Chereads / I Need You, Papa / Chapter 3 - Prematur

Chapter 3 - Prematur

Satu bulan tlah berlalu, pernikahan Putra dengan Zahra tlah terlaksanakan dua hari yang lalu. Kini mereka tinggal di rumah sendiri, rumah yang di hadiahi oleh Reza kepada Putra. Sedangkan orangtua Zahra, usai acara pernikahan anaknya, mereka kembali ke Belanda.

"Bahagia banget aku bisa menjadi suami mu Zahra, kamu emang yang terbaik untukku." Ucap Putra kepada Zahra di suatu malam yang terang, mereka berdua sedang menikmati bulan madunya di Bali. Saat ini Putra dan Zahra sedang berada di kamar hotel sepulangnya dari berjalan-jalan malam menikmati pemandangan laut disana.

Putra yang sedang berbaring pada pangkuan Zahra, di belai lembut kepalanya dan Zahra tersenyum mendengar ucapan Putra. "Aku juga bahagia banget bisa jadi istri mu." Tutur Zahra. Mereka saling memandangi mata satu sama lain, jauh ke dalam dan mereka menikmati bulan madunya tersebut hingga satu minggu berlalu tanpa terasa.

Mereka yang sudah selesai menikmati masa-masa bulan madu harus kembali di sibukkan dengan pekerjaan yang menggunung. Meski sebenarnya Putra masih menginginkan bermesraan dengan istrinya itu, tapi apalah daya... Jika Putra tidak bekerja, maka ia tidak bisa menafkahi Zahra dan membahagiakannya jadi, mau tidak mau Putra harus bekerja karena itu kewajibannya.

"Pengantin baru sudah masuk kerja rupanya." Ledek Fauzi yang bertemu dengan sang kakak di lobby kantor.

"Jika bisa aku ingin menambah liburan ku agar bisa berduaan terus dengan kakak ipar mu yang cantik itu." Ujar Putra penuh harap. "Oh, apa kau tidak sabar ingin punya seorang anak kak?" Celetuk Fauzi dan Putra hanya bergumam "Anak ya?" dan itu hanya di tanggapi senyuman oleh adiknya tersebut.

Detik berganti menit, menit pun berganti dengan jam. Hari juga berganti minggu, bahkan minggu telah berganti bulan.

Pernikahan Putra dan Zahra sudah berusia tiga bulan, dan sejak dua minggu terakhir Zahra sering merasa mual, pusing, mudah letih bahkan suasana hatinya mudah sekali berubah-ubah.

Zahra pun memutuskan untuk pergi ke rumah sakit memeriksakan dirinya, ia ingin tau mungkin kah ia sedang sakit atau kelelahan karena pekerjaannya yang akhir-akhir ini terlalu banyak menyita waktunya.

"Selamat nyonya Zahra, anda sedang hamil dan usia kandungan anda sudah satu bulan." Ucap sang dokter dan memberikan hasil pemeriksaannya yang menyatakan dirinya hamil.

Zahra merasa bahagia sekali dan tidak sabar untuk memberitaukan kabar gembira ini kepada sang suami.

Malam pun menjelang, sosok pria tampan masuk ke dalam rumahnya dengan senyum lebar terukir pada wajahnya. "Sayang aku pulang, aku membawakan mu martabak keju pesenan mu tadi nih." Seru Putra yang tidak sabar ingin memeluk dan memberikan ciuman pada sang istri tercintanya.

"Kamu sudah pulang? Katanya kamu akan pulang terlambat karena pekerjaan mu masih banyak?" Ujar Zahra menyambut kepulangan sang suami.

Zahra mencium tangan Putra dan membawakan bingkisan plastik yang berisikan martabak serta tas kerja suaminya tersebut.

"Aku sengaja mengebut mengerjakan dokumen-dokumennya agar bisa cepat ketemu sama kamu. Oh ya sayang tolong buatkan aku teh panas ya." Pinta Putra yang segera di lakukan oleh Zahra.

Putra masuk ke dalam kamarnya untuk berganti pakaian dan kembali duduk di sofa yang berada di ruang santainya itu. Bertepatan dengan Putra yang duduk, Zahra menyuguhkan teh panas serta martabak yang di pindahkannya pada sebuah piring.

