Chereads / RUMIYAH (Senja Turun di Samarqand) / Chapter 37 - BAB 36 DI KOTA KELAHIRAN IBU

Chapter 37 - BAB 36 DI KOTA KELAHIRAN IBU

Saat fajar mulai menyingsing, kafilah Tuan Ammar sudah mulai bergerak menuju Balasagun. Rumiyah mengendarai kudanya dalam balutan baju tebal dan topi bulu yang menghangatkan telinganya. Udara dingin berhembus menjadi uap yang keluar dari hidung dan mulutnya saat bicara.

"Aku tahu kau sudah tak sabar untuk sampai Balasagun, hati-hati mengendarai kudamu!" ujar Tuan Ammar mengingatkan Rumiyah.

Gadis bermata biru itu tersenyum, lalu melambatkan laju kudanya. Pipinya kemerahan terkena hangatnya mentari yang mulai meninggi.

"Apa yang istimewa dari Balasagun?" tanya Rumiyah sambil menyejajari suaminya.

"Para gadisnya," jawab Tuan Ammar sambil tertawa kecil menggoda istrinya.

Pancingan Tuan Ammar mengena, Rumiyah hilang senyumnya.

"Tapi, tak secantik seorang gadis Samarkand yang sudah mengikat hatiku," ucap Tuan Ammar sambil menatap padang rumput yang luas di hadapan mereka, lalu sedikit memacu kudanya.

Rumiyah tersenyum mendengar gombalan itu, lalu menyusul suaminya. Dia tahu suaminya hanya ingin membuatnya cemburu. Namun, jawaban dari suaminya tak salah, sesuai dengan cerita ibu angkatnya, gadis-gadis Balasagun memang cantik-cantik.

Rumiyah menatap punggung bidang suaminya. Dia bersyukur memiliki lelaki yang perhatian dan bertanggungjawab seperti Tuan Ammar yang dulu bernama Muazzam. Rumiyah tahu betapa banyak penderitaan yang dihadapi suaminya. Tak hanya secara fisik dengan tubuh yang penuh bekas luka, tapi hatinya juga luka karena keluarganya telah dibinasakan dengan tidak adil. Bahkan dia harus berpisah dengan Hamidah, istri pertama Muazzam, hanya karena fitnah yang tak berdasar.

Rumiyah melihat saat ini sosok Muazzam memang tidak seceria dulu, namun kebijaksanaan dan ketenangan terpancar setelah sekian tahun mengalami penderitaan. Sekarang, saatnya dia menemani lelaki yang menjadi guru kehidupannya sejak kecil, menempuh jalan berliku demi mencari keadilan. Rumiyah mengikat dirinya pada lelaki itu tak hanya berdasarkan cinta, tapi juga balas budi dan komitmen.

***

Salah satu gadis tercantik Balasagun sedang di jalanan menderap kuda membelah keramaian orang. Gadis berambut panjang hitam terjalin indah dengan kepala dihiasi ikat kepala merah bersulam indah. Di tangannya ada sebuah cemeti, dengan wajah serius dia mengejar seorang laki-laki yang juga menderap kuda ke arah luar kota.

Wajah lelaki itu ketakutan sampai keringatnya bercucuran. Sekali-kali menengok ke belakang khawatir tertangkap gadis berompi merah yang mengejarnya. Belum sampai gerbang kota, saat para penjaga pintu baru saja bergerak untuk menghalangi jalan, sebuah cemeti melesat melingkar di leher sang buronan. Gadis itu langsung menarik cemetinya, hingga sang buronan jatuh dari kuda. Saat buronannya tak berdaya, sang gadis menghentikan kudanya. Gadis itu turun, lalu mendekati lelaki yang kelejotan di tanah karena kesakitan.

"Hei, kubilang apa! Jangan kabur! Sakit kan? Itu balasannya kau buat aku capek!" gertak sang gadis sambil melipat cemetinya.

Sekelompok prajurit penjaga gerbang langsung berlari mendekat, lalu menghormat.

"Nona Linqgun!" ucap mereka serempak sambil memberi hormat.

"Kalian urus dia, bawa kembali ke biro investigasi," perintah gadis yang dipanggil dengan nama Linqgun.

