"Rumiyah, masuklah!" ucap Nyonya Dilara meminta Rumiyah masuk ke dalam tenda.
Gadis itu menundukkan kepalanya lalu masuk ke dalam tenda. Saat mengangkat wajahnya, matanya menatap nanar sosok tamu yang ada di dalam tenda majikannya.
"Rumiyah ...," ucap lelaki tamu Nyonya Dilara.
Rumiyah langsung muram dan berbalik pergi keluar dari tenda tak menghiraukan panggilan majikannya. Dia berlari menuju ke tendanya.
"Untuk apa laki-laki itu datang? Mereka terlihat akrab, seakan sudah saling mengenal lama. Apakah Nyonya Dilara sengaja mempertemukanku dengannya?" batin Rumiyah sambil duduk di tepi ranjangnya.
Rumiyah mengikuti kafilah dagang Nyonya Dilara menuju Urgench. Awalnya dia tak mau ikut karena takut jika bertemu dengan ayahnya atau Humayun. Rumiyah benci mereka.
"Rumiyah," sapa Nyonya Dilara saat masuk ke dalam tenda Rumiyah.
Rumiyah memindah posisi tubuhnya membelakangi Nyonya Dilara. Dia merajuk.
"Maafkan aku. Aku dan ayahmu adalah teman lama. Mungkin ini terlalu mendadak untukmu. Tuan Rustam datang memang untuk menjengukmu. Aku bersalah padamu tak pernah menceritakan hal yang seharusnya kau ketahui. Tuan Rustam sudah lama tahu bahwa kau ikut bersamaku. Hanya saja dia memberimu waktu agar kau mau membuka hatimu untuk menerima dirinya. Dia tahu kau terluka, untuk itulah dia sabar menunggu. Rumiyah, ini sudah lima tahun, kau bilang padaku kau sudah mengikhlaskan kejadian itu. Apakah hatimu masih belum terketuk untuk memaafkan ayahmu?" tanya Nyonya Dilara pada akhirnya menutup penjelasannya.
Rumiyah hanya diam sambil meneteskan air mata. Dia sendiri tak memahami perasaannya. Dia belum bisa memaafkan, tapi juga tak pantas jika seorang anak mengabaikan ayahnya. Nyonya Dilara menyentuh punggung Rumiyah.
"Maafkan ayahmu hmm ...," pinta Nyonya Dilara.
Rumiyah masih diam. Nyonya Dilara pasrah tak berhasil membujuk Rumiyah.
"Rumiyah, Selama perjalanan ke Tashkent kita akan dikawal oleh Tuan Rustam karena jalur sungai sedang tidak aman. Aku mendapat kabar ada sekelompok perompak yang mengganggu perjalanan para kafilah yang sudah berangkat duluan. Kita membutuhkan pengawalan mereka. Pikirkan baik-baik," terang Nyonya Dilara lalu beranjak pergi meninggalkan Rumiyah sendiri.
***
Rumiyah memutuskan untuk menghadapi kenyataan. Dia mulai keluar dari tendanya dan menuju ke tenda dapur untuk mempersiapkan makan siang untuk para prajurit Khawarizm yang akan mengawal mereka sampai kota Tashkent.
"Syukurlah kau datang, cepat bantu aku mengambilkan air di sungai. Kita kehabisan air," ucap Bibi Amina tukang masak kepercayaan Nyonya Dilara.
Rumiyah langsung mengangkat ember-ember kayu besar lalu menaikkannya ke atas gerobak kayu. Gadis itu mendorongnya menuju tepi sungai melalui semak-semak.
Saat kembali ke perkemahan, dia mendengar suara mencurigakan dari balik semak. Rumiyah menghentikan langkahnya. Dia waspada jika ada binatang liar yang sedang mengintainya dari balik semak. Dia mengangkat ember kayu yang ada di atas gerobak, lalu melemparnya ke arah semak-semak.
"Whooaaaa!" teriak sebuah suara dari balik semak.
Sesosok prajurit Khawarizm muncul dari balik semak dengan tubuh basah kuyup. Rumiyah terkejut, dengan gugup mendekati sosok lelaki yang membelakanginya. Lelaki itu mengomel sambil mengelap bajunya yang basah kuyup. Lalu menoleh ke arah Rumiyah.
"Kau!" ucap Rumiyah dan lelaki itu bersamaan,
Rumiyah terkesiap melihat sosok yang ada di hadapannya.
