Chereads / I Need You, Papa / Chapter 4 - Dio Pratama

Chapter 4 - Dio Pratama

Keesokan malam, Silvia beserta Alan baru saja tiba di rumah sakit dimana Zahra di rawat. "Hai angel..." Sapa Silvia yang memasuki ruangan Zahra. "Mom!" Ujar Zahra senang dan Alan yang berada di belakang Silvia ikut serta menyapa sang anak, "Hai baby..." "Dad!" Seru Zahra.

Secara bergantian Silvia dan Alan memberikan ciuman pada kedua pipi Zahra, lalu Putra yang berada disana mengulurkan tangannya untuk mencium tangan ke dua orang mertuanya itu.

"Bagaimana keadaan mu angel?" Tanya Silvia yang duduk di bangku sebelah kasur Zahra. "Lebih baik mom, aku bahkan melihat anak ku di ruangannya tadi."

"Keadaan anak mu bagaimana baby?" Tanya Alan yang segera di jawab oleh Zahra, "Dokter bilang, keadaannya hari ini membaik. Jika terus membaik tanpa drop lagi, minggu depan anak Zahra sudah bisa pulang."

"Itu bagus. Jika kamu berhenti bersedih dan menyesali apa yang sudah terjadi, maka keadaan anak mu pasti cepat membaik." Ujar Silvia membelai pucuk kepala Zahra.

"Siapa nama anak mu baby?" Tanya Alan. "Kami belum memberikannya nama dad, kami masih mencarinya. Jika dady punya saran untuk nama anak Zahra, maka dengan senang hati kami menerimanya. Ya kan sayang?" Tanya Zahra kepada Putra, dengan gagap di awal Putra menjawab, "Y-ya benar. Jika dady atau mom memiliki saran nama untuk anak kita, kita pasti terima itu kok."

"Putra, antarkan kami untuk melihat anak kalian." Titah Alan. Putra pun berjalan keluar ruangan Zahra di ikuti oleh Silvia serta Alan menuju ruangan bayi mereka.

"Itu anak kami mom, dad." Seru Putra dengan jari tangannya yang menunjukkan keberadaan sang anak.

"Tampan sekali cucu kita honey." Seru Silvia yang gemas melihat sang bayi sedang menggerak-gerakan tangan serta kakinya. "Ya kau benar honey, aku jadi ingin menggendongnya." Saut Alan. Mereka berdua terpukau melihat tingkah cucunya sendiri yang benar-benar menggemaskan.

Puas melihat sang bayi, mereka bertiga kembali ke ruangannya Zahra.

"Anak mu lucu sekali angel, mom jadi teringat waktu kamu baru lahir dulu. Sama lucunya seperti itu, ya kan honey?" Silvia mencoba menegaskan ucapannya kepada Alan, suaminya pun berkata. "Iya itu benar, kalian berdua sangat mirip sekali."

"Tentu saja dad, dia itu kan anak ku. Tentu saja mirip dengan ku! Tidak mungkin kan mirip dengan orang lain." Zahra terkekeh kecil akan ucapannya sendiri.

"Bagaimana jika di namakan Dio? Dad rasa itu nama yang pantas untuknya." Lanjut Alan, Zahra nampak berpikir sejenak.

"Dio? Namanya nanti akan menjadi Dio Pratama, ku rasa itu tidak buruk dad. Gimana sayang? Apa kamu suka?"

Putra yang mendapatkan pertanyaan itu segera tersadar dari lamunannya. Ia pun tersenyum kepada Zahra lalu berkata, "Iya aku suka, ku rasa nama Dio tidak buruk.".

"Kalau begitu nama anak kita Dio Pratama, makasi dad atas saran namanya." Seru Zahra bahagia.

