Malam mulai turun, api unggun telah dinyalakan. Dua orang lelaki berbaju kulit binatang dan memakai topi bulu terlihat mengendap di antara bayang-bayang pepohonan pinus. Mereka berdua mendekati perkemahan Tuan Ammar dalam temaram malam yang hanya diterangi rembulan separuh.
Mereka berdua saling pandang, seakan saling memberi kode untuk semakin mendekat agar bisa memeriksa perkemahan itu lebih jelas. Mereka ingin memastikan Kuchlug ada di perkemahan itu. Mereka tak melihat hal yang mecurigakan. Karavan-karavan menyala lenteranya, anggota karavan baru selesai salat Magrib, lalu bubar mengerjakan tugas masing-masing dan ada yang duduk-duduk menghangatkan diri dekat api unggun.
Ada yang misterius. Mereka tak melihat ada penjaga di sekeliling perkemahan. Sudah menjadi kebiasaan caravan dagang memiliki prajurit penjaga mereka sendiri, namun kali ini mereka tak terlihat. Kedua penyusup saling pandang, mereka curiga. Dugaan mereka benar, tiba-tiba dari arah belakang, seorang lelaki berkulit hitam berambut keriting menodong mereka menggunakan pedang. Kedua penyusup menoleh, tak mengira akan ketahuan dan terkepung prajurit Tuan Ammar yang menodongkan tombak serta senjata tajam lainnya ke arah mereka.
"Kita bawa mereka menghadap Tuan Ammar," ucap lelaki yang berkulit hitam.
***
Di dalam sebuah kereta caravan, Rumiyah melakukan terapi akupuntur dan menjahit bekas luka di dada Kuchlug yang belum sadarkan diri. Tuan Ammar mengawasi jalannya pengobatan. Prajurit Qara Khitai yang menolong Kuchlug terlihat khawatir jika terjadi sesuatu pada tuannya.
"Siapa dia sebenarnya?" tanya Tuan Ammar, "apa yang terjadi?" lanjutnya.
Anak buah Kuchlug menoleh, menatap Tuan Ammar. Dia tak tahu para pedagang yang menolong mereka adalah orang baik ataukah mata-mata. Dia tak langsung menjawab pertanyaan Tuan Ammar.
"Beliau Tuan Kuchlug, penasihat Raja. Aku tahu kalian orang baik, terima kasih atas pertolongan kalian," ucap sang prajurit, "prajurit Mongol tiba-tiba menyerang kami," lanjutnya.
"Kupikir para tentara Mongol itu takkan berani masuk ke wilayah Qara Khitai lebih jauh. Peristiwa ini hanya untuk memprovokasi,"
"Kami akan mengantar kalian kembali ke Balasagun esok pagi. Jangan khawatir," ucap Tuan Ammar sambil memperhatikan betapa hati-hatinya Rumiyah menjahit robekan bekas panah.
"Bagaimana kondisinya?" tanya Tuan Ammar pada Rumiyah.
"Dia baik-baik saja. Kita tunggu sampai besok pagi, semoga dia sadarkan diri," jawab Rumiyah membuat semua orang tenang.
Tiba-tiba seseorang membuka tirai pintu karavan.
"Tuan, ada penyusup yang tertangkap. Omar sedang menggelandangnya ke sini," lapor laki-laki pelayan Tuan Ammar.
Tuan Ammar langsung menatap Rumiyah.
"Mata-mata Mongol?" tanya Rumiyah memastikan.
Tuan Ammar mengangguk, lalu keluar dari kereta.
"Cepat kau berebah di sini!" perintah Rumiyah pada prajurit Qara Khitai, "aku khawatir mereka mencari kalian. Diam dan bersembunyilah!" ucap Rumiyah sambil mendorong prajurit itu ke samping Kuchlug, lalu menumpuki tubuh mereka dengan selimut dan kain-kain.
"Ssst diam," bisik Rumiyah, lalu dia ikut keluar dari kereta karavan.
Rumiyah dan Tuan Ammar melihat para prajuritnya membawa mata-mata Mongol ke dalam perkemahan. Dua orang lelaki penyusup itu tetap terlihat angkuh walau senjata mereka sudah dilucuti.
"Selamat datang tuan-tuan!" ucap Rumiyah dalam bahasa Mongol.
Ketekunannya belajar bahasa Mongol pada Baba tak sia-sia.
"Mari duduk. Kita minum teh sama-sama," ajak Rumiyah.
Kedua penyusup itu menatap tajam pada Tuan Ammar dan Rumiyah yang menampakkan raut ramah. Tanpa menunggu lama, kedua mata-mata Mongol itu pun ikut duduk di sekitar api unggun.
"Siapkan teh yang terbaik untuk mereka. Keluarkan makanan daging terbaik kita," perintah Tuan Ammar pada pelayan.
Para pelayan menyiapkan makanan untuk para tamu yang tak diundang.
"Anda berdua bisa sampai di perkemahan kami, tentu ada maksud tertentu," ucap Rumiyah.
"Kami mencari seorang buronan," ucap seorang Mongol yang bertopi bulu serigala kelabu.
Tuan Ammar dan Rumiyah saling menatap.
"Buronan?" tanya Tuan Ammar sambil tertawa kecil, "kami hanya pedagang biji-bijian, permadani, dan kain sulam Samarkand. Selama perjalanan kami tak menemui siapa pun," terang Tuan Ammar.
"Jika Anda tak percaya, silakan Anda periksa perkemahan kami," ucap Rumiyah.
Kedua mata-mata Mongol saling pandang, lalu berdiri. Dengan lancangnya mereka berjalan ke setiap kereta memeriksa. Saat kedua Mongol itu membuka tirai pintu tempat Tuan Kuchlug dirawat, jantung Rumiyah berdebar tak karuan. Dia menatap Tuan Ammar yang terlihat tenang. Rumiyah meneguk ludah.
Saat mata-mata Mongol berlalu dari kereta, betapa lega hati Rumiyah. Orang-orang Mongol itu pun kembali duduk setelah memeriksa semua kereta.
"Apakah yang Anda cari ada di sini, tuan-tuan?" tanya Tuan Ammar dengan raut tenang.
Kedua Mongol itu terlihat mulai melunak raut wajahnya.
"Mari-mari, kami menjamu kalian berdua. Kami dalam perjalanan menuju Zhongdu untuk mengantar barang. Kami harap tuan-tuan sekalian berkenan di hati," jelas Tuan Ammar.
Tuan Ammar sendiri yang menjamu kedua tamu tak diundang itu, sedangkan Rumiyah kembali ke keretanya. Terdengar suara suaminya berkelakar, sedangkan para Mongol itu hanya menanggapi dengan tawa saja. Tak lama kemudian, para tamu itu dibiarkan pergi dengan damai, tanpa konflik.
Tirai kereta terbuka, Tuan Ammar naik ke dalam kereta.
"Apakah mereka sudah pergi?" tanya Rumiyah.
Tuan Ammar mengangguk, lalu dibantu Rumiyah mereka mengangkati gulungan kain yang menutupi kedua orang Qara Khitai.
"Apakah kalian baik-baik saja?" tanya Tuan Ammar setelah memindahkan kain.
Prajurit Qara Khitai itu mengangguk dengan wajah pucat pasi.
"Jangan takut, mereka sudah pergi. Kita akan ke Balasagun besok. Istirahatlah," ucap Tuan Ammar.
Malam yang panjang bagi kafilah dagang Tuan Ammar. Mereka tetap menjaga kewaspadaan selama di perjalanan menuju Zhongdu.