Rumiyah menderap kudanya menuju pinggir sungai. Dia menangis. Tak hanya sedih, tapi harga dirinya terluka. Rumiyah menghentikan kudanya lalu memandang sungai dengan tatapan yang kabur karena air mata. Rumiyah turun dari kuda lalu duduk di pinggir sungai. Dia duduk memeluk lututnya lalu menangis. Rumiyah baru saja mengkhianati suara hatinya.
Setelah diberitahu ayahnya bahwa Humayun melamar dirinya. Segera dia mencari sosok lelaki yang menjadi teman masa kecilnya. Ayahnya telah menyetujuinya, tapi Rumiyah tak langsung menyetujui. Dia menuju ke barak militer, tapi tak ditemuinya lelaki itu karena harus pulang menemui ibunya yang sedang sakit. Saat itu juga Rumiyah menuju ke kediaman Tuan Mustafa.
Saat memasuki rumah yang penuh kenangan saat di Urgench bersama Laila, ada kerinduan yang menyapanya. Dia melihat sudut-sudut bangunan tempat dia dan Laila bermain. Senyum Rumiyah terbit seiring kenangan yang menyentuhnya.
"Nona, Nyonya Ruqayyah menunggu di dalam kamar beliau," sapa seorang pelayan.
Rumiyah menoleh lalu mengikuti langkah sang pelayan menuju ke kamar Nyonya Ruqayyah.
Rumiyah masuk ke dalam kamar yang indah penuh dengan hiasan antik, bunga yang harum dalam vas-vas, dan korden-korden sutera yang menghiasai setiap pintu lorong. Dilihatnya Nyonya Ruqayyah duduk di kursi dekat ranjangnya. Tatapannya melihat keluar melalui jendela saat Rumiyah datang. Ibu Humayyun terlihat sudah sangat tua, berbeda saat Rumiyah pergi dari Urgench lima tahun lalu. Nyonya Ruqayyah orang yang bersemangat, tapi sekarang Rumiyah tak lagi melihat cahaya itu dari wajahnya.
Setelah mengucapkan salam, Rumiyah hanya berdiri diam tak berani melangkah masuk sebelum diizinkan. Rumiyah lama diam dan hanya berdiri tanpa disapa.
"Sudah lama sekali kita tak bertemu Rumiyah," tiba-tiba Nyonya Ruqayyah bersuara tanpa menatap Rumiyah.
Rumiyah hanya diam mendengarkan. Nyonya Ruqayyah masih menatap ke luar tanpa mempedulikan tamunya yang masih berdiri. Rumiyah sadar diri, Nyonya Ruqayyah pasti punya alasan mengapa dia tak disambut ramah oleh ibu Humayun.
"Kalian gadis kecil yang begitu manis. Terutama kau Rumiyah, aku suka kepribadianmu yang dewasa dan tenang. Tak salah jika saat itu Humayun memilihmu sebagai calon pendampingnya. Gelang perak berukir yang kuberikan padanya, aku ingin gelang itu diberikan pada Laila karena dia anak Tuan Nashruddin. Namun, ternyata harapanku meleset. Mengapa anak bodoh itu lebih memilihmu dibanding anak seorang pejabat. Waktu mengatakan semua pada akhirnya. Peristiwa lima tahun lalu membuatku menyadari bahwa sebuah kekaguman, pertemanan, dan perjanjian bisa hancur karena pengkhianatan. Suamiku mati di tangan ayah Laila. Sekarang, kau muncul, melihatmu sama saja dengan mengorek luka lama," terang Nyonya Ruqayyah lirih dengan nada tegas tapi penuh kepedihan.
Rumiyah diam menatap perempuan tua yang tak mau menoleh padanya. Perempuan itu tak menangis, tapi sorot kesedihan bisa Rumiyah rasakan dari guratan wajahnya yang dingin.
"Jangan harap kau bisa masuk ke dalam keluarga kami, " tegas Nyonya Ruqayyah masih dengan nada dingin.
Rumiyah menunduk. Dia tahu diri. Gadis itu mundur lalu pergi meninggalkan Nyonya Ruqayyah dengan segumpal emosi yang terpendam di hati. Dia tak ingin menangis atau marah. Nyonya Ruqayyah berhak menolaknya. Dia sadar diri, keberadaannnya hanya akan mengorek luka lama perempuan tua itu. Walau dia bukan anak Tuan Nashruddin, dia adalah sahabat Laila. Rumiyah berjalan menyusuri lorong masih dengan kepala tegak. Penolakan Nyonya Ruqayyah membuat dia sadar akan posisinya.
"Rumiyah," panggil seseorang dari belakang sambil menarik pergelangan tangannya.
Rumiyah menoleh lalu berbalik. Dia melihat Humayun berdiri di depannya. Mereka saling menatap dalam diam.
"Lepaskan. Jaga sikapmu," tegas Rumiyah sambil menarik pergelangan tangan.
Humayun langsung melepas pegangan tangannya.
"Maafkan ibuku," ucap Humayun.
Rumiyah mengeraskan rahangnya, lalu berbalik tak mau melihat Humayun.
