Keesokan harinya, sesuai dengan janji yang sudah di buat. Dio datang bermain ke rumah Eza dalam keadaan tubuhnya yang basah kuyup. Saat pulang sekolah, Adi bersama dengan teman-temannya mengerjai Dio seperti biasanya.
Eza pada saat itu berada di toilet, sedangkan Dio menunggu Eza di kolam ikan yang berada di taman bermain sekolah. Dio sangat menyukai ikan, anak itu sedang berjongkok melihat ikan-ikan yang berenang kesana kemari. Seketika "Byuuur..." Dio jatuh ke kolam ikan tersebut akibat di dorong oleh Adi. "Hahaha lihat, lucu sekali kamu." Puas Adi menertawakan Dio yang basah kuyup. Sedangkan Dio hanya memberikan senyuman kepada Adi yang membuat si pelaku merasa kesal. Adi pergi menghentakan kaki meninggalkan Dio.
"DIO!" Teriak Eza yang melihat Dio berusaha keluar dari kolam ikan, ia berlari mendekati Dio yang sedang tersenyum ke arahnya dan menantikan Eza di hadapannya. "Apa yang kamu lakukan? Apa Adi mengerjai mu?" Eza dan Dio kini berjalan bersama untuk pulang ke rumah Dio, tas Dio di bawa Eza agar tidak ikut basah jika di bawanya. Beruntung di saat Dio kejebur, tas miliknya ia taruh di bangku taman.
"Tadi Dio kepleset pas lihat ikannya lagi berantem, Dio mau pisahin tapi malah jatuh hehehe..." Bohong Dio yang jelas tidak di percayai Eza. "Mana ada ikan berantem, kalau mau bohong cari jawaban yang dapat untuk ku percaya." Elak Eza.
"Eza mau jawaban yang logis? Tapi beneran tau, ada ikan yang bisa berantem, ikan cupang namanya." Eza nampak sedikit mencerna ucapan awal Dio, setelah mendengar kata ikan cupang, tidak segan-segan Eza menjitak Dio.
"Di kolam ikan sekolah tidak ada ikan cupang, adanya ikan koi. Dan koi tidak berantem!" Dio hanya tertawa melihat temannya yang mulai kesal dan berjalan cepat meninggalkan Dio.
Ke rumah Eza memang tidak jauh jika berjalan kaki, karena melewati gang gang kecil. Berbeda dengan naik mobil kemarin, perjalanan akan terasa sedikit jauh.
Awalnya Zahra ingin menjemput Dio dan mengantarkannya ke rumah Eza, tapi Dio menolak dengan tegas. Dio bilang kalau Dio ingin jalan kaki, biar terasa seperti sedang berpetualang.
Zahra terkekeh mendengar perkataan anaknya itu, dan sang ibu menyetujui keinganan Dio. Karena ini kali pertama baginya menginjakkan luar rumah untuk bermain. Jadi Zahra akan membebaskannya agar sang anak bisa bermain layaknya anak seumurannya dan tidak hanya diam diri di rumah membaca buku-buku yang bukan untuk usianya.
Sesampainya di rumah Eza, sang ibu menyambut kedatangan anak dan temannya itu. Melihat Dio basah kuyup, Bela menyuruh Dio untuk mandi. Dan Bela menyiapkan handuk bersih dan baju ganti milik Eza. Sembari menunggu Dio usai mandi, Bela mencuci bersih seragam milik Dio agar saat pulang seragamnya sudah bersih di cuci dan tidak tercium bau amis.
"Baju Eza pas sekali di tubuh Dio, keren... Kita bisa saling bertukar kalau begitu." Seru Dio antusias.
"Seragam kamu sudah tante cuci, tinggal tunggu sampai benar-benar kering setelah itu tante akan setrika dan kamu tinggal bawa pulang saja." Ucap Bela.
"Selamat siang tante, maaf Dio telat mengucapkan salam dan sudah sangat merepotkan tante. Oh ya, terima kasih banyak tante atas bantuannya. Perkenalkan tante, nama ku Dio dan Dio sohibnya Eza." Perkataan Dio membuat Bela terkejut dan membelai pucuk kepala Dio dengan senyuman.
