Rumiyah menatap nanar sosok prajurit Khawarizm yang berlari ke arahnya menerjang membabi buta. Bahkan dia melihat bagaimana Laila, Maryam dan Shafiyya tumbang di depan matanya. Prajurit bengis itu mengayunkan pedang ke arahnya. Rasa sakit di perutnya terasa nyata. Tangan Rumiyah bersimbah darah.
Rumiyah terbangun, suara azan Subuh mulai terdengar. Rumiyah duduk di tepi ranjangnya. Hampir setiap malam dia bermimpi buruk. Lima tahun telah berlalu, tapi peristiwa yang telah menggores hatinya itu selalu datang memperingatkan dirinya. Tentang dendamnya, tentang rasa sakitnya, tentang peristiwa yang telah merenggut senyumnya.
Rumiyah berdiri lalu memasang kerudungnya. Dia keluar mengambil air wudlu dalam geriba lalu menyalakan setiap lentera di dalam tenda. Dia melaksanakan salat Subuh, setelah berdoa dia segera menuju tenda dapur mempersiapkan api untuk memanggang roti.
"Antarkan minum untuk Nyonya," ucap seorang perempuan masuk ke dalam tenda dapur meminta Rumiyah pergi.
"Baik," jawab Rumiyah lalu mengambil baki, dan menaruh teko serta gelas keramik berisi air minum untuk majikannya.
***
Hari sudah menjelang fajar, Rumiyah berjalan di antara tenda-tenda perkemahan milik seorang saudagar yang bernama Nyonya Dilara. Pertemuan Rumiyah dengan Nyonya Dilara seakan sebuah takdir yang indah. Rumiyah beruntung bertemu dengan Nyonya Dilara.
Semua berawal saat lima tahun yang lalu. Rumiyah terluka saat pemberontakan pasukan Rasyidin berhasil dipadamkan. Tuan Rustam, ayahnya datang menolongnya tepat waktu, walau sebuah tusukan pedang berhasil merobek perutnya. Rumiyah tak sadarkan diri hampir sebulan dan ayahnya merawatnya dengan sabar. Saat sadarkan diri, situasi di Samarkand sudah berubah tak lagi seperti dulu. Rumiyah hanya menghabiskan waktunya diam di dalam tenda tanpa bicara sepatah kata pun. Dia tak ingin bertemu dengan ayahnya yang dianggapnya berada di pihak musuh, Rumiyah merasa bersalah pada Shafiyya dan yang lainnya. Mengapa hanya dirinya yang masih hidup?
Rumiyah pergi dari barak militer, tanpa tahu harus pergi kemana. Dia berjalan dan terus berjalan tanpa arah. Saat hujan deras tiba, dia tetap berjalan mengikuti kemana saja langkah kakinya. Sampai akhirnya tubuhnya tak kuat lagi menyangga kegoncangan jiwanya, Rumiyah jatuh pingsan di tengah jalan dalam kondisi demam. Saat itulah rombongan Nyonya Dilara lewat lalu menolong Rumiyah.
"Kau sudah bangun? Namaku Dilara," ucap Nyonya Dilara menyapa Rumiyah yang duduk diam dalam tenda.
Nyonya Dilara hanya menghela napas karena Rumiyah hanya diam memandang keluar tenda tanpa bicara sepatah kata. Nyonya Dilara tak patah semangat menyapa Rumiyah setiap hari. Perempuan itu menduga telah terjadi sesuatu yang dahsyat yang menggoncang jiwa gadis yang ditemukannya di tengah jalan.
