewi dan Putra segera melakukannya tanpa menunggu lama.

Setelah berganti pakaian Putra segera masuk ke dalam kamar Dio, ia mendapati Dio yang baru saja terbangun.

Wajah Dio berseri-seri, kini ayahnya berada di dalam kamarnya, sesuai dengan rencana yang ia buat.

"Papa kok udah pulang? Tumben." Tanya Dio polos. Lebih tepatnya pura-pura polos. Putra menunjukkan wajah marahnya dan menghampiri anaknya tersebut.

"Gara-gara kau, aku harus membatalkan meeting penting dan kemungkinan bisa di batalkan!

Puas kamu hah, sudah membuat ku hancur karena Zahra meninggal, dan sekarang pekerjaan ku juga ingin kau hancurkan!" Seru Putra dengan suara yang ia pelankan, takut bila Dewi mendengar.

"Bukan maksud Dio seperti itu pa, maafkan Dio karena sudah buat papa merasa hancur." Dio menjeda ucapannya, dia mulai merasa muak, dia tidak ingin di salahkan lagi. Karena bukan Putra saja yang hancur, tapi Dio juga hancur. Mungkin lebih hancur dari Putra. Melihat dengan jelas bagaimana Zahra di tabrak mobil, mendengar kabar bahwa ibunya meninggal, dan bahkan di salahkan oleh ayahnya atas meninggalnya Zahra. Bukan hanya itu saja, Putra berkata lebih baik dirinya yang mati bukan Zahra.

"Tapi bukan papa saja yang merasa hancur, Dio juga pa! Dio butuh papa untuk menenangkan Dio, Dio butuh papa untuk Dio bersandar dan menghilangkan mimpi buruk yang setiap malamnya menghantui tidur Dio! Tapi papa terus menyalahkan Dio! Sebenarnya kesalahan Dio itu apa pa? Sejak dulu, sejak Dio masih kecil, papa selalu mendiamkan Dio, tidak pernah mau anggap Dio ada. Dio slalu berusaha agar papa melihat Dio, negur Dio, dan akui Dio.

Apa pun Dio lakukan untuk itu semua, bahkan sampai Dio membuat masalah agar papa mau marahi Dio. Tapi nyatanya, Dio gak pernah bisa dapetin itu semua. Kenapa pa? Bilang sama Dio salah Dio dimana? Katakan ke Dio, apa yang harus Dio lakuin agar papa mau akuin Dio sebagai anak papa!

Mama bilang, kalau papa tidak suka dengan anak kecil jadi Dio harus sabar sampai Dio besar dan barulah papa akan lihat Dio.

Dan Dio slalu sabar hingga saat ini! Sekarang Dio bukan anak kecil lagi, tapi papa masih tidak mau juga lihat Dio. Jadi alasan sebenarnya bukan karena papa tidak suka dengan anak kecil, tapi papa tidak suka dengan Dio. Kenapa Yoga yang baru saja hadir dalam kehidupan papa bisa membuat papa sangat menyukainya, sedangkan Dio yang anak kandung papa gak. Sebenarnya salah Dio itu apa pa? Bilang biar Dio tau." Dio meluapkan isi hatinya dengan air mata yang jatuh berguguran.

Namun seketika terdengar suara "Plaaak" di tengah-tengah kesunyian yang hanya ada isakan tangis Dio.

Tangannya ia coba untuk memegang pipi yang terasa berdenyut akibat tamparan tadi. Si pelaku tanpa bersuara apa pun hanya memandangi tangannya yang ia layangkan untuk sebuah tamparan.

Yaa, pelaku dari penamparan tersebut adalah Putra dan korbannya tak lain adalah anaknya, Dio.

Sebuah tamparan itu membuat Dio memandang tajam Putra, sorotan matanya mengandung amarah dan kebencian. Detik itu juga Dio memutuskan untuk menyerah, ia lelah berusaha agar Putra melihatnya. Dio merasa sudah cukup akan usahanya, untuk ke depannya dia tidak akan perduli lagi dengan sang ayah. Dio akan hidup semaunya, sebebasnya dan tidak akan melihat Putra lagi sebagai ayahnya, seperti apa yang dia lakukan kepada dirinya selama ini.