"Semalem Eza cerita banyak tentang Dio, terima kasih ya Dio sudah mau berteman dengan anak tante ini. Tante tidak menyangka kalau Dio sangat sopan sekali dan ucapan mu seperti pria dewasa yang sedang memperkenalkan diri ke orang tua pacarnya. Lucu sekali, tante gemes jadinya." Bela mencubit kedua pipi Dio.
"Maaf tante, Dio masih sangat kecil untuk memiliki pacar. Seharusnya tante tidak perlu bicara seperti itu dengan Dio yang masih anak-anak ini."
"Astaga, maafkan tante ya Dio. Dan kalau bisa, Dio bicaranya biasa saja ya jangan formal. Anggap saja tante ini mama mu juga, kamu mau kan?." Dio seakan memikirkan tawaran Bela itu. "Baiklah." Singkat Dio menjawab.
Eza dan Dio bermain bersama di kamar Eza, segala macam mainan ia keluarkan. Asyik bermain membuat Dio merasa lapar membuat otaknya memikirkan beraneka ragam makanan kesukaannya. "Pizza!" Teriak Dio ketika pizza lebih banyak muncul di pikirannya. "Kamu lapar? Mama ku sedang membuat makan siang, ayo kita makan." Eza menarik Dio menuju dapur.
"Ma, aku dan Dio lapar." Rengek Eza sedangkan Dio asyik menghirup aroma masakan yang baru saja matang.
"Kalian duduk dulu di meja makan, mama akan siapkan makanannya." Ujar Bela.
"Siap kapten!" Seru Eza dengan memberi hormat kepada Bela ibunya. Dio yang melihat mengikuti apa yang di lakukan temannya itu, memberi hormat kepada Bela dan berseru "Siap kapten." lalu mengekori Eza menuju meja makan.
Dua piring nasi untuk Eza dan Dio sudah berada di hadapannya, sayur serta lauk satu persatu juga berada di hadapannya. Tidak menunggu lama, dua anak yang berusia tujuh tahun pada tahun ini segera menyantap makanan yang ada.
"Enak." Seru Eza dan tentu Dio juga ikut serta mengatakannya.
Di tengah makan siang mereka, ponsel Dio bergetar. Ia mengeluarkan ponsel dari saku baju yang ia kenakan.
"Iya ma..." Ucap Dio yang menerima panggilan telepon dari ibunya. "Ini Dio lagi makan ma, mama tidak perlu datang membawakan Dio makanan." Dio berucap kembali untuk menjawab pertanyaan Zahra. "Nanti kalau Dio sudah mau pulang, Dio akan hubungi mama. Sudah ya ma."
Panggilan itu di matikan sepihak oleh Dio.
"Mama mu menyuruh pulang?" Eza penasaran, Dio menggelengkan kepalanya.
"Gak kok, mama cuma nanyain apa Dio udah makan apa belum."
"Enak ya kamu punya ponsel." Ucap Eza yang merasa iri. "Eza mau? Kalau mau Dio bisa membelikan ponsel untuk Eza yang samaan dengan milik Dio."
"Itu tidak perlu Dio." Seru Bela yang sedari tadi mendengar ucapan kedua anak itu.
"Mau tidak mau, Dio akan membelikannya! Eza kan temannya Dio, teman pertama yang Dio miliki. Dio akan belikan untuk Eza biar Dio mudah hubungi Ezanya." Keluarlah sifat keras kepala Dio. Bila itu sudah keinginannya, maka tidak boleh ada yang menolak.
"Tidak perlu Dio, nanti mamanya Dio marahin Dio dan Eza karena Dio membelikan ponsel untuk Eza. Kalau Dio mau hubungi Eza, Dio bisa kok hubungi lewat ponsel tante." Bujuk Bela agar Dio tidak membelikan ponsel untuk anaknya.
"Mama tidak akan marah, mama pasti seneng kalau bisa beliin ponsel untuk teman Dio yang berharga."
