Chereads / I Need You, Papa / Chapter 5 - Teman

Chapter 5 - Teman

"Oma, opa... Dio berhasil juara satu, jangan lupa dengan janjinya ya." Dio berseru saat sedang melakukan video call dengan oma dan opa nya yang masih berada di Belanda. Sepulangnya mereka dari toko buku, tanpa berganti pakaian atau pun istirahat sejenak, Dio segera meminjam ponsel milik mamanya dan melakukan panggilan video.

"Cucu oma hebat ya, nanti akan oma dan opa belikan dan kirim ke rumah." Puji Silvia dan Alan hanya tersenyum merasa kagum dengan Dio, sedangkan anak yang di pujinya berseru gembira.

"Tadi Dio katanya ikut tes IQ ya, gimana dengan hasilnya sayang?" Tanya Alan penasaran, Dio menunjukkan senyum sombongnya dan menunjukkan hasil tes IQ nya kepada oma dan opanya.

"Dio mendapatkan nilai lebih tinggi dari hasil ujian Dio di sekolah dong." Serunya.

Silvia dan Alan terdiam karena kaget melihat hasil tes tersebut. "Kamu pinter sekali Dio, hebat lho bisa dapat 180. Opa saja tidak bisa mendapatkannya." Alan terkekeh sedangkan Dio masih dengan sikap sombongnya.

"Cucu oma memang pinter ya, oma bangga sekali sama kamu sayang. Coba kamu ada disini, oma pengen peluk sekarang." Tutur Silvia dan di saut oleh Dio, "Dio juga pengen peluk oma dan opa, Dio kangen banget sama kalian."

Siang berganti malam, Dio memaksakan matanya untuk tetap terjaga menemani Zahra yang sedang menunggu sang suami pulang ke rumah. Sekarang sudah dini hari, tinggal beberapa detik hari tlah berganti namun Putra belum juga pulang.

Mereka berdua menanti di ruang santai dengan televisi yang masih menyala, sedangkan Dio asik membaca buku yang baru saja di dapatkannya sebagai hadiah juara satu di sekolah.

Zahra nampak lelah dan ketiduran di sofa panjangnya itu, Dio yang melihat ibunya itu segera berlari menuju kamar orang tuanya untuk mengambil selimut.

Meski terasa cukup berat untuk ukuran Dio, ia terus mencoba membawanya tanpa putus asa hingga tibalah di ruang santai. Selimut itu Dio gunakan untuk menyelimuti tubuh Zahra, setelah tertutup hingga leher, Dio memberi kecupan di pipi Zahra dan bergumam "Love you mom.". Dio kembali duduk di lantai yang beralasan karpet dan bersandar pada sofa yang di gunakan Zahra untuk tidur, Dio kembali membaca bukunya dan terus menanti sang ayah pulang.

Di dekat dirinya terdapat rapot serta kertas hasil tes IQ nya, anak yang memiliki warna rambut coklat seperti Zahra dan bola mata berwarna hitam pekat seperti ayahnya, Putra, milirik pada dua hal yang berada di sampingnya itu dengan tersenyum.

Dengan penuh keyakinan bahwa kali ini ia akan mampu membuat ayahnya bangga pada dirinya dan akan mengakui kehadirannya.

Sudah jam setengah dua dini hari, terdengar suara mobil Putra tiba di depan rumahnya. Dio beranjak dan melihat Zahra yang masih tertidur dengan pulas, Dio tidak tega membangunkan ibunya itu. Anak itu meraih rapot dan kertas lalu berlari menuju pintu masuk menanti ayahnya membuka pintu.

"Papa lihat ini! Dio juara satu di kelas dan sekolah, Dio hebat kan pa? Terus yang ini hasil IQ Dio, Dio dapat nilai 180 pa! Kata mama, oma dan opa, Dio sangat pintar pa, bahkan opa saja tidak bisa dapat nilai seperti Dio. Ini pa coba lihat." Dio terus berceloteh dengan kedua tangannya yang ia angkat setinggi mungkin dengan membawa rapot serta hasil tesnya.