"Bagaimana kerjanya hari ini?" Tanya Zahra mencoba membuka obrolan sebelum mengatakan tentang kehamilannya. "Seperti biasalah sayang, tidak ada yang istimewa dan juga tidak ada yang membuat ku kesal. Semuanya berjalan lancar, dan meeting ku juga." Jawab Putra yang merangkul istrinya itu agar bersandar pada dada bidangnya.

"Pekerjaan mu sendiri bagaimana sayang?" Lanjut Putra sembari memberi kecupan dalam pada pucuk kepala Zahra.

"Tadi aku memberikan surat pengunduran diri, mulai besok aku sudah tidak kerja lagi sayang." Tutur Zahra membuat Putra bingung kenapa Zahra berhenti kerja, sedangkan sejak awal pernikahan ia tetap kekeh untuk dapat bekerja.

"Kenapa memangnya sayang? Apa disana ada yang menggoda mu?" Tanya Putra dan Zahra melepaskan diri dari dekapan hangat Putra. Zahra mengambil sebuah amplop coklat yang sejak awal sudah berada di meja depan sofa tersebut. Wanita berparas bule nan cantik itu menyerahkan amplop tersebut kepada Putra, dan sang suami menerimanya dengan penuh tanda tanya lalu membuka amplop itu sembari melirik Zahra yang terus saja tersenyum memandanginya.

Di saat Putra sedang membacanya, Zahra berkata dengan antusias. "Aku hamil sayang, dan sudah satu bulan. Dokter bilang aku harus banyak istirahat dan tidak boleh lelah karena kandungan ku lemah. Itu sebabnya aku mengundurkan diri dari pekerjaan ku."

Kedua mata Putra terbelalak lebar dan tangannya meremas kuat kertas hasil pemeriksaan Zahra itu hingga menjadi sangat kusut serta membuat Zahra yang tadi penuh antusias jadi terdiam heran akan sikap suaminya. Zahra merasa Putra seakan tidak senang, dan itu terpapar dengan sangat jelas di wajahnya Putra. "Sayang?" Ujar Zahra membuat Putra menatapnya dengan tajam. Kedua mata Putra berubah merah, mungkin amarah sudah naik hingga ke ubun-ubunnya.

"Apa? Hamil? Gugurkan kandungan mu itu! Aku tidak suka anak kecil, aku tidak ingin memiliki anak! Apa kau tau, seorang anak itu hanya menyusahkan saja, merepotkan dan juga berisik! Belum lagi kalau dia merengek dan manja manja gitu, mereka hanya membuang waktu percuma!" Kesal Putra yang berhasil meluapkan amarahnya membuat Zahra tertegun akibat terkejut tidak percaya akan ucapan yang di keluarkan oleh suami tercintanya itu.

"Plaaak..." Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Putra. Air mata Zahra keluar tanpa permisi, hatinya tersayat mendengar Putra yang menyuruhnya untuk menggugurkan kandungannya. Bagaimana bisa Putra sekejam itu, dia ingin membunuh darah dagingnya sendiri? Zahra tau bahwa Putra tidak suka anak kecil, tapi kenapa harus sejahat ini? Zahra bertanya-tanya pada dirinya sendiri yang tidak mendapatkan jawaban dari Putra.

"Bagaimana bisa kau meminta ku menggugurkan kandungan ku? Ini anak mu, darah daging mu sendiri?!" Teriak Zahra di malam hari yang dingin itu.

"Seperti yang ku katakan tadi, anak kecil itu hanya menyusahkan dan juga merepotkan! Aku tidak mau memiliki anak, satu pun tidak! Jadi gugurkan kandungan mu itu jika kau mau aku berhenti marah dengan mu!"

Usai berkata demikian, Putra meninggalkan Zahra seorang diri menuju kamarnya. Sedangkan Zahra menangis tanpa henti di sofa.

Zahra mengusap lembut perutnya dan berkata kepada sang anak. "Kamu tenang saja ya sayang, mama tidak akan mendengarkan permintaan papa mu yang kejam itu. Mama akan menjaga mu dengan mempertaruhkan nyawa mama."

