Apa yang akan dikabarkan oleh angin padang rumput Mongolia selain tentang belalang yang bergemerisik melompat di antara rerumputan. Goyangan rumput yang serempak meliuk bak tarian massal yang indah. Cahaya matahari yang menyinari kulit hingga menjadi kemerahan, dan hari-hari yang dingin membuat kulit menjadi kering. Pekik Elang dan marmut yang berlari ketakutan. Kuda-kuda liar berlari berkelompok mencari kebebasan. Di pelosok lain yang lebih liar, bahkan takkan bisa dibayangkan keganasan cuaca dan medannya. Gunung dan lembah seakan bak tiang pancang bumi menantang untuk di jelajahi. Juga tentang kegembiraan sekelompok pemuda yang sedang melakukan pertandingan berkuda di antara sorak sorai para penontonnya.
Di perkampungan ger suku Taychiut sedang mengadakan perlombaan balap kuda. Tak hanya dari satu kampung, tapi juga dari berbagai penjuru padang rumput datang untuk menyemangati para peserta. Di antara para penonton ada seorang gadis cantik berkulit bersih, bermata bulat. Dia nampak berbeda dengan gadis sekitarnya. Diibaratkan berlian di telinga para gadis kulit hitam, sangat mencolok dengan baju warna biru merah mudanya. Senyum tak hentinya berkembang saat menyemangati sosok pemuda tampan yang sedang mengendarai kuda putih di antara para peserta. Dia berteriak kegirangan saat sosok pemuda idamannya berhasil mendahului di bagian depan.
"Hei, Bayarma, lihatlah dia mampu mendahului Batyargal!" seru gadis yang ada di sebelah gadis cantik bernama Bayarma.
Para gadis bertepuk tangan karena kegembiraan festival yang diadakan setiap tahun. Tak hanya lomba berkuda, tapi ada perlombaan gulat dan memanah.
"Hei, aku dengar kabar dia akan berangkat lagi ke Zhongdu," ucap gadis di samping Bayarma.
"Aku yakin dia akan kembali. Sebelum itu aku akan meminta ayah untuk menikahkannya denganku," terang Bayarma.
"Kau yakin dia mau menikah denganmu? Kau tahu dia dijuluki apa oleh para perempuan kita ... Si Balok Es," ujar teman Bayarma
"Sudahlah, kau jangan bicara macam-macam. Kami teman sejak kecil, aku yakin dia akan mempertimbangkan baik-baik bila ayah memintanya menjadi menantu," ucap Bayarma yakin, lalu bersorak gembira saat melihat pemuda yang dikaguminya memenangkan balapan kuda.
Helan Oktai, dialah lelaki yang dikagumi oleh Bayarma, gadis tercantik yang tumbuh di tengah suku Taychiut. Lelaki yang dijuluki si Balok Es itu adalah teman masa kecilnya. Bahkan sampai tumbuh dewasa, keluarga mereka tetap menjalin hubungan baik. Keluarga Bayarma banyak memiliki jasa pada keluarga Helan, apalagi saat Helan Oktai meninggalkan keluarganya untuk ikut Tuan Jorigt ke Khawarizm. Tuya, ibu Oktai mendapat perlindungan dari keluarga Bayarma.
Wajah Oktai diliputi kegembiraan. Dia berhasil memenangkan kembali perlombaan berkuda kali ini. Masih ada dua perlombaan lagi, yaitu gulat dan memanah, tapi sayangnya dia tak bisa ikut tahun ini karena dia mendapat misi dari sang Jenghiz Khan untuk berangkat bersama kafilah dagang yang lain untuk berangkat ke Zhongdu.
Oktai menderap kudanya menuju ke ger ibunya. Bayarma dengan wajah gembira menyambut Oktai yang disangkanya menderap kuda menuju dirinya. Namun sayang, dia harus menelan kekecewaan karena Oktai tak memandangnya sama sekali. Bayarma merengut kesal, lalu menarik tangan kawannya untuk berlalu dari arena pacuan kuda.
Batyargal, salah satu pemuda suku Taychiut yang kalah dalam pacuan kuda, menatap Bayarma yang pergi meninggalkan arena lomba. Lelaki itu tahu apa yang barusan terjadi. Dia juga tahu Bayarma mencintai Oktai, namun si Balok Es itu tak pernah menggubrisnya. Batyargal hanya menelan kekecewaan saat cintanya pada Bayarma juga bertepuk sebelah tangan. Lelaki bermata sipit dan bergaris wajah tegas itu pun meninggalkan arena, seiring bubarnya para penonton yang juga telah habis rasa euforianya.
***
Oktai turun dari kudanya saat sampai di depan ger ibunya. Para pelayan memberitahu bahwa Tuan Muda Helan telah datang dengan membawa kemenangan. Tuya pun berhenti berdoa di depan kapel kecil yang ada di dalam ger, lalu memasang topi bulunya. Perempuan yang terlihat anggun dan terlihat jelas guratan ketuaannya itu keluar dari tenda untuk menyambut anaknya.