Setelah menampar, Putra terus memandangi tangannya dengan expresi terkejutnya. Ia tidak pernah menduga akan menampar anak kesayangannya itu, meski Putra masih belum menyadari bahwa jauh di lubuk hatinya ia sangat sayang dan mencintai Dio. Hatinya terasa sakit seperti tersayat, sebenarnya apa yang sudah dirinya lakukan hingga menampar anaknya?

Kepingan ingatan masa lalu tersusun dalam benaknya, layaknya sebuah puzzle yang sedang ia coba untuk rangkai. Serta keluhan anaknya yang di ucapkannya tadi.

Dio benar, sebenarnya apa kesalahan anaknya itu hingga ia harus terluka karena di abaikan oleh egonya. Ego yang sangat tinggi karena tidak menyukai anak kecil, padahal Dio itu merupakan anak kandungnya, buah hatinya bersama dengan Zahra istri tercintanya. Kenapa dia tidak pernah mencoba mendekatkan diri kepada Dio? Kenapa setelah sekian lama, dan setelah ia menamparnya, dirinya baru tersadar akan kesalahan yang selama ini ia perbuat?

Putra melirik Dio, ia terkejut melihat tatapan dari sang anak. Ia menduga bahwa Dio telah membenci dirinya, apa masih sempat bagi dirinya untuk meminta maaf kepada sang anak dan meminta kesempatan untuk memperbaiki kesalahan yang sudah ia buat selama empat belas tahun ini?

Ckleeek... Pintu kamar Dio terbuka dan menampilkan Dewi dari baliknya. Pada saat itu Putra hendak menyentuh pucuk kepala sang anak, namun di tangkisnya dengan sangat kuat. Dewi yang baru datang menjadi bingung kenapa cucunya bersikap kasar kepada ayahnya sendiri? Bukankah selama ini Dio begitu menghormati dan sayang dengan Putra? Sebenarnya apa yang sudah terjadi beberapa menit yang lalu?

"Dio kenapa sayang? Kok kasar gitu sama papa, hmm?" Tanya Dewi mendekatkan dirinya ke Dio. "Lah kok kamu nangis sih? Ada apa? Cerita sama nenek." Dio hanya diam dan kembali membaringkan tubuhnya di atas kasur tanpa menjawab pertanyaan Dewi. Lalu Dewi menatap Putra untuk mencari jawabannya.

"I-itu... Dio bilang katanya pusing banget makanya dia sampai nangis." Putra berbohong, dia merasa tidak mungkin untuk bercerita yang sebenarnya kepada Dewi.

Sore pun tiba, Dewi mendapatkan panggilan dari karyawan butik miliknya. Mau tidak mau Dewi harus bergegas kesana sekarang juga.

"Dio, nenek harus pergi ke butik dulu ya nanti kalau urusan nenek sudah selesai nenek balik lagi kesini." Ucap Dewi kepada Dio.

"Iya nek... Nenek pergi naik apa?" Tanya Dio lalu meminum air yang tadi di bawakan oleh Dewi.

"Naik taxi sayang." Jawab Dewi dengan tangannya yang mengusap lembut surai Dio. "Minta anterin papa aja nek, papa kan ada di rumah. Sekalian aja minta di tungguin." Usul Dio. "Kamu kan lagi sakit, biar papa jagain kamu."

"Kan ada mbok Endang, lagi juga nenek perginya gak sampai satu hari ini. Udah minta anterin papa aja nek."

"Ya sudah kalau gitu, nenek pergi dulu ya sayang. Kamu nanti mau di bawain apa?" "Martabak keju nek." "Ok kalau gitu, kamu istirahat ya Dio."

Tak lama dari perginya Dewi dan Putra, Dio turun ke bawah lebih tepatnya ruang santai untuk menonton televisi. Ia merasa bosan seharian berada di dalam kamar meski di kamarnya ada televisi dan juga ps.

Tidak terasa kini sudah pukul tujuh malam. Di depan kediaman Putra ada tiga orang yang berpenampilan sangat mencurigakan yang terekam pada cctv di rumahnya, namun sayangnya tidak ada seorang pun yang sedang mengawasi cctv tersebut.

"Sudah siap? Ayo!" Ujar salah satu dari mereka, yang kemudian masuk ke dalam rumah Putra dengan pistol di tangan mereka.

"Jangan bergerak dan turuti perintah kami!" Ancam seorang yang berpakaian mencurigakan, kini tengah menempalkan pistolnya ke arah kepala Dio yang sedang asik berbaring nonton televisi.

