"Langit begitu luas. Alam semesta tak terhingga batasnya. Dia ada di sana, aku merindukanNya. Tapi jiwaku, mengapa masih saja mengangankan dunia. Sebenarnya apa yang diharapkan manusia dari secuil dunia? Hakikat dunia itu hanya seperti bangkai keledai yang membusuk. Takkan ada orang yang mau mengambilnya, jika manusia tahu hakikatnya. Nikmat sebenar-benar nikmat ada di kehidupan setelah kematian bagi yang beruntung menjalani hidup dengan hati-hati dan selamat.
Apakah manusia mengambil dunia hanya sekedar untuk mengisi perut? Tidakkah perut manusia itu hanya satu? Tapi, orang mulia penutup para Nabi mengatakan perut manusia itu bak bejana terburuk yang takkan pernah merasa kenyang. Bagian harta hari ini yang masuk ke dalam perut hanya akan menjadi kotoran, yang tak termakan akan menjadi sampah, harta yang di sedekahkan akan menjadi simpanan kelak. Jika ikhlas, akan menyelamatkan.
Apakah hidup hanya untuk kenikmatan seksual belaka? Jika demikian, apa beda seorang manusia dengan seekor hewan yang melata di atas muka bumi? Hewan-hewan itu tanpa akal hidup berkembang biak sekehendaknya tanpa aturan. Alhamdulillah, manusia diberi akal dan hati sebagai bekal agar tidak jatuh ke derajat hewani dan berusaha taat agar setara dengan malaikat," ucap seorang laki-laki berkening lebar berambut panjang terikat rapi di dalam hati.
Mata lelaki itu menatap api unggun yang meliuk-liuk di hadapannya. Meremung. Dia salah satu prajurit Rasyidin yang saat ini sedang bermalam di tengah padang rumput. Mereka dalam perjalanan untuk memeriksa tanah Tuan Jorigt dan memeriksa kasus kematian aneh yang terjadi di gunung.
"Tuan Othman," sapa Muazzam sambil duduk di samping lelaki yang ternyata bernama Othman,"Apa yang kau pikirkan?" tanya Muazzam.
Othman menunjuk langit. "Aku merindukanNya," jawab Othman singkat.
Muazzam ikut memandang langit penuh tanya.
"Siapa?" tanya Muazzam heran.
"Rabb semesta alam," ucap Othman sambil tersenyum,"Aku hanya merenung tentang hidup. Sampai saat ini, Allah memberikan aku begitu banyak nikmat sampai aku lupa tentang sang Pemberi nikmat. Aku takut, aku menjadi serakah seperti penguasa negeri ini," terang Othman sambil menatap Muazzam.
Muazzam tersenyum tipis. Dia tahu apa yang ada dalam pikiran temannya yang seumuran dengannya. Othman salah satu pengawal Shah Khawarizm dan baru bergabung dengan pasukan Rasyidin. Othman tahu sang Penguasa Khawarizm memiliki reputasi yang kurang baik. Jalan hidup sang Shah sangat bertentangan dengan prinsipnya. Hal itu membuatnya disingkirkan dari Urgench lalu pindah ke Samarkand, kota kelahirannya.
Sang Shah terkenal suka bermain perempuan dan mabuk-mabukan. Memiliki pemikiran yang lemah dan kurang jernih, tapi semangatnya untuk menguasai dunia sangat luar biasa. Keinginannya menjadi sosok penguasa dunia menggiringnya kepada penaklukan demi penaklukkan. Sosoknya tidak dicintai oleh rakyatnya, karena sering melakukan pemaksaan dan penindasan. Di sekelilingnya banyak pejabat yang korup dan bermain mata dengan pengusaha-pengusaha nakal dan serakah. Seperti halnya Tuan Coskun dan Tuan Jorigt.
"Berbicara tentang keserakahan. Menurutmu, apakah ada seseorang selain Tuan Coskun yang lebih serakah?" tanya Muazzam meminta pandangan Othman.
"Inalchug?" tanya Othman balik pada Muazzam seakan ingin jawabannya itu benar.
"Dia...di antara para pejabat, memang yang paling berpengaruh. Kita harus memiliki bukti kuat sebelum menuduhnya sebagai dalang hilangnya stok bijih besi,"
Othman mendekatkan kepalanya seakan ingin menjelaskan sesuatu secara rahasia pada Muazzam.
"Saat aku di Urgench, aku pernah melihat Tuan Jorigt melakukan pertemuan dengan Tuan Inalchug. Tapi aku tak tahu apa yang mereka bicarakan. Baru-baru ini, aku berasumsi ada kerjasama Tuan Jorigt dengan Tuan Inalchug terkait tanah yang diambil alih oleh Tuan Jorigt dari para mertuanya," jelas Othman sambil berbisik.
"Kita akan membuktikan itu nanti," ujar Muazzam sambil menambahkan kayu bakar ke dalam api.
Mata Muazzam berkilat tertimpa cahaya dari api unggun. Wajahnya yang tampan terlihat serius. Tiba-tiba saja muncul rasa tak enak menyapa hatinya. Mereka bisa jadi sedang membangunkan macan tidur yang siap mengamuk dan menyerang balik. Apakah akan terjadi sesuatu yang buruk setelah ini? tanya Muazzam dalam hati.
"Tenanglah, Allah akan bersama orang-orang yang benar," ucap Othman menenangkan Muazzam yang mulai terlihat serius.
