Suara tamparan itu cukup keras, namun karena hanya ada Dio dan Eza disana selain mbak kantin, tidak ada lainnya yang dapat mendengarnya. Beruntunglah mbak itu tidak menjadi pusat perhatian orang orang kantor, yang dapat di pastikan akan mempermalukan dirinya sendiri. "Kenapa ibu menampar ku?" Tanya mbak kantin itu kepada sang ibu yang rupanya ia lah pelaku dari penamparan tersebut.
"Minta maaf padanya sekarang!" Titah sang ibu membuat si anak bingung dan enggan melakukannya.
"Cepat minta maaf!" Kembali si ibu memerintahkan anaknya. "Untuk apa aku meminta maaf padanya? Aku tidak salah apa pun, justru anak anak ini yang salah bu! Mereka memakan banyak dan mau pergi begitu saja." Mbak kantin itu membela diri.
"Dio udah bilang bi kalau om yang akan bayar nanti, tapi mbak ini gak percaya sama Dio bahkan mbak ini mengejek baju yang Dio pakai sama menuduh orang tua Dio yang tidak pernah mendidiknya dengan benar." Dio mencoba membenarkan.
"Denger tidak ibu bilang apa? Minta maaf sama tuan muda Dio!" "Haaah?" Si anak nampak terkejut tidak percaya ketika ibundanya memanggil anak kecil dengan baju lusuh itu tuan muda. "Jangan bercanda bu!"
"Siapa yang sedangĀ bercanda! Tuan muda Dio anak dari tuan Putra. Cucu pertama dari pemilik kantor ini yang sudah sangat baik kepada kita. Cepat minta maaf!"
Dengan enggan mbak kantin itu mengulurkan tangannya dan berkata maaf kepada Dio. Sedangkan yang di mintai maaf hanya acuh menanggapinya, tangannya ia raih untuk memegangi tangan temannya dan menariknya untuk kembali ke ruangan kakeknya. Baru setengah jalan, mereka sudah bertemu dengan Rio. "Bagaimana om?" Tanya Dio penasaran begitu juga dengan Eza selaku anaknya Rio.
"Mulai besok om sudah mulai bekerja, terima kasih banyak Dio. Kalau bukan karena Dio mungkin sampai sekarang om belum juga keterima kerja." Seru Rio senang. Eza menghambur dalam pelukan ayahnya, Rio menyambutnya bahkan menggendong sang anak sembari menciumi kedua pipi serta kening anaknya itu.
"Terima kasih juga ya jagoan papa, karena do'a Eza papa kini keterima kerja." Lanjut Rio kepada Eza.
"Dio seneng, kalau om udah mulai kerja jadinya Eza gak pindah sekolah." Tutur Dio dan ia mendapatkan usapan lembut pada pucuk kepalanya.
"Ayo om antar kamu pulang." Dio menggelengkan kepala, "Dio di jemput mama om." Serunya.
"Ya sudah kalau gitu, om dan Eza pulang duluan ya." Dio dan Eza saling melambaikan tangan hingga mereka tidak dapat melihat satu sama lain.
Sambil menunggu Zahra datang, Dio pergi menuju ruangan papanya.
Di buka pintu tersebut tanpa mengetuknya terlebih dahulu, Dio mengintip sebelum akhirnya berjalan masuk ke ruangan Putra.
"Papa sudah makan siang?" Tanya Dio yang duduk pada bangku di depan meja ayahnya.
"Dio sekarang udah punya temen lho pa, namanya Eza. Yang tadi ketemu di lorong itu temennya Dio dan juga ayahnya Eza. Dio tadi minta kakek buat kasih kerjaan ke ayahnya Eza, soalnya Dio gak mau kalau sampai Eza pindah sekolah." Tidak ada tanggapan dari ayahnya, Putra masih asik bergelut dengan kertas kertas yang berada di mejanya.
"Dio pengen meluk papa, Dio pengen cerita banyak sama papa, Dio pengen main bareng sama papa." Lirih Dio yang berusaha menahan air matanya agar tidak terjatuh. Ayahnya berada tepat di hadapannya, tapi sang ayah terasa sangat jauh dari dirinya.