"Masuklah anakku!" sambut Tuya di depan pintu ger.
Helan Oktai tersenyum lebar saat sang ibu menyambutnya bak pahlawan.
"Siapkan makanan. Kita akan pesta malam ini," perintah Tuya pada pelayannya.
"Ibu," sapa Oktai pada ibunya yang mengelus wajahnya.
"Aku bersyukur kau memenangkan perlombaan kali ini. Jangan salahkan aku memasak banyak untukmu, karena kau selalu hebat dalam semua teknik perlombaan," terang Tuya bangga, "Oh ya, masuklah dulu. Ada hal penting yang ingin kusampaikan kepadamu," lanjutnya.
Oktai mengangguk lalu memeluk pundak ibunya, mengajak perempuan itu berjalan berdua masuk ke dalam tenda. Pelayan datang membawakan teh susu domba untuk Oktai, karena dia bukan peminum airag semenjak kepulangannya beberapa tahun yang lalu dari Samarkand. Biasanya untuk merayakan sebuah momen istimewa mereka akan mengeluarkan airag dan minum sampai mabuk.
Oktai duduk dihadapan Tuya.
"Anakku, aku dengar kau mendapat mandat untuk pergi ke Zhongdu bersama Tuan Jorigt. Kau tahu aku mengkhawatirkan dirimu jika tak ada yang mengurusi. Sedangkan ibu sendiri tak mungkin mengikutimu. Tak terasa kau sudah dewasa. Tuan Batu mengirim seorang utusan untuk melamarmu sebagai menantunya. Dia ingin Bayarma menjadi istrimu dan menemanimu berangkat ke Zhongdu," terang Tuya sambil menatap perubahan wajah Oktai yang tiba-tiba muram.
Oktai tak langsung menjawab permintaan ibunya. Dia tahu perbedaan prinsip yang ada di antara mereka. Seburuk-buruk dirinya saat ini, Oktai masih memegang imannya pada Allah seperti yang diajarkan Tuan Syeifiddin padanya saat di Al Ilm. Dia bukan seorang muslim yang taat. Lagipula dia tak ingin juga membohongi diri sendiri. Dia tak mencintai Bayarma. Di dalam hatinya masih tersimpan sosok gadis bermata biru yang telah menyelamatkan nyawanya saat di Samarkand.
"Ibu, aku tak punya niat menikah dalam waktu dekat. Aku hanya ingin menyelesaikan tugasku lalu pulang," ucap Oktai menolak maksud ibunya.
Tuya menghela napas kesal.
"Apakah kau ingin membujang selamanya. Kau tak mungkin bertemu dengan gadis Samarkand itu. Anggap saja dia masa lalumu. Ingat, kalian takkan bisa bersatu setelah apa yang kau lakukan saat itu. Dimatanya kau hanya seorang pengkhianat," terang Tuya mengingatkan Oktai, "aku melakukan semuanya demi kebaikanmu. Bayarma juga bukan gadis yang buruk. Dia juga seorang Nestorian yang taat. Sejak kecil dia selalu bersamaku, dan sudah kuanggap anak sendiri," lanjut Tuya.
Oktai menunduk. Dia tak melupakan kebaikan keluarga Tuan Batu. Juga tak melupakan bakti pada ibunya.
"Bu, aku tak mencintai Bayarma. Selama ini aku hanya menganggapnya sebagai adik," ucap Oktai jujur.
Tuya mengeraskan gerahamnya menahan marah.
"Pergi! Pergi saja kau jika tak mau menurut pada ucapan orangtua!" usir Tuya sambil membuang muka.
Oktai bangkit dari duduknya masih sambil menunduk, lalu pergi keluar tenda tanpa sepatah kata pun. Tuya mendengkus kesal.
***
Di tengah padang rumput Oktai duduk memandang langit. Dia merasa sedih telah membuat ibunya marah. Dia merasa tak berbakti, tapi penolakannya bukan tanpa alasan. Dia seorang muslim satu-satunya di sukunya. Semua orang tahu. Tak seorang pun juga mengucilkannya karena rasa persaudaraan yang kuat di antara mereka. Tak hanya penganut pagan, tak sedikit dari mereka beragama Kristen Nestorian.
Oktai berharap dia juga bisa memiliki istri yang sama dengan akidahnya saat ini. Ibunya sangat baik. Saat tahu dia menjadi seorang muslim saat pulang dari Samarkand, ibunya tak marah sama sekali. Hanya saja, selama adat kesukuan masih di pegang erat, yang lain takkan memusuhi.
Oktai merebahkan diri ke atas tanah. Dia mengangkat pergelangan tangan kanannya. Dia memandang gelang tali merah yang pernah dibuatnya untuk Rumiyah. Gelang itu dikembalikan kepadanya saat Rumiyah pamit sehari sebelum berangkat ke Urgench bersama Laila. Lelaki itu tersenyum mengenang masa lalu bersama teman-teman masa kecilnya di Samarkand.
"Bagaimana kabar kalian?" gumam Oktai lalu tersenyum.