Tuan Ja'far diperintahkan menginvestigasi anak buah Tuan Jorigt yang mengantar barang dagangan untuk Tuan Coskun. Dia mengikuti sosok bermata sipit dan berkumis tipis menjelajahi lorong-lorong kota Samarkand tanpa ketahuan. Tuan Ja'far berhasil menemukan rumah lelaki yang biasa dipanggil Tuan Kasar. Rumahnya sederhana hanya terbuat dari kayu di Selatan kota. Tuan Ja'far mencari waktu yang tepat untuk masuk dan memeriksa rumah Tuan Kasar.
Tuan Ja'far kembali ke pelabuhan. Tangan kanan Tuan Nashruddin itu berjalan menyusuri jembatan kayu tempat kapal milik Tuan Jorigt berlabuh. Matanya menangkap segaris putih kekuningan di guratan kayu jembatan. Tuan Ja'far mengerutkan dahi lalu berjongkok memeriksa. Disentuh lalu dikoreknya benda yang menempel di guratan kayu.
Lilin, batin Tuan Ja'far.
Lelaki itu berdiri lalu mendekati perahu. Dia melihat garis batas air di lambung kapal yang terlihat menunjukkan dua garis batas yang berbeda. Tuan Ja'far diam berpikir lalu melepas baju atasan dan sorbannya. Dia langsung menceburkan diri ke dalam Sungai Syr Darya. Dia menyelam tepat di bawah perahu. Jarinya menyentuh bagian bawah kapal, terdapat goresan dan juga jejak lilin di bagian lambung. Tuan Ja'far berenang menuju ke permukaan kembali. Dia sudah tahu rahasia pengiriman senjata ilegal yang dipesan Tuan Coskun. Tuan Ja'far pun tersenyum menang, tinggal memastikan untuk memeriksa rumah Tuan Kasar. Tuan Ja'far yakin senjata ilegal itu tidak langsung diantar ke rumah Tuan Coskun, tapi masih di tangan Tuan Kasar.
***
Hari menjelang siang, Tuan Kasar terlihat berjalan keluar dari rumahnya. Tuan Ja'far dan anak buahnya mengawasi dari kejauhan. Waktu yang tepat untuk memasuki rumah. Tuan Ja'far mengawasi sekitar, sepi, tak ada orang. Dia berjalan cepat-cepat masuk melalui dinding samping rumah yang lebih rendah. Rumah itu sepi, dia melihat seorang perempuan yang sedang menimba dan mencuci baju di belakang rumah. Tuan Ja'far bersembunyi, lalu mengendap tanpa suara masuk ke dalam rumah. Rumah itu sederhana, seakan tak mungkin berkotak-kotak senjata tersimpan di dalam rumah. Tuan Ja'far tak menemukan apa pun dalam rumah. Dia keluar ke samping rumah. Matanya menangkap hal ganjil di rumah itu. Dinding rumah dari tanah liat dan kayu kering, hanya bagian samping rumah yang tanah liatnya terlihat masih baru. Tuan Ja'far menyentuh dinding itu. Masih basah, batin Tuan Ja'far. Lelaki berjenggot itu mengeluarkan pedang pendek dari sarungnya lalu menancapkannya ke arah dinding. Sebuah lubang tercipta, Tuan Ja'far menemukan sebuah ruang kosong dibalik dinding. Diintipnya ruang kosong melalui lubang yang isinya membuatnya tercengang. Empat kotak kayu besar tersusun di dalam ruang kosong tersebut. Akhirnya Tuan Ja'far menemukan barang ilegal yang dicari. Tuan Ja'far menutup kembali lubang yang sudah dia buat dengan tanah lalu bergegas keluar dari rumah saat terdengar suara langkah seseorang menuju ke samping rumah.
***
Tuan Nashruddin duduk santai di kursi ayun di tengah ruang keluarga bersama Muazzam. Lelaki tua itu memejamkan matanya sedang memikirkan sesuatu. Di tangannya dua buah buku catatan pembelian senjata oleh Tuan Coskun kepada Tuan Jorigt yang diambil oleh Muazzam bersama Azkar secara sembunyi-sembunyi. Malam sebelumnya Azkar masuk ke kantor Diwan Militer dan Rumah Tuan Jorigt untuk mencari bukti korupsi Tuan Coskun. Dalam buku catatan itu terdapat selisih barang masuk dan pembelian antara buku milik Tuan Coskun dan Tuan Jorigt. Tidak hanya jual beli pedang, anak panah, terdapat juga catatan pembelian mesiu dan belerang untuk bahan peledak. Tuan Nashruddin tak menduga investigasinya tentang bijih besi yang kurang membawa ke sebuah kejahatan besar yang dilakukan Tuan Coskun. Tuan Nashruddin berpikir untuk apa Tuan Coskun melakukan korupsi senjata. Apakah untuk membentuk militer pribadi? Tanya Tuan Nashruddin dalam hati. Pemberontakan? pikir Tuan Nashruddin lagi.