"Tante bilang jangan, berarti jangan ya. Bagaimana kalau nanti Dio gak boleh berteman lagi dengan Eza? Apa Dio mau?"
Bela masih berusaha melawan keinginan Dio, Bela takut bila anaknya akan di salahkan menganggap telah memeras Dio atau mengambil keuntungan dari kebaikan Dio yang ingin berteman dengan anaknya. Pasti akan berujung Bela yang akan di salahkan, mengingat saat suaminya mengalami kebangkrutan dan terjadi hal-hal buruk pada keluarganya.
Sempat di undang makan malam di rumah koleganya dulu, namun mereka di tuduh telah mencuri barang berharganya di rumah. Sejak saat itu, Bela dan suaminya memutuskan hubungan dengan teman teman lamanya yang sangat jelas tidak menyukai kehadiran mereka di saat mereka tengah mengalami kebangkrutan dan jatuh miskin.
Beruntungnya, mereka memiliki rumah kecil yang saat ini mereka tempati. Dulu mereka tidak sengaja membeli ketika ada kenalannya yang butuh uang dan menjual rumah itu kepada mereka.
"Tante percaya saja sama Dio, Dio lebih tau seperti apa mama Dio begitu juga dengan mama yang sudah sangat tau seperti apa Dio ini." Dio semakin keras kepala membuat Bela menghela nafas, ia menyerah tidak sanggup untuk membujuk lebih dari ini. Karena anaknya Eza, bukan anak yang keras kepala dan mudah untuk di beritau atau nasehati.
"Tante menyerah, terserah Dio saja." Dio dan Eza bersorak gembira akan kemenangannya, Eza tidak sabar akan memiliki ponsel yang sama seperti milik temannya itu.
"Wah ada tamu rupanya, ini pasti Dio temannya Eza. Om papanya Eza." Seru Rio sembari menatap Dio yang masih melanjutkan makan siangnya.
"Siang om. Iya aku temannya Eza nama ku Dio, salam kenal ya om maaf jika kedatangan Dio menganggu."
"Hahaha tidak perlu formal seperti itu Dio, bersikap biasa saja. Om senang kalau temannya Eza datang bermain ke rumah. Dan anggap om ini seperti papanya Dio ya?" Rio yang merupakan ayahnya Eza, ikut serta makan siang bersama dengan anaknya itu dan juga Dio. Tanpa mereka tau saat ini Dio sedang berbinar-binar merasa sangat bahagia.
Bela duduk di sebelah Rio usai menyuguhkan segelas air mineral kepadanya. "Bagaimana hari ini? Apa kamu sudah mendapatkan pekerjaan?" Tanya Bela berharap mendapatkan jawaban yang baik. Namun Rio menunjukkan kesedihan. "Maafkan aku, hari ini aku belum mendapatkan kerja lagi, besok aku akan lebih berusaha agar aku dapat pekerjaan secepatnya. Do'akan aku ya sayang." Rio berusaha memberikan senyumana kepada sang istri, dan Bela ikut tersenyum meski sebenarnya mereka berdua merasa sedih dengan keadaan saat ini.
Sesaat setelah memasukan Eza ke sekolah elite, perusahaan Rio mengalami kebangkrutan yang tidak dapat tertolong akibat tidak ada satu pun yang mau menolongnya.
Sejak saat itu, hanya satu mobil yang di sisakan dan lainnya di jual. Motor, segala perabotan rumah juga di jual hanya yang penting yang akan di pindahkan ke rumah kecil yang saat ini mereka tempati. Bahkan rumah mewahnya harus ikut serta di jual, dan uangnya mereka simpan untuk tabungan kehidupan mereka karena Rio belum juga bekerja dan biaya sekolah Eza yang cukup mahal.
Sudah setahun lamanya namun Rio mengalami kesulitan mencari kerja, seakan-akan semua perusahaan yang ia coba untuk melamar kerja telah di pinta oleh seseorang untuk menolaknya. Padahal Rio seorang yang bekerja keras, jujur, royal kepada karyawan dan koleganya, serta amanah.