Putra masih mengabaikan ucapan anaknya itu, ia berjalan sedikit terhuyun huyun sembari membuka sepatunya dengan asal. Dio yang melihat itu segera merapikannya dan kembali lagi ke sang ayah tanpa henti ia berusaha untuk ayahnya mau melihat dua barang yang ia bawa lalu memujinya.

"Papa kok bau? Baunya tidak enak, Dio rasanya mau muntah menciumnya." Monolog Dio yang mampu di dengar oleh Putra. Sang ayah menatap jengah anaknya, Dio merasa sedikit takut namun ia tutupi hal itu dengan senyuman di wajahnya.

"Berisik sekali sih! Pusing tau gak dengernya! Dan apa ini? Gak penting sama sekali." Putra sedikit mengamuk dan membentak Dio, rapot dan hasil tesnya di raih lalu di hempaskan dengan kuat.

Dio merasa sedih, karena ini tidak sesuai dengan apa yang di harapkannya. Namun ini semua tidak membuat dirinya jera untuk mendapatkan perhatian dan kasih sayang ayahnya sendiri.

Dio mempoutkan bibirnya yang membuatnya terlihat sangat lucu namun tidak dengan Putra. Dio mengambil kembali apa yang di buang ayahnya dan kembali ia ulurkan tepat dihadapan ayahnya.

"Dilihat dulu pa, papa pasti akan puas dengan hasil yang Dio dapatkan." Ujarnya tanpa kenal lelah. "BERISIK!" Teraik Putra dan "Argh..." Dio meringis kesakitan akibat Putra mendorongnya dengan sangat kuat hingga tubuh kecilnya terpental lalu keluar darah dari keningnya karena terbentur bufet yang terbuat dari kayu jati membuat bufet tersebut sangat kokoh dan kuat. "Hiks... Hiks...." Dio sedikit menangis dan berusaha untuk tidak menangis. Namun rasa sakit pada kepala dan perut yang terkena benturan membuatnya tidak kuasa untuk menahan tangis.

Seketika tangis Dio pecah, Putra menutup kedua telinganya dan berseru. "DIAM! JANGAN BERISIK!" Itu saja yang Putra lontarkan hingga Zahra yang sudah tertidur jadi terbangun akibat mendengar suara tangis anaknya setelah sekian lama tidak pernah menangis lagi.

Zahra menghampiri sumber suara dan matanya terbelalak melihat darah yang mengalir pada kening anaknya.

"Putra! Apa yang kamu lakukan sama anak mu sendiri?!" Tegas Zahra bertanya dan ia melanjutkan bicaranya kini kepada anaknya. "Kamu gak apa sayang? Ayo sini mama obati lukanya."

Dio yang berusaha untuk berdiri, tiba tiba meringkuk dengan kedua tangannya yang memegangi perut. "Sakit ma, perut Dio sakit hiks hiks..." Dio mengadu dengan meringis kesakitan. Zahra nampak cemas, ia takut ada suatu hal yang buruk menimpa anak tunggalnya. "Tunggu sebentar ya sayang." Pinta Zahra kepada anaknya yang tak henti menangis. Zahra menuju kamarnya untuk mengambil dompet, ponsel, kunci mobil serta jaketnya dan kembali menghampiri Dio yang masih tersungkur seorang diri. Sedangkan Putra tertidur di atas sofa ruang santai.

"Tahan ya sayang, kita pergi ke rumah sakit sekarang!" Zahra menggendong anaknya menuju mobil, dan segera Zahra larikan Dio ke rumah sakit terdekat. Karena sudah dini hari, jalanan begitu sepi hingga membuat Zahra dapat menancapkan gas dengan kecepatan penuh. Sesampainya di rumah sakit, Dio segera di tangani oleh dokter yang berjaga.

"Bagaimana dok anak saya?" Tanya Zahra cemas setelah beberapa saat dokter mencoba mengobati Dio.

"Luka dikeningnya tidak terlalu dalam, dan luka yang di perutnya hanya lebam tidak ada yang parah." Tutur dokter menjelaskan. "Tapi dok, tadi anak saya nampak kesakitan di perutnya sampai buat berdiri saja susah." Zahra masih khawatir.

"Mungkin itu karena anak anda masih sangat kecil, tubuhnya merasakan syok akibat benturan yang ia terima tapi tidak ada yang parah dan hanya menimbulkan lebam saja. Dan kalau bisa anak anda pulang besok pagi saja, takutnya ia mengalami pusing. Saya permisi dulu."