Muazzam duduk di permadani tebal bersandar di bantal-bantal empuk di samping ayahnya.
"Ayah, apakah tak lebih baik kita melakukan pemeriksaan mendalam terhadap tanah yang diambil alih Tuan Jorigt dari para mertuanya. Tanah-tanah itu terletak di lembah gunung berdekatan dengan tambang milik negara," saran Muazzam.
"Aku menduga mereka sedang merencanakan sesuatu," ucap Tuan Nashruddin.
Tuan Ja'far datang lalu mengucapkan salam. Tuan Nashruddin menegakkan tubuhnya. Dia menyambut Tuan Ja'far.
"Masuklah," ucap Tuan Nashruddin mengizinkan Tuan Ja'far masuk ke ruangannya.
"Tuan saya sudah memeriksa pelabuhan dan kapal milik Tuan Jorigt. Saya menemukan kejanggalan pada kapal dan menemukan goresan lilin di guratan kayu di jembatan pelabuhan. Saya memeriksa bagian bawah perahu, seperti dugaan saya sebelumnya, senjata-senjata ilegal itu di ikat di bawah perahu. Untuk menghindari redaman air mereka menggunakan lilin dan kulit binatang sebagai bahan kedap air," lapor Tuan Ja'far.
Tuan Nashruddin tertawa.
"Bagaimana dengan anak buah Tuan Jorigt yang mengantarkan pesanan Tuan Coskun?" tanya Tuan Nashruddin.
"Beberapa orang sudah saya perintahkan mengawasi rumah Tuan Kasar. Saya masuk ke dalam rumahnya dan berhasil menemukan kotak-kotak kayu dalam ruangan kosong yang ada di samping rumah. Saya pikir senjata-senjata itu tidak serta merta di kirim ke gudang Tuan Coskun tapi masih tersimpan di rumah Tuan Kasar. Mereka menunggu waktu yang tepat untuk pengantaran," terang Tuan Ja'far.
"Baik, kita gerebek mereka. Muazzam, pergilah bersama beberapa prajurit ke lembah gunung memeriksa tanah milik Tuan Jorigt. Aku mendengar kabar beberapa warga menemukan mayat yang tubuh mereka penuh koreng dan melepuh di sekitaran lembah itu. Aku menduga ada sebuah misteri yang terselubung di balik semunya," perintah Tuan Nashruddin.
"Baik ayah," jawab Muazzam. Tuan Nashruddin berdiri lalu beranjak mempersiapkan diri untuk penggerebekan di rumah Tuan Kasar.
***
Shafiyya mengemasi baju-baju Rumiyah yang hanya empat helai. Perempuan itu mengambil pisau bergagang merah yang dibalut baju bayi dari laci lemari lalu dimasukkan ke dalam buntalan kain. Rumiyah hanya menatap ibunya yang terlihat sibuk tanpa berkata-kata bahkan tak menatapnya. Rumiyah tahu ibunya merasa sedih. Dia tak ingin Rumiyah melihat air matanya yang sudah mengembun di pelupuk matanya. Shafiyya berjongkok di depan Rumiyah yang duduk di tepi ranjang, lalu memegang pundak Rumiyah.
"Makan yang baik, jaga Nona Laila, jangan diajak yang aneh-aneh hingga Nona Laila sakit, Yang penting jaga salatmu. Allah sudah memberi kita kehidupan yang baik selama ini, jangan lupa bersyukur. Jaga sikapmu selama di istana. Belajarlah yang pintar. Hormati yang lebih tua, sayangi yang lebih muda. Di sana berbeda dengan di sini, jangan disamakan. Di sana penuh orang-orang yang terhormat dan tahu etika. Jaga nada suaramu, jangan tertawa terbahak-bahak. Jangan malas, bangun lebih cepat dari orang lain. Jaga lisanmu, ingat, di istana, dinding pun memiliki telinga. Jangan menangis jika ada yang merudungmu...," pesan Shafiyya dengan nada cepat menasihati Rumiyah.