Perusahaan yang mengalami kebangkrutan merupakan perusahaan yang ia rintis sendiri dari nol. Namun sepertinya ada seseorang yang membencinya dan menjatuhkannya. Selama setahun itu, Rio bekerja sambilan di sore hari hingga malam hari untuk sehari-harinya dan pagi hingga siang ia gunakan untuk mencari pekerjaan di kantor-kantor.
Dio dan Eza yang sudah selesai makan, kembali menuju kamar Eza untuk bermain lagi. "Eza, ayah mu sedang mencari kerja?" Tanya Dio yang sebenarnya sangat penasaran sejak tadi.
"Iya, sudah lama papa mencari kerja tapi tidak dapat juga. Kalau terus seperti ini, bisa-bisa aku pindah sekolah." Pilu Eza.
"Gak boleh! Eza gak boleh pindah sekolah! Dio akan bantu papanya Eza biar Eza gak pindah sekolah!" Tegas Dio dan segera menghubungi kakeknya.
"Halo kakek...." Dio pun menjelaskan situasinya kepada Alan dan memohon kepada kakeknya agar keinginannya dapat di kabulkan, setelah itu panggilan tersebut berakhir.
"Beres. Ayo Za kamu siap-siap, kita bertiga akan pergi ke tempat kerja kakek Dio. Kata kakek, sekarang juga papanya Eza harus datang ke kantor." Tutur Dio membuat Eza merasa sangat senang, pikirnya ia tidak akan pindah sekolah dan akan terus berteman dengan Dio.
"Kamu serius?" Eza berusaha meyakinkan dirinya bahwa ia tidak salah mendengar. "Dio tidak pernah bohong ya." Dio menatap sinis Eza. Segeralah Dio berganti pakaian dan bersiap-siap.
"Papa..." Seru Eza memanggil ayahnya yang masih berada di meja makan bersama dengan ibunya.
"Ada apa sayang? Kamu mau pergi? Rapi banget anak papa." Rio mengecup kening Eza membuat Dio merasa iri dan ingin mendapatkannya juga. "Om..." Panggil Dio dengan menundukkan kepalanya.
"Ada apa Dio?" Tanya Rio mendekati Dio. "Eem itu... Di-Dio boleh gak minta itu juga?" Perkataan Dio membuat Rio serta Bela bingung. Apa yang sebenarnya di inginkan Dio itu? Pasutri itu saling menatap namun mereka masih tidak tau maksudnya.
"Minta apa? Katakan saja, kalau bisa ya om akan kasih." Dio menaikkan kepalanya dan menatap mata Rio.
"Itu... Dio juga mau di cium seperti Eza." Sontak Rio dan Bela terkejut, kenapa anak itu meminta hal seperti ini kepada ayah dari temannya? Yang jelas-jeas Rio bukanlah ayahnya.
"Papa tidak pernah mau bicara dengan Dio, kecuali kalau kakek dan nenek datang, papa baru mau bicara. Papa juga gak mau meluk dan cium Dio. Kalau Dio coba bicara sama papa, pasti papa mengabaikan Dio. Jadi Dio ingin tau rasanya di cium seperti Eza itu, bagaimana rasanya kasih sayang papa. Apa Dio boleh minta hal yang sama seperti Eza tadi om?"
Hati kedua orang tuanya Eza merasa sakit mendengarnya, mereka seakan mengetahui betapa sedihnya Dio dan mereka tidak dapat menduga betapa dinginnya ayahnya Dio itu.
Berbagai pikiran negatif muncul seketika di benak Rio dan Bela. Rio tersenyum dan memeluk Dio erat, berusaha untuk tidak menjatuhkan air matanya.
"Tadi om bilang kan ke Dio, anggap om seperti papanya Dio. Jadi, om akan cium kening Dio setiap Dio menginginkannya. Eza anak papa yang pinter, anggap lah Dio seperti saudaramu ya nak. Jangan pernah marah atau iri jika Dio ingin manja sama papa, kamu ngerti kan sayang?"
