Tuan Ammar dan Tuan Rustam duduk saling berhadapan di dalam tenda. Dia menatap lelaki tua yang sudah lama bergelut di dunia militer. Tuan Ammar memberanikan diri menemui Tuan Rustam karena Rumiyah. Beberapa hari ini dia memikirkan langkah apa yang terbaik untuk dirinya. Apakah dia harus berkata jujur pada Tuan Rustam ataukah tidak? Menilai dari pembawaan Tuan Rustam, lelaki itu berhati lembut dan penuh kasih sayang, terutama terhadap Rumiyah. Jika dia seorang yang berhati keras, mungkin dulu Aisara, ibu Rumiyah sudah benar-benar mati di tangannya.
"Saya ingin melamar Rumiyah," ucap Tuan Ammar memecah keheningan setelah cukup lama lelaki itu diam menata hati dan keberanian.
Api lentera minyak meliuk. Tuan Rustam diam masih menatap Tuan Ammar, membuat lelaki itu sedikit gugup jika harapannya tak terpenuhi.
"Kau baru mengenal Rumiyah, bagaimana kau bisa langsung memintanya menjadi istrimu?" tanya Tuan Rustam.
Tuan Ammar tak langsung menjawab karena ragu, apakah dia harus membuka rahasianya pada Tuan Rustam.
"Saya mengenal Rumiyah sejak dia masih berumur lima tahun. Saat dia masuk sebagai pelayan di keluarga Tuan Nashruddin," terang Tuan Ammar.
Tuan Rustam mengernyitkan dahi.
"Apa maksudmu?" tanya Tuan Rustam tak paham,"apa kaitannya kau dengan keluarga pemberontak itu?" lanjut Tuan Rustam.
Tuan Ammar mengalihkan pandangan ke kanan sambil menghela napas menahan emosi.
"Keluarga kami dan Pasukan Rasyidin dijebak, kami tidak berniat untuk memberontak," terang Tuan Ammar.
Wajah Tuan Rustam mulai terlihat serius.
"Saat itu ayah mendapat perintah dari Shah untuk menyelidiki stok biji besi yang menghilang. Dalam proses investigasi kami malah mendapatkan fakta korupsi senjata oleh Tuan Coskun yang bekerjasama dengan mata-mata Mongol yang bernama Tuan Jorigt. Aku bertugas bersama Othman untuk memeriksa tanah di gunung milik Tuan Jorigt yang diambil alih dari para mertuanya. Ternyata semua tanah itu ada dalam satu wilayah yang berdekatan. Lebih mengejutkan lagi, di dalam gunung terdapat tambang bijh besi dan pabrik senjata. Saat itu kami tertangkap dan dijebak. Mereka membuat pedang yang bersimbol pasukan Rasyidin, lalu kami ditangkap tangan oleh Tuan Mustafa. Di rumah kami tiba-tiba muncul buku leger pabrik dan penjualan senjata serta surat keterangan kepemilikan tanah. Demi Allah, kami tak pernah memiliki tanah itu," jelas Tuan Ammar.
"Terus kenapa kalian bunuh Tuan Mustafa? Kenapa kalian mengambil alih Samarkand dan membunuhi para pejabat?" tanya Tuan Rustam dengan serius.
"Jika kami tidak membunuh, maka kami yang dibunuh. Para pejabat korup dan sudah disuap oleh Tuan Jorigt itu pantas mati," jelas Tuan Ammar dengan nada tegas.
"Apa rencanamu? Di mata penguasa kalian sudah berakhir. Aku ingatkan kamu untuk tidak membuat huru-hara saat di Tashkent. Jika demikian, aku takkan rela melepas Rumiyah padamu. Dia sudah banyak mengalami penderitaan, aku tak ingin lagi dia menderita," ucap Tuan Rustam.
"Aku berjanji padamu untuk membahagiakan Rumiyah. Kami sama-sama telah mengalami rasanya lepas dari kematian. Aku yakin, kami bisa saling memahami satu sama lain. Aku mengganti identitas menjadi seorang pedagang karena memang ingin mengejar Tuan Jorigt. Saat kami mengambil alih Samarkand, mata-mata Mongol itu melarikan diri kembali ke timur. Aku akan mencarinya walau ke lubang tikus sekalipun, dan membuka kedok Inalchug," terang Tuan Ammar.
"Kau bersedia berangkat ke Mongolia?" tanya Tuan Rustam.
"Ya," jawab Tuan Ammar singkat.