"Kau tahu, aku bukan orang yang suka menceritakan masa laluku pada orang lain. Saat ini sepertinya aku harus menceritakannya padamu," terang Nyonya Dilara suatu hari saat menjenguk Rumiyah dalam tendanya, "Aku juga pernah mengalami sebuah peristiwa yang mengguncang jiwa. Aku menyaksikan anak dan suamiku mati di depan mataku, tapi aku tak berani keluar untuk menolong mereka. Saat itu perang antara Khawarizm dan Ghurid. Aku pun meninggalkan kota Herat dan pergi tak tentu arah. Aku bahkan tidur di lorong-lorong kota Bagdad, dalam bekunya musim dingin, sampai akhirnya aku di tolong seorang lelaki yang menjadi suamiku. Lelaki baik hati yang telah meninggalkan banyak harta untukku. Aku berpikir, masa lalu telah selesai. Jika aku menyakiti diriku sendiri, anak dan suamiku juga takkan pernah bangkit lagi dari kematian, sehingga aku memutuskan untuk menata masa depanku saja. Sepahit apa pun masa lalu," terang Nyonya Dilara sambil duduk di samping Rumiyah.
Gadis itu mulai meneteskan air mata. Hatinya mulai tergerak oleh cerita Nyonya Dilara.
"Aku lelah ... aku lelah ... mengapa mereka meninggalkan aku sendirian. Aku sudah berusaha menolong mereka. Mereka jahat ... mereka telah membunuh orang-orang yang kusayangi ...," ucap Rumiyah lalu menangis tergugu.
Nyonya Dilara memeluk Rumiyah dan membiarkan gadis itu menumpahkan segala kesedihannya. Perempuan tua berambut kelabu itu bersyukur Rumiyah sudah mulai merespon.
Saat ini setelah lima tahun, semua kembali normal. Rumiyah memutuskan untuk ikut tinggal bersama Nyonya Dilara di kota Bukhara dan menjadi pelayan janda kaya itu. Kemampuan dan kecerdasan Rumiyah membuat Nyonya Dilara mempercayakan buku keuangan dan pencatatan transaksi kongsi dagangnya.
"Nyonya, saya masuk," ucap Rumiyah lalu masuk ke dalam tenda milik Nyonya Dilara.
Perempuan tua itu masih duduk di tempat salatnya sejak dari Subuh seperti biasa, menjelang Duha baru memulai beraktivitas. Rumiyah menaruh minuman yang dibawanya ke atas meja.
"Rumiyah, pergilah kau ke toko Tuan Manshor. Belilah kertas, tinta dan juga kurma yang terbaik untuk buah tangan," ucap Nyonya Dilara sambil masih duduk di atas sajadahnya.
"Apakah kita akan melakukan perjalanan lagi Nyonya?" tanya Rumiyah memastikan.
"Hmm ... kita akan berangkat ke Tashkent esok. Sudah kusuruh Abdullah mempersiapkan semuanya. Shah ingin bertemu dengan para pedagang dalam waktu seminggu lagi," terang Nyonya Dilara lalu menghela napas.
Rumiyah bisa mendengar helaan napas majikannya yang seakan menunjukkan keengganan untuk hadir di pertemuan itu.
"Baiklah," ucap Rumiyah tanpa bertanya lagi lalu keluar dari tenda majikannya. Kakinya melangkah keluar dari perkemahan menuju ke kota terdekat untuk membeli keperluan buah tangan yang diminta.
Rumiyah tak dapat menghindari takdir pertemuannya dengan Shah di Tashkent dalam waktu seminggu lagi. Nyonya Dilara pasti memintanya untuk ikut. Rumiyah sangat membenci raja tua itu, karena dialah yang telah menghabisi orang-orang yang dia sayangi. Kabar tersiar setelah menaklukkan Samarkand, raja tua itu berangkat menyerang kota Bagdad tempat sang Khalifah bertahta. Bak sebuah cerita perang Ahzab. Peperangan itu dimenangkan Bagdad begitu saja tanpa ada konfrontasi yang berarti. Khawarizm mundur karena badai pasir dan angin topan yang memporak porandakan pasukannya. Hal itu menjadi buah bibir rakyatnya sendiri. Citra Shah benar-benar jatuh di mata rakyatnya.
***
Rumiyah berjalan kaki di sepanjang jalanan kota Bukhara. Dia teringat Samarkand. Dua kota itu bak pinang dibelah dua. Banyak ilmuwan, ulama dan orang alim lahir dan mengharumkan kedua kota itu. Rumiyah terkenang pada Tuan Syeifiddin dan Tuan Barka, seandainya Rumiyah bertemu dengan dua ulama baik hati itu mungkin dia akan memilih untuk tinggal dan berkhadimat di madrasah.