"Aku ngerti pa, aku akan turuti permintaan papa. Dan Dio sudah aku anggap seperti adik ku sendiri yang harus aku lindungi." Rio dan Bela tertawa kecil mendengar perkataan anaknya, lalu Rio mencium kening Dio membuat si pemilik kening merasa sangat bahagia, dan tak henti-henti tangannya terus memegangi keningnya. Kini ia mendapatkan pelukan hangat serta ciuman penuh sayang dari ayahnya Eza.
"Nah Eza, kamu belum menjawab pertanyaan papa. Kamu berpakaian rapi mau pergi kemana?" Kini Rio kembali bertanya pada pertanyaan sebelumnya.
"Oh ya hampir saja lupa... Ayo pa kita pergi sama Dio juga ke tempat kakeknya Dio kerja." Eza menarik tangan ayahnya.
"Dio sudah mau pulang ya?" Tanya Rio yang masih belum tau tujuan mereka berdua. "Bukan om, tadi Dio telepon kakek dan kata kakek, om harus ke tempat kerja kakek sekarang. Om lagi cari kerja kan? Makanya ayo kita pergi sekarang, kalau kelamaan nanti kakek marah." Tutur Dio.
"Dio bantuin om untuk kerja disana? Itu tidak perlu nak, besok om pasti bisa mendapatkan kerja."
"Dio gak mau kalau Eza pindah sekolah, om juga udah baik banget sama Dio. Jadi ini balasan Dio untuk om. Tolong jangan ditolak, nanti Dio bisa sedih." Dio segera menunjukkan kesedihannya membuat Rio tidak tega melihatnya.
"Baiklah, tapi om harus ganti baju dulu. Kemeja yang om pakai ini udah bau keringet." Rio segera menuju kamarnya setelah meminta Bela untuk memanaskan mobilnya yang sudah beberapa hari ini belum di pakai.
Dio dan Eza sudah menunggu di dalam mobil, Bela yang berada disana berkata kepada Dio. "Terima kasih banyak ya Dio sudah sangat membantu keluarganya Eza."
"Dio belum bantu apa-apa kok tan, om saja belum bekerja dan Dio juga belum kasih Eza ponsel. Jadi tante tidak perlu berterima kasih ke Dio."
Rio sudah rapi dan harum, bau parfumnya tercium oleh Bela sehingga ia menoleh ke arah suaminya. "Surat lamaranmu sudah? Tidak ada yang tertinggal kan?" Bela memastikan kembali. "Tidak ada sayang, aku jalan ya do'akan yang terbaik." Bela mencium tangan Rio, Eza dan Dio mencium tangan Bela dan mereka siap untuk jalan. "Hati-hati di jalan." Teriak Bela dengan melambaikan tangan.
Dio memberikan alamat kantor kakeknya, Rio menancapkan gas ke alamat itu sedangkan Dio dan Eza tidur pulas di bangku belakang dengan saling menyender.
Setibanya di kantor milik Reza, Rio membangunkan Eza dan Dio. Kedua anak itu keluar dari mobil, Eza menatap gedung tinggi dengan mata berbinar dan mulut yang terbuka, bisa-bisa air liurnya jatuh. Gedung kantor milik Reza sangat jauh berbeda dengan gedung kantor Rio dulu, itu sebabnya Eza terkagum melihatnya. "Papa akan kerja disini? Keren banget." Seru Eza yang masih menikmati memandang gedung tersebut.
"Papa belum tau nak, papa kan belum di terima kerja disini. Eza do'ain papa ya biar bisa kerja disini." Pinta Rio yang penuh harap dan kini ia melihat Dio yang sedang memasuki plastik yang berisikan seragamnya kedalam tas sekolahnya.
"Kakek Dio beneran kerja disini?" Tanya Rio dan Dio hanya menjawab dengan "Hem.". "Om jadi gugup, apa kira-kira direkturnya nanti mau terima om?" Dio melirik Rio dengan tersenyum seraya berkata, "Berjuanglah om, ayo kita masuk."
