Emma masih termenung di toko bunga tempatnya bekerja, ia masih belum percaya jika Shaka harus secepat ini meninggalkannya. Emma memandangi cincin yang melingkar di jari manisnya, ia masih ingat ketika Shaka menyatakan cinta padanya untuk pertama kali. Ini pertama kalinya Emma menggunakan berlian sepanjang hidup, jangankan memakai berlian bahkan untuk melihat berlian secara langsung ia sama sekali belum pernah. Tak lama kemudian Bibi Anna datang menghampirinya sambil membawakan secangkir teh hangat.
"Emma, aku tidak memaksamu untuk bekerja. Kamu ini kan masih berkabung, harusnya kamu beristirahat dan tidak berada disini. Ini di minum dulu tehnya mumpung masih hangat".
"Terima kasih, bi. Aku tidak apa-apa, kalau aku di rumah yang ada aku jadi sedih dan terus ingat dengan Shaka".
"Kamu yang sabar ya, Emma. Mungkin ini sudah takdir Shaka".
"Iya bi, terima kasih. Tapi ada masalah yang lebih besar bi".
"Masalah apa?". Tanya Bibi Anna bingung.
"Shaka memberikan amanat pada adiknya agar menikahi aku, bagaimana bisa aku menikah tanpa rasa cinta sedikitpun bi".
"Benarkah?".
"Iya bi, sedangkan adik Shaka terus memberontak. Namun kedua orang tuanya tetap kekeh pada pendiriannya dan ingin aku menikah dengan Mahesa, adiknya".
"Mungkin Shaka melakukan itu karena merasa kamu adalah tanggung jawabnya. Tapi bagaimana pun nantinya setelah pernikahan, pesan bibi hanya satu, kamu harus bisa belajar untuk mencintai Mahesa. Bibi yakin Mahesa pasti juga akan terbiasa nantinya kalau kalian bersama-sama saling melengkapi".
"Iya bi, semoga saja". Ujar Emma lirih.
"Yaudah, sekarang kamu pulang ke rumah dan istirahat. Aku memberikan mu waktu libur selama satu minggu".
"Loh, memangnya kenapa bi?".
"Aku mau kamu menenangkan diri dan tidak ingin membebankanmu dengan pekerjaan ini". Tegas sang bibi.
Emma menghela nafas. "Baiklah, terima kasih bi. Kalau gitu aku pamit pulang dulu". Ujar Ema yang langsung meraih tas miliknya di atas meja.
"Kasihan sekali Emma" gumam Anna lirih.
Sesampainya di rumah, Emma segera merebahkan tubuhnya di atas kasur. Ia masih tidak menyangka jika harus kehilangan Shaka secepat ini. Emma meraih ponselnya di dalam tas, lalu membuka folder foto yang banyak di hiasi dengan foto selfinya bersama Shaka.
"Aku kangen kamu, Shaka" gumamnya lirih dan tak lama kemudian buliran air mata telah jatuh membasahi kedua pipinya.
Dadanya begitu sesak ketika harus mengingat semua kenangannya dengan Shaka, apalagi bulan depan mereka berdua akan segera menikah. Emma benar-benar terpukul dengan kejadian ini, andai saja waktu bisa di ulang ia tidak akan membiarkan Shaka untuk turun dari dalam mobil.
Namun nasi sudah menjadi bubur dan semua telah terlanjur terjadi, ia tidak mungkin bisa mengulang semua kembali dari awal. Namun yang Emma sesalkan saat ini, ia belum sempat memberikan hadiah buatannya pada mendiang Shaka.
Emma pun tertidur pulas, karena terlalu lelah menangis. Di dalam tidurnya ia bermimpi bertemu seseorang yang tidak asing baginya, ya itu Shaka, calon suaminya. Emma berusaha mendekati Shaka yang sedang berdiri di tepian pantai, deru ombak besar di tambah dengan angin yang sedikit kencang membuat Emma khawatir dengan keberadaan Shaka.
"Shaka, Shaka, hati-hati ombaknya besar sekali" teriak Emma.
Shaka langsung membalikkan tubuhnya ketika mendengar teriakan Emma, Shaka tersenyum dan melambaikan tangannya pada Emma. Emma segera menghampiri Shaka, namun na'as ombak sudah lebih dulu menyeret Shaka dan membawanya ke tengah laut. Shaka berteriak meminta tolong, sementara Emma mempercepat langkahnya sambil terisak.
"Shaka, Shaka, Shaka bertahan" teriak Emma sambil terisak, sampai pada akhirnya Emma terduduk lemas sambil menangis karena tubuh Shaka sudah tidak terlihat lagi. Tangisannya pecah dan sampai membuat tubuh Emma lemah.
Emma terbangun dari tidurnya dengan nafas yang terengah-engah, Emma segera meraih segelas air putih di meja dan menenggak habis minumannya. Setelah itu ia mencoba mengatur nafasnya yang sudah mulai membaik.
"Kenapa aku jadi memimpikan Shaka" gumam Emma dalam hati.