Keadaan menjadi hening, Dio hanya terus memandangi ayahnya yang sibuk bekerja hingga Zahra datang untuk menjemput.
Keesokan harinya sepulang sekolah, Dio bermain lagi ke rumahnya Eza. Di dalam kamar Eza, Dio mengembalikan baju yang kemarin ia gunakan dan juga memberikan Eza sebuah ponsel yang sama persis dengan miliknya. "Kemarin sepulang dari kantor, Dio pergi sama mama buat beli ponsel ini." Seru Dio. "Makasi banyak Dio." Kedua anak itu asik bermain ponsel. Dio mengajari serta menyuruh Eza mendownload berbagai macam game serta aplikasi lainnya. Hingga sore tlah tiba dan Zahra datang menjemput.
Beberapa tahun berlalu, kini Dio dan Eza sudah menduduki kelas delapan JHS di sekolah ternama. Mereka berdua masih berteman baik, dan salah satu dari mereka tidak ada yang berminat untuk mencari teman lainnya. Selain itu, Dio telah berubah banyak semenjak Zahra meninggal ketika ia berada di kelas empat ES. Terlebih lagi Putra menyalahkan Dio atas kematian Zahra, membuat Dio semakin tertekan.
Empat tahun yang lalu, pada saat Dio dan Zahra akan pulang dari taman hiburan. Dio melihat seekor anak kucing yang tengah terluka di jalanan. Tanpa mendengarkan apa yang di katakan Zahra, Dio berjalan menuju anak kucing itu yang tengah menjadi pusat perhatiannya.
Tanpa melihat sekitar, karena di pikirnya ia masih berada di jalan yang aman karena berada di pinggir trotoar. Dio berjongkok, ia berdiri dengan tumpuan kakinya yang sedikit berjinjit, ia terus mengusap anak kucing itu penuh dengan kasih sayang.
Zahra mulai menyadari bahwa anaknya tidak ada di sisinya, wanita cantik tersebut membuka lebar kedua matanya dan melihat sekeliling untuk mencari sang anak sembari berseru memanggil namanya. "Dio! Dio!" Terus secara berulang ulang kali.
Merasa namanya di panggil dengan suara yang tak asing, Dio melihat ibunya, lalu ia menggendong anak kucing tersebut untuk di unjukkan kepada sang ibu.
Kedua mata Zahra menangkap sang anak berada. Rupanya Dio berada di sebrang jalan, entah bagaimana caranya ia melewati jalanan itu hingga selamat. Zahra menghela nafas lega, dan hendak menghampiri sang anak. Namun Dio juga tidak sabar sehingga ia juga melangkahkan kakinya menuju sang ibu tercinta. Zahra membelalakkan matanya ketika melihat sebuah mobil melaju dengan cepatnya tepat di arah Dio.
"Dio awas nak...." Teriak Zahra berusaha berlari untuk menyalamatkan anaknya. Dio hanya diam mematung, wajahnya pucat dan air mata keluar begitu saja melihat mobil di hadapannya.
Si pengendara spontan membanting stirnya ke arah berlawanan, namun sialnya lagi si pengendara tidak dapat menghindari agar kecelakaan tidak terjadi. Tepat di depan mata Dio, ia melihat ibunya tekapar dengan darah yang mengalir dari tubuh Zahra dan itu sangatlah banyak.
Ketika si pengendara membanting stir, tepat disana ada Zahra dan ia pun tertabrak mobil tersebut. Kejadian itu terekam jelas di mata Dio, hal yang sangat mengejutkan bagi dirinya hingga ia jatuh pingsan.
Ambulance datang tak lama dari kejadian tersebut, membawa tubuh Zahra serta Dio. Perawatan segera di lakukan, keluarga Pratama semua berkumpul dengan cemas dan gelisah menanti ruang oprasi terbuka dan berharap mereka mendapatkan kabar baik setelahnya.
"Maafkan kami, kami sudah melakukan sebaik mungkin namun Tuhan berkehendak lain. Nyonya Zahra telah meninggal." Perkataan dokter tersebut membuat semua keluarga bersedih, namun Putra menyimpan amarah yang teramat besar kepada Dio. Jika bukan karenanya, Zahra masih tetap hidup.