"Cukup ibu," potong Rumiyah agar ibunya diam dan lebih pelan dalam berbicara, "Aku tahu apa yang harus aku lakukan," lanjut Rumiyah.
Shafiyya menghela nafas, menunduk untuk menahan kesedihan lalu menatap Rumiyah.
"Kau tahu baru kali ini kau jauh dari ibu," ujar Shafiyya.
"Ya, aku akan jaga diri. Aku akan baik-baik saja dan kita akan bertemu lagi," janji Rumiyah sambil mengelus pipi ibunya.
Shafiyya terharu, air matanya sudah tak terbendung. Shafiyya akhirnya menangis sambil memeluk Rumiyah. Gadis kecil itu juga ikut meneteskan air mata. Dia akan pergi jauh dalam waktu lama, meninggalkan orang-orang terkasihnya di Samarkand.
"Jika kau bertemu dengan Tuan Rustam, jangan langsung bereaksi ekstrim. Aku tak tahu apa yang ada dalam pikiran ayahmu itu jika tiba-tiba bertemu denganmu. Pisau bergagang merah itu bawalah selalu di sisimu. Kubawakan jarum perak dan beberapa obat-obatan untukmu. Siapa tahu akan berguna nanti di perjalanan," pesan Shafiyya.
Rumiyah mengangguk. Shafiyyah tersenyum.
"Berangkatlah," ucap Shafiyya.
Rumiyah turun dari dipannya lalu mengambil buntalan kain yang sudah disiapkan oleh ibunya. Rumiyah menyandang tas kulitnya lalu beranjak keluar rumah. Sinar matahari menyilaukan matanya. Dia berhenti di depan pintu lalu menoleh ke arah ibunya. Rumiyah tersenyum lalu melambaikan tangannya. Ibunya membalasnya dengan lambaian tangan. Rumiyah berangkat dihantarkan angin padang rumput yang berdesir, membawa harum bau rumput dan tanah yang akan dirindukan oleh gadis itu.
***
Di rumah Tuan Nashruddin terlihat sibuk mempersiapkan keberangkatan Laila ke Urgench. Maryam memberi perintah kepada pelayan untuk mengangkut kotak-kotak kayu berukir ke dalam kereta. Laila berdiri di hadapan ayahnya dan Muazzam. Gadis kecil itu terisak sampai hidungnya memerah. Tuan Nashruddin berjongkok di hadapan Laila.
"Jangan menangis anakku sayang. Kita akan bertemu lagi nanti. Belajar yang rajin. Patuhi Ibu Suri dan bergaulah yang baik bersama nona-nona kecil yang lain di sana," pesan Tuan Nashruddin sambil tersenyum pada Laila. Tuan Nashruddin mengusap air mata di pipi Laila.
"Aku berangkat ayah," ucap Laila sambil memeluk ayahnya erat.
Laila melepas pelukannya lalu mengelus pipi ayahnya. Dia menatap Muazzam lalu memeluk kakaknya.
"Kak aku berangkat," ucap Laila sambil berlinang air mata.
Muazzam tersenyum lalu memeluk Laila.
Laila menuju Maryam lalu memeluk kakak perempuanya.
"Aku akan secepatnya pulang," ucap Laila.
Maryam memeluk lalu mencium pipi Laila.
"Jaga dirimu baik-baik," ucap Maryam.
Tuan Nashruddin mendekat kepada Rumiyah yang menunggu Laila. Lelaki itu berjongkok di hadapan Rumiyah.
"Jaga Nonamu. Belajarlah bersamanya," pesan Tuan Nashruddin sambil memegang pundak Rumiyah.
Rumiyah mengangguk.
"Tuan jangan khawatir, aku akan menjaga Nona seperti aku menjaga diriku sendiri," janji Laila.
Tuan Nashruddin tersenyum lalu mengelus kepala Rumiyah.
"Aku percaya padamu," ucap Tuan Nashruddin.
Bibi Khanum menuntun tangan Laila menuju kereta. Rumiyah mengikuti di belakang mereka. Laila menatap keluarganya untuk yang terakhir kali. Rumiyah menatap Muazzam yang melambaikan tangan padanya. Azkar menaiki kuda memimpin beberapa pengawal untuk menjaga keamanan rombongan selama perjalanan. Angin musim semi kota Samarkand, mengantar kepergian rombongan berangkat ke Urgench. Tuan Nashruddin dan Muazzam juga bersiap meninggalkan kediaman untuk berangkat menjalankan tugas.