Muazzam tersenyum. Lelaki yang bernama Othman ini seakan bisa memahami apa yang ada di benaknya.
"Ayo salat Isya. Langit sudah mulai gelap," ajak Tuan Othman.
Muazzam bangkit lalu mengajak anak buahnya bergantian berjaga dan salat Isya.
Sesungguhnya salatku, pengorbananku, hidupku, matiku hanya untuk Allah. Tak ada yang ditakutkan jika kematian telah datang. Pun, ketika para penguasa itu akan menekan balik, aku punya Allah tempat berlindung dari segala kezaliman mereka, ucap Muazzam lalu memulai memimpin salat para anak buahnya.
***
"Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dan mengadakan gelap dan terang ... Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dan mengadakan gelap dan terang ...," ucap Badshah berkali-kali dalam hati sambil memandang langit malam di depan teras asrama, di Madrasah Al Ilm.
Surat Al An'am ayat satu itu begitu menghujam di benak dan pikirannya. Dia mendengar ayat itu saat kajian Tauhid oleh Tuan Syeifiddin sehabis salat Isya berjamaah.
Sejak di tolong oleh Tuan Syeifiddin dan tinggal di Madrasah Al Ilm, Badshah mengikuti setiap apa yang menjadi kebiasaan para murid di Madrasah. Dia tak tahu pada awalnya tentang apa yang mereka lakukan, tetapi Badshah cepat belajar dan menyesuaikan diri. Dia tahu yang sedang diajarkan di Madrasah Al Ilm adalah ilmu tentang Islam. Humayun banyak membantunya dalam memahami bahasa dan pelajaran yang didapatnya dari para pengajar.
Saat ini dia tahu, bahwa langit biru abadi yang selama ini dia dan kaumnya sembah hanyalah makhluk, bukan Tuhan. Para pengelana padang rumput di tanah kelahirannya menyembah Langit Biru Abadi sebagai dewa pelindung mereka, untuk itulah setiap pagi mereka akan melakukan ritual untuk menghormatinya. Tak hanya langit biru, gunung, padang rumput, pohon, sungai, bumi, bulan dan matahari yang tampak di matanya adalah hal yang perlu dihormati dan disembah agar tercapai keseimbangan dengan langkah manusia yang menjalani kehidupan. Mereka memberi sesaji makanan dan airag agar terhindar dari bencana, memadamkan murka langit terhadap mereka.
Badshah tersenyum. Hatinya tenang sekarang. Dia tak lagi salah memilih Tuhan.
"Apa yang kau pikirkan? Tersenyum sendiri?" tanya sebuah suara dari belakang Badshah.
Badshah langsung menoleh.
"Kau," jawab Badshah kepada Humayun yang telah membuatnya terkejut.
"Tak mengantuk? Besok kita akan ada acara latihan fisik di luar madrasah," ucap Humayun mengingatkan.
"Aku belum mengantuk," jawab Badshah,"Teman, terima kasih atas bantuanmu selama ini. Tanpa kau aku takkan bisa bertahan di sini," ucap Badshah.
Humayun mengerutkan dahi.
"Apa yang kau bicarakan. Sudah kewajibanku sebagai teman. Jangan bilang kau akan pergi dari sini. Kau sudah kuanggap sebagai saudaraku. Susah senang akan kita jalani bersama, bukankah begitu?" tanya Humayun retoris.
Badshah mengangguk sambil tersenyum.
"Jika terjadi apa pun padamu aku juga akan membelamu. Aku janji itu," lanjut ucap Badshah.
Humayun menganggukkan kepala. Mereka berjanji sambil menautkan jari tanda kesepakatan.
Suasana di Madrasah Al Ilm sepi. Para murid sudah masuk peraduan, karena menjelang sepertiga malam mereka akan dibangunkan untuk salat malam. Sesosok bayangan manusia dalam gamis putih terlihat berjalan cepat-cepat menuju ke bagian asrama guru.
"Siapa itu?" tanya Humayun.
"Itu Yusuf," jawab Badshah.
Mereka berdua langsung berdiri lalu berjalan cepat mengikuti langkah Yusuf yang sudah menghilang di balik bangunan yang berdinding batu bata merah.
Wajah Humayun dan Badshah terlihat penasaran. Mereka ingin tahu apa yang terjadi. Yusuf, kakak tingkat mereka malam ini menjadi ketua penjaga gerbang. Sepertinya sedang terjadi sesuatu yang serius. Humayun dan Badshah berdiri di bawah pohon kurma yang tumbuh di dekat bangunan asrama guru. Mereka melihat Yusuf menggedor pintu kamar Tuan Barka. Pintu itu terbuka,lalu muncul Tuan Barka. Tak lama kemudian, muncul beberapa prajurit Khawarizm dalam baju zirahnya membawa obor datang mendekat ke bangunan asrama guru.
"Guru, cepat pergi. Mereka telah datang," ucap Yusuf dengan nada cemas dan ketakutan, "Ayo cepat pergi!" lanjut Yusuf sambil menarik tangan Tuan Barka.
Tuan Barka terlihat tenang. Lelaki tua pemilik Madrasah Al Ilm itu tak beranjak dari depan pintu membuat Yusuf makin cemas sambil sesekali melihat ke arah datangnya prajurit Khawarizm.
Tak lama kemudian para prajurit Khawarizm datang. Humayun dan Badshah melihat peristiwa yang membuat mereka tercengang. Para prajurit Khawarizm itu datang untuk menangkap Tuan Barka. Apa yang terjadi?