"Ah ya dok, terima kasih banyak."

Keesokan harinya, Zahra dan Dio kembali ke rumah. Dio nampak ketakutan begitu melihat ayahnya yang sedang menanti kedatangan mereka berdua, ah ralat... Mungkin hanya menanti kedatangan Zahra di depan pintu masuk dengan amarah yang terukir jelas di wajahnya.

Dio menggenggam erat ujung baju Zahra, wanita cantik itu menyadari ketakutan sang anak, ia segera merangkulnya dan mendekap begitu erat. "Pergi kemana? Pagi-pagi sudah tidak ada di rumah." Cicit Putra, Zahra menatap kesal suaminya itu.

"Lupa dengan apa yang kau lakukan dengan anak mu ini? Pulang telat dalam keadaan mabuk pula! Anak mu ini setia begadang hingga larut malam menunggu mu, untuk menunjukkan hasil rapotnya. Tapi apa yang kau lakukan?! Lihat Dio, kau melukainya sampai seperti ini!"

"Aku di ajak minum-minum oleh kolega ku, mana mungkin aku menolaknya. Selain itu, siapa juga yang perduli dengan anak ini." Zahra geram dan "plaaak!" sebuah tamparan yang keras mendarat kasar pada wajah Putra.

"Ayo sayang kita masuk, jangan perdulikan papa mu yang tidak punya hati ini." Zahra menarik Putra untuk masuk ke dalam rumah. Sejak saat itu, Zahra benar-benar marah dengan Putra hingga ia mengabaikannya bahkan ia lebih memilih tidur dengan anaknya di kamar Dio.

"Mama tidur di kamar Dio lagi?" Tanya Dio yang merasa sedih melihat ibunya tidak bicara sama sekali dengan ayahnya, bahkan Putra nampak sangat marah dan menatap Dio benci.

"Inilah yang ku benci jika memiliki anak, waktu mu untukku akan berkurang dan kau lebih mengutamakan anak mu itu!"

"Dio juga anakmu! Kau harus ingat itu!"

Perkataan tersebut tidak dapat ia lupakan dari benaknya, pada saat itu Dio tidak sengaja mendengar pertengkaran kedua orang tuanya, hingga ia merasa bersalah. Karena dirinya, ayah dan ibunya jadi bertengkar hebat, sementara sebelumnya mereka tidak pernah bertengkar.

"Iya sayang, mama ingin tidur sama Dio. Apa Dio gak suka tidur bareng mama?" Tanya Zahra dengan mencubit gemas hidung Dio. Gelengan kepala di gerakan cepat oleh Dio seraya berkata, "Bukan begitu ma, Dio suka tidur bareng mama. Tapi Dio gak suka lihat mama dan papa bertengkar karena Dio.".

Zahra mengerutkan dahinya. "Siapa yang lagi bertengkar? Mama dan papa baik-baik saja kok sayang, mama cuma ingin menghabiskan waktu bareng dengan jagoan mama yang pinter ini." Zahra memeluk tubuh kecil Dio dan anaknya membalas pelukannya itu hingga mereka larut ke dunia mimpi.

Satu minggu berlalu, Zahra benar-benar mengabaikan Putra dan tidak menjalankan tugasnya sebagai istri. Kesal? Tentu saja, Zahra masih sangat kesal. Begitu juga dengan Putra yang kesal terhadap anaknya sendiri. Berkat anaknya, istri tercintanya jadi mengabaikannya. Putra tidak bisa seperti ini terus, dia tidak tahan di abaikan oleh sosok wanita yang sangat cantik yang begitu ia cintai.

'Baiklah, kali ini aku akan mengalah.' Batin Putra disaat ia sedang melamun di kantornya. Ia menatap kaca pada ruangan kerjanya, melihat jalanan kota yang begitu ramai akan kendaraan yang berlalu lalang.

Saat ini jam menunjukkan pukul delapan malam waktu Indonesia barat. Putra yang baru saja memasuki rumahnya melihat Dio sedang duduk seorang diri pada sofa panjang yang berada di ruang santai.