***
Rombongan Laila melalui jalanan kota. Kereta menyibak lalu lalang orang yang lewat. Mereka menatap rombongan Laila dan sebagian dari mereka berbisik-bisik. Laila membuka tirai jendela kereta. Selain Laila, dalam kereta itu ada Bibi Khanum dan Rumiyah.
"Bibi, aku dengar Ibu Suri memanggil para putri pejabat dan bangsawan ke istana untuk belajar tiap tahun karena ada maksud untuk mencarikan jodoh bagi para gadis. Apa benar seperti itu?" tanya Laila pada Bibi Khanum yang duduk sambil menutup matanya.
"Nona jangan mendengar gosip yang tak berdasar. Kita hargai Ibu Suri yang ingin perempuan Khawarizm berpendidikan dan bermartabat. Perempuan itu tiang negara, baik perempuannya maka baik negaranya, rusak perempuannya maka rusaklah negaranya. Perempuan yang akan menjadi ibu dan pengurus rumah tangga suaminya, dia harus memiliki landasan agama yang baik dan berbudi luhur. Kupikir Nona Laila ingat pelajaran ini dari Ustadzah Almeera di Al Ilm," terang Bibi Khanum dengan suara berwibawa dan menggurui.
Rumiyah dan Laila hanya diam tak mendebat. Tiba-tiba Rumiyah mendengar seseorang memanggil-manggilnya dari jauh. Rumiyah berdiri lalu melongokkan kepalanya melalui jendela. Dia melihat Humayun dan Badshah berlari mengejar kereta Laila.
"Rumiyaaaah....Rumiyaaaah...!" teriak Badshah dan Humayun.
Azkar memberi komando menghentikan rombongan. Kereta yang ditumpangi Laila berhenti.
Humayun dan Badshah sampai terengah-engah mengejar lalu berhenti di dekat kereta. Laila dan Bibi Khanum melongok dari jendela. Rumiyah turun dari kereta.
"Kalian," ucap Rumiyah sambil mengerutkan dahi.
"Kalian berangkat tanpa mengucapkan perpisahan sama sekali pada kami. Ini untukmu," ucap Badshah, "Kami pagi-pagi mencari makanan kesukaanmu, manisan Lakum di pasar, tak kusangka kalian sudah berangkat, makanya kami mengejar kalian," terang Badshah.
Rumiyah tersenyum.
"Terima kasih. Maafkan aku. Kalian jaga diri baik-baik. Setelah selesai masa pendidikan kami akan segera kembali," janji Rumiyah.
"Baik-baik di sana. Aku akan mengirim surat kepada ibuku di Urgench untuk menyambut dan menjaga kalian," terang Humayun.
Rumiyah mengangguk.
"Terima kasih," ucap Rumiyah.
"Rumiyah, ayo!" seru Laila dari dalam kereta.
Rumiyah menoleh.
"Ya...ya!" jawab Rumiyah.
"Eh Rumiyah, ini aku titip padamu, jaga baik-baik. Tunjukkan gelang ini kepada ibuku, dia akan paham maksudku," ucap Humayun sambil memberikan sebuah gelang perak berukir indah pada Rumiyah.
Rumiyah mengangguk.
"Baiklah," janji Rumiyah lalu beranjak masuk ke dalam kereta. Azkar memberi komando agar rombongan mulai berjalan. Laila dan Rumiyah melongokkan kepala melalui jendela sambil melambaikan tangan pada kedua teman mereka.
Azkar mengendarai kudanya melewati Badshah. Tatapan mata mereka berdua sama-sama tajam menusuk. Azkar tak suka dengan Badshah. Nalurinya mengatakan Badshah bukan anak sembarangan. Melihat dari fisik Badshah yang berbeda, Azkar menduga anak laki-laki itu berasal dari padang rumput Mongolia. Azkar sudah sering bertemu orang-orang seperti Badshah di "dunia bawah tanah" Khawarizm dan Bagdad. Tak jarang kelompok mereka bekerjasama dengan kelompok bawah tanah Hashashin untuk melakukan teror dan menjadi pembunuh bayaran. Dugaan Azkar memang tanpa bukti, tapi sejak bertemu dengan Badshah di perkampungan kumuh, nalurinya mengatakan anak itu berbahaya.