Jam terus berputar hingga beberapa hari tlah terlewati, keadaan anaknya Zahra, Dio, semakin hari semakin membaik. Silvia dan Alan sudah kembali ke Belanda, mereka hanya tinggal di Jakarta selama dua hari. Mereka tidak bisa lebih lama lagi untuk tinggal karena kesibukan pekerjaan mereka disana, satu hari ditinggal saja pekerjaan mereka sudah sangat menumpuk. Meski sebenarnya mereka sangat ingin tinggal lebih lama dan menemani anaknya Zahra serta melihat lebih lama cucu pertama mereka

Dua minggu tlah berlalu, Zahra serta Dio sudah di perbolehkan untuk pulang ke rumah. Dewi dan Reza ikut serta dalam mengantar menantunya pulang ke rumahnya.

"Surprise..." Seru Chyntia yang sudah berada di rumah kakaknya itu, menyambut kedatangan Zahra dan Dio. Dan di rumah itu, segala kebutuhan Dio sudah terpenuhi. "Mama dan papa kemarin membeli ini semua untuk Dio. Kamu pasti belum sempat membelinya kan, dan Putra juga sibuk dengan pekerjaan sama menjaga kamu di rumah sakit. Jadi kami berinisiatif untuk membeli semuanya, nanti kita tinggal merapikannya bersama-sama ya sayang." Seru Dewi. "Terima kasih banyak ma, pa." Seru Zahra.

Dio di tidurkan di kamar utama milik Putra dan Zahra. Dewi, Chyntia, serta Zahra saat ini sedang merias kamar milik Dio yang berada di lantai dua. Sedangkan Reza kembali ke kantornya setelah di hubungi oleh Fauzi.

Berjam-jam lamanya, pekerjaan mendekor pun usai dengan hasil yang memuaskan. Mereka bertiga memandang kamar Dio dengan puas hati. Setelah itu mereka turun ke bawah untuk makan siang.

Bulan tlah menampakkan wujudnya, di rumah kediaman Putra tinggalah Zahra bersama Putra serta Dio. Putra yang lelah sepulang bekerja, merasa kesal dengan Dio yang sedang menangis tanpa henti.

"Zahra apa kamu masih lama?" Tanya Putra kepada Zahra yang saat ini sedang mandi. Putra merasa geram dan kebisingan, kepalanya seakan terasa mau pecah tidak sanggup lagi mendengar tangis Dio.

"Astaga sayang, kenapa gak kamu gendong aja Dio nya biar anteng." Keluh Zahra yang baru saja keluar dari kamar mandi. "Cup cup cup... Anak mama yang tampan, jangan menangis lagi ya sayang." Ujar Zahra kembali yang menggendong anaknya dan mencoba untuk mendiamkan anaknya tersebut.

"Berisik sekali sih anak mu itu, gak tau apa kalau aku kelelahan pulang kerja?! Buru-buru ke rumah biar bisa istirahat, hilangin lelah, hilangin stress, eeh yang ada malah bikin aku tambah pusing!" Keluh Putra.

"Namanya juga bayi, sudah wajar kan kalau dia menangis seperti ini. Lagi pula ini anak mu juga! Coba sedikit saja perhatian kepadanya, Dio pasti ingin di gendong sama papanya! Seru Zahra kesal.

"Kamu tau kan kalau aku gak suka anak kecil! Sudahlah, aku males berdebat. Urus yang bener anak mu itu, aku capek mau tidur!" Ketus Putra yang segera memasuki kamarnya, sedangkan Zahra menatap tubuh belakang Putra dengan perasaan kecewanya.

"Dio anak mama yang tampan, nanti kalau sudah besar jangan seperti papa ya nak. Dio harus bisa jadi anak yang baik, penyayang, pemaaf, tabah dan tidak mudah marah ya sayang. Pokoknya Dio gak boleh ambil satu pun sifat papa, ok!?" Ucap Zahra kepada Dio yang berada di pelukannya. Dio seakan mengerti apa yang di ucapkan oleh mamanya, ia tertawa senang membuat Zahra semakin gemas dengan anaknya tersebut.

"Pinternya anak mama, malam ini kita tidur bareng di kamar mu ya sayang. Papa sepertinya gak suka kalau kita tidur bertiga. Mama capek dengerin ocehan papa mu itu." Ujar kembali Zahra menaiki anak tangga menuju kamar Dio.