"Ibumu tak salah, seharusnya aku yang meminta maaf telah masuk ke dalam kehidupan kalian di masa lampau maupun masa kini. Ini semua juga salahmu," terang Rumiyah masih memunggungi Humayun.
Lelaki itu hanya diam tak membantah, karena memang dia bersalah.
"Mengapa kau tak bilang dari dulu kalau gelang perak itu tanda bahwa kau memilihku sebagai calon pendampingmu? Mengapa kau mengkhianati perjanjian keluargamu dengan keluarga Nashruddin? Itu karena kau suka seenakmu sendiri dalam membuat keputusan. Jika tahu sejak awal demikian aku takkan mengkhianati Laila dan menolak mengantarkan gelang perak itu kepada ibumu. Kau benar-benar membuatku marah. Peristiwa lima tahun lalu, masih menggoreskan luka lama dihati ibumu, dan kau tiba-tiba memunculkan perihal lamaran ini kepada beliau. Tidakkah kau sedang menyakiti ibumu?"
"Maafkan aku," ucap Humayun.
"Kau … seharusnya paham kalau aku masuk ke dalam keluargamu, setiap melihatku, ibumu akan ingat bahwa ayahmu telah tiada karena dibunuh oleh Tuan Nashruddin. Kau … seharusnya minta maaf pada ibumu," terang Rumiyah lalu gadis itu berbalik menghadap Humayun.
"Ini kukembalikan padamu," ucap Rumiyah sambil mengembalikan gelang perak berukir ke dalam telapak tangan Humayun.
Rumiyah meninggalkan Humayun, tetapi Humayun menangkap pergelangan tangan Rumiyah.
"Apakah kita masih berteman?" tanya Humayun dengan nada sedih.
Rumiyah menatap Humayun. Dia bisa menangkap sorot mata kesedihan lelaki itu. Rumiyah hanya menghela napas, lalu menarik tangannya. Rumiyah meninggalkan Humayun tanpa mengucapkan sepatah kata. Humayun hanya memandang punggung Rumiyah yang semakin menjauh dari dirinya.
Air mata Rumiyah mulai menetes, padahal dia sudah berusaha semampunya untuk tidak menangis. Dia telah mengkhianati suara hatinya. Dia tak ingin menyakiti Humayun, tapi pada kenyataannya dia harus menyakiti lelaki itu. Demi Nyonya Ruqayyah, Rumiyah harus mengalah untuk tidak menerima Humayun sebagai suaminya. Jika Rumiyah meraba hatinya, dia bisa merasakan, rasa cinta itu ada. Saat ini, dia harus membuangnya.
***
Saat fajar sepenggalah, kafilah Nyonya Dilara sudah mulai berangkat menggunakan perahu menuju Tashkent. Itu jalur tercepat yang bisa mereka tempuh. Rumiyah berdiri di atas dek menatap luasnya Sungai Sayhoun. Dia sudah menata hatinya setelah tak hentinya menangis semalaman. Dia tak ingin lagi melihat masa lalu, karena itu takkan terulang lagi. Dia ingin menata masa depannya. Ada sebuah misi yang akan dia hadapi sesampainya di Tashkent.
Rumiyah mendapat informasi dari Nyonya Dilara bahwa Shah mengumpulkan para saudagar karena sebuah misi. Mereka yang memiliki kualifikasi akan diminta berangkat ke dunia timur, Mongolia. Di timur sana, ada penguasa baru yang dinilai sangat agresif dan ditakuti. Shah ingin beberapa saudagar menjalankan misi mata-mata.
"Kau pintar berbahasa Mongol. Aku harap kau bersedia berangkat," ucap Nyonya Dilara membuat keputusan.
Rumiyah hanya diam sambil membasahi bibirnya. Benar dia bisa berbahasa Mongol, tepatnya hanya sedikit tahu karena Baba pernah mengajarinya. Namun kemampuan menjadi mata-mata dia tak memiliki kemampuan untuk itu. Dia khawatir malah akan jadi batu sandungan.
"Tapi Nyonya, aku tak memiliki kemampuan memata-matai. Jika kau ingin aku menghunus pedang dan berkelahi aku masih bisa, tapi memata-matai, kupikir hanya akan cari mati," terang Rumiyah bermaksud menolak keinginan Nyonya Dilara.
Majikan Rumiyah mendekat lalu duduk di samping gadis itu.
"Kau tahu apa hukuman bagi yang menolak misi ini? Hukuman mati, karena ini misi rahasia. Jika kita mundur saat ini, terlambat. Kau ingin kita semua mati?" bujuk Nyonya Dilara.
Rumiyah menghela napas. Diibaratkan saat ini dia sedang di sebuah jalan yang lurus tanpa jalur yang bisa untuk berputar balik selain terus maju. Mundur dia mati, maju dia akan mendaki gunung pisau dan menyeberangi lautan api. Rumiyah mengucapkan basmallah dalam hati.
"Baiklah," ucap Rumiyah pada akhirnya.
Nyonya Dilara tersenyum lebar lalu memeluk Rumiyah.
"Aku tahu kau gadis baik," ucap Nyonya Dilara masih memeluk Rumiyah.
Rumiyah hanya diam sambil menatap liukan api pada lentera lampu minyak. Rumiyah meraba hatinya dan bertanya, apakah dia sudah siap mati?