Mereka bertiga berjalan bersama dengan Dio sebagai pemimpinnya. Dengan santainya ia melewati meja receptionist dan menuju lift. Rio memandang orang-orang sekitar dengan perasaan tidak enak. Bagaimana bisa Dio nyelonong masuk gitu aja tanpa menghampiri receptionist terlebih dahulu. Dan juga kenapa mereka semua hanya diam saja dan tidak melarang Dio agar tidak masuk. Hal-hal tersebut membuat Rio bertanya-tanya pada dirinya sendiri yang tidak membuahkan hasil apa pun.
Angka 9 yang di pencet oleh Dio di dalam lift ini. "Om santai saja, jangan gugup." "Benar pa, papa harus santai dan yakin bisa. Kan papa yang ajarin aku kalau yakin bisa pasti kita bisa!" Dio dan Eza memberikan semangat kepada Rio, ia pun memantapkan dirinya dan meyakinkan dirinya bahwa ia bisa, dan ia tidak boleh mengecewakan anak, istri serta Dio yang sudah memberinya semangat.
Tiba dilantai 9, lorong yang ia lalui sepi dan sangat kebetulan ada Putra yang sedang berjalan ke arah mereka bertiga.
Dio berlari ke arahnya agar cepat-cepat berhadapan dengan sang ayah, sembari menyapanya penuh kegembiraan "Papa."
Namun Putra yang tau di lorong tersebut tidak ada siapa pun, hanya ada seorang yang tidak ia kenal yang sudah pasti bukan karyawan di kantor ayahnya karena ia membawa amplop coklat yang di duganya hanya orang yang hendak melamar kerja. Serta seorang anak kecil yang ditebak Putra merupakan anak dari pria itu, membuat Putra mengabaikan panggilan Dio dan berjalan melewatinya seakan-akan ia tidak kenal dengan anak kecil yang berseru papa tersebut.
Sontak hal itu membuat Rio kesal, rupanya apa yang di katakan oleh Dio benar adanya. Dio membalikkan tubuhnya ke arah Rio dan Eza dengan tersenyum.
"Tadi itu papanya Dio, papa pasti sibuk makanya terburu-buru. Om Dio mau minta tolong, jangan katakan pada siapa pun tentang sikap papa ke Dio, termasuk dengan kakek Dio nanti. Soalnya Dio slalu bilang ke orang-orang kalau papa itu merupakan papa yang baik sedunia."
Hati siapa yang tidak tersayat melihat kesedihan dari anak sekecil itu, seorang anak yang menginginkan sosok sang ayah yang tidak menganggap dirinya ada.
Ingin rasanya Rio memarahi, memaki, bahkan jika perlu menghajar ayahnya Dio tetsebut agar tidak mengabaikan malaikat kecil yang di milikinya ini.
Tapi Rio membuang itu semua demi keinginan Dio dan membuat tekad akan menyayangi Dio seperti anaknya sendiri.
Tibalah di depan pintu suatu ruangan, tanpa mengetuk terlebih dahulu Dio membuka dan berlari masuk ke dalam ruangan tersebut.
"Kakek... Dio datang." Seru Dio yang di sambut pelukan hangat dari sang kakek yang segera menggendongnya.
"Itu papanya teman Dio yang Dio katakan tadi, dan itu Eza temen Dio yang paling berharga." Dio menunjuk Rio lalu Eza secara bergantian. Yang di tunjuk memberikan salam dengan sangat sopan bahkan Eza menghampiri Reza untuk mencium tangannya.
"Temen Dio namanya hampir mirip sama kakek, tapi Eza lebih tampan dari kakek." Ledek Dio dengan tawanya membuat Reza ikut ketawa. "Kalau kakek masih muda, kakek sangat tampan lho." Timpal Reza tak mau kalah, Reza pun menurunkan Dio dari gendongannya. "Silahkan duduk." Reza mempersilahkan Rio untuk duduk di bangku depan meja kerjanya.
"Dio mau ajak Eza berkeliling, kalau sudah selesai hubungi Dio ya kek." Dio berpamitan dan menarik tangan Eza serta menggenggamnya dengan erat. Mereka berdua berjalan untuk melihat isi kantor.
Sementara itu Reza tengah mewawancarai Rio sembari melihat surat lamaran kerjanya.
