Chereads / RUMIYAH (Senja Turun di Samarqand) / Chapter 25 - BAB 24 KEMBALI KE SAMARKAND

Chapter 25 - BAB 24 KEMBALI KE SAMARKAND

Ruang tamu Tuan Aydin senyap. Laila menunduk. Bibi Khanum dengan wajah cemas memeluk Laila. Rumiyah muram, sedangkan Azkar diam sambil meremas gagang pedang yang terselip dipinggangnya. Sang tuan rumah, seorang lelaki tua berjenggot tebal berwajah Turki terlihat duduk dengan cemas. Semuanya diam karena telah mengetahui berita tentang kota Samarkand telah diambil alih oleh Pasukan Rasyidin.

Hal lain yang membuat mereka terkejut adalah kematian Tuan Mustafa oleh Tuan Nashruddin. Azkar mencari informasi itu terpisah dengan Humayun dan pengawal Tuan Rustam, sehingga bisa dipastikan Humayun belum mengetahuinya atau sekarang dia sudah mengetahuinya dan sedang menuju kediaman Aydin dengan wajah marah. Semuanya khawatir Humayun akan membalas dendam atas kematian ayahnya pada Laila dan yang lainnya.

Sosok yang ditunggu muncul di depan pintu. Remaja itu sendirian memandang semua dengan alis berkerut.

"Humayun," panggil Rumiyah lalu berdiri hendak mendekat pada remaja yang sedang menahan emosi.

Saat Rumiyah mendekat, Humayun menghunus pedangnya ke arah gadis itu. Rumiyah menghentikan langkahnya tepat ujung pedang di depan hidungnya. Azkar langsung sigap menghunus pedangnya. Laila mulai menangis dalam pelukan Bibi Khanum karena ketakutan.

"Aku mohon jangan berkelahi. Apakah kau sudah tahu kabar tentang kematian ayahmu?" tanya Tuan Aydin. Sambil berdiri mencoba menengahi.

"Aku sudah tahu," jawab Humayun dingin lalu membuang pedangnya ke lantai.

Semua orang terkejut dengan sikap Humayun.

"Pergilah kalian," perintah Humayun.

Bibi Khanum yang paham maksud Humayun segera mengajak Laila berdiri lalu segera keluar diikuti Azkar yang masih siaga dengan pedangnya ke arah Humayun. Rumiyah menatap lurus ke arah Humayun yang juga menatapnya dengan dingin.

"Terima kasih," ucap Rumiyah lalu berjalan melewati Humayun yang masih muram.

Tanpa disadari Rumiyah, rumbai ujung kerudungnya tersangkut pada kaitan gelang besi Humayun. Gadis itu menghentikan langkah karena merasa kerudungnya ada yang menahan, lalu menoleh. Humayun menatap Rumiyah, lalu dengan perlahan mengurai rumbai yang terkait pada pergelangan tangannya. Rumiyah pun menarik kerudungnya lalu pergi begitu saja.

Humayun diam lalu menutup mata. Dia menghela napas panjang seakan ingin menyibak kabut yang menyelimuti hatinya. Persahabatan mereka telah hancur. Badshah menghilang. Konflik antara keluarga Mustafa dan Nashruddin menjauhkannya dari Rumiyah dan Laila. Semua kenangan di antara mereka hanya akan menjadi masa lalu yang indah sekaligus pahit untuk dikenang. Tuan Aydin pun mendekat lalu mengajak Humayun duduk untuk menenangkan diri.

***

Kereta yang ditumpangi Laila telah masuk kota Samarkand dengan aman. Mereka langsung diizinkan masuk saat tahu siapa yang berada di dalam kereta. Mereka langsung menuju kediaman Nashruddin. Rumiyah mengendarai kuda sambil mengedarkan pandangannya ke arah penduduk yang menata kembali kotanya yang baru saja mengalami huru hara. Saat ini Samarkand dikuasai oleh Pasukan Rasyidin, tapi Rumiyah yakin Shah Khawarizm takkan tinggal diam dan akan melakukan pengambil alihan kota. Hanya saja Rumiyah tak tahu kapan hal itu akan terjadi. Dia hanya bisa melakukan yang dia mampu untuk membantu keluarga Tuan Nashruddin.

Kereta mereka telah sampai di depan kediaman Tuan Nashruddin. Tak pelak Maryam langsung berlari menyambut mereka. Perempuan itu langsung memeluk Laila begitu adiknya turun dari kereta.

"Alhamdulillah ... Alhamdulillah," ucap Maryam berkali-kali.

Rumiyah tersenyum. Dia turun dari kudanya sambil berdiri memandang kejadian mengharukan di depan matanya.

"Kau tahu betapa aku takut terjadi sesuatu yang mengerikan padamu di Urgench. Syukurlah kau selamat," ucap Maryam sambil berjongkok dan menatap Laila.

"Ceritanya panjang. Kita masuk, aku akan menceritakan padamu. Mana Ayah dan Kak Muazzam?" tanya Laila.

