Anggota kafilah dagang Tuan Ammar sedang mengisi waktu senggang dengan bermain panah. Mereka diliputi euforia bermain yang menyenangkan sekaligus menegangkan. Tantangan panahan kali ini dengan menggunakan obyek yang bergerak. Mereka menggunakan burung yang diterbangkan. Satu persatu mereka mengambil burung sesuai urutan, lalu menerbangkannya. Pemenangnya adalah yang berhasil memanah burung yang dipilih dengan tepat.
Tuan Ammar juga ikut serta dalam acara itu. Riuh rendah orang memberi semangat. Lelaki berambut panjang itu mulai konsentrasi saat pelepas burung mulai menghitung. Tak disangkanya, kali ini nasibnya tak beruntung. Panahnya meleset tak mengenai burung yang diterbangkan. Namun tiba-tiba, burung itu jatuh terkena panah dari arah lain.
Tuan Ammar menatap Rumiyah yang tersenyum tipis. Gadis itu berhasil menjatuhkan sasaran yang seharusnya dilepaskan untuk dirinya. Rumiyah lalu memberikan busur panah pada orang yang ada di sebelahnya. Rumiyah pergi meninggalkan arena.
Tuan Ammar berjalan mengejar Rumiyah yang sedang berdiri memandang sungai.
"Kau telah mengambil keberuntunganku," ucap Tuan Ammar sambil berjalan mendekat pada Rumiyah.
"Apakah harus kukembalikan? Tidakkah berbagi keberuntungan juga sedekah yang membahagiakan orang lain?" jawab Rumiyah beretorika.
Tuan Ammar berdiri agak jauh dari Rumiyah. Dia juga ikut memandang aliran air sungai yang dalam dan tenang.
"Terima kasih Tuan telah menyelamatkanku," ucap Rumiyah tanpa memandang pada Tuan Ammar.
Tuan Ammar menoleh pada Rumiyah lalu menatapnya lama.
"Dia sangat berbeda. Rumiyah dulu sangat hangat dan ceria. Saat ini dia merasakan aura yang dingin dan tertutup," batin Tuan Ammar.
"Apakah ada yang ingin kau katakan, Tuan?" tanya Rumiyah sambil menoleh karena dia merasa Tuan Ammar memandangnya tanpa berkedip.
Tuan Ammar berdeham.
"Sudah lama kita tak berjumpa. Aku tahu kau langsung bisa mengenali siapa diriku tadi malam. Bagaimana kabarmu selama ini?" tanya Tuan Ammar yang akhirnya membuka percakapan tentang rahasia dirinya.
Rumiyah menunduk lalu tersenyum. Gadis itu mengangkat wajahnya lalu, menatap Tuan Ammar yang ada di sebelahnya.
"Akhirnya kau mengaku. Aku tahu Anda juga menjalani kehidupan yang tak mudah, bahkan sampai mengganti identitas. Sedangkan aku, gadis naif ini, hanya tahu bahwa semua orang telah berbuat jahat padaku dan orang-orang yang kusayangi. Mereka semua dibunuh di depan mataku, beruntung ayahku, Tuan Rustam, menolongku yang saat itu juga sedang terluka ...," terang Rumiyah.
"Tunggu dulu, kau bilang Tuan Rustam itu ayahmu?" tanya Tuan Ammar menginterupsi.
Lelaki itu belum tahu fakta bahwa Rumiyah adalah anak Tuan Rustam.
"Bagaimana bisa?" tanya Tuan Ammar.
Rumiyah mengeluarkan pisau yang selalu dibawanya.
"Ini bukti bahwa aku adalah anak Tuan Rustam. Ibuku, Aisara, orang Qara Khitai, dinikahkan ke Khawarizm demi perdamaian, tapi berujung pada kematiannya. Ayah memalsukan kematian ibu dan aku lahir di Khawarizm. Shafiyya bukanlah ibuku, dia pelayan yang mengikuti ibuku sejak dari Balasagun," terang Rumiyah.
Tuan Ammar mendecak. Dia baru tahu ternyata Rumiyah meyimpan begitu banyak rahasia.