Hari terus berganti, hingga tujuh tahun tlah berlalu. Dio Pratama kini sudah sekolah kelas satu di sekolah dasar swasta yang ternama di Jakarta. Dimana sekolah itu berisikan dengan anak orang kaya, terdiri dari artis, pejabat, konglomerat dan lain sebagainya.

Selama masa balitanya dulu, Dio merupakan anak yang baik dan slalu mendengarkan apa yang di katakan oleh Zahra. Tidak pernah sekali pun Dio membuat Zahra merasa sedih, kesal, atau pun kecewa. Dio pun dapat di katakan sebagai anak yang sangat pintar di usianya. Setiap ada Putra di rumah, Dio slalu mencuri pandang papanya itu.

Sesekali Dio mencoba untuk membuatkan kopi kesukaan papanya, yang slama ini ia slalu memperhatikan ketika Zahra sedang membuatnya.

Di hari libur kerja Putra, dimana Putra dan Zahra sedang asik bersendau gurau. Dio membuatkan kopi dan teh untuk kedua orang tuanya, pada saat itu usia Dio baru beranjak empat setengah tahun.

Dengan perlahan-lahan ia langkahkan kakinya, kedua matanya tertuju pada dua cangkir yang berada di atas nampan yang sedang ia bawa, ia terus memperhatikan isi dari cangkir itu agar tidak tumpah setetes pun.

Setelah sampai di teras belakang rumahnya, Zahra merasa terkejut karena anaknya yang disangka masih tidur siang, rupanya sedang membawakan minuman untuk mereka berdua.

Zahra membantu mengambil kedua cangkir itu dan di taruhnya di atas meja. Dio mencoba melirik Putra dengan kepalanya yang tertunduk, ia sangat berharap papanya akan bersuara untuk memuji atau sekedar menyapanya.

Zahra yang mengerti akan sikap anaknya itu, segera menepuk pelan lalu membelai pucuk kepalanya.

"Pintarnya anak mama, makasi ya sayang sudah buatin minuman. Mama minum ya sayang, teh buatan Dio pasti enak." Ucap Zahra yang segera meraih cangkir yang berisikan teh. Dio terus memandang Zahra tanpa berkedip, ia menanti apa yang akan di katakan oleh Zahra.

"Tehnya enak sekali sayang, Dio pintar ya udah bisa buatin teh dan kopi untuk mama papa." Puji Zahra, Dio pun langsung tersenyum lebar. Setelah itu ia melirik kembali papanya, dengan takut-takut ia berkata. "Papa, cobain kopi buatin Dio." Namun Putra tidak menanggapinya, Putra mengabaikannya secara terang-terangan.

Hati kecil Dio merasakan kesedihan, ia kembali menundukkan kepalanya mencoba menahan tangis. Karena Dio slalu ingat apa yang di katakan Zahra, Dio sebagai anak laki-laki tidak boleh menangis. Itu sebabnya ia berusaha agar tidak menangis di depan orang tuanya, Dio juga tidak ingin mengecewakan Zahra.

"Sayang, kopinya di minum ya. Dio udah susah payah buatin untuk kamu. Sedikit aja kamu cobain kopinya." Bujuk Zahra, Putra menghela nafasnya dengan kasar dan meraih cangkir kopi tersebut. Putra sedang tidak ingin bertengkar dengan Zahra di hari liburnya ini, itu sebabnya ia menuruti apa yang di katakan Zahra.

Dio memperhatikan Putra dengan seksama yang sedang meminum kopi panas buatannya.

Sudah beberapa hirupan tapi Putra tidak menyudahi minumannya itu, membuat Dio semakin gelisah tidak sabar ingin tau komentar sang papa. Setelah Putra menaruh cangkirnya kembali, tanpa memandang anaknya ia berucap. "Tidak buruk." Dan itu sukses mengukir senyuman bahagia pada wajah Dio.

Sejak saat itu, Dio suka membuatkan kopi untuk Putra. Jika mereka hanya berdua saja, Putra akan menolaknya dengan tegas meski tanpa sepatah kata pun.