Di tengah langkah kaki Dio, seketika dia ingat bahwa ia belum memberikan kabar kepada ibunya.
"Halo ma..." Ucap Dio ketika panggilannya telah di jawab oleh Zahra. "Iya sayang, kamu sudah mau pulang?" Tanya Zahra dari balik panggilan Dio tersebut.
"Dio lagi di kantor kakek, mama bisa jemput Dio?" Dio balik bertanya.
"Kok kamu bisa ada disana sayang?" "Ceritanya panjang ma, nanti Dio akan ceritakan. Tolong jemput Dio ya ma." "Baiklah bos, tunggu mama disana dan kamu jangan nakal."
Setelah panggilan terputus, Dio mengajak Eza menuju kantin kantor tapi sebelum itu, Dio menuju keruangan Fauzi dengan maksud Fauzi yang akan membayar semua jajanan mereka berdua.
"Om Fauzi aku datang...." Seru Dio saat masuk ke ruangan Fauzi. Saat ini Fauzi sedang menampilkan amarahnya kepada seseorang. Entah siapa orang itu, Dio tidak mengenalinya. Mungkin asisten atau bawahannya Fauzi? Dio tidak mau memikirkan itu, yang penting sekarang adalah memburu kantin kantor. Fauzi yang melihat keponakannya yang tampan dan lucu itu, dengan sekejab merubah expresinya dengan tersenyum senang.
"Astaga... Keponakan om yang gemesin ada disini rupanya, om terkejut sekali. Sini Dio, dan itu siapa?" Tanya Fauzi dengan arah mata yang memandang Eza setelah meminta Dio untuk mendekatinya. Dengan tangan yang di kibaskan, Fauzi menyuruh orang yang tadi untuk keluar ruangan.
"Ini teman Dio yang berharga om, namanya Eza. Dan Eza ini om aku namanya om Fauzi." Eza mencium tangan Fauzi.
"Eza sopan sekali, om seneng Dio bisa berteman dengan Eza. Ngomong-ngomong kenapa kalian berdua ada disini?" Fauzi sangat penasaran.
"Dio lagi nganterin papanya Eza buat ketemu kakek, Dio minta kakek buat kasih kerjaan papanya Eza, biar Eza gak pindah sekolah."
Fauzi yang saat ini merasa butuh seseorang untuk menjadi bawahannya, menjadi penasaran dengan ayahnya Eza. Ingin rasanya melesat segera ke ruangan Reza untuk melihat. Jika ia sesuai dengan yang di butuhkan Fauzi, maka ia ingin menariknya dengan segera.
"Kalau gitu, om ke ruangan kakek dulu ya." Seru Fauzi yang langkah kakinya ditahan oleh Dio.
"Dio sama Eza mau jajan di kantin!"
"Baiklah, kalian bisa makan sepuasnya dan katakan kalau om yang akan bayar." Dengan tersenyum senang Dio mengacungkan jempolnya seraya berkata, "Siap om!" dengan lantangnya.
Fauzi segera menuju ruangan Reza sedangkan Dio dan Eza berlari menuju kantin. Setibanya disana, Dio memaksa Eza untuk ikut memesan makanannya bahkan kalau perlu untuk membawanya pulang juga.
Eza menolak karena tidak enak, tapi Dio dengan sifat keras kepalanya tetap menyuruh Eza agar memesan beberapa makanan untuk dibawanya pulang.
Setelah puas dan hendak meninggalkan kantin, tiba-tiba saja pundak Dio dan Eza di tahan oleh mbak-mbak kantin tempat yang tadi mereka pesan makanannya.
"Kalian mau kemana? Setelah makan banyak dan juga membungkusnya, hendak pergi begitu saja? Cepat bayar dulu sebelum pergi!" Bentak mbak kantin tersebut.
"Kalian berdua itu sebenarnya anak siapa sih? Kok bisa ya kantor sebesar ini memperbolehkan karyawannya membawa anak?" Lanjut mbak kantin heran.