Putra duduk tepat di samping anaknya itu, menaruh tas serta seikat bunga di sisi lainnya dan sebuah kantong belanjaan yang ukurannya sedikit besar.

"Dimana mama mu?" Dio yang mendapatkan pertanyaan dari Putra menghentikan kegiatan membaca buku tentang tata surya, dan menatap kosong tulisan-tulisan pada bukunya. Saat ini yang ada dalam pikirannya adalah, 'Apa papa bertanya pada Dio? Apa Dio tidak sedang bermimpi?'

Dalam keheningan ini hanya dapat terdengar musik jazz yang sedang Dio putar pada televisi besar di hadapannya yang sudah tersambung dengan internet.

"Dio? Papa tanya, dimana mama?" Tanya Putra kembali karena tak kunjung mendapatkan balasan dari sang anak. Sebisa mungkin Putra menahan emosinya karena tidak segera di jawab oleh Dio, jika kalau bukan untuk berdamai dengan Zahra, Putra enggan melakukan ini.

"Mama ada di kamar pa." Dio menjawab tanpa berani memandang ayahnya itu. Ada hal yang membuat Dio ingin bicara lagi dengan ayahnya, namun Dio merasa takut tapi pada akhirnya ia mampu melawan ketakutan tersebut.

Di pandang wajah ayahnya yang nampak lelah dan seikat bunga yang nampak indah, Dio kemudian tersenyum.

"Bunganya cantik pa, mama pasti suka." Ujar Dio mengutarakan pendapatnya, Putra ikut serta memandangi bunga itu dan juga tersenyum, Putra merasa yakin bahwa malam ini Zahra akan memaafkannya.

"Papa keliatan lelah, mau Dio buatin kopi atau teh?" Dio bertanya penuh harap akan ayahnya yang akan menjawab dan meminta dirinya untuk dibuatkan minuman. "Kopi." Singkat Putra menjawab. Dio beranjak dengan penuh semangat dan berlari menuju dapur.

Kopi tlah siap, Dio berjalan perlahan-lahan agar kopi panas itu tidak tumpah hingga membuat ayahnya kecewa.

"Ini pa kopinya." Dio menaruh secangkir kopi tersebut di atas meja. Saat ini Putra sedang melihat buku yang tadi di baca oleh anaknya itu. "Makasi." Seru Putra membuat Dio menampakkan senyum indah yang tak kuasa ia tahan.

"Kamu baca buku seperti ini? Bukan kah buku ini bukan buku bacaan untuk anak seusia mu?" Tanya Putra yang mengerutkan dahinya. Senyuman indah itu segera menghilang dari wajah Dio, anak itu segera menundukkan wajahnya karena takut Putra akan memarahinya atau memukulnya.

"Tapi Dio suka bukunya." Ucapnya pelan. "Apa kamu mengerti sama isi buku itu?" Dio segera mengangguk kepalanya sebagai jawaban. "Hebatnya anak papa." Putra mengelus pucuk kepala anak itu. Dio segera menaikkan kepalanya untuk melihat wajah ayahnya tersebut.

Tersenyum? Putra tersenyum seakan merasa bangga kepada Dio anaknya. Merasa senang lagi akan perlakuan baik dari ayahnya, Dio ikut tersenyum bersama.

"Dio, papa mau minta maaf ya sama Dio sudah kasar sama Dio. Waktu itu papa lagi mabuk, jadi papa tidak sadar melakukannya. Dio mau kan maafin papa? Kalau Dio maafin papa, nanti papa bakal kasih Dio hadiah." Bujuk Putra namun Dio nampak bingung akan perkataan ayahnya itu. "Mabuk itu apa pa?" Tanya Dio dengan polosnya.

"Gimana ya jelasinnya, jadi intinya papa abis minum minuman yang mengandung alkohol dan papa minumnya banyak, jadi papa mabuk karena tidak tahan dengan alkoholnya." Tutur Putra.

"Papa jangan minum alkohol lagi, Dio gak mau liat papa mabuk kaya waktu itu." Ujar Dio dengan memelas.

"Papa tidak akan melakukannya lagi, jadi Dio mau kan maafin papa?"

