Angin padang rumput berhembus kencang. Debu terhambur saat pasukan Khawarizm mulai berangkat dari Urgench menuju Samarkand. Di bagian depan pasukan berkuda membuka jalan, di bagian tengah Shah Khawarizm menaiki gajah duduk dengan gagahnya. Laki-laki tua bertubuh ramping dengan jenggot serta kumis tipis itu menatap ke depan, seakan sedang melihat kemenangan sudah ada dihadapannya. Baju zirahnya yang terbuat dari kulit dan besi menutup rapat setiap bagian tubuhnya.
Suara Sanggurdi di benteng Samarkand mulai dibunyikan. Pasukan Rasyidin tak menduga jika akan secepat itu pihak Khawarizm akan memukul balik. Penduduk panik dan bersembunyi disudut kota mana saja yang bisa dijadikan persembunyian. Tuan Nashruddin didampingi Othman berdiri di atas benteng memandang kedatangan Pasukan Khawarizm yang tak terhitung jumlahnya. Pasukan Rasyidin dan para penduduk yang laki-laki bersiaga. Mereka sudah mempersiapkan segala macam senjata dan bahan bakar.
Lesatan hujan panah dari pihak Khawarizm memulai sebuah pertempuran menaklukkan kembali Samarkand. Lemparan manjanik berdebum menghantam tembok benteng. Tak kalah sengitnya pasukan Rasyidin juga membalas serangan dengan hujan panah api dan melemparkan tombak. Pasukan Khawarizm yang merangsek ke arah benteng terjerumus ke dalam parit yang penuh dengan kayu berujung tajam yang memang sudah disiapkan untuk menghalangi langkah pasukan.
Asap mengepul dimana-mana. Tak sedikit dari pasukan Rasyidin yang terluka. Mereka sudah semakin terdesak. Tak lama kemudian datang dari arah kanan dan kiri pasukan Rasyidin datang dari kota Balkh dipimpin oleh Ja'far dan Muazzam membantu menyerang dan mengepung pasukan Khawarizm.
Kekacauan terjadi di bagian pintu gerbang. Gerbang kota berhasil dijebol