"Mbak, nanti om Fauzi yang akan bayar jajan kita berdua." Seru Dio. "Fauzi? Oh si Ahmad Fauzi itu? Hutang dia saja belum di bayar, sok-sokan ngajak keponakannya ke kantor dan segala traktirin. Gak bisa! Saya gak mau tau, pokoknya kalian harus bayar semua yang kalian makan sekarang juga!"
Eza hanya diam, dia masih gak tau harus berkata apa untuk membantu Dio, Eza juga gak tau om Fauzi selaku om nya Dio tersebut.
"Bukan Ahmad Fauzi mbak, tapi Fauzi Pratama. Itu om nya Dio yang akan bayar semuanya." Jelas Dio.
"Pak Fauzi, om kamu? Jangan bercanda deh, pak Fauzi itu anak kedua dari pemilik kantor ini sudah pasti kan kalau mereka kaya raya. Coba lihat pakaian kamu, lusuh kaya gitu, jelas gak mungkin kamu tuh keponakannya. Yang ada juga Ahmad Fauzi tuh om kamu, ayo ngaku aja!"
Dio kesal, pakaian yang ia kenakan saat ini itu milik teman berharganya. Pakaiannya juga gak lusuh, masih bagus banget dan Dio suka!
Sementara Eza selaku pemilik baju cuma bisa menundukkan kepalanya, ia ingin marah dan memaki mbak kantin itu, biar gimana pun pakaian itu di belikan oleh ayahnya yang sedang susah payah mencari pekerjaan. Karena keadaan yang berubah, Eza yang usianya barulah tujuh tahun itu, sangat mengerti dengan keadan yang mereka alami, membuat dirinya berubah menjadi sosok yang lebih dewasa dan merubah sikapnya yang dulu sombong kepada orang-orang. Mungkin hal ini yang membuat Eza dapat berteman baik dengan Dio, pemikiran mereka dapat terhubung sehingga Eza dapat menimpali segala ucapan Dio.
"Mbak kalau bicara di jaga ya! Baju ini bagus banget, gak lusuh, Dio bahkan suka banget! Baju bagus itu gak harus bermerk! Mbak lebih baik minta maaf sekarang! Atau Dio akan hancurin kantin ini!" Ancam Dio.
"Astaga anak kecil saja belagu bicaranya, gimana nanti kalau sudah besar? Orang tua mu pasti tidak pernah mendidik mu dengan benar, jadinya tuh kaya gini ini, udahlah cepetan ngaku gak usah kebanyakan bohong!"
Dio semakin termakan amarah, kali ini orang tuanya di bawa-bawa! Zahra tidak pernah mendidiknya hal yang buruk, ia slalu mendidiknya hal yang baik. Dio jelas tidak bisa menerimanya! Kedua tangannya di kepalkan dan siap untuk mengeluarkan amarahnya.
"Orang tua Dio slalu mendidik Dio dengan baik, Dio tidak pernah berbohong! Mbaknya kalau punya mulut di jaga jangan asal nuduh! Cuma jadi penjaga kantin aja belagu! Mbak kalau orang baru disini lebih baik tanya dulu sana ketemenya, siapa Dio ini! Biar itu kalau punya mulut tau aturan!"
"Lihat anak ini, masih kecil saja bicaranya sudah kaya orang gede aja, berani bentak orang yang lebih tua lagi! Sudah pasti orang tuanya gak bener mendidiknya." Mbak kantin itu melipat kedua tangannya di depan dada sambil berdecak kesal.
"Dio udah jangan marah lagi, tenangin diri kamu." Bujuk Eza agar temannya ini dapat menahan amarah sebelum ada orang lain yang datang ke kantin dan mereka jadi pusat perhatian.
"Dio gak terima Za, dia udah menghina baju Eza ini padahal bajunya bagus dan Dio suka! Udah gitu mbak ini udah nuduh orng tua Dio! Dio gak suka, Dio gak terima!"
"Makanya udah kamu jujur aja dari pada bohong terus. Ajaran orang tua mu yang gak baik itu jangan di ikutin." Celetuk mbak kantin segera ia mendapat tatapan tajam dari Dio.
"Dio gak pernah bohong!"
"Plaaak..." Suara tamparan yang keras terdengar seisi kantin.