"Tentu, Dio akan selalu maafin papa. Soalnya Dio sayang banget sama papa dan juga mama." Dio nampak ingin sekali memeluk ayahnya itu, tapi Dio takut dia masih belum berani. Keinginan itu ia urungkan, baginya, dapat bicara seperti ini saja sudah membuat dirinya sangat bahagia. Rasanya Dio seperti mimpi dan tidak ingin terbangun dari mimpi indahnya ini.

"Sesuai janji papa tadi karena Dio mau maafin papa, ini papa ada hadiah untuk Dio. Anggap saja ini hadiah karena sudah jadi juara di sekolah." Putra mengambil tas belanjaan dan ia berikan kepada Dio.

Anak itu sangat bahagia menerimanya, wajahnya tidak lepas dari senyuman. Dio segera membuka tas tersebut, rupanya isi dari tas itu adalah mainan mobil remot control, dan mobil itu cukup besar.

"Terima kasih banyak papa, Dio suka sekali hadiahnya. Dio akan jaga mainan ini baik-baik. Dio mau unjukin ini ke mama!" Dio yang antusias membawa mainannya berlari menuju kamar dimana Zahra berada. Belum sampai pada kamar tersebut, Zahra sudah keluar dan bertanya kepada sang anak.

"Anak mama seneng banget sih, ada apa?" "Lihat ini ma, Dio dapat hadiah mobil remot control. Keren banget mobilnya, Dio suka banget." Seru Dio.

"Mobilnya keren sekali, hadiah dari siapa sayang?" "Papa!" Jawab Dio cepat, Dio menarik Zahra menuju Putra berada tanpa perduli dengan expresi wajah Zahra yang nampak bingung.

"Zahra aku ingin meminta maaf sama kamu, aku tau aku salah, tolong maafin aku." Mohon Putra dengan memberikan seikat bunga kepada Zahra.

"Terima ma! Maafin papa ya, Dio aja mau maafin papa. Ya ma ya? Dio gak mau lihat mama sama papa bertengkar lagi." Saut Dio, pandangan matanya tak lepas dari mata Zahra. Dio memasang wajah penuh harap dan itu membuat Zahra tidak bisa menolak keinginan anaknya itu.

"Iya sayang, mama akan maafin papa mu." Di terimalah seikat bunga yang cantik itu dan Zahra mencium aroma bunganya yang sangat harum.

"Terima kasih banyak Zahra, oh ya apa kalian sudah makan malam?" Tanya Putra yang di jawab oleh Dio, "Belum."

"Baiklah ayo kita bersiap, kita akan makan malam di luar. Dio mau makan apa?" Tanya Putra kembali.

"Apa saja Dio mau, mama mau makan apa? Dio akan setuju dengan keinginan mama."

Beberapa hari berlalu sejak saat itu, Dio mendapatkan hadiah atas juara satu di sekolahnya berupa robot dari neneknya, Dewi. Nenek dan kakeknya baru sempat menemui cucu pertama mereka lantaran tugas kerja Reza di luar negri, dan Dewi ikut serta untuk menemani sang suami.

Saat Zahra memposting status Dio yang jadi juara kelas dan sedang melakukan tes IQ, hanya berselang jam Dewi menghubungi menantunya itu menanyakan hasil dari tes Dio tersebut.

Spontan mereka takjub akan hasil tes IQ Dio, siapa yang sangka mereka memiliki cucu yang luar biasa pintar, selain Dio merupakan anak yang baik dan penurut.

Dewi dan Reza menanyakan hadiah apa yang di inginkan oleh Dio. Merasa sudah mendapatkan buku yang banyak belum lagi kirimin buku dari oma dan opanya, maka dari itu Dio memilih Robot berhubung nenek dan kakeknya lagi berada di Jepang.

Setelah Dewi dan Reza datang ke Indonesia lebih tepatnya Jakarta, tidak menunggu lama mereka berdua datang ke rumah anaknya itu untuk memberikan hadiah kepada sang cucu tercinta.

Dio bersorak gembira dan menghambur dalam pelukan nenek serta kakeknya, karena Dio mendapatkan dua robot. Satu dari sang nenek, satu lagi dari sang kakek.

Dio berlari ke kamarnya, membawa tumpukan buku serta mobil remot control. Para orang dewasa tertawa lucu melihat tingkah Dio, terlebih Dio menolak bantuan siapa pun untuk membantu membawakannya.