Dua minggu tlah berlalu sejak meninggalnya Zahra, keluarga dari Putra dan juga dari Zahra memberi semangat kepada Dio.
Karna Dio hanya berdiam diri seakan jiwanya tidak ada di dalam raganya. Setelah di rumah Putra tidak ada siapa pun, Putra menajamkan matanya ke arah Dio dengan penuh amarah yang tersirat pada raut wajahnya. "Plaaak...." Suara tamparan yang cukup keras dapat terdengar di dalam rumah Putra.
"Gara-gara kau, Zahra meninggal. Dasar sialan, bajingan kau! Kenapa tidak kau saja yang mati hah?!" Putra sangat emosi, segala amarahnya ia luapkan dan ia lampiaskan ke anak semata wayangnya.
Berkali-kali Dio di pukul bahkan di tendang oleh Putra hingga ia batuk darah, Dio hanya diam pasrah menerima perlakuan dari sang ayah. Tanpa di sadari, kesadaran Dio kian menipis hingga ia tak sadarkan diri. Barulah Putra beranjak meninggalkan Dio yang tergeletak di dalam kamarnya. Mbok Endang segera menghampiri Dio di dalam kamarnya dan merawat luka luka di sekujur tubuhnya.
Tidak ada yang tau akan hal tersebut meski sudah empat tahun tlah berlalu, mbok Endang tidak berani mengadu ke pada Dewi atau pun Alan karena ia mendapat ancaman dari Putra. Sejak kejadian itu, Dio berubah jadi anak yang pendiam di saat berada di rumah atau pun lingkungan saudaranya. Tapi Dio jadi anak yang sangat nakal ketika berada di luar rumah. Bahkan di sekolahnya dia jadi anak pembuat onar, meski Eza sering kali menegurnya, Dio tidak mendengarkannya. Tapi mereka berdua tetaplah sahabat hingga kini. Eza dan keluarganya mengetahui kenyataan yang sebenarnya yang tengah di alami Dio, tapi mereka tidak bisa membuat Dio kembali seperti dulu.
Pada malam hari ini, Dio terbangun dari tidurnya. Ia hendak ke dapur karena merasa sangat haus. Namun langkah kakinya terhenti ketika melihat sosok ayahnya tengah tertidur di sofa ruang santai.
Dio menuju kamar ayahnya dan kembali lagi dengan membawa selimut untuk menyelimuti tubuh ayahnya. Tak lupa ia melepaskan sepatu Putra dan menatap ayahnya yang tengah tertidur dan di pastikan oleh penciuman Dio bahwa Putra habis meminum minuman alkohol.
Sejak Zahra meninggal, Putra sering kali pulang dalam keadaan mabuk.
"Papa, maafin Dio... Jangan diamin Dio selama ini, Dio butuh papa, cuma papa yang Dio punya sekarang. Apa yang harus Dio lakukan agar papa mau melihat Dio? Tolong pa... Bilang sama Dio apa yang harus Dio lakukan. Dio pasti akan melakukan apa pun yang papa inginkan, asalkan papa bisa melihat Dio dan akui keberadaan Dio sebagai anak papa." Gumam Dio dengan pilu, dan tak kuasa meneteskan air matanya.
"Kau yang seharusnya mati bukan Zahra. Melihat mu setiap hari hanya akan membuat ku kesal, dan slalu membatin kenapa kau tidak mati juga?" Ucap Putra entah apakah dia sadar atau tidak. Dia berkata dengan kedua mata yang masih tertutup.
"Papa ingin Dio mati?" Hati Dio seakan tersayat mengetahui kenyataan itu.
"Ya! Terus melihat mu membuat ku teringat ketika Zahra di makamkan. Kau anak sialan, seharusnya kau kan yang mati tapi kenapa jadi Zahra?!"
Tidak ada lagi yang di ucapkan oleh Putra dan Dio. Setelah mendengar keinginan ayahnya itu, Dio kembali ke kamarnya. Rasa haus yang tadi sangat mengeringkan tenggorokan, seketika hilang.