Dio tidak melawan, ia hanya menuruti perintahnya serta memantau keadaan yang sedang terjadi sekarang. Si mbok ikut duduk di samping Dio dengan sangat ketakutan. Lalu yang membawa mbok Endang pergi menuju kamar Putra beserta salah seorang dari mereka. Sedangkan satu lagi sedang mengawasi mereka berdua. Dio merasa ini kesempatan untuk melumpuhkan orang yang di hadapannya itu. Dio segera menerjang namun orang itu menyadarinya dan menghindar dengan mudah. Meski Dio pandai beladiri namun ini pertama kali baginya melawan seseorang yang membawa senjata.

Sebuah pukulan melayang mengenai kening Dio yang membuat darah kental mengalir begitu saja.

"Diam! Dan jangan melawan bocah!" Bentaknya yang di duga adalah perampok.

Kedua teman dari perampok itu datang, "Ayo cabut, kita sudah dapat banyak uang dan juga ini..." Perampok itu mengeluarkan sebuah kotak, lalu di bukanya dimana isinya adalah perhiasan emas yang sangat banyak. Tentu Dio tau kalau itu milik almarhumah ibunya. Dio tidak mau milik ibunya di bawa para perampok. Ia berdiri mencoba merebut kotak tersebut dengan sekuat tenaga, mengabaikan rasa pusing pada kepala akibat pukulan dari pistol yang ia terima sebelumnya. "Hei cepatlah!" Ujar seorang lagi yang berjalan lebih dahulu dengan membawa tas punggung yang sudah terisi uang dari brankas Putra di dalam kamarnya.

Saat bersamaan Putra sedang berjalan masuk ke dalam rumah dan bertemu dengan perampok yang tadi berjalan lebih dulu. Otomatis Putra segera menghajarnya, apa lagi ia melihat anaknya sedang berusaha merebut kotak perhiasaan milik mendiang istrinya. Emosi Putra semakin mencuat, dirinya dan perampok itu sedang beradu. Dewi yang berada di belakang Putra dan melihat itu segera lari keluar setelah Putra meminta ibunya untuk pergi dan memanggil polisi.

Di depan rumahnya Putra, Dewi berteriak hal yang sama berulang ulang kali. "Tolong! Tolong! Tolong!" Setelah ada beberapa warga yang datang, Dewi mengatakan bahwa ada perampok di dalam rumahnya. Seorang warga segera menghubungi polisi, warga wanita berusaha menenangkan Dewi yang tengah panik dan ketakutan.

Warga lainnya yang tentunya laki laki semua, hendak masuk ke dalam rumah Putra dengan membawa beberapa peralatan yang menurutnya cukup untuk meringkus para perampok di dalam sana yang Dewi tidak ketahui ada berapa jumlahnya dan tidak tau bahwa mereka membawa senjata api yang berupa pistol.

Tinggal beberapa langkah lagi mereka masuk lalu terdengar suara yang cukup keras di daun telinga mereka, "Dooor...". Tentu semuanya tau kalau itu adalah suara pistol, dan mereka sedikit lebih berhati-hati untuk masuk ke dalam.

Beberapa detik kemudian, tiga perampok itu lari keluar dengan panik namun berhasil di cegah para warga dan ketiganya terkena pukulan dari mereka semua. Kepanikan para perampok membuat mereka tidak mengetahui bahwa warga tengah mengepung di depan rumah tersebut.

Pistol di tangan ketiga perampok berhasil di singkirkan, lalu dengan penuh semangat warga menghakimi tiga perampok itu hingga polisi datang. Dewi segera masuk ke dalam rumah, ia cemas terlebih mendengar tembakan tadi. Sosok pertama yang di lihat Dewi adalah anaknya, Putra, tengah berlutut dan mematung serta air mata yang berguguran dari kedua matanya. Dewi mencoba melihat kemana arah mata anaknya itu melihat, Dewi pun ikut syok dan terjatuh di samping anaknya itu. Darah yang terus mengalir keluar serta ketidak berdayaan dari sosok itu membuat para orang dewasa menangis hebat, ya... Dio merupakan korban penembakan perampok tadi.

Dua orang polisi masuk ke dalam untuk menemui korban perampokan tersebut, untuk memintanya ikut ke kantor menceritakan kronologinya.

Ke dua polisi itu terkejut karena adanya korban, entah apakah anak itu masih hidup atau tidak.