"Nenek kakek, lihat ini! Buku-buku yang disebelah sini hadiah dari mama, buku-buku yang ini hadiah dari oma dan opa langsung dari Belanda. Sedangkan mobilan ini dan juga kalung perak yang Dio pakai, ini hadiah dari papa. Dio seneng banget bisa punya banyak hadiah." Tutur Dio menjelaskan dan juga sedikit pamer kepada nenek dan kakeknya.

"Kalau begitu, semua hadiahnya harus kamu jaga dan rawat dengan baik ya sayang. Jangan sampai ada yang rusak." Titah Dewi dan di lanjutkan oleh Reza. "Dio juga harus semakin rajin belajarnya jangan malas-malasan biar jadi juara sekolah dan dapat hadiah lagi."

Dio mengangguk setuju akan perintah dari nenek dan kakeknya itu.

Saat keluarga Putra sedang menikmati makan malam di sebuah restaurant Italy, Putra mengeluarkan sebuah kotak dan di berikannya kepada Zahra.

"Kotak ini berisi kalung emas dengan inisial nama mu sayang, dan juga kalung perak yang berinisial nama Dio." Ucap Putra dan Zahra segera membukanya.

Zahra tersenyum senang mendapatkan hadiah dari sang suami, Zahra mengambil kalung perak dan memakaikannya kepada Dio. Putra juga melakukan hal yang sama untuk istri tercintanya.

Dan sejak saat itu, setelah berhasil mendapatkan maaf dari Zahra. Putra hanya bersikap baik kepada Dio dalam beberapa hari saja, setelah itu Putra kembali mengabaikan anaknya.

Dio sempat merasa sedih karena ayahnya kembali seperti sedia kala, tapi Dio tidak mau larut dalam kesedihannya. Anak itu berpikir kalau Dio harus melakukan sesuatu untuk membuat ayahnya kembali bangga dengan dirinya hingga mau bicara lagi dengannya.

Hari ini merupakan hari pertama Dio masuk sekolah di kelas duanya. Anak itu pergi di antar oleh Zahra hingga tepat di kelas, Zahra mengusulkan untuk Dio duduk di barisan depan agar lebih jelas dan lebih mudah memahami ketika guru menjelaskan. Namun Dio menolak, Dio tidak mau duduk di barisan depan. Melihat barisan belakang yang berada di paling ujung dekat jendela masih kosong, tangan Dio mengarahkan kesana secara otomatis kedua mata Zahra mengikuti kemana tangan anaknya itu menunjuk.

"Dio mau duduk disana saja, kelas satu kemarin kan Dio duduk di depan, kali ini Dio mau ngerasain duduk di belakang." Seru Dio, Zahra tersenyum sembari mengelus lembut pucuk kepala anaknya. "As you wish Dio, ya sudah mama pulang dulu ya sayang. Nanti pas pulang mama jemput ok?!" Dio menghambur dalam pelukan Zahra dan berkata "Ok captain." setelah itu Dio duduk di bangku yang ia inginkan itu. Usai duduk Dio melambaikan tangan kepada Zahra dan ibunya pulang ke rumahnya.

"Eh anak mama sudah datang rupanya. Duh pakai acara peluk-pelukan segala, alay tau gak!? Oiya lupa, kan Dio anak mama, gak mungkin kalau gak peluk-pelukan dulu hahaha..." Ledek temen sekelas Dio yang bernama Adi Herlambang. Adi merupakan teman satu kelas Dio sewaktu di kelas satu kemarin dan Adi memang sering kali mengejek Dio. Dan tahun ini Dio harus bersabar lagi karena satu kelas dengannya.

Seperti biasa, Dio hanya mengabaikannya dan ia mengeluarkan buku tentang tata surya lainnya yang belum usai dibaca.

Merasa di abaikan, Adi mengambil buku Dio dan di lemparkannya ke tempat sampah yang berada di ujung belakang kelas. Dio tidak marah, lebih tepatnya ia menahan amarah yang berkecamuk di dadanya.

Jika tidak ingat akan pesan dari ibunda tercintanya untuk tidak bertengkar dengan teman sekolahnya, sejak dulu Dio pasti akan menghajar Adi habis-habisan. Tidak ada yang tau jika Dio bisa beladiri.