Dio tengah duduk di bangku meja belajarnya, ia menempelkan kepalanya di atas meja tersebut dengan tangan yang menulis pada selembar kertas, dan tulisan tersebut berisikan kata kata yang sama.
"Dio sayang papa." "I need you papa." Terus ia tulis hingga selembar kertas itu penuh akan kalimat tersebut.
Esok harinya saat berada di sekolah, Dio membolos pelajaran pertama dan memilih kumpul dengan para preman yang berada tak jauh dari sekolah. Ini bukanlah hal baru, sejak tahun lalu entah bagaimana caranya, Dio sudah bergabung dengan para preman itu. Meski Dio paling muda disana, tidak ada preman yang berani mengganggunya karena mereka tau kalau Dio ahli bela diri. Hal itu mereka ketahui ketika dulu ada yang ingin menghajar Dio, dan orang itu kalah dengan mudahnya.
Saat berkumpul, Dio tidak ikut merokok atau minum minuman beralkohol. Dio masih bisa menjaga diri untuk tidak menyentuh hal itu, hal yang menurutnya tidak baik untuk dirinya.
"Mati itu... Sakit tidak ya?" Monolog Dio di saat tengah berkumpul dengan para preman. "Loe ingin mati? Serius? Kita semua aja pengen tetep hidup, meski kita sampah masyarakat." Celetuk dari salah satu preman.
"Orang itu semalam bilang kalau gue lebih baik mati. Jadi apa ada cara untuk mati tanpa rasa sakit?" Para preman menatap Dio sembari berpikir, bagaimana cara untuk mati tapi tidak sakit? Hal yang mereka ketahui adalah mati dengan rasa sakit.
"Oiii kalian, orang orang dari blok selatan datang dan katanya ingin perang dengan kita!" Seru seseorang yang baru saja datang.
"Wah wah wah.... Nyalinya besar juga, kita terima tantangannya dan habisi mereka semua!" Ujar ketua dari kumpulan preman yang dekat dengan Dio. "Gue ikut!" Seru Dio.
"Lebih baik jangan, loe harus....." Belum usai mengucapkan kalimatnya, tiba tiba saja sudah ada beberapa orang yang datang di perkumpulan mereka. Dan hal tersebut membuat Dio ikut serta dalam pertarungan itu.
"Buaaakk...." Sebuah tongkat kayu tengah menghantam kepala belakang Dio di saat Dio sedang asik bertarung dengan dua orang di hadapannya.
Jatuh tersungkur dan membuat sasaran empuk pengroyokan, Dio tidak bisa melawan mereka, seakan pasrah menerimanya dan berharap jika hal ini bisa membuatnya mati seperti keinginan ayahnya.
"Oiii kabur, ada polisi!" Seru salah satu dari mereka. Seketika semuanya berlari tak tentu arah demi menyelamatkan diri sendiri dan tidak perduli dengan teman atau lawan.
Dio masih berbaring, kesadarannya makin menipis hingga tak sadarkan diri. Polisi yang melihat Dio segera melarikannya ke rumah sakit terdekat. Mencoba mencari tau nomer orang tuanya melalui ponsel yang terdapat pada tas sekolahnya.
Pada saat Dio berkumpul dengan para preman, Dio slalu menggunakan seragam sekolahnya dan tasnya tidak pernah ia lepaskan.
Tujuan Dio adalah, jika ada warga dekat sekolahnya melihat dan mengadu kepada kepala sekolah, otomatis pihak sekolah akan mencari tau siapa muridnya yang melakukan hal buruk tersebut. Membolos sekolah, berkumpul dengan para preman, sudah di pastikan pihak sekolah akan melaporkan hal tersebut ke orang tua murid tersebut. Itulah tujuan dari Dio, berharap pihak sekolah tau dan segera memanggil ayahnya untuk menghadap ke sekolah. Setelah itu pastinya Putra akan memarahi Dio, hal itulah yang di inginkan oleh Dio sejak lama.
Perhatian, kasih sayang, keperdulian, bahkan emosi Putra kepada Dio, itu yang sangat di inginkannya.
Tapi... Ketika Putra di hubungi oleh kepala sekolah karena absennya yang banyak kosongnya, Putra tidak pernah mau menanggapi.