Keesokan paginya, Zahra yang tertidur pulas di sofa terbangun dan segera menyiapkan sarapan untuk dirinya serta untuk sang suami. Bertepatan dengan selesainya sarapan yang di suguhkan di meja makan, Putra keluar dari kamarnya dengan pakaiannya yang sudah rapi hendak pergi ke kantor.

"Tumben pagi sekali berangkatnya, ayo sarapan dulu." Ucap Zahra biasa saja seakan sudah melupakan kejadian tadi malam. Putra segera duduk dan menikmati sarapannya tanpa bicara sepatah kata pun kepada istrinya.

Usai sarapan dan hendak keluar rumah, Zahra mengekori Putra untuk mengantarkannya hingga depan rumah. Zahra yang mengulurkan tangannya hendak mencium tangan sang suami, segera di tepis oleh Putra membuat Zahra kembali merasakan sakit. Putra pun berlalu begitu saja.

Zahra kembali kedalam rumah, ia merapikan semua piring di meja makan lalu mencucinya. Wanita cantik itu segera melakukan pekerjaan rumahnya untuk mengabaikan rasa sakit di hatinya.

Setelah rumah menjadi bersih dan rapi, Zahra melangkahkan kakinya menuju kamar bersamanya itu. Ia rubuhkan badannya pada kasur king size nya, memejamkan mata sejenak, lalu meraih ponselnya yang berada pada nakas di samping kasur tersebut.

Zahra memposting status yang mengatakan dirinya tengah hamil satu bulan. Tak lama setelah itu, ponsel Zahra mendapati notifikasi yang begitu banyak. Dan semua itu merupakan ucapan selamat untuk dirinya yang tengah mengandung anak pertama.

Bulan dan bintang tlah menunjukkan wujudnya di luasnya langit yang cerah. Keluarga Pratama datang ke rumah anaknya untuk memberi ucapan selamat kepada sang menantu.

"Pokoknya kamu harus ingat ya sayang, kamu tidak boleh lelah, nanti mama akan kirimkan asisten rumah tangga yang di rumah untuk bantu-bantu disini. Kamu harus jaga kandungan kamu dengan baik karena kandungan kamu lemah." Ujar Dewi memberi nasihat kepada Zahra.

"Iya ma, Zahra pasti akan menjaganya dengan sangat baik." Tutur Zahra dengan tersenyum bahagia.

"Putra, kamu juga harus jaga Zahra dan calon anak mu ini!" Perintah Dewi kepada Putra anaknya dan di balas olehnya. "Tentu saja ma, masa Putra tidak menjaga orang yang Putra sayangi sih. Putra akan slalu siaga untuk Zahra agar calon anak Putra dapat lahir dengan sehat." Ujar Putra yang menghampiri Zahra dan mencium pucuk kepala sang istri serta mengusap lembut perut Zahra.

Wanita cantik itu tersenyum, tangannya menggenggam erat tangan sang suami yang masih mengusap perutnya.

"Ini sudah malam, Zahra lebih baik kamu istirahat duluan saja." Titah Reza kepada Zahra yang di angguki setuju oleh Putra. Dengan tersenyum Zahra berjalan menuju kamarnya setelah berkata, "Kalau begitu Zahra ke kamar dulu ya, ma... pa...".

Tidak lama kemudian semua keluarga Pratama pulang ke rumahnya terkecuali Dewi. Karena Dewi ingin menemani sang mantu dalam beberapa bulan ke depan sepanjang masa kehamilannya.

Entah apakah Dewi merasakan firasat buruk atau memang ingin menemani menantunya yang kandungannya sangat lemah itu, tidak ada yang tau jawabannya. Namun yang pasti, karena Zahra di Jakarta seorang diri kedua orang tuanya berada di Belanda, selain itu kalau Putra bekerja, Zahra hanya akan sendirian di rumah yang cukup besar ini. Jadi Dewi memutuskan untuk tetap tinggal menemani Zahra.

Dewi menempati kamar tamu yang berada di lantai dua. Putra juga memasuki kamarnya dengan wajah yang di tekuknya. Saat Putra menduduki tepi kasurnya seusai mandi, Zahra membuka matanya yang tadinya sudah tertidur. "Keluarga mu sudah pulang semua sayang?" Tanya Zahra, namun jawaban yang di terima dari sang suami bukanlah jawaban dari pertanyaannya tersebut.