"Sudah memanggil ambulance?" Tanya seorang polisi itu dan mbok Endang lah yang menjawab. "Sudah, tadi saya segera menghubungi ambulance." Setelah ambulance datang, Dewi dan Putra ikut serta menemani Dio menuju rumah sakit. Sedangkan polisi mengundurkan waktu untuk meminta keterangan dan dengan mobil dinasnya, mereka ikut serta menuju rumah sakit. Tiga perampok itu sudah di bawa ke kantor polisi dengan mobil yang berbeda, dan mbok Endang ia hanya di rumah untuk merapikan kekacuan tadi serta berdo'a untuk keselamatan Dio.

Oprasi masih berjalan, Dewi yang sudah menghubungi suaminya pun sudah datang ke rumah sakit dengan ke dua anaknya.

Putra sangat kalut sekali, ia takut harus kehilangan harta berharganya. Sudah cukup bagi dirinya untuk kehilangan Zahra dengan sangat cepat, ia berharap dan berdo'a agar Dio tidak meninggalkannya juga. Putra harus meminta maaf kepada sang anak dan menebus kesalahan yang selama ini ia perbuat. Putra kini sadar akan kejahatannya dan betapa penting Dio dalam kehidupannya. Putra kembali mengingat kejadian sebelumnya dan bercerita kepada keluarganya.

Flashback...

Di saat Putra asik bertarung dengan perampok yang di hadapannya, dan perampok tersebut mulai goyah karena bela dirinya tidak sehebat Putra, sementara pistol di tangannya sudah melayang jauh. Dio pun masih berusaha untuk mengambil kembali kotak perhiasan milik Zahra, dan seorang perampok lainnya berusaha untuk membantu kawannya yang mulai tumbang oleh Putra. Perampok itu mengeluarkan pistolnya dan di arahkan pada Putra yang berdiri membelakanginya, Dio yang melihat hal tersebut segera menendang perampok yang ia lawan hingga tersungkur. Dengan sergapnya Dio mencoba meraih tangan perampok yang tengah membidik Putra.

Berhasil di raihnya namun tidak berhasil untuk menjatuhkan pistol dari tangan perampok, sehingga terjadi perebutan pistol. Lalu... "Dooor..." perampok itu menarik pelatuknya tanpa di sengaja hingga membuat peluru tersebut bersarang pada perut Dio. Seketika membuat Dio jatuh tergelatak dan tak sadarkan diri. Endang berteriak histeris, sedangkan Putra mematung melihat darah segar mengalir dari tubuh anaknya tiada henti. Kakinya terasa berat untuk mendekat, lidahnya pun terasa kelu untuk memanggil anaknya. Hanya air mata yang berhasil lolos dari kedua matanya tanpa permisi. Lalu datanglah Dewi yang tak lama kemudian di susul oleh dua polisi.

Flashback End...

Dua jam kemudian, lampu pada depan pintu ruangan oprasi tlah mati. Seorang dokter keluar dari balik pintu tersebut, dengan segera seluruh keluarga Pratama berkumpul ke arah sang dokter. "Bagaimana keadaan anak saya dok?" Tanya Putra, kecemasan dari semuanya masih belum lepas dari wajah mereka semua. "Anak anda sudah melewati masa kritisnya, hanya tinggal menunggu sadar. Tuan dan nyonya bisa melihatnya setelah di pindahkan ke ruang inap dan juga setelah pasien sadar. Saya permisi dulu." Dokter tersebut berlalu meninggalkan keluarga Pratama.

Semua keluarga Pratama melepaskan rasa cemasnya dan kini nampak begitu lega. Bahkan Dewi hingga menangis karena merasa senang nyawa Dio dapat tertolong.

Setelah Dio sadar, Putra masuk lebih dahulu menemui anaknya. Dio yang melihat Putra masuk membuang pandangannya ke arah lain.

Putra menarik bangku ke samping kasur Dio, hanya keheningan yang tercipta untuk beberapa saat.

"Apa itu sakit? Maafkan papa nak, karena sudah membuat kamu menderita dan tidak bisa melindungi kamu. Maafkan papa." Putra meneteskan air matanya dalam genggaman tangannya yang ia genggam pada tangan anaknya yang tidak ada saluran infus.