Surat dari pihak sekolah untuk Putra agar datang ke sekolahan, selalu di abaikan olehnya.
Jadi... Jika saat ini polisi menghubungi Putra melalui telepon dari rumah sakit dan menjelaskan bahwa Dio menjadi korban dari para preman, tentu saja Putra mengabaikannya. Polisi merasa heran akan sikap Putra yang di duga olehnya bahwa Putra ayah kandung Dio. Karena pada ponsel Dio ada kontak yang bertuliskan Papa dan ada juga yang bertuliskan Papa Rio. Setelah menghubungi Putra, polisi tersebut mencoba menghubungi Papa Rio.
Setelah mendengar apa yang di katakan para polisi, Rio segera meminta izin kepada Fauzi yang merupakan atasannya beralasan bahwa anaknya masuk rumah sakit tanpa berani berkata jujur kalau keponakan Fauzi lah yang masuk rumah sakit.
Sesampainya di rumah sakit, Rio segera menuju ruangan Dio dimana ada seorang polisi yang kini tengah mengintrogasi Dio.
"Selamat siang, apa anda Rio orang tua dari Dio?" Tanya polisi itu.
"Ya benar, ada apa dengan anak saya ya pak?" Tanya balik Rio.
"Anak anda terlibat perkelahian dengan para preman, saat ini saya sedang bertanya kepada Dio untuk laporan." Tutur polisi tersebut.
"Dio, jujur sama papa Rio dan ceritakan sama pak polisi semuanya." Rio menatap Dio penuh kekhawatiran, ia membelai lembut pucuk kepala Dio.
"Dio lagi apes aja. Tadi Dio berniat bolos sekolah, tapi Dio malah ketemu sama para preman yang lagi tawuran. Terus ya gak sengaja Dio kena hajar mereka." Setengah dari ucapan Dio berbohong, Rio tau itu tapi untuk saat ini ia biarkan sampai polisi itu pergi.
Setelah selesai mencatat laporan, polisi itu undur diri.
"Papa Rio..." Dio bergumam dan mendapati Rio yang kembali mengusap lembut pucuk kepala Dio. "Padahal Dio sudah di hajar habis-habisan, tapi kenapa Dio gak mati juga? Apa Dio harus bunuh diri?"
Rio membuka lebar kedua matanya, ia terkejut dengan apa yang di katakan oleh Dio.
"Hush... Jangan bicara seperti itu. Kamu itu masih muda, perjalanan hidup mu masih panjang, kamu harus nikmatin masa muda mu dengan baik. Jangan sampai kamu salah langkah, dan Dio... Kamu harus berhenti bergaul dengan para preman itu! Ini demi kebaikan mu!" Jelas Rio.
"Tapi papa... Semalem papa pulang mabuk lagi dan papa bilang seharusnya Dio yang mati bukan mama. Papa bilang kalau Dio lebih baik mati." Dio merasa pilu.
"Papa mu itu sedang mabuk, semua ucapannya tidak benar. Jadi Dio jangan pernah dengerin omongan papa mu kalau sedang mabuk. Kamu mengerti kan nak." Dio hanya menganggukan kepalanya.
"Jangan sedih Dio, kamu masih memiliki papa, mama serta Eza yang akan slalu ada untuk mu." Lanjut Rio.
Beberapa hari kemudian Dio sudah di perbolehkan pulang, ia memasuki rumahnya dengan rasa malas yang menyelimuti. Namun ia di kejutkan mendapati sang ayah sedang tertawa dengan seorang anak laki-laki yang mungkin usianya sama dengan dirinya.
"Pa, Dio pulang." Ucapnya lirih. Putra menghentikan tawanya dan terlihat pada wajahnya yang terlihat tak suka. Putra melangkahkan kakinya menuju kamar tanpa berkata sepatah kata pun pada Dio.
"Kamu siapa?" Tanya Dio dengan kedua matanya yang sayu. Orang itu tersenyum ke arah Dio, berjalan mendekati dirinya serta mengulurkan tangan untuk berjabat tangan. "Aku Yoga, Ahmad Yoga. Anak dari mbok Endang yang bekerja disini."