Terkadang Dio membuatkannya secara diam-diam dan menaruhnya di meja kerja Putra disaat Putra sedang ke kamar mandi atau tempat lain. Pikir Dio, jika ia lakukan itu maka yang akan di duga oleh Putra adalah kopi tersebut buatan Zahra, sehingga Putra akan meminumnya sampai habis. Atau, Dio akan segera berlari menghampiri Zahra yang sedang berada di dapur. Dio akan merengek memohon kepada Zahra agar dirinyalah yang akan membuatkan kopi untuk papanya.

Selain hal itu, Dio akan merasa sangat bahagia ketika keluarga dari Putra datang berkunjung. Hal yang membuatnya begitu bahagia adalah, Putra akan menganggap Dio ada di sisinya. Putra akan banyak bicara, bercanda, bermain, tersenyum, tertawa, bersama Dio. Anak sekecil itu tidak pernah menceritakan kepada siapa pun tentang sikap ayahnya selama ini kepadanya, ia tidak pernah mengeluh, Dio hanya terus berjuang untuk mendapatkan kasih sayang papanya, apa pun itu akan dia lakukan.

Terkadang Zahra merasa sedih, ia sangat tau jika Dio menginginkan papanya. Zahra pun slalu dan slalu bicara dengan Putra untuk menerima Dio sebagai anaknya. Namun semua itu sia-sia, karena Putra tetap saja tidak menyukainya meski Dio darah dagingnya.

"Papa sudah pulang? Pa lihat ini, semua ulangan Dio dapat nilai 100." Seru Dio yang berlari membawa semua hasil ujiannya menuju Putra yang baru saja pulang kerja.

Putra hanya melirik semua kertas-kertas tersebut dan tidak ada sedikit pun pujian yang keluar dari mulut sang ayah.

"Tap... Tap... Tap..." Suara langkah kaki Putra meninggalkan Dio seorang diri di ruang tamu, membuat air mata Dio terjatuh tanpa izin terlebih dahulu.

"Dio mana? Tadi dia lari buat nyambut kedatangan mu." Ucap Zahra yang sedang menyiapkan makan malam. "Masih di depan." Jawab singkat Putra dengan dingin.

Zahra meninggalkan ruang makan yang belum tertata rapi menuju anak semata wayangnya itu. "Dio sayang, kamu kenapa nak? Kamu nangis? Ada apa? Cerita sama mama? Apa papa marahin kamu? Atau mukul kamu?" Tanya Zahra dengan cemas melihat Dio menangis dengan kejar.

Segera Dio menyeka air mata di pipinya dan tersenyum lebar untuk Zahra.

"Dio gak apa ma, papa tidak melakukan itu kok, justru papa muji Dio karena hasil ulangan Dio 100 semua." Bohong Dio.

"Jangan bohong sayang, jujur aja sama mama." Pinta Zahra yang segera dapat gelengan kepala anaknya. "Dio gak bohong ma, papa beneran puji Dio, Dio seneng banget sampai Dio nangis."

Zahra segera memeluk Dio dan mengusap lembut punggung anaknya yang kecil itu. "Anak mama hebat, bener-bener buat mama bangga."

"Dio akan terus berusaha untuk buat mama dan papa bangga sama Dio, Dio gak akan mengecewakan mama papa, Dio janji." Tegas Dio yang merupakan seorang anak yang baru saja berusia tujuh tahun itu. Dio seorang anak kecil dengan pemikirannya yang jauh dari usianya, lebih tepatnya Dio terasa sudah dewasa sebelum waktunya.

Terkadang hal itu membuat Zahra sedikit takut jika Dio tidak menikmati waktunya layaknya anak-anak lain.

Saat berada disekolah, Dio hanya seorang penyendiri tanpa satu orang pun teman. Jika guru di kelasnya meminta kepada murid lainnya untuk bermain dengan Dio, maka mereka jawab dengan serempak sebuah ungkapan penolakan. Bagi mereka semua, tidak ada satu orang pun yang bisa mengikuti pembicaraan Dio. Mereka seakan tidak menyambung satu sama lain, dan berujung mereka semua menghina Dio dan menjauhinya.