Tuan Rustam berdiri lalu mendekat pada lentera minyak yang menyala. Lelaki itu menghela napas panjang, lalu diam sesaat untuk membuat keputusan.
"Baik. Aku akan menanyakan hal ini terlebih dulu pada Rumiyah. Apakah dia mau menikah denganmu ataukah tidak," jawab Tuan Rustam.
Tuan Ammar tersenyum lebar. Misinya berhasil separuh jalan. Setelah itu Tuan Ammar pamit keluar tenda. Tuan Rustam menatap kepergian Tuan Ammar.
"Takdir ... takdir ... apa yang bisa kulakukan jika Kau mempertemukan mereka kembali setelah mengalami banyak penderitaan. Berkahi kehidupan mereka Ya Rabb," gumam Tuan Rustam, lalu mematikan semua lentera minyak.
***
Rumiyah duduk di dalam tendanya. Senyum terus merekah di wajahnya. Semburat merah meronai pipinya. Para pelayan dengan senyum gembira bernyanyi sambil menghamparkan sebuah kain kerudung sutera merah bersulam benang perak. Kain itu ditutupkan ke atas kepala Rumiyah yang memakai gaun pengantin. Dia sedang menunggu datangnya pengantin lelaki yang sedang mengadakan ijab kabul di tenda Tuan Rustam. Jantung Rumiyah berdebar, seakan waktu berjalan lambat.
Semua persiapan pernikahan dilakukan secara sederhana. Tuan Rustam tak ingin menunda terlalu lama untuk menikahkan Rumiyah pada Tuan Ammar. Rumiyah langsung menyetujui saat Tuan Rustam menyampaikan maksud Tuan Ammar.
"Ayah, aku mengenal Tuan Muda Muazzam sejak kecil. Aku tahu kepribadiannya. Dia sudah kuanggap sebagai guruku. Kami memiliki tujuan yang sama, tak ada alasan aku menolaknya. Bismillah."
Jawaban Rumiyah sedikit membuat Tuan Rustam terkejut. Betapa reaksi Rumiyah sangat berbeda dengan saat Humayun mengajukan lamaran di Urgench. Anak gadisnya menyetujui lamaran Tuan Ammar tanpa syarat. Tuan Rustam hanya tersenyum seakan memahami sebenarnya dalam hati Rumiyah, sejak lama menaruh hati pada Muazzam.
***
Tuan Ammar berjalan diiringi para pengikutnya menuju tenda Rumiyah setelah ijab kabul. Sang pengantin, belahan jiwanya telah menunggu. Terdengar suara perisai ditabuh dengan memukulkan gagang pedang sebagai ganti rebana oleh para pengawal Tuan Ammar dan prajurit Khawarizm. Mereka berjalan sambil membacakan syair salawat.
Orang-orang kafilah Nyonya Dilara sudah menunggu di depan tenda Rumiyah dengan wajah bahagia. Nyonya Dilara memanggil Rumiyah keluar dari dalam tenda. Gadis itu keluar dengan sebuah kerudung yang menutupi seluruh kepala dan wajahnya. Dia berhenti di depan pintu saat seorang pelayan mengulurkan air mawar dalam bejana di hadapannya. Rumiyah memasukkan tangannya ke dalam air, lalu perlahan diusapkannya ke wajahnya yang masih tersembunyi di dalam kerudung. Seorang pelayan lain mengulurkan semangkok garam. Rumiyah menjimpitnya lalu memakannya.
Gadis itu berjalan diantar Nyonya Dilara mendekat ke arah Tuan Ammar. Lelaki yang berkumis dan berjenggot itu tampak bahagia. Perlahan dibukanya kerudung Rumiyah, hingga tampak wajah cantik Rumiyah yang malu-malu. Senyum bahagia merekah di wajah gadis itu. Tuan Ammar juga tersenyum lebar. Semuanya ikut berbahagia dengan pernikahan sakral itu. Tuan Rustam tak henti-hentinya tersenyum sambil mengusap air mata haru. Nyonya Dilara juga demikian, perempuan itu tak menyangka Rumiyah akhirnya menikah.
Tuan Ammar mengambil kantong kain dalam ikat pinggangnya, lalu mengeluarkan sekeping uang dinar emas. Uang itu ditaruhnya di telapak tangan Rumiyah. Semua orang bergembira dan bersorak-sorai. Mereka melanjutkan acara dengan makan bersama-sama di halaman perkemahan.