Dio menyatukan alisnya, ia nampak bingung. "Bukannya anak mbok Endang sudah pada kerja semua?"
Yoga terkekeh, "Aku bukan anak kandung, aku keponakannya. Karena ibu ku sudah meninggal dan ayah ku entah kemana, jadi mbok Endang mengangkat ku sebagai anaknya dan aku akan bantu kerja disini sepulang ku dari sekolah. Oh ya satu hal lagi, aku sekolah dimana kamu juga sekolah dan kita juga satu kelas. Ayah mu yang membiayai sekolah ku, jadi mohon bantuannya ya Dio."
Dio hanya mengangguk malas dan meninggalkan Yoga begitu saja, tanpa ia sadari Yoga memberikan smrik di belakang Dio.
Esok harinya ketika hendak sarapan, kursi yang biasa Dio gunakan telah di tempati oleh Yoga. "Maaf Yoga, ini kursi ku bisakah kau pindah." Dio bersuara dengan selembut mungkin, karena ia tidak mau jika ada keributan jika ia meninggikan suaranya.
Suara sendok yang di taruh di atas meja kaca itu terdengar keras, Putra menatap tajam Dio dan dapat di pastikan bahwa Putra tengah marah saat ini.
"Ada begitu banyak kursi kenapa kau harus mempermasalahkannya?" Ketus Putra. "Tapi pa, Dio kan..." Belum selesai Dio berkata, Putra telah mengeluarkan suaranya memotong perkataan Dio.
"Yoga, lebih baik kita pergi sekarang. Selera makan ku telah hilang."
Yoga menghentikan makannya dan bersikap begitu manis. "Dio tidak di ajak tuan?" Yoga memandang Dio sendu.
"Buat apa kau perdulikan anak brandalan sepertinya? Dan sudah ku bilangkan kalau panggil aku papa, anggap aku seperti papa mu mulai sekarang. Papa lebih suka dengan anak yang baik, penurut, pendiam, dan kalem seperti mu.
Tidak seperti anak itu... Mungkin di kiranya papa tidak tau kelakuannya di luar sana. Bergaul dengan para preman, membolos sekolah dan banyak hal buruk lainnya. Bukannya membuat papanya bangga malah membuat papa kesal. Lihat saja itu tubuhnya, penuh luka seperti itu. Habis berkelahi sama para preman, biar apa coba kaya gitu? Memuakkan!"
Yoga menghadap ke arah Putra dengan wajah polosnya, ketika Putra mulai berjalan... Yoga menatap Dio sejenak dengan menyunggingkan senyumannya.
Ada rasa sesak di dadanya, namun ia abaikan. Ucapan Putra yang berkata "Papa lebih suka dengan anak yang baik, penurut, pendiam, dan kalem" terus terlintas di benaknya.
"Jadi papa suka anak yang seperti itu? Berarti Dio harus bisa seperti apa yang papa inginkan agar papa bisa melihat ke Dio. Akhirnya... Kesempatan ini datang juga, Dio senang sekali." Ucap Dio senang.
Saat berada di sekolah, bangku belakang Dio yang selama ini kosong kini tengah terisi dan di tempati oleh Yoga. Mereka berada di barisan belakang dekat dengan jendela. Yoga kembali menyunggingkan senyuman kepada Dio dan Dio membalas dengan senyuman manisnya membuat Yoga berdecak kesal.
Saat jam pelajaran di mulai, Dio sama sekali tidak memperhatikan apa yang di katakan oleh guru. Ia hanya memandangi luar jendela, Yoga terlihat kesal. Bagaimana bisa anak di hadapannya mengabaikan penjelasan guru yang di katakan sang guru akan keluar pada ulangan minggu depan.
Pelajaran berganti, Dio lagi lagi tidak memperhatikannya dan kini tengah bermain game pada ponselnya yang ia taruh di laci meja.
"Dio jawab pertanyaan di papan tulis ini." Titah sang guru, Yoga tersenyum jahat. Ia merasa ada hal yang bisa ia laporkan pada Putra dan membuat Dio habis di marahi. Namun senyuman itu mendadak luntur karena Dio berhasil menjawab semua pertanyaan dengan benar, mudah dan cepat. Yoga nampak tak habis fikir, bagaimana bisa Dio menjawab sementara sedari tadi ia hanya bermain game.