Jauh di lubuk hati Dio, dia juga ingin memiliki teman, dia juga ingin bermain bersama. Karena tidak ada satu pun yang menerimanya, Dio hanya memperhatikannya dari kejauhan. Jika semua sudah pulang, Dio akan datang ke taman atau dimana pun itu yang di jadikan temannya bermain. Dan Dio akan bermain seorang diri menikmati permainan yang di lihatnya itu.

Waktu tlah berlalu, dan tiba ujian kenaikan kelas. Saat ini Silvia serta Alan sedang melakukan video call dengan Zahra. Dio keluar dari kamarnya hendak menuju dapur karena ia merasa haus. Namun langkah kakinya terhenti ketika melihat Zahra sedang bercakap-cakap melalui ponselnya di ruang santai.

Dio berjalan ke arah Zahra dan segera naik ke pangkuan sang ibu tanpa izin terlebih dahulu. Mata Dio langsung berbinar-binar ketika melihat siapa yang berada di sebrang panggilan itu.

"Oma! Opa! Dio kangen kalian!" Seru Dio membuat Silvia dan Alan tertawa kecil melihat cucu pertamanya yang tampan nan lucu itu.

"Opa dan oma juga kangen berat sama Dio." Ujar Alan yang langsung di sambung oleh Silvia. "Dio gak belajar sayang? Bukannya besok kamu ada ujian?"

"Dio bosan dengan pelajarannya, jadi Dio gak belajar. Tadi di kamar Dio cuma main game aja." Jawab Dio dengan polosnya.

"Gak boleh gitu dong Dio, cucu oma tersayang. Besok kan Dio ujian, kalau Dio gak bisa ngerjainnya gimana?"

"Dio pasti bisa kok oma!" Ucap Dio dengan penuh percaya diri, ia busungkan dadanya dan tangan kanan yang ia kepal, ia pukul pelan ke dadanya.

Melihat tingkah Dio itu, membuat tiga orang dewasa tersebut tertawa dengan keras. "Cucu opa lucu sekali sih, jadi pengen cubit pipinya." Tutur Alan.

"Jangan opa, nanti pipi ku kendur kalau di cubiti, nanti Dio gak tampan kaya papa." Ucap Dio dengan mempoutkan bibirnya dan itu sungguh menggemaskan, Zahra langsung mencium kedua pipi anaknya itu.

"Dio belajar ya sayang, kalau nanti Dio juara satu di kelas oma akan belikan apa pun yang Dio mau, nanti akan oma kirim dari Belanda sini sayang." Bujuk Silvia dan sukses membuat Dio bersemangat.

"Beneran oma? Kebetulan Dio lagi ingin buku untuk belajar, nanti bukunya akan Dio kirimkan lewat email ya oma." Dio penuh dengan semangat yang membara.

"Iya sayang, yang penting Dio harus juara satu. Kalau tidak juara satu, oma tidak mau membelikannya."

"Oma tenang saja, Dio pasti bisa juara satu. Kalau gitu sekarang Dio mau belajar dulu, bye bye oma, opa, Dio sayang kalian."

"Oma/opa juga sayang kamu." Ucap Silvia dan Alan bersamaan. Setelah melakukan kissbye, Dio menuju dapur untuk minum dan kembali ke kamarnya.

Di dalam kamar, Dio tidak belajar. Dio merupakan anak yang sangat pintar, pelajaran sekolahnya sudah dia kuasai, itu sebabnya ia merasa bosan dengan pelajaran yang ada.

Dio yang sudah memiliki laptop, ia buka dan ia membuka internet untuk mencari-cari buku pelajaran yang berada di Belanda. Dio sudah mahir bahasa inggris sedangkan bahasa Belanda ia masih mempelajarinya, jadi dia sudah dapat membaca tulisan yang tertera pada internet. Klik ini dan itu, scroll terus kebawah hingga akhirnya ia menemukan buku yang menurutnya sangat menarik. Ia simpan gambarnya dan ia mencari lagi yang lain hingga sepuluh buku tlah di pilihnya.

Dio membuka email miliknya dan mengirimkan sepuluh gambar buku kepada omanya. Dio tersenyum sendiri setelah email itu terkirim, anak kecil yang tampan itu sungguh merasa tidak sabar menanti kenaikan kelas dan buku yang di inginkannya tiba.