"Sampai detik ini aku masih tidak menginginkan anak itu."

Zahra menundukkan kepalanya, ia menggigit bibir bawahnya sebelum ia bersuara. "Sebenarnya kau itu mencintai ku tidak sih?"

"Aku sangat mencintai mu." Jawab Putra dengan menatap dalam kedua mata Zahra yang berwarna biru tersebut.

"Lalu kenapa kamu tidak bisa menerima calon anak kita? Ini anak kita Putra, darah daging mu dan juga aku. Bukan anak dari orang lain! Kamu harus bisa menerimanya dan mencintainya seperti halnya yang kamu lakukan terhadap ku. Kenapa kamu bisa setega itu untuk meminta ku menggugurkan kandungan ini." Pilu Zahra dengan bersimbah air mata.

"Berhenti menangis sayang, aku paling benci melihat mu menangis." Bujuk Putra. "Itu salah mu, kenapa kau bisa sejahat itu?" Tutur Zahra. Putra menghela nafasnya, dan ia mengacak kasar rambutnya. "Baiklah, aku tidak akan meminta mu untuk menggugurkannya. Lakukan apa pun yang kau mau untuk anak itu, aku tidak perduli." Keluh Putra yang pada akhirnya menyerah untuk menyingkirkan calon anaknya itu.

Ada sedikit perasaan lega pada hati Zahra karena ia tidak akan kehilangan anaknya, namun perasaan lain yang berada jauh di dalam hatinya masih menyelimuti dinding tipis hati sang wanita cantik tersebut.

"Jadi kamu itu hanya mencintai ku saja? Kamu menikahi ku hanya untuk mendapatkan diriku saja dan tidak memikirkan soal keturunan?" Ucap Zahra pelan. "Maafkan aku, tapi aku emang tidak suka dengan anak-anak." Seru Putra.

"Baiklah aku mengerti, setidaknya kamu tidak meminta ku untuk menggugurkannya lagi itu sudah cukup. Dan aku yakin, setelah anak kita lahir dan seiring berjalannya waktu, kamu bisa menerima anak kita ini."

Keesokan harinya, Putra berangkat kerja dan Zahra di rumah bersama dengan Dewi menunggu asisten rumah tangganya datang.

Setelah yang di nantikan itu datang, Zahra bersama Dewi memberitaukan tugas apa saja yang harus di lakukannya dan Zahra menunjukkan kamar untuk di tempati wanita paruh baya tersebut.

"Oh ya, nama mbok siapa?" Tanya Zahra kepada asisten rumah tangga itu.

"Maaf non saya lupa memperkenalkan diri, nama saya Endang non."

"Saya Zahra mbok, ya sudah kalau begitu mbok bisa langsung bekerja." Seru Zahra dan di balas "Baik non." oleh mbok Endang.

"Sayang, mama pulang dulu ya mau ambil baju-baju mama. Untuk sementara ini mama akan tinggal disini nemenin kamu." Saut Dewi.

"Benarkah ma? Zahra seneng sekali mama akan tinggal disini nemenin Zahra. Kalau begitu Zahra ikut mama ya ke rumah." Seru Zahra dengan berbinar-binar, namun itu hanya bertahan untuk sesaat karena Dewi berkata. "Tidak boleh, kamu di rumah saja. Inget kamu itu lagi hamil muda dan kandungan mu juga lemah. Jadi lebih baik di rumah saja dan istirahat. Lagi pula mama hanya sebentar saja kok pulang ke rumahnya, cuma ambil beberapa pakaian saja."

"Baiklah kalau begitu." Ucap Zahra dengan sedikit cemberut. Dewi mengusap kepala Zahra dengan lembut. "Apa ada yang kamu inginkan? Mama akan belikan sepulangnya nanti?" Tawar Dewi membuat Zahra berpikir sejenak.

"Hmm.. Rasanya Zahra ingin makan ice cream rasa vanila yang ada chipsnya, lalu burger dengan ukuran besar dan saos pedasnya yang banyak." Ujar Zahra setelah berpikir apa yang sedang di inginkannya.