Ketika jam istirahat, Yoga membuntuti Dio yang sedang asik makan di kantin bersama dengan Eza.
Tiba-tiba dua orang siswa menggunakan seragam SHS menghampiri Dio dan Eza. Di sekolahan elite ini memang ada gedung SHS yang berada di samping JHS.
Yoga sangat penasaran dengan apa yang mereka lakukan disana dengan membawa beberapa buku. Terlihat Dio nampak enggan menanggapi dua orang itu, sedangkan Eza hanya tertawa ketika dua orang siswa SHS nampak memohon kepada Dio. Yoga ingin bertanya kepada orang lain atau menghampiri mereka dan bertanya langsung, namun gengsi yang besar menyurutkan keinginannya dan hanya melihat Dio dari jauh.
"Jadi seperti ini caranya, apa kalian sudah mengerti?" Tanya Dio kepada dua siswa SHS tersebut. "Ya kami mengerti, kalau kau yang mengajar itu lebih mudah di pahami." Seru salah satunya. "Paaak..." Suara pelan dari pukulan buku yang di pukul kepada kepala dua murid SHS disana, dan pelakunya adalah guru olah raga JHS yang terlihat masih sangat muda.
"Kalian lagi... Apa kalian tidak malu bertanya pada adik kelas yang bahkan belum masuk SHS, hmm?" Tanya guru tersebut. "Untuk apa malu? Dio jelas sangat pintar dan cara mengajarinya sangat mudah di pahami." Ujar murid SHS tersebut. "Kalau begitu traktir Dio makan sebagai ucapan terima kasih, tentu saja jangan lupakan untuk mentraktir ku juga."
"Itu namanya pemalakan pak, ada juga bapak yang traktir kami yang merupakan murid bapak." Keluh salah satu siswa SHS.
"Muridku disini Dio dan Eza, kalian bukan. Dan kalian sudah meminta bantuan pada muridku, lalu apa salahnya kalian traktir kami?" Dio tersenyum mendengar perkataan guru olahraganya itu dan ikut serta menimpali. "Jika kalian tidak mau mentraktir kami bertiga, Dio akan datang ke rumah kalian dan menangih biaya les kalian ke orang tua kalian."
Kedua siswa SHS itu menghela nafas panjang dan dengan terpaksa mentraktir mereka bertiga.
"Good job Dio, kebetulan bapak lagi bokek saat ini. Kalau begitu bapak akan pesan yang banyak." Tutur guru olah raga itu. "Jangan sungkan-sungkan pak, pesan apa pun yang bapak mau." Dio tersenyum.
"Hei Dio... Jangan berkata seperti itu, yang mengeluarkan uang itu kami!" Protes siswa SHS.
"Sudahlah, besok Dio akan mengajari kalian lagi sebanyak apa pun itu dan batas waktunya hanya dua jam." Tawar Dio membuat dua siswa SHS itu berbinar binar.
Pasalnya kedua siswa SHS itu merupakan murid dengan prestasi di bawah rata-rata, mereka terancam tidak akan naik kelas jika nilainya tidak membaik. Mereka berdua di kenal murid bermasalah dan mereka bergaul juga dengan Dio. Itu sebabnya mereka tau kalau Dio merupakan anak yang sangat pintar, ketika mereka bolos sekolah Dio membuka buku tugas keduanya dan di kerjakan Dio untuk membunuh waktu.
Dan mereka berempat sangat dekat dengan guru olahraga ini karena guru itu tidak pernah memarahi mereka ketika mereka berbuat onar kecuali Eza yang masih menjadi murid teladan.
Guru olahraga itu berbeda dengan guru lainnya, beliau lebih memahami murid-muridnya dengan mengakrabkan diri dan bersikap layaknya teman. Hal itu lah yang membuat dua siswa SHS, Dio dan Eza sangat mengagumi guru olahraga tersebut.
Waktu berputar dengan cepat hingga bel pulang berbunyi. Dio segera menghampiri Eza ke mejanya yang berada jauh dari mejanya. Lalu mereka pulang sekolah bersama menuju rumah Eza.