Ketika Dio bermain ke rumah nenek dan kakeknya, Dio pasti di latih beladiri oleh pamannya, Fauzi. Meski jarang-jarang, tapi karena Dio anak yang pintar dia jadi mudah mempelajarinya. Selain itu, Dio suka menonton film action, atau kungfu China di kamarnya dan diam-diam mempraktekannya tanpa pantauan siapa pun.

"Ini buku mu." Ucap seorang anak laki-laki yang mengambilkan serta memberikan buku tersebut kembali kepada Dio. "Makasi." Ujar Dio.

Anak laki-laki itu menaruh tas di mejanya Dio dan menarik bangku serta duduk disebelah Dio. Adi merasa kesenangannya di usik, berdecak kesal dan pergi menuju bangkunya sendiri.

"Namaku Eza Pamungkas, nama mu siapa?" Tanya anak yang duduk disebelah Dio itu dengan tangannya yang ia salurkan hendak berjabat tangan. Dio segera meraihnya serta menyebutkan namanya, "Dio Pratama." Eza mengedipkan mata berkali-kali seakan tak percaya bahwa teman disebelahnya itu merupakan siswa terpintar.

"Kamu yang juara satu sekolah kan? Iya kan?" Eza mencoba memastikan dan Dio hanya menganggukan kepala.

"Lucky, aku bisa sebangku dengan anak pintar. Dio, mari berteman!"

"Tapi, kamu pasti akan bosan dengan ku. Mereka bilang membosankan berteman denganku, dan juga mereka tidak bisa mengikuti apa yang ku bicarakan." Dio menundukkan kepalanya merasa pilu, sedangkan Eza menepuk-nepuk pundak Dio dengan wajahnya yang sumringah.

"Aku pasti tidak akan merasa bosan, apa pun yang ku pilih biasanya tidak pernah salah. Instingku slalu berkata benar. Jadi, ayo berteman!"

Dio mengangkat kepalanya dan terlihat jelas ukiran senyum yang nampak bahagia. "Emm.." Dio menganggukkan kepalanya penuh semangat.

Bel masuk berbunyi, hari ini tidak ada pelajaran. Karena mereka semua baru masuk setelah kenaikan kelas. Jadi hari ini hanya perkenalan, memberikan jadwal kelas, pembagian buku paket serta pemeriksaan fisik.

Di sekolah swasta yang ternama ini, setiap muridnya wajib melakukan pemeriksaan fisik. Dari tinggi badan, berat badan, dan tes kesehatan. Siswa dan siswi melakukanya di ruang yang berbeda, kelas satu hingga kelas enam semuanya berkumpul jadi satu. Ada banyak dokter yang turun tangan dalam menangani pemeriksaan tersebut agar semuanya dapat berjalan dengan cepat dan juga tepat.

Pemeriksaan fisik di lakukan setiap dua kali dalam setahun, dan itu berupa wajib!

Setelah melakukan pemeriksaan fisik, Dio dan Eza berjalan bersama-sama menuju taman bermain yang berada di samping gedung sekolah.

Mereka berdua bermain bersama sambil menunggu jemputannya masing-masing. Segala macam mainan mereka mainkan hingga merasa lelah dan duduk pada bangku di taman itu. "Haus sekali." Keluh Eza yang saat ini terlihat seperti slime, tak berbentuk. Dio terkekeh melihatnya. "Tunggu ya, Dio akan membeli minum. Dio juga haus." Dio pergi meninggalkan temannya seorang diri menuju kantin sekolah. Tas miliknya ia titipkan pada Eza.

Selang beberapa menit Dio datang dengan membawa dua botol minuman bersoda. "Dio gak tau kesukaan Eza, jadi Dio memilih minuman yang Dio suka, maaf." Dio nampak ragu melihat Eza, ia takut Eza tidak suka dan jadi membenci dirinya dan tidak mau berteman lagi dengannya. "Aku suka kok, makasi banyak ya." Perkataan Eza tersebut membuat Dio tersenyum senang. Dio kembali duduk di sampingnya Eza sembari meminum minuman yang baru saja dibelinya itu bersaman dengan Eza.