Di pinggir jalan, di teras sebuah rumah ada sekelompok orang-orang sufi sedang melakukan zikir. Rumiyah mendekat bersama orang-orang lewat yang singgah ingin mendengarkan indahnya suara sang Manakib membacakan lantunan syair dan doa. Lantunan Al Fatihah mereka baca bersama, lalu mereka membaca salawat atas nabi. Saat membaca tahlil mereka menggerakkan kepalanya bersama sambil berjalan memutar. Mereka membentuk lingkaran dan maju beberapa lelaki yang memakai kopiah panjang berbaju putih mulai melakukan penghormatan. Lalu mereka pun mulai melakukan meditasi dengan berputar diiringi suara rebana.
Rumiyah menutup matanya menikmati alunan indah zikir para kaum sufi itu. Dia pun membuka matanya, dihadapannya ada Laila yang tersenyum lebar di hadapannya. Ada Maryam dan Shafiyya di kanan kirinya, dan juga Bibi Khanum yang tumben tersenyum ramah padanya. Ada Muazzam dan Tuan Nahsruddin juga menggandeng tangan Laila. Mereka membentuk lingkaran dan mengucapkan lantunan syair seperti para sufi.
Laila mengulurkan tangannya pada Rumiyah lalu mengajaknya ke tengah lingkaran keluarga Nashruddin. Mereka melakukan penghormatan, saling membungkukkan tubuh dengan kedua tangan di depan dada. Laila dan Rumiyah melakukan tarian berputar seperti yang dilakukan para darwis. Terucap zikir mengingat asma Allah dalam hati Rumiyah. Sambil menutup mata Rumiyah terus berputar. Telapak tangan kirinya menghadap ke bumi, dan telapak tangan kanannya menghadap ke langit, kepalanya miring ke kanan tenggelam dalam ekstasi nikmatnya zikir sampai akhirnya Rumiyah sadarkan diri saat suara manakib berhenti.
Rumiyah berhenti lalu membungkukkan badannya. Dia tegakkan tubuhnya, lalu membuka matanya. Rumiyah menyadari ternyata tak hanya dirinya yang mengikuti gerakan tarian berputar, tapi beberapa orang disekitarnya juga ikut melakukannya. Rumiyah tersenyum saat bayang Laila menghilang dari hadapannya. Dia mengambil barang yang dibawanya dari toko Tuan Manshor lalu berjalan kembali ke perkemahan Nyonya Dilara.
"Rumiyah, dalam hati manusia ada yang namanya bingkai jiwa, yaitu tauhid. Jika tauhidmu hancur, maka kepingan jiwamu akan menjadi serpihan. Serpihan keikhlasan, kesabaran, kebaikan, amanah, dan segala kebaikan akan sirna digantikan oleh serpihan semu yang dibentuk oleh setan yang akan menghancurkan jiwamu. Ketidakikhlasan akan hidup menjadikanmu buruk sangka pada Allah dan akhirnya membuatmu senantiasa bersedih. Rasa dendam akan melemahkanmu, yang akan mejadikan imunitas tubuhmu menjadi turun. Manusia akan mudah sakit dan bahkan tertekan. Jika kau mau melepaskan segala bentuk sampah jiwamu, dan mulai mengikhlaskan apa yang telah terjadi dalam hidupmu, maka lakukankanlah. Kau berhak menata hidupmu kembali, dan mendapatkan kebahagiaan hidupmu lagi," nasihat Nyonya Dilara pada Rumiyah suatu hari lima tahun yang lalu.
Saat ini Rumiyah memutuskan untuk mengikhlaskan semua yang telah terjadi. Kehilangan orang-orang yang dicintainya seharusnya memberikan sebuah pelajaran hidup. Rumiyah memutuskan bangkit kembali dari keterpurukan. Dia berharap mimpi buruk itu takkan lagi mengganggunya.