"Mama kami pulang." Seru Eza dan Dio bersamaan. Dio memanggil orang tua Eza dengan sebutan mama dan papa, itu permintaan langsung dari Bela dan Rio sejak beberapa hari Rio bekerja di kantor kakeknya. Dio bercerita kepada Zahra waktu itu dengan perasaannya yang sangat bahagia, hingga Zahra ikut memutuskan agar Eza juga memanggilnya mama.
"Kalian sudah pulang? Istirahat saja dulu sana, makan siang sebentar lagi siap." Teriak Bela dari dapur.
Eza dan Dio menghampiri Bela, mereka mencium tangan Bela sebelum akhirnya menuju kamar untuk istirahat sejenak.
Dio segera menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang Eza serta bergumam yang dapat di dengar oleh Eza yang kini tengah berganti baju. "Argh lelahnya."
"Seharian ini kerja mu hanya menatap luar jendela, bermain game, dan juga tidur, dan kau merasa lelah?" Eza mencoba mengingati perihal apa saja yang Dio lakukan dari masuk sekolah hingga pulang. Tentu saja Dio membela dirinya. "Melakukan itu semua juga lelah tau, Eza pikir tidur itu tidak lelah? Lelah kan!"
"Ya ya ya terserah apa kata kamu aja."
"Eza, Dio, makan siang sudah siap nih." Seru Bela dari depan kamar anaknya. Tanpa berlama-lama Eza dan Dio menuju meja makan.
"Waah udang goreng tepung kesukaan Dio. Makasi banyak ma, huwaaa ada brokoli juga. Mama Bela emang the best." Puji Dio karena menu makan siang makanan kesukaan Dio.
"Farah belum pulang ma?" Eza menanyakan Farah yang merupakan adiknya, saat ini Farah berada di kelas empat ES. Bela duduk di bangku lalu ia menjawab, "Lagi main di sebelah." Setelah itu mereka bertiga makan siang bersama.
Saat usai makan... "Hari ini kamu keliatan seneng banget, ada apa Dio? Cerita dong sama mama." Bela menyadari bahwa Dio terlihat sangat senang dan tidak seperti hari yang sudah-sudah, yang selalu terlihat sedih meski di sembunyikan dengan tawa dan candanya.
"Ah iya bener, aku juga tadinya mau tanya tapi lupa. Di sekolah juga Dio tumben gak buat olah ma, seharian ini Dio anteng aja di kelas." Eza menimpali. Sedangkan yang di bicarakan hanya tertawa kecil.
"Kemarin pas Dio pulang dari rumah sakit, rupanya mbok Endang bawa keponakannya dan namanya itu Yoga. Eza tau murid baru yang duduk di belakang Dio? Nah itu dia orangnya." Tutur Dio namun di potong oleh Eza.
"Anak sombong itu? Hanya keponakan pembantu saja tapi laganya udah kaya anak orang kaya." Bela memukul kepala anaknya dengan pelan. "Tidak boleh bicara seperti itu, siapa yang mengajari Eza bicara kaya gitu, hmm?"
"Maaf ma, tapi semua temen di kelas banyak yang gak suka sama itu anak karena laganya kaya anak konglomerat. Dia itu anak baru tapi tukang perintah. Apaan aja di komenin dengan pandanganya yang jelas-jelas sangat buruk, kalau tidak di turuti yang ada dia bekoar-koar untuk menghina."
Dio mengedipkan mata nampak tak percaya. "Tapi di rumah Yoga anak yang baik, papa bahkan memujinya dan sangat menyukai Yoga. Dan yang buat Dio seneng tuh karena papa bilang kalau papa suka sama anak yang baik, penurut, pendiam, dan kalem seperti Yoga. Jadi Dio pikir kalau Dio harus berubah sikap seperti Yoga itu, agar papa melihat Dio. Setelah bertahun-tahun lamanya, akhirnya Dio tau harus bersikap apa untuk bisa di akui papa. Dan hal lainnya, tadi pagi papa negor Dio dong gara-gara Yoga duduk di bangku tempat Dio saat makan."
'Bermuka dua.' Batin Eza dan Bela.