Dio hanya diam tidak menjawab apa pun, sempat sekali ia melirik ke arah Putra. Jauh di dalam hatinya Dio merasa senang karena ayahnya tidak terluka, dan ia juga senang karena Putra nampak menyesali perbuatannya selama ini yang slalu mengabaikan kehadirannya itu.

Jika saja rasa benci Dio tidak menjalar terlebih dahulu, sudah pasti dirinya akan segera memeluk Putra dengan air mata kebahagianya.

"Dio gak mau maafin papa?" Tidak ada jawaban dan Dio masih tidak mau menatap Putra. Hatinya terasa sakit, tapi Putra sadar ini tidaklah sesakit perasaannya Dio.

"Papa tau kesalahan yang papa lakukan, memang tidak mudah untuk mendapatkan maaf dari Dio. Tapi papa mohon dengan sangat, tolong berikan papa kesempatan untuk menebus semua kesalahan yang sudah papa lakukan selama ini." Masih tidak ada jawaban apa pun, Putra menghela nafas panjang. Ia tau ini bukanlah hal yang mudah, tapi Putra akan terus berusaha untuk mendapatkan maaf dari sang anak.

Beberapa hari kemudian, dalang dari perampokan waktu itu berhasil di tangkap. Putra, Dewi dan juga mbok Endang datang ke kantor polisi, sebuah tamparan di terima oleh si pelaku dari Putra dan juga dari mbok Endang. Yoga yang selama ini di anggap anak yang baik dan polos, tidak pernah ada yang menduga bahwa ia bisa sejahat itu. Mbok Endang merasa tidak enak hati kepada seluruh keluarga Pratama hingga akhirnya ia memutuskan untuk mengundurkan diri. Namun di tolak oleh Putra, karena mbok Endang sudah bekerja dengan keluarganya dalam waktu lama. Lagi pula yang salah adalah Yoga bukan mbok Endang.

Alasan Yoga melakukan perampokan dengan beberapa preman adalah, karena ia merasa bosan hidup miskin. Selama ibunya masih hidup, ibunya sangat keras terhadap dirinya. Ia hanya di kasih satu kali makan dalam satu hari, ia tidak bisa membeli jajanan layaknya anak lainnya. Dan ketika ia di bawa mbok Endang ke rumah Putra, ia mulai merasa tak puas hati meski Putra memperlakukannya dengan baik. Putra yang mendengar tentang kisah hidup Yoga, ia menjadi simpati dan memperlakukannya seperti anaknya sendiri.

Waktu terus berlalu, Dio sudah di bolehkan untuk pulang. Sesampainya di rumah, mbok Endang memohon maaf atas nama Yoga. Dio sudah mengetahui hal itu karena Putra menceritakannya kepada dirinya saat masih berada di rumah sakit meski Dio selalu mengabaikan apa pun yang di bicarakan olehnya.

Keesokan harinya saat Dio hendak berangkat sekolah, Putra mengajaknya untuk berangkat bersama. Tanpa jawaban Dio masuk begitu saja ke dalam mobil ayahnya dan hanya diam saja sepanjang perjalanan, bahkan setibanya di sekolah Dio hanya diam saja meninggalkan Putra dan bebaur dengan murid lainnya untuk masuk ke dalam sekolah.

Putra tidak marah, namun ia tersenyum senang setidaknya apa yang di katakannya di dengar oleh sang anak meski tidak ada jawaban. Sepulang sekolah Dio main ke rumah Eza dan bercerita tentang apa yang sudah terjadi terlebih lagi dengan Putra yang ingin memperbaiki hubungan dengan dirinya dan meminta maaf memohon agar dapat di beri kesempatan oleh sang anak.

"Ini hal yang sudah lama kamu inginkan bukan? Lalu kenapa tidak di maafkan saja papanya?" Tanya Bela yang sedang membuat kue. Eza memerhatikan Dio yang hendak bicara. "Sebelumnya papa menampar Dio saat Dio curahin semuanya. Jadi Dio marah sama papa dan sekarang Dio benci sama papa." Tuturnya.

"Jangan seperti itu Dio, sekarang papa mu sudah menyadari kesalahannya. Itu hal yang bagus kan, saran mama, lebih baik kamu maafkan papa mu dan jangan bersikap sama seperti apa yang sudah papa kamu lakukan sebelumnya. Dio yang paling tau gimana rasanya, itu hal yang menyakitkan kan? Apa Dio mau papa Dio rasain hal yang sama? Kalau iya, berarti Dio tidak ada bedanya dengan papa dong."