Sementara Dio asik dengan khayalannya, Silvia, Alan, dan Zahra masih melakukan video call. Tiba-tiba ponsel Silvia berbunyi, dan ia segera melihat isi ponselnya.

"Asataga sayang." Ucap Silvia yang terkejut melihat ponselnya, rupanya ada email masuk dan setelah di buka rupanya dari cucunya sendiri yang belum lama ikut bercengkerama bersama.

Alan ikut mengintip ponsel istrinya itu, Zahra hanya bingung dan penasaran akan apa yang sedang terjadi. "Ada apa mom?" Tanya Zahra yang tidak bisa menahan rasa ingin taunya itu.

"Dio mengirimi email, dan isinya buku-buku yang dia inginkan. Tapi masalahnya, sepuluh buku itu adalah buku untuk anak SMP tidak ada satu pun buku untuk SD." Tutur Silvia menjelaskan.

"Zahra sih merasa kalau Dio memang anak yang pintar dan suka belajar, mungkin dia penasaran dari sampul bukunya saja tanpa tau isinya." Ujar Zahra yang sebenarnya sangat tepat. Dio memilih buku berdasarkan sampul yang ia sukai, anak itu tidak akan memikirkan hal lainnya dan akan bersemangat untuk membaca buku tersebut.

Meski ia di sodori buku-buku yang sangat bagus, lebih bagus dari apa yang dia punya, tapi kalau sampulnya dia tidak suka, maka tidak akan di sentuh oleh Dio.

"Sayang, coba deh sesekali kamu tes IQ nya Dio. Mama penasaran banget lho, Dio nampaknya punya IQ yang cukup tinggi." Ucap Silvia.

"Yes mom, nanti kapan-kapan Zahra akan coba lakukan tes IQ untuk Dio. Ya sudah ya mom, dad, sebentar lagi Putra pulang, mbok Endang lagi minta cuti buat pulang ke kampungnya, katanya sih adiknya sakit dan gak ada yang urusin. Zahra harus menyiapkan makan malam sekarang." Ujar Zahra dan orang tuanya segera mengakhiri panggilan video tersebut setelah melakukan kissbye pada anak tunggalnya tersebut yang sangat cantik.

Hari berganti dengan cepatnya, namun bagi Dio hari berganti begitu lama, mungkin karena dia menanti akan hari ini, hari kenaikan kelasnya.

Sejak pagi sekali Dio sudah bersemangat dan membangunkan mamanya yang masih tidur di kamar, hal tersebut tentu membuat Putra kesal karena terganggu.

"Tidak bisakah kau diam? Lihat, sekarang masih jam berapa! Dasar pengganggu!" Ketus Putra ketika membuka pintu kamar dan memarahi Dio yang terus saja mengetuk pintu.

Karena tidak sabar, nampaknya Dio tidak dapat tidur dengan pulas. Saat ini masih jam dua lewat tiga puluh lima menit, Dio salah melihat jam karena yang dia lihat adalah jarum panjang bukan jarum pendek.

Setelah memarahi anaknya, Putra kembali menutup pintu kamarnya. Sedangkan Zahra, mungkin dia kelelahan sehingga tidak dapat mendengar Dio yang begitu berisik mengetuk pintu.

Dio belum beranjak dari depan pintu kamar orang tuanya itu, Dio tersenyum senang dan ingin menahan ketawa kecilnya karena papanya tadi memarahainya. Bukan soal amarah yang disenangi oleh Dio, melainkan papanya yang akhirnya bersuara untuk Dio. Hal itulah yang membuat Dio sangat senang.

Saat matahari tlah menunjukkan wujudnya, Zahra bersama dengan Dio sedang menunggu panggilan wali kelas Dio untuk pembagian raport yang diserahkan ke masing-masing orang tua berdasarkan absen. Begitu nama Dio di panggil, ia lah yang lari terlebih dahulu menghampiri gurunya dan duduk pada salah satu bangku yang sudah disiapkan di depan meja wali kelasnya tersebut.