"Mereka di dalam, ayo," ajak Maryam lalu menuntun Laila masuk. Rumiyah mengikuti bersama Bibi Khanum di belakang mereka.

"Dimana ibuku, Nona?" tanya Rumiyah yang penasaran sedari tadi tidak melihat Shafiyya.

Maryam menoleh.

"Ibumu ke madrasah Al Ilm. Istirahatlah dulu, nanti aku ceritakan sesuatu," ujar Maryam.

Rumiyah mengangguk paham.

Tuan Nashruddin dan Muazzam muncul di teras menyambut Laila. Pemimpin pasukan Rasyidin itu memeluk lalu menggendong putri kesayangannya. Semua terjadi dengan penuh keharuan. Rumiyah juga ikut terharu.

"Rumiyah, bagaimana kabarmu?" tanya Muazzam sambil mencondongkan tubuhnya ke arah Rumiyah.

Rumiyah terkejut, wajahnya tetiba panas memerah.

"Mmm .. baik, Tuan Muda," jawab Rumiyah sambil melangkah mundur.

Muazzam menaikkan alis, lalu tersenyum lebar.

"Kenapa kau jadi pemalu sekarang?" tanya Muazzam heran.

"Kakak, jangan lagi kau godai anak gadis orang. Rumiyah bukan anak kecil lagi," ucap Laila yang masih dalam gendongan ayahnya.

Semua orang tertawa mendengar celoteh Laila.

"Baiklah ... baiklah Nyonya Laila. Ayo masuk," ajak Muazzam.

Rumiyah pun berjalan masuk ke dalam rumah tepat di belakang Muazzam yang tinggi menjulang di depannya. Gadis itu tersenyum. Dia merasa bersyukur masih bisa bertemu dengan Tuan Mudanya kembali.

***

Di salah satu ruang di bangunan madrasah Al Ilm, sebuah peristiwa sakral telah terjadi. Tuan Ja'far akhirnya menikahi Shafiyya. Tuan Nashruddin sebagai wali nikah Shafiyya karena ibu Rumiyah sudah tak memiliki orang tua. Sejak awal Tuan Ja'far memang sudah meminang Shafiyya, tapi saat itu Shafiyya menolak pinangan lewat lisan Tuan Syeifiddin. Peristiwa yang terjadi terakhir kali membuat mereka berdua semakin dekat, dan membuat Shafiyya berubah pikiran untuk menerima Tuan Ja'far.

Sehari sebelum acara pernikahan, Shafiyya memberitahu Rumiyah tentang niatnya menikah dengan Tuan Ja'far. Rumiyah meletakkan kepalanya di pangkuan Shafiyya.

"Ibu, aku bahagia jika kau bahagia. Ibu berhak untuk mencari kebahagiaanmu sendiri tanpa terbebani oleh keberadaanku," terang Rumiyah saat Shafiyya selesai mengutarakan maksudnya. Shafiyya tersenyum setelah mendengar persetujuan Rumiyah.

Saat ini, Rumiyah duduk di bawah pohon di halaman rumahnya yang sedang ramai oleh tamu perempuan. Suara gelak tawa mereka terdengar sampai luar. Mereka menemani Shafiyya menunggu kedatangan Tuan Ja'far. Rumiyah menatap pintu rumah yang terbuka dalam diam.

"Mau jeruk?" Suara Laila membuyarkan lamunan Rumiyah.

Sebuah jeruk manis yang sudah dikupas disodorkan Laila di depan hidungnya. Rumiyah mengambil lalu memakannya.

"Apa yang kau pikirkan? Tidakkah kau seharusnya bahagia akan memiliki ayah angkat seperti Tuan Ja'far. Aaah, bahkan kau memiliki dua ayah yang hebat. Aku terkejut ternyata kau anak Tuan Rustam. Mengapa kau tak memberitahuku tentang hal ini sebelumnya?" cerocos Laila sambil makan jeruk, "Satunya Jenderal Khawarizm, satunya Kapten Pasukan Rasyidin. Aah, bukankah posisi kedua ayahmu bermusuhan saat ini? Rumit ... rumit," lanjut Laila.

"Itu yang aku pikirkan," jawab Rumiyah singkat.

Laila mendekatkan wajahnya ke wajah Rumiyah. Gadis itu menatap mata Rumiyah lurus-lurus.

"Jika seandainya setelah ini perang meletus kembali, mana yang akan kau bela?" tanya Laila yang membuat Rumiyah mengerutkan dahi.

Laila melanjutkan memakan jeruknya. Rumiyah menunduk. Dia sendiri tak tahu harus memilih siapa yang akan dibela, karena pada dasarnya dia tak ingin menyakiti siapa pun juga. Namun kondisi laten perang mengharuskan Rumiyah segera membuat keputusan. Rumiyah menghela napas panjang. Dia tak ingin memikirkannya saat ini, walau sesaat acara pernikahan ibunya, akan menjadi momen yang manis di sela-sela porak porandanya alur hidup manusia di Samarkand.