Sekelompok gadis kecil bermain kejar-kejaran di tengah tanah lapang. Mereka bak kupu-kupu yang berwarna-warni terbang dengan gembiranya. Gelak tawa mereka renyah dan polos. Mereka anak-anak gadis bangsawan dan pejabat yang sedang tamasya. Mereka bermain kejar tangkap. Beberapa orang ada yang bermain lompat tali dan lempar bola. Sesekali jerit tawa terdengar karena kalah dalam bermain.
Di tepi tanah lapang terdapat tenda untuk para guru yang sedang menikmati pemandangan indah. Bukit nan menghijau serta bayang pegunungan Tian Shan nun jauh di sana. Angin berhembus membawa bau rumput dan tanah. Sungai kecil mengular melewati bukit lalu turun ke padang rumput.Suara rebana dan gelak tawa berbaur menjadi satu memeriahkan suasana.
Laila ikut asyik bermain kejar-kejaran. Wajahnya memerah. Tawanya paling keras melengking saat temannya tak bisa menangkapnya. Bibi Khanum terlihat cemas melihat Laila yang lupa diri saat bermain. Perempuan itu khawatir Laila jatuh sakit karena kelelahan.
"Ajak Nonamu kembali ke sini. Aku khawatir dia kelelahan lalu jatuh sakit," perintah Bibi Khanum pada Rumiyah yang hanya duduk di kursi sambil menyandarkan punggungnya.
Rumiyah sedang tak enak badan. Dia seakan hendak mati karena perutnya seperti dipelintir. Pinggangnya seperti hendak patah. Wajahnya pucat pasi, tangan dan kakinya dingin. Di saat gadis yang lain asyik tamasya, Rumiyah harus duduk diam karena perutnya tiba-tiba sakit.
"Baiklah," jawab Rumiyah dengan malas lalu bangkit untuk memanggil Laila.
Rumiyah tak tahan, tubuhnya lemah, lalu tiba-tiba ambruk tak sadarkan diri.
Bibi Khanum dan para guru yang sedang berpesta langsung menoleh, bahkan ada yang berteriak histeris karena terkejut. Laila berhenti berlari saat mendengar kegaduhan dari arah tenda. Dia langsung berlari menuju tenda saat melihat Rumiyah digotong lalu direbahkan di kursi.Wajahnya cemas melihat sahabatnya tiba-tiba pingsan.
***
"Nyonya, apakah Rumiyah tak apa-apa? Apakah dia akan mati?" tanya Laila polos sambil berjalan mengikuti langkah Nyonya Ruqayyah.
Rumiyah langsung dibawa pulang ke kediaman Mustafa setelah pingsan di tempat tamasya. Nyonya Ruqayyah membawakan air hangat dalam kantong kulit untuk Rumiyah.
"Tak apa-apa. Dia sakit perut karena sudah masuk masa baligh?" jawab Nyonya Ruqayyah sambil berjalan menyusuri selasar rumah menuju kamar Rumiyah.
Laila berhenti berjalan. Baligh? tanya Laila dalam hati.
"Rumiyah sudah baligh?" tanya Laila sambil menyejajari langkah Nyonya Ruqayyah demi mendapatkan penguatan penjelasan.
Nyonya Ruqayyah yang berbulu mata lentik dan cantik itu menoleh ke Laila, tersenyum, lalu mengangguk.
"Apakah Rumiyah tak boleh lagi bermain dengan anak laki-laki?" tanya Laila sambil menyejajari langkah Nyonya Ruqayyah.
Gadis itu mempercepat langkah karena kakinya yang pendek tak bisa menyamai langkah ibu Humayun.
"Iya, harus dijaga sekarang pergaulannya. Tak boleh sembarangan lagi," terang Nyonya Ruqayyah yang sabar dengan kecerewetan Laila.
"Uhmm ... padahal sepulang dari Urgench kami masih ingin berpetualang lagi bersama Humayun, Badshah dan Azkar," gumam Laila dengan nada kecewa yang hanya direspon Nyonya Ruqayyah dengan senyuman.
"Nyonya, apakah Rumiyah bisa hamil jika sudah baligh," tanya Laila dengan wajah serius.
Nyonya Ruqayyah langsung menaikkan alisnya tapi senyum ramahnya tak hilang saat mendengar pertanyaan dari Laila yang aneh-aneh.