"Di saat aku goyah, aku bertemu Nyonya Dilara dan aku mengikuti beliau sampai sekarang," tambah Rumiyah melengkapi ceritanya,"ceritakan apa yang terjadi pada Anda?" tanya Rumiyah.
"Aku terlepas dari pintu kematian. Tuan Syeifiddin dan Tuan Barka menolongku, di saat para murid Al Ilm menjadi sukarelawan untuk menolong korban perang dan menguburkan jenazah yang mati. Beliau mengobati dan menyembunyikanku, lalu beliau pindah ke Balkh. Kota itu adalah kampung halamanku. Sangat mudah bagiku mengumpulkan orang-orang yang bisa kupercaya bersamaku," terang Tuan Ammar.
"Tuan Muda, Anda ... berganti nama menjadi Tuan Ammar dan mendirikan kongsi dagang. Kupikir ada menyimpan suatu rencana tersembunyi?" tanya Rumiyah dengan berani menanyakan motif penyamaran Muazzam.
Tuan Ammar tersenyum lebar, dia menoleh menatap Rumiyah.
"Kau gadis yang cerdas. Tak salah aku melatihmu sejak kecil," puji Tuan Ammar,"ada hutang yang harus dibayar oleh seseorang, dan aku ingin menagihnya. Mata dibalas dengan mata, nyawa harus dibalas dengan nyawa. Semua kekacauan yang terjadi di Samarkand karena provokasi seorang lelaki yang bernama Jorigt. Dia rubah hitam yang menyusup ke dalam orang-orang Khawarizm yang berpengaruh. Dialah yang memfitnah aku dan ayah melakukan pemberontakan, kepemilikan tambang besi dan pembuatan senjata. Aku ingin mencarinya walau sampai ujung dunia," lanjut Tuan Ammar menceritakan asal mula permasalahan.
Rumiyah mengerutkan dahi.
"Tuan Jorigt?" gumam Rumiyah sambil mengingat masa lalu, "aku pernah mendengar nama itu disebut oleh Humayun saat kami di tengah jalanan kota. Dia menikahi beberapa perempuan, tapi semua tak berumur panjang. Salah satunya adalah putri Tuan Akram," terang Rumiyah lagi.
Tuan Ammar diam memikirkan sesuatu.
"Tuan Akram?" gumam Tuan Ammar.
"Bukankah Tuan Akram salah satu pemilik tanah yang dijadikan tambang di luar kota Samarkand. Bisa jadi pernikahan itu hanya kedok untuk mengambil alih tanah yang mengandung besi. Tambang-tambang dan pabrik senjata itu sejak awal memang milik Tuan Jorigt yang diambil alih dari mertuanya. Mengenai Inalchug sekutunya, sejak awal dia memang bekerjasama untuk mendapatkan senjata yang membuat bijih besi hilang di pasaran. Namun bagaimana bisa ada buku kepemilikan lahan atas nama ayah? Bisa jadi ada orang dalam Khawarizm sendiri yang telah bekerjasama dengan mata-mata Mongol itu untuk menjatuhkan kami," batin Tuan Ammar mencoba menguraikan semua konspirasi yang dibuat Inalchug dan Jorigt untuk menjebak keluarga Nashruddin dan Pasukan Rasyidin lima tahun lalu.
"Terima kasih kau sebut nama itu," ucap Tuan Ammar yang direspon Rumiyah dengan wajah penuh tanya.
"Apa maksud Anda?" tanya Rumiyah.
"Aku jadi bisa melihat dengan jelas konspirasi Inalchug dan Jorigt lima tahun lalu untuk menjebak kami," terang Tuan Ammar.
Rumiyah masih belum paham. Tuan Ammar tertawa menampak deretan giginya yang rapi.
"Suatu saat aku kan menceritakan semuanya," ujar Tuan Ammar, "Hei, mau kah kau bersamaku melakukan perjalanan jauh ke dunia timur? Di sana kau akan tahu jawabannya," terang Tuan Ammar sambil tersenyum lebar.
Rumiyah tersenyum tipis lalu mengangguk. Mereka saling memandang, dengan tatapan mata yang saling memahami walau lisan tak bersuara.