Dio nampak memikirkan ucapan Bela, itu hal yang benar tapi Dio terasa masih sakit hati. "Memang tidak mudah menghilangkan rasa sakit hati kita, tapi kalau Dio mencoba untuk memaafkan papa, dan Dio hidup rukun, lambat laun Dio pasti bisa melupakan rasa sakit itu karena hari-hari Dio di isikan dengan hal-hal yang menggembirakan. Saran mama, Dio harus mencoba untuk memaafkan papa Dio." Lanjut Bela seakan bisa membaca apa yang ada dalam pikiran Dio.

Dio masih diam sejenak hingga akhirnya ia mengirmkan pesan untuk Putra yang berisi.

"Belikan Dio halikopter remote control, ps terbaru, psp, dan pulanglah cepat usahakan sampai rumah jam tujuh malam tidak boleh telat dan bawakan martabak keju juga. Kalau papa bisa penuhi itu semua, Dio akan maafin papa. Dio tidak menerima alasan apa pun! Kalau tidak hari ini di penuhi, Dio tidak mau kasih kesempatan lagi untuk papa. Meski hari ini ada meeting penting, Dio tidak perduli. Pikirkan mana yang lebih penting untuk papa, Dio atau pekerjaan?! Satu lagi, jangan mengebut saat pulang nanti, berhati-hati lah di jalan karena Dio menanti papa di rumah. Dio sayang papa!"

Putra yang berada di dalam kantornya terseyum senang setelah melihat pesan dari anaknya itu. Ia melihat jam di dalam ruangannya, dan segeralah Putra meraih jas yang sedari tadi hanya menjadi pajangan di kursi kuasanya.

"Batalkan semua meeting ku hari ini, aku harus pulang sekarang!" Titah Putra kepada seketarisnya. "Tapi pak, hari ini ada meeting penting." Ujar seketaris tersebut. "Buat jadwal ulang! Hari ini kosongkan semua jadwal ku." Putra berjalan begitu saja menuju suatu mall untuk membelikan semua yang di inginkan anaknya dengan riang gembira. Tentu saja Putra membelikannya mainan yang sangat bagus dan mahal.

Usai berkeliling dan membeli semuanya, bahkan ada beberapa mainan lainnya yang tidak di minta ikut serta di belikannya. Dalam perjalanan pulang, Putra membeli martabak keju kesukaan Dio barulah ia menuju rumah pada jam tujuh kurang lima belas menit.

"Dio, papa sudah pulang dan belikan kamu banyak mainan termasuk yang kamu minta dan juga martabak keju." Ujar Putra saat masuk ke dalam rumah dan melihat sang anak sedang asik menonton televisi di ruang santai. Dengan tersenyum senang Dio menerima dan membuka tas belanjaan yang begitu banyak.

"Dio... Papa minta maaf ya sayang atas apa yang papa lakukan selama ini, papa sudah sangat jahat sama Dio. Sekarang papa tersadar, dan papa menyesali semua itu. Kejadian kemarin membuat papa takut kehilangan kamu nak. Tolong maafkan papa dan beri kesempatan untuk papa memperbaiki semua ini." Dio menghambur dalam pelukan Putra, menduselkan kepalanya pada dada sang ayah untuk mencari posisi ternyamannya.

"Iya pa, ayo kita buka lembaran baru. Dan papa harus janji sama Dio untuk menyayangi Dio mulai saat ini." Pinta Dio, Putra mengeratkan pelukannya kepada sang anak dan tak lupa dengan memberikan ciuman pada pucuk kepala Dio. "Ya papa janji! Terima kasih banyak Dio sudah mau memaafkan papa, terima kasih."

"Dan pada saat liburan sekolah nanti, Dio minta kita pergi liburan bersama, Dio harap papa bisa penuhin keinginan Dio ini karena sudah sejak lama Dio menginginkannya."

"As you wish Dio. Papa akan lakukan apa pun yang Dio mau sebagai penebusan kesalahan papa. Papa sayang sama Dio."

"Dio juga sayang sama papa."

Dan sejak saat ini, usaha Dio sedari dulu telah terwujud. Kehadirannya sudah di akui oleh ayahnya, dan untuk ke depannya sudah dapat di pastikan kebahagian Dio akan mengikis rasa sakit hati yang sudah memenuhi relung hatinya selama ini.

-End-