Gadis itu menakut-nakuti sang buronan dengan sebuah pukulan bohongan yang cukup membuat nyali musuhnya mengerut. Tak lama kemudian, dari kejauhan dua orang perempuan menderap kudanya mendekat ke arah tempat kejadian. Linqgun menoleh, lalu tersenyum lebar. Gadis itu melambaikan tangan.

"Kakak!" panggil Linqgun.

Seorang perempuan yang memakai topi bulu cerpelai putih menderap kudanya dengan wajah khawatir. Gadis itu bernama Oksana, anak Kuchlug.

"Kau benar-benar membuatku khawatir. Selalu saja berbuat seenaknya sendiri. Kami baru saja mendapat kabar Ayah dalam perjalanan pulang dalam kondisi terluka," terang Oksana tanpa turun dari kuda.

Oksana membulatkan matanya karena terkejut, sekejap saja dia sudah di atas kuda, lalu menderapnya tanpa berkata sepatah pun. Ayahnya adalah dunianya. Ada rasa sedih dan khawatir di hatinya saat mendengar ayahnya terluka. Melihat adiknya yang suka berbuat seenaknya, Oksana hanya bisa menggelengkan kepala.

***

Linqgun, gadis bermata hitam yang indah itu segera turun dari kuda, lalu berlari masuk gerbang batu kediaman Kuchlug.

"Ayaaaah!" teriak Linqgun sambil berlari menuju ke bangunan tempat ayahnya di rawat.

Tanpa menunggu lama dia langsung membuka pintu kamar, dilihatnya sang ayah sedang terbaring. Seorang tabib memeriksa kondisi sang penasihat raja ditemani sang ibu, Putri Hunhu. Kuchlug tersenyum melihat anak kesayangannya. Gadis itu mendekat lalu berlutut di samping ranjang dengan wajah khawatir.

"Apakah ayah baik-baik saja? Siapa yang telah melakukan hal ini padamu, aku akan membalasnya," ucap Linqgun ceplas ceplos.

Kuchlug tertawa kecil.

"Ayah baik-baik saja. Kau ... berterima kasihlah pada para tamu kita. Mereka yang telah menolong ayah," terang Kuchlug sambil melihat ke arah Tuan Ammar dan Rumiyah.

Linqgun yang merasa malu karena lupa sopan santun pun menoleh ke arah para tamu ayahnya yang sedang tersenyum padanya. Dia menghadap para tamu lalu bersujud melakukan hormat terima kasih.

"Maafkan saya. Terima kasih sudah menolong ayah," ucap LInqgun.

"Tak perlu sampai seperti itu," ucap Tuan Ammar, "berdirilah," pinta Tuan Ammar.

"Maafkan anak kami. LInqgun memang demikian, aku pikir aku tak perlu lagi anak laki-laki, dia saja sudah cukup membuat meriah keluarga kami," terang Putri Hunhu sambil tertawa kecil.

"Linqgun, antar para tamu ke paviliun untuk istirahat," perintah Putri Hunhu.

"Baik, Bu," jawab gadis itu, "mari," ajak Linqgun pada para tamunya.

Tuan Ammar dan Rumiyah pun pamit undur diri, lalu mengikuti langkah gadis jelita nan ceria, anak bungsu sang penasihat raja.

***

Rumiyah berdiri dekat jendela kamar yang terbuka, udara dingin masuk menerobos jendela. Di tangannya ada sebilah pisau bergagang merah milik ayahnya yang diberikan pada Aisara saat menikah. Ada kerinduan yang menyapanya malam itu pada sosok ibunya yang tak pernah tahu bagaimana wajahnya. Dia hanya diberitahu Shafiyya letak makam Aisara di tengah hutan pinus di pinggiran kota Samarkand.

"Ibu, bagaimana wajah Ibu Aisara?" tanya Rumiyah dulu saat masih kanak-kanak.

Shafiyya memeluk Rumiyah yang sedang terbaring di dipan memandang langit malam melalui jendela.

"Ibumu cantik seperti rembulan. Senyumnya manis sepertimu, tak pernah aku melihat seorang perempuan Balasagun yang memiliki kulit seputih susu seperti Nona Aisara. Tutur katanya lemah lembut dan pandai menghargai orang. Matanya cokelat tua dan terlihat tenang. Kau ... mewarisi mata ayahmu, berwarna biru cantik bak danau yang menentramkan," cerita Shafiyya saat itu.