"Dio sayang, maaf mama telat jemputnya." Seru Zahra yang menghampiri anaknya. Dio yang melihat Zahra segera berlari dan berhambur dalam pelukan ibunya.

"Gak apa ma, Dio disini sama teman Dio." Dio melepaskan pelukannya dan mengarahkan pandangannya kepada Eza.

Eza berjalan menghampiri. "Siang tante, nama ku Eza Pamungkas. Ya udah aku pulang duluan ya Dio, tante." Dio melihat kanan dan juga kiri belakang Zahra, namun tidak ada seorang pun disana. "Eza gak di jemput?" Tanya Dio memastikan.

"Aku pulang sendiri, rumah ku kan deket."

"Pulang bareng Dio aja ya?" Ajak Dio tapi Eza nampak sungkan.

"Gak usah, rumah Eza deket kalau lewat gang gang kecil cepet sampainya kok."

"Eza, tante anterin pulang ya? Eza kan sekarang temannya Dio, jadi Dio dan tante harus tau rumahnya Eza. Jadinya kalau Dio main ke rumah Eza, Dio udah tau dimana rumahnya." Bujuk Zahra membantu sang anak. Pada akhirnya Eza tidak menolak dan ikut masuk kedalam mobil Zahra.

"Pertigaan depan belok kanan tan, di sebelah kiri ada rumah warna abu-abu itu rumahnya Eza." Jelas Eza menerangkan letak rumahnya.

Sesampainya di depan rumah Eza, Dio menatap kagum rumah Eza yang berbeda dengan rumah miliknya.

"Maaf jika rumah ku kecil dan jelek, kamu pasti gak akan mau main ke rumah ku kan? Apa kamu juga gak mau berteman lagi dengan ku setelah tau seperti apa rumah ku ini?" Ujar Eza menahan air mata keluar dari matanya.

"Kenapa? Rumah Eza unik, Dio suka. Dan Dio tetap berteman kok dengan Eza, soalnya Eza kan teman pertama yang Dio punya. Dan besok Dio akan main ke rumahnya Eza, bolehkan ma?" Zahra tersenyum dan berkata, "Tentu saja sayang."

"Kamu gak bohong kan? Soalnya teman-teman aku yang lainnya jadi musuhin aku dan gak mau lagi berteman dengan ku, perusahaan papa bangkrut dan kami pindah kesini, karena rumah ku yang kecil dan juga jelek mereka gak mau lagi kenal dengan ku." Eza menatap mata Dio seakan mengharapkan bahwa Dio tidak sama dengan yang lainnya. Dio ikut menatap mata Eza dengan tajam, "Apa Dio terlihat seperti sedang berbohong? Dio gak akan mungkin pergi dari Eza, kan Eza teman kesayangan Dio!"

"Eza dengarkan tante ya sayang... Tante atau pun Dio gak pernah permasalahin kamu tinggal dimana, atau kamu anak orang kaya atau bukan. Selama Eza berteman baik dengan Dio, dan mau terima Dio tulus sebagai teman bahkan Eza menganggap Dio seperti saudara sendiri, kita pasti akan berteman baik dengan Eza. Ingat sayang, roda kehidupan itu slalu berputar. Terkadang ada di atas terkadang ada di bawah, jadi kita tidak boleh memilih untuk berteman. Eza juga tidak boleh sedih dengan keadaan Eza saat ini, di luar sana ada banyak lho yang tidak punya rumah dan tinggal di kolong jembatan. Tapi mereka menjalani kehidupan mereka dengan baik, yang terpenting adalah bersyukur atas segala yang di berikan Tuhan untuk kita." Zahra menasehati Eza dan ucapannya berhasil membuat air mata Eza terjatuh karena merasa sangat bahagia.

"Terima kasih banyak tante, Dio. Aku pasti akan berteman baik dengan Dio, aku janji." Seru Eza antusias, Zahra tersenyum senang bahkan Dio merasa sudah tidak sabar ingin main ke rumah Eza yang menurutnya sangat unik karena rumahnya kecil tidak seperti rumahnya. Jika saja hari ini ia tidak memiliki janji dengan kakeknya, sudah pasti saat ini juga Dio akan masuk ke rumah Eza.