"Selamat ya bu, Dio meraih posisi nomer satu baik di kelas atau pun sekolah. Untuk penempatan kelas duanya nanti, akan di umumkan pada mading di awal masuk sekolah nanti." Ucap wali kelas bangga akan salah satu muridnya.

"Dan untuk Dio, di kelas dua nanti tolong di coba ya untuk bebaur dengan teman-temannya, jangan menyendiri terus." Lanjut wali kelas Dio yang membuatย  terkejut.

"Eh, maksud ibu?" Tanya Zahra ingin memastikan ucapan guru itu. "Selama ini Dio tidak bergabung dengan teman kelasnya, saya sudah meminta Dio atau pun teman kelas lainnya untuk bermain bersama, tapi tidak ada satu pun dari mereka yang mau melakukannya." Tutur guru Dio.

Setelah melakukan sedikit perbincangan akan Dio, Zahra dan Dio undur pamit diri untuk pulang ke rumah. Di dalam mobil Zahra bertanya kepada sang anak, "Kamu kenapa sayang kok gak mau berbaur sama teman-temanmu?"

"Mereka tidak bisa mengikuti perkataan Dio, jadinya mereka gak mau main sama Dio, padahal Dio mau banget berteman sama mereka." Ucap Dio dengan sedihnya. Zahra membelai lembut kepala anaknya dan memberi kecupan pada kening anaknya yang tampan itu.

"Di kelas dua nanti, kamu harus berusaha untuk mencari teman ya. Mama akan sedih kalau anak mama gak punya teman."

Dio menatap tajam Zahra, ia melihat raut wajah mamanya yang nampak sedih itu, membuat Dio tidak suka.

"Mama jangan sedih, Dio janji di kelas dua nanti Dio akan mencari teman." Dio penuh keyakinan akan ucapannya itu membuat Zahra jadi tersenyum dan Dio pun ikut tersenyum setelahnya.

"Baiklah untuk jagoannya mama yang udah jadi juara kelas, kamu mau hadiah apa sayang?" Tanya Zahra yang langsung di jawab oleh Dio tanpa berpikir, "Buku!". Semangat Dio menggebu-gebu.

"Jagoan mama suka baca buku ya? Baiklah kita pergi sekarang ya, let's go!" "Yeaah..!"

Sesampainya di toko buku, sangat kebetulan sekali disana sedang mengadakan tes IQ dan Zahra ingin Dio melakukan itu.

"Sayang, kamu mau gak coba tes IQ?" Tanya Zahra kepada anaknya yang sangat berharap Dio mau melakukan itu.

"Tes IQ?" Tanya balik Dio yang nampak tidak mengerti apa itu tes IQ.

"Kamu disana cuma ngerjain soal-soal yang ada sayang, kalau kamu gak ngerti atau gak tau jawabannya gak usah di isi pun gak apa-apa."

"Soal ya ma? Seperti di sekolah gitu?"

"Iya semacam itu sayang, kamu mau? Kalau kamu mau, mama akan belikan buku apa pun yang kamu mau."

Mata Dio nampak berbinar-binar, Zahra tersenyum karena ia tau bahwa anaknya akan setuju dengan permintaannya itu. Apa lagi di pancing dengan buku yang merupakan favoritnya, sudah pasti Dio tidak akan menolak terlebih di katakan apa pun yang dia mau, itu berarti tidak di batasi jumlah kan.

"Mau! Mau! Mau! Dio mau ma!" Seru Dio dan Zahra mendaftarkan anaknya untuk melakukan tes IQ.

"Setengah jam lagi ya bu kita akan mulai sesi ke duanya, tolong cantumkan nomer ponselnya agar pihak kami bisa memberitukan jika hendak di mulai." Ucap petugas dari tes IQ itu.

Setelah Zahra menulis formulir serta nomer ponselnya, ibu dan anak pun masuk ke dalam toko buku untuk mencari buku yang di inginkan anaknya.

"Dio kan belum ikut tes IQ nya, gak apa-apa ma kalau Dio beli bukunya sekarang?" Tanya Dio bingung.