Rumiyah tersenyum, dalam pikirannya dia membayangkan bagaimana ibu kandungnya. Dia yakin ibunya seanggun dan seelegan yang digambarkan oleh Shafiyya, karena ibunya adalah anak menteri urusan militer. Rumiyah ingin bertemu dengan keluarga ibunya, walau hanya melihat mereka dari jauh, karena keberadaannya tak pernah ada dalam garis silsilah keluarga ibunya.

"Angin malam sangat dingin, mengapa kau tak memakai baju hangatmu?" sapa Tuan Ammar mengejutkan Rumiyah yang langsung menoleh kea rah suaminya yang barusan datang dari luar.

Lelaki berjenggot itu melepas doppanya lalu dipasangkan di kepala Rumiyah. Tuan Ammar memeluk pinggang Rumiyah yang tingginya hanya sedada.

"Kenapa kau tak pernah tumbuh tinggi? Apa perlu kugendong lagi seperti saat kecil agar kau bisa terbang?" tanya Tuan Ammar menggoda Rumiyah sambil menutupkan jubahnya ke atas pundak Rumiyah agar saling merasakan kehangatan bersama.

"Aku pikir kau takkan sanggup lagi menggendongku di pundak seperti dulu," jawab Rumiyah sambil memukul dada suaminya lembut.

Tuan Ammar menghela napas, lalu mengeratkan pelukannya pada istrinya.

"Aku sudah menemukan kediaman keluarga ibumu, tapi ...," ucap Tuan Ammar menggantung seakan berita selanjutnya terasa berat jika disampaikan.

"Apakah kabar baik ataukah kabar buruk?" tanya Rumiyah menyela.

Tuan Ammar mencium kepala Rumiyah.

"Tak ada kabar baik," jawab Tuan Ammar.

"Ceritakan, aku siap mendengarkan," pinta Rumiyah.

"Keluarga ibumu semua sudah dihukum mati oleh raja dengan tuduhan pemberontakan. Semua terjadi saat ibumu sudah menjadi istri ayahmu. Aisara dianggap mata-mata Qara Khitai, oleh karena itu dia diburu oleh pihak Khawarizm. Saat itu kakekmu, Tuan Dashi ingin menolong ibumu yang melarikan diri kembali ke Balasagun. Dia pergi tanpa dekrit raja yang menyebabkan keluargamu dijatuhi hukuman mati karena dianggap memberontak pada Yelu Zhilugu. Setelah itu perang pecah," cerita Tuan Ammar yang membuat Rumiyah menahan rasa pedih dihatinya.

"Terima kasih, kau sudah membantu mencari informasi keluargaku. Kupikir, biar saja semua berlalu, toh hal itu sudah lama terjadi. Setidaknya ... aku sudah tahu siapa kakekku dan bagaimana Klan Dashi berakhir."

Tuan Ammar mengangguk pelan lalu mengeratkan pelukannya pada Rumiyah.

"Aku akan minta pelayan menyiapkan makan malam untukmu," ucap Rumiyah lalu beranjak pergi meninggalkan Tuan Ammar.

Tuan Ammar menatap kepergian Rumiyah. Dia tahu pasti Rumiyah menangis. Selama ini Rumiyah selalu tak pernah menampakkan jiwa yang lemah dihadapannya. Dia sering melihat Rumiyah menangis sendirian.

Tuan Ammar mengernyitkan dahinya seperti menahan sakit di perutnya. Dia mengeluarkan tangan dari balik jubahnya. Bercak darah segar memenuhi telapak tangannya.

"Omar!" panggil Tuan Ammar memanggil ajudannya.

Lelaki kulit hitam yang memakai sorban kumal masuk sambil membawa obat-obatan.

"Apa Anda baik-baik saja? Cepat duduk!" ajak Omar sambil menopang Tuan Ammar agar duduk di kursi.

"Jangan bilang Nyonya kalau aku terluka," pinta Tuan Ammar.

Omar mengangguk. Lelaki itu membantu Tuan Ammar membuka baju dengan raut wajah khawatir.