"Jika sudah baligh, berarti tubuhnya sudah berubah dan bisa memiliki anak jika sudah menikah. Sudah diberi beban kewajiban syariat, dicatat pahala dan dosanya sama Allah. Kamu akan tahu sendiri nanti jika kau sudah baligh," terang Nyonya Ruqayyah sambil masih berjalan menyusuri selasar.
***
Nyonya Ruqayyah melihat Rumiyah masih terbaring dengan wajah pucat. Seorang pelayan memijat kaki dan tangan Rumiyah yang terasa dingin.
"Ini air hangatnya taruh di perutnya. Pasangkan kaos kaki dan selimuti dengan benar," perintah Nyonya Ruqayyah pada sang Pelayan.
Laila langsung duduk di ujung tempat tidur Rumiyah. Dia memijat kaki Rumiyah.
"Cepat sembuh, bangunlah," pinta Laila dengan wajah sedih.
Rumiyah membuka matanya. Dia mengerjap lalu melihat sekelilingnya. Dia melihat Nyonya Ruqayyah yang berdiri di samping ranjang, seorang pelayan yang memperbaiki selimutnya, dan sosok Laila yang tersenyum cerah di ujung kakinya.
"Rumiyaaaah akhirnya kau bangun," sorak Laila lalu melompat begitu saja di samping Rumiyah.
Rumiyah terkejut tapi setelah itu tersenyum saat Laila memeluknya.
"Kau membuatku khawatir. Kupikir kau akan mati," terang Laila sambil masih memeluk Rumiyah.
Rumiyah menoleh ke arah Nyonya Ruqayyah. Ibu Humayun itu tersenyum.
"Minum obatnya dan istirahatlah. Kalian kutinggal dulu. Pelayan, jaga Nona Rumiyah," ujar Nyonya Ruqayyah lalu beranjak pergi.
"Terima kasih Nyonya," ucap Rumiyah yang dibalas senyum oleh ibu Humayun.
Rumiyah menatap tas cangklongnya yang terbuat dari kulit. Gelang itu, batin Rumiyah. Dia baru ingat gelang yang dititipkan Humayun untuk ibunya. Isssh, bagaimana aku bisa lupa gelang itu, rutuk Rumiyah pada dirinya sendiri.
"Nyonya!" panggil Rumiyah saat Nyonya Ruqayyah masih berjalan dekat pintu.
Perempuan itu berhenti lalu menoleh ke arah Rumiyah.
"Ada apa?" tanya Nyonya Ruqayyah.
"Ada sesuatu yang harus kuberikan pada Anda. Sebuah gelang titipan Humayun," terang Rumiyah.
Laila mengambilkan tas Rumiyah saat sahabatnya itu meminta tolong mengambilkan gelang. Nyonya Ruqayyah berjalan mendekat. Rumiyah membuka tasnya lalu mengeluarkan sebuah bungkusan sapu tangan yang berisi gelang perak yang berukir.
"Ini Nyonya, Humayun meminta saya memberikan ini untuk Nyonya. Maaf saya baru memberikannya sekarang, saya lupa, maaf," terang Rumiyah.
Nyonya Ruqayyah mengambil gelang perak lalu menatapnya dengan wajah serius. Perempuan itu menghela napas.
"Anak itu ...," gumam Nyonya Ruqayyah dengan wajah serius, lalu tersenyum saat menatap Rumiyah kembali.
"Baiklah, terima kasih," ucap Nyonya Ruqayyah sambil membelai kepala Rumiyah. Perempuan itu mendekatkan wajahnya ke arah Rumiyah dan menatap Rumiyah dengan seksama.
"Cantik, pintar, mandiri. Berkebalikan dengan Humayun," ucap Nyonya Ruqayyah yang tak dipahami oleh Rumiyah, "Istirahatlah," ucap Nyonya Ruqayyah.
Perempuan itu melangkah keluar kamar. Laila langsung tidur di samping Rumiyah setelah Nyonya Ruqayyah menghilang di balik pintu.
"Eh, Rumiyah. Kau tahu, jika orang sudah baligh harus hati-hati menjaga diri. Jangan mau dicium laki-laki sembarangan, kau bisa hamil," terang Laila seakan dia yang paling tahu.
Pelayan perempuan yang menjaga Laila langsung tertawa, begitu juga dengan Rumiyah.