"Kau Rumiyah?" tanya lelaki itu.
Rumiyah yang sadar siapa yang ada di hadapannya lalu melangkah mengambil ember kayu.
"Maaf," ucap gadis itu singkat lalu meninggalkan sosok lelaki yang menatapnya tanpa kedip.
Melihat Rumiyah pergi lelaki itu mengejarnya sampai pinggir sungai.
"Rumiyah, ini aku Humayun. Apakah kau sudah lupa padaku?" tanya Humayun.
Rumiyah diam tak menjawab. Wajahnya muram sambil mengisi air di ember lalu mengangkatnya dengan susah payah menuju gerobak.
Humayun mencoba menghentikan langkah Rumiyah dengan menghalangi di depannya. Rumiyah berhenti.
"Minggir," ucap Rumiyah dengan nada sinis.
Rumiyah tahu pasti ada saatnya dia akan bertemu dengan sosok yang telah menghunuskan pedang dihadapannya lima tahun lalu. Saat itu Rumiyah masih memaafkan, tapi setelah kejadian di Samarkand, semua berubah menjadi kebencian.
"Tak mau. Sini kubantu," tawar Humayun sambil mencoba mengambil alih ember kayu yang dibawa Rumiyah.
"Minggir," ucap Rumiyah tegas.
"Rumiyah!" seru Humayun tak kalah tegas.
Rumiyah menaruh embernya lalu berkacak pinggang sambil menatap lelaki yang ada di hadapannya. Rumiyah menyadari sosok itu banyak berubah. Dia tak lagi gendut seperti saat pertama kali bertemu. Tubuhnya tegap hasil dari latihan selama bertahun-tahun. Tingginya sudah beberapa jengkal di atas kepala Rumiyah, hingga gadis itu harus mendongak.
"Apa maumu?" tanya Rumiyah menatap Humayun dengan mata birunya yang indah.
Humayun berdeham menatap mata Rumiyah.
"Aku ingin tanya kabarmu. Aku tak mengira kita akan bertemu di sini setelah kau pergi dari barak militer. Apakah kau baik-baik saja?" tanya Humayun serius.
"Kau lihat aku baik-baik saja. Minggir," perintah Rumiyah tegas.
Humayun mengalah lalu memberi jalan untuk Rumiyah. Gadis itu menaruh ember ke atas gerobak.
"Aku terus memikirkanmu selama lima tahun ini," ucap Humayun,
Rumiyah langsung mematung setelah mendengar pengakuan Humayun.
"Aku tahu kita tak lagi saling berteman karena keadaan. Aku ingin kita bisa seperti dulu lagi," pinta Humayun, "maafkan aku," lanjutnya.
Rumiyah masih diam.
"Kau tahu aku bukan Rumiyah yang seperti dulu lagi. Laila dan Azkar sudah mati. Bagaimana kita bisa seperti dulu lagi? Kau tak tahu bagaimana sakitnya hatiku melihat orang yang kita sayangi mati di depan mata, Shafiyya dan Maryam dibantai dengan brutal. Kalian telah membunuh mereka," terang Rumiyah dengan suara bergetar karena menahan tangis.
Humayun ikut merasa sedih mengetahui betapa semua peristiwa di Samarkand itu menjadikan sebuah trauma untuk Rumiyah.
"Maafkan aku. Kau juga tahu ayahku dibunuh oleh Tuan Nashruddin, ibuku juga mengalami kesedihan yang mendalam setelah kematian ayah. Kita impas. Bisakah kita saling memaafkan? Kita berteman kembali seperti dulu," pinta Humayun.
Rumiyah diam sambil mendorong gerobaknya.
"Jangan banyak bicara. Kalau tidak kau takkan kebagian makan siang," ucap Rumiyah.
Humayun langsung membantu Rumiyah mendorong gerobak.
"Apakah itu berarti kau memafkan aku?" tanya Humayun memastikan.
Rumiyah hanya melirik Humayun tanpa berkata apa-apa. Humayun tersenyum sambil berjalan di sampingnya.
"Sini aku saja yang mendorong. Jalanmu seperti siput," ucap Humayun yang mencoba mengajak Rumiyah bercanda.
Rumiyah tersenyum tipis, sambil menatap punggung Humayun yang mendorong gerobak dengan semangat di depannya.
Rumiyah berpikir, tak semuanya yang terjadi salah Humayun. Mereka terjebak dengan keadaan hingga akhirnya tercerai berai menjadi permusuhan.