"Gak apa sayang, kita masih ada waktu setengah jam lagi. Kalau selama itu kamu belum selesai mencari bukunya, kita akan lanjutkan lagi setelah kamu melakukan tes IQ, gimana?" Dio menganggukkan kepalanya penuh semangat, anak kecil itu yang baru saja naik ke kelas dua meraih tas plastik untuk menaruh buku yang akan di pilihnya itu sebelum di bayarnya ke kasir.

Berkeliling kesana kemari untuk mencari buku yang dia inginkan, berhenti di setiap rak dan menelaah tiap-tiap barisan dengan teliti. Terkadang Dio mengambil dua buku yang berbeda dan ia pilih yang benar-benar menarik untuknya.

Menarik yang di maksudkan Dio bukanlah isinya melainkan sampul dari buku tersebut. Meski begitu, buku-buku tersebut bukanlah buku untuk anak seumurannya.

Yang dia pilih adalah buku tentang astrologi, astronomi, komputer, otomotif dan buku-buku untuk ukuran anak SMA lainnya yang menarik hati Dio.

Zahra mengambil buku cerita dan komik untuk anak-anak secara sembarang dan menunjukkannya kepada Dio. "Apa kamu tidak ingin buku yang seperti ini sayang?" Tanya Zahra dan di abaikan oleh sang anak yang masih sibuk melihat buku di hadapannya. "Dio sayang." Ucap Zahra kembali dan kali ini Dio membalasnya, "Iya ma, apa waktunya untuk tes sudah tiba?" Dio menghampiri Zahra.

"Sebentar lagi mulai, kamu gak mau buku yang seperti ini?" Dio nampak berpikir dengan tangannya yang ia kepal lalu ia tempelkan pada dagunya, terlihat sangat lucu dan Zahra segera mengambil ponselnya dan mengambil gambar anaknya tersebut.

"Dio rasa, nanti saja ma kalau Dio sudah selesai memilih buku lainnya." Jawab Dio dan ponsel Zahra berbunyi, Zahra mengangkat panggilan tersebut rupanya dari petugas tes IQ.

"Kita lanjut nanti lagi ya sayang, tesnya sudah mau mulai." Tutur Zahra yang meraih tas belanjaan itu dan menuntun Dio menuju tempat tes.

"Atas nama siapa bu?" Tanya petugas lainnya untuk mengabsen. "Dio Pratama." Ujar Zahra lalu Dio masuk ke dalam ruangan yang ada pada toko buku tersebut, sementara Zahra menunggu di tempat pendaftaran tersebut, duduk disana dengan memainkan ponsel.

Petugas yang berada di tempat pendaftaran tidak sengaja melihat tas belanjaan Zahra dan melihat buku apa-apa saja yang ada di dalamnya.

"Buku itu untuk kakaknya Dio ya bu?" Tanya nya memecahkan keheningan. "Tidak, Dio tidak punya kakak. Ini semua Dio yang pilih untuknya." Jawab Zahra dengan tersenyum merasa bangga akan anak semata wayangnya itu.

"Eh? Tapi Dio bukannya baru naik kelas dua? Apa tidak terlalu berat memaksakannya membaca itu semua?"

"Saya tidak pernah memaksanya, anak itu yang memilihnya sendiri. Dio akan memilih buku yang sampulnya menarik untuknya."

"Oh seperti itu, nampaknya Dio anak yang cerdas ya bu." Zahra hanya tersenyum dan kembali memainkan ponselnya.

Foto Dio yang di ambilnya tadi, ia jadikan status beserta tulisan yang menuliskan tes IQ ia foto juga untuk statusnya di segala sosial media yang ia miliki dengan caption. "Dio berhasil menjadi juara 1 di kelas dan sekolahnya, aku menawari hadiah untuknya dan Dio berteriak dengan semangat mengatakan buku! Dan sangat kebetulan di toko buku ini sedang ada tes IQ dan Dio mau mencobanya. Aku jadi tidak sabar menanti hasil tes IQ nya tersebut ๐Ÿ˜˜๐Ÿ˜˜๐Ÿ˜˜๐Ÿ˜ ".