"Darimana kau tahu kalau dicium bisa hamil?" tanya Rumiyah.
Wajah Laila berubah cemberut karena ditertawakan.
"Kak Maryam yang memberitahuku," jawab Laila.
Tawa Rumiyah dan sang Pelayan meledak kembali.membuat Rumiyah makin cemberut. Sore itu kamar Rumiyah penuh dengan suara gelak tawa yang terdengar sampai keluar kamar.
***
Nyonya Ruqayyah duduk di kursi di dalam ruang kerja suaminya. Dia menatap gelang perak berukir yang ada di tangannya. Dia ingat saat memberikan gelang perak itu pada Humayun sebelum diantar ke Samarqand.
"Apa ini, Bu?" tanya Humayun.
Nyonya Ruqayyah menaruh gelang di tangan anak laki-laki satu-satunya.
"Ini gelang punya nenekmu. Diberikan pada ibu. Tak terasa kau sudah besar. Berikan ini nanti pada gadis yang kau pilih sebagai calon istrimu," terang Nyonya Ruqayyah.
Humayun hanya menatap ibunya lalu mengangguk. Nyonya Ruqayyah sebenarnya berharap Humayun akan mendapatkan Laila, tapi ternyata Humayun memilih seorang gadis pembantu Laila.
Nyonya Ruqayyah makin pusing saat mengingat Tuan Mustafa, suaminya, berangkat ke Samarqand melamar Laila untuk Humayun walau pernikahannya masih lama.
"Di Samarqand ada seorang anak gadis Tuan Nashruddin yang sebaya dengan Humayun. Alangkah baiknya jika kita menjodohkan Humayun dengan anak Jenderal itu. Tuan Nashruddin saat ini sangat disukai oleh Shah dan memiliki pengaruh yang kuat. Bagaimana pendapatmu?" tanya Tuan Mustafa saat sebelum mengantar Humayun pergi ke Samarqand.
"Jika itu memang demi kebaikan keluarga kita. Aku ikut keputusanmu," jawab Nyonya Ruqayyah.
Saat ini, Nyonya Ruqayyah menekan pelipisnya karena lelah memikirkan jalan keluar untuk anak kesayangannya. Jika dia memaksa Humayun melepas Rumiyah, dia akan kehilangan satu-satunya anaknya. Dia paham sifat Humayun, jika dia sudah memutuskan sesuatu dia takkan mau merubahnya begitu saja. Nyonya Ruqayyah yakin, anaknya tidak sembarangan memutuskan Rumiyah sebagai calon istrinya. Jika dia merubah keputusannya untuk tidak mendukung suaminya, dia akan mendapat murka suaminya. Nyonya Ruqayyah berpikir Laila masih kekanak-kanakan, manja, dan memiliki tubuh yang lemah. Jika dibandingkan dengan Rumiyah yang lebih mandiri dan berpikiran dewasa melampaui usianya. Nyonya Ruqayyah menghela napas.
"Nyonya saya izin masuk, ada kiriman surat dari Samarqand," ucap seorang Pelayan menyadarkan Nyonya Ruqayyah dari lamunannya.
"Masuklah," jawab Nyonya Ruqayyah.
Seorang pelayan laki-laki memakai sirwal dan berbaju panjang masuk sambil membawa sebuah baki kayu yang di atasnya ada sebuah surat yang tersegel.
Nyonya Ruqayyah mengambil surat itu lalu membukanya. Perempuan itu dengan seksama membaca surat dari suaminya yang mengabarkan bahwa perang akan segera dimulai. Tuan Mustafa bersama Humayun akan turut serta. Beribu doa diharapkan dari sang Istri agar mereka bisa kembali dengan selamat. Nyonya Ruqayyah makin murung. Wajahnya sedih dan penuh rasa khawatir. Bisa jadi kali ini dia takkan bisa bertemu dengan suami dan anaknya lagi.
"Tunggu sebentar. Aku akan tulis balasannya dan segera kirim balik ke Samarqand," ucap Nyonya Ruqayyah pada sang Pelayan.
Perang akan dimulai. Genderang sudah mulai ditabuh melawan kekuasaan sang Khalifah di Bagdad. Ramai orang membicarakan hal itu. Tak sedikit yang memasang taruhan apakah sang Shah akan menang atau kalah?