"Astaga calon cucu mama keinginannya ada-ada saja, ya sudah nanti akan mama belikan, kamu di rumah saja dan inget, tidak boleh capek."

"Mama memang yang terbaik, makasi banyak ya ma." Seru Zahra yang berhambur memeluk ibu mertuanya. "Sama-sama Zahra, ini juga kan buat cucu mama nanti. Rasanya mama jadi tidak sabar ingin melihatnya lahiran."

"Delapan bulan lagi ma, rasanya memang lama tapi kalau di jalanin itu terasa cepat."

"Kamu benar Zahra, ya sudah mama jalan pulang dulu ya sayang."

"Hati-hati ya ma..."

Waktu berputar dengan cepatnya bagi sebagian orang yang menjalaninya dengan penuh kegembiraan. Dewi hanya bisa menemani Zahra di rumah anaknya selama dua bulan saja, karena ada suatu hal yang terjadi, Dewi harus terpaksa pergi ke Korea karena bisnisnya.

Dan sejak saat itu, setiap kali Zahra mengidam menginginkan sesuatu, ia hanya pergi seorang diri jika itu belumlah larut malam. Namun jika sudah malam, Zahra berusaha sebisa mungkin untuk menahannya dan melupakannya.

Ia terus mengusap lembut perutnya yang ada adik bayinya itu, ia berkata untuk sabar atau terkadang meminta maaf kepada sang anak yang masih dalam kandungannya.

Jika kalian menanyakan keberadaan Putra? Maka jawabannya adalah, Putra ada di rumahnya tersebut setiap malamnya dia tidak pernah sekali pun tidak pulang ke rumah atau pun telat pulang. Lalu kenapa Zahra harus menahan ngidamnya di saat malam hari? Itu karena Putra tidak perduli dengan anaknya, dia tidak mau membelikan apa pun keinginan Zahra itu. Pria tampan yang sudah menjadi suami Zahra tersebut, merasa di repotkan jika harus pergi di tengah malam dan mencari suatu hal yang sulit di dapatkannya. Apa lagi dia akan marah jika tidurnya yang lelap akibat letih bekerja harus di bangunkan secara paksa.

Ya, bahkan hingga detik ini Putra hanya masih mencintai Zahra. Hanya dirinya dan masih tidak menginginkan kehadiran seorang anak, karena dia masih sangat tidak menyukai anak-anak.

Hal ini, hanya Zahra pendam sendirian. Ia merasa sedih bahkan hingga menangis, di saat ia seorang diri. Ia slalu berdo'a dan berharap agar Putra dapat menerima anaknya kelak saat sudah lahir.

Karena terlalu banyak pikiran, perut Zahra terasa sangat sakit. Ia meringis kesakitan namun Zahra mencoba untuk berdiri, darah keluar dan mengalir di kedua kakinya yang mulus tersebut. Zahra yang sedang berada di dekat tangga, ia memegangi meja dan tidak sengaja taplak meja itu ketarik hingga mengakibatkan vas bunga yang terpajang di atas meja tersebut jatuh dan "praaang..." pecah berkeping-keping.

Suasana sore hari itu yang sunyi, membuat mbok Endang yang berada di dapur dapat mendengar dengan sangat jelas. Mbok Endang memutuskan berlari menghampiri sumber suara tersebut.

"Astaga, non Zahra!" Teriak mbok Endang yang semakin mempercepat larinya menghampiri Zahra.

"Non Zahra kenapa? Ya ampun darah! Non bertahan ya, mbok akan hubungi ambulance." Lanjut mbok Endang dan ia mengambil telepon rumah yang letaknya tidak jauh. Wanita paruh baya itu segera memencet nomer tujuannya dan menjelaskan situasi tersebut serta memberi taukan alamat rumahnya.

Setelah itu mbok Endang kembali mendekatkan dirinya ke Zahra, mencoba untuk memberi semangat kepada Zahra. Namun tak lama kemudian, Zahra pingsan membuat mbok Endang semakin kelimpungan tidak tau harus berbuat apa lagi selain menunggu ambulance datang.

Terdengar bunyi sirine dan juga bunyi bel rumah, mbok Endang segera berlari untuk membuka pintu.

Zahra pun berhasil di bawa ke rumah sakit dan mbok Endang ikut serta menemaninya. Sesampainya di rumah sakit, mbok Endang mencoba menghubungi tuannya Putra, serta menghubungi Dewi kalau Zahra masuk ke rumah sakit. Dewi yang sudah berada di Jakarta sejak satu bulan yang lalu, segera melesat ke rumah sakit bersama dengan Chyntia. Begitu juga dengan Putra yang segera melesat ke rumah sakit dan meninggalkan rapat pentingnya.

Dalam pikiran Putra hanyalah Zahra, Zahra dan Zahra! Ia tidak perduli dengan anak yang di dalam kandungan istrinya itu, meski mbok Endang bilang kalau Zahra mengalami pendaharan, tetap saja yang di pikirkannya hanyalah Zahra. Ia berharap ia tidak terluka parah karena anaknya itu, ia berharap Zahra baik-baik saja dan tetap hidup.

Semua keluarga Pratama telah berkumpul di rumah sakit tersebut, Reza dan Fauzi juga segera melesat setelah Dewi menghubunginya di dalam perjalanannya tadi. Semua orang nampak tegang dan cemas karena sudah beberapa jam ruang oprasi yang di dalamnya terdapat Zahra masih juga menyalakan lampu merahnya dan tidak ada satu dokter pun yang keluar. Selain itu, usia kandungan Zahra baru saja tujuh bulan dan ia mengalami pendaharan yang hebat, tentu saja membuat semua orang tegang dan risau.

Setengah jam kemudian, lampu ruangan oprasi tersebut padam dan munculah seorang dokter dari pintu tersebut.

"Siapa keluarga pasien?" Tanya dokter itu. "Saya suaminya." "Kami keluarganya." Ucap Putra dan Reza bersamaan. Dokter menatap ke tiap-tiap muka yang ada disana sebelum ia bersuara.

"Karena pasien mengalami pendaharan yang hebat, kami terpaksa mengeluarkan bayi di dalam kandungannya. Selain itu, pasien mengalami prolaps uterus. Kondisi di mana rahim telah turun dan tidak berada pada posisi yang seharusnya. Sehingga kami terpaksa untuk mengangkat rahimnya.

Pasien akan kami pindahkan ke ruangannya, keadaannya pasien sudah membaik hanya tinggal menunggu sadar saja. Sedangkan bayinya, ia lahir sempurna tanpa ada cacat, bayinya laki-laki namun fisiknya lemah. Tapi tidak usah cemas, kami akan melakukan yang terbaik untuk keselamatan bayi tersebut. Kalau begitu saya permisi." Tutur sang dokter lalu ia meninggalkan kelurga Pratama.

Ada perasaan lega, senang, dan juga sedih. Mereka merasa lega karena oprasi berjalan lancar, mereka senang karena Zahra baik-baik saja serta telah melahirkan seorang bayi yang mereka semua tunggu-tunggu, lalu sedih... mereka sedih karena keadaan sang bayi lemah sehingga banyak peralatan rumah sakit yang menempel pada tubuh kecilnya. Dewi dan Reza yang melihat ke dalam suatu ruangan melalui kaca besar sebagai pembatas mereka, merasa sangat sedih hingga menitikkan air mata. Mereka sedih melihat keadaan cucu pertamanya yang lahir prematur. Namun sisi lain mereka senang karena sudah mendapatkan cucu pertamanya.

"Anak itu, cucu kita. Dia pasti kuat dan bisa melewati masa sulitnya. Aku yakin sebagai kakeknya, cucu kita akan menjadi anak yang kuat." Ucap Reza berusaha meyakinkan dirinya sendiri umtuk membuang rasa sedih yang melanda. Dan juga sebagai penenang Dewi sang istri.

"Ya kamu benar, aku yakin cucu kita pasti kuat. Dia telah berjuang untuk tetap bisa hidup, jadi anak itu tidak akan menyerah dengan keadaannya sekarang." Seru Dewi yang berhasil tenang. "Ayo kita keruangannya Zahra sekarang." Lanjut Dewi.

Di dalam ruangan Zahra, ada Putra dan kedua adiknya itu. Putra yang duduk di bangku dekat dengan kasur Zahra, menggenggam tangan kanan Zahra dengan erat dan ia tempelkan pada keningnya.

'Aku senang kamu tidak apa-apa, selain itu rahim mu di angkat sayang. Kita tidak akan pernah memiliki anak lagi, aku senang mendengarnya tadi. Pada akhirnya aku hanya akan memiliki dirimu seutuhnya, waktu yang kau miliki hanya untuk ku saja tanpa harus kau bagikan dengan yang lain. Aku senang sayang, senang sekali.' Batin Putra tersenyum di dalam hatinya. Ia melupakan kenyataan jika anak pertamanya telah berhasil lahir meski keadaannya lemah.

"Zahra belum sadar juga?" Tanya Dewi yang baru saja memasuki ruangan Zahra bersama dengan Reza. "Belum ma." Jawab Fauzi. "Bagaimana dengan anak kak Putra ma?" Tanya Chyntia dan di jawab oleh Dewi dengan tersenyum. "Mama yakin anak itu pasti tidak apa, dia pasti kuat!"

Putra yang sedang duduk dengan memejamkan matanya, tiba-tiba saja ia buka kedua matanya dengan cepat. Matanya terbelalak lebar mendengar soal anaknya itu.

'Sial, bagaimana aku bisa lupa akan hal itu? Kenapa gak mati saja sih tu anak, ngerepotin banget kan jadinya.' Geram Putra di dalam hatinya.

Selang beberapa menit, Zahra membuka kedua matanya secara perlahan. Cahaya lampu sangat menyakitkan terasa menusuk kornea matanya yang indah. Zahra mengedipkan mata berulang kali hingga akhirnya dia dapat terbiasa dengan cahaya lampu yang berada di ruangannya.

"Sayang..." Lirih Zahra memanggil sang suami yang pertama kali ia lihat. "Hei sayang, akhirnya kamu sadar juga. Bagaimana keadaan mu? Apa ada yang sakit?" Tanya Putra dengan membelai lembut pucuk kepala Zahra, dan Putra mendapatkan balasan gelengan kepala dari istri tercintanya. Keluarga Pratama mengitari kasur Zahra dan memberikan senyuman kepadanya. Mereka senang, karena akhirnya Zahra siuman.

Zahra menyadari bahwa perutnya telah kempes, ia nampak pucat ketakutan dan memikirkan hal-hal buruk terhadap bayinya.

"Anak ku? Bagaimana dengan anakku? Aku tidak mampu menjaganya dengan baik, anak ku..." Panik Zahra.

"Anak mu terlahir sempurna dan sangat tampan sayang." Tutur Dewi dengan tersenyum, Zahra merasa lega mendengarnya. "Tapi...." Sambung Dewi yang ia hentikan karena merasa tidak tega untuk mengatakannya. Wajah senang Zahra seketika berubah kembali menjadi ketakutan. "Tapi apa ma?" Tanya Zahra.

"Kondisi anak mu lemah, para dokter sedang berusaha melakukan yang terbaik untuk kesembuhannya." Jawab Reza.

"Astaga anak ku... Anak ku... Aku ingin melihatnya ma, pa..." Lirih Zahra, ia berusaha untuk beranjak dari kasur untuk melihat kondisi anak tercintanya tersebut.

"Tenanglah Zahra, kamu tu mau kemana sih? Kamu harus berbaring, kamu habis melakukan oprasi, kamu butuh istirahat!" Larang Putra. Namun itu tidak membuat Zahra menyerah, ia tetap ingin melihat anaknya yang baru lahir.

"ZAHRA! Kamu tu abis oprasi, rahim kamu abis di angkat! Kamu harus istirahat terlebih dahulu!" Bentak Putra.

"Rahim ku... Di angkat? Tapi, kenapa?" Tanya Zahra yang sangat terkejut.

"Kondisi rahim mu telah turun dan tidak berada pada posisi yang seharusnya, jadi dokter mengambil keputusan untuk mengangkat rahim mu." Tutur Putra menjelaskan.

Air mata Zahra terjatuh membasahi pipinya, ia nampak terpukul mendengar dua kabar buruk tersebut. Ia tidak henti-henti menyalahkan dirinya sendiri. "Ini salah Zahra, ini semua salah aku!"

Dewi merasa pilu, ia segera memeluk menantunya itu dengan penuh kasih sayang. "Tidak sayang, kamu tidak salah apa pun. Ini sudah jalannya, kamu harus bisa tabah ya sayang." Ucapnya berusaha menenangkan Zahra.

"Tapi ma... Ini karena Zahra salah. Andai Zahra dapat berjalan dengan hati-hati, andai Zahra tidak melamun, Zahra pasti tidak akan jatuh terpleset, dan hal ini pasti tidak akan terjadi." Keluh Zahra.

"Kak Zahra harus berhenti menyalahkan diri kakak, kakak harus tegar. Jika kakak seperti ini bagaimana dengan anak kakak nanti? Dia butuh ibunya untuk memberinya semangat kan." Chyntia menghampiri Zahra dan memeluknya setelah Dewi melepaskan pelukannya.

Zahra yang terlihat sudah mulai tenang, semua orang terkecuali Putra meninggalkan ruangan tersebut untuk pulang sebentar. Mereka akan istirahat sejenak dan akan kembali lagi nanti.

Semua orang nampak lelah akibat tegang disaat Zahra berada di ruang oprasi, itu sebabnya Putra mengusulkan mereka semua untuk pulang dan istirahat.

Malam tlah menyelimuti kota Jakarta, Putra yang dengan senantiasa menemani istri tercintanya membelai lembut pipi Zahra dan menanyakan, "Apa kau ingin makan malam?" namun Zahra hanya menggelengkan kepala, ia masih merasa sedih atas apa yang menimpa dirinya.

"Aku ingin menghubungi orang tua ku." Tutur Zahra dengan menatap dalam mata Putra. Tanpa berkata apa pun, Putra mengeluarkan ponsel miliknya dan menghubungi orang tua Zahra dengan melakukan video call.

"Hai dad, dimana mom?" Tanya Zahra setelah panggilan video tersebut di jawab. "Oh hai angel, mom disini. What happen angel? Kenapa kamu terlihat sedih? Dan juga pakaian mu?" Tanya Silvia yang merupakan ibu kandung Zahra. "Apa kamu sakit baby?" Tanya Alan sang ayah dari Zahra.

"Mom, dad... Zahra abis lahiran, bayi Zahra prematur. Zahra tadi terpleset sampai pendarahan yang membuat bayi Zahra harus di keluarkan. Selain itu, rahim Zahra juga di angkat karena rahim Zahra turun." Tutur Zahra yang tak kuasa menahan air matanya, bulir-bulir air mata terjatuh dan membasahi pipi Zahra.

"Astaga, itu sangat menyedihkan. Sabar ya sayang, kamu harus kuat. Ini sudah jalan kehidupan mu angel, jangan terlarut dalam kesedihan ok? Ingat, anak mu yang baru lahir membutuhkan mu. Kalau kamu sedih, anak mu pasti juga ikut sedih." Ucap Silvia mencoba menenangkan anak tunggalnya itu.

"Baby... Besok dad and mom akan datang mengunjungi mu. Jangan sedih lagi ya baby, tidak baik terlarut dalam kesedihan, ingat anak mu yang baru saja lahir, ok!" Sambung Alan.

"Kita akan melakukan penerbangan sekarang juga agar cepat bertemu dengan mu angel." Saut Silvia dengan tersenyum.

"Yeah mom, dad... Zahra akan menanti kedatangan kalian." Zahra tersenyum kepada orang tuanya tidak sabar menanti kedatangan mereka. Setelah melakukan kiss bye, panggilan video tersebut di akhiri oleh Zahra.

"Sudah merasa lebih baik?" Tanya Putra yang mengetahui bahwa keadaan Zahra sudah lebih membaik setelah bicara dengan kedua orang tuanya.

"Iya sayang, aku merasa baikkan sekarang dan merasa lebih tenang. Aku tidak sabar menunggu orang tua ku datang kesini." Ucap Zahra menggebu-gebu.

"Aku juga sayang, aku juga tidak sabar menunggu orang tua mu datang. Kita tidak pernah bertemu lagi setelah hari pernikahan kita bukan."

"Yah kau benar." Zahra masih tersenyum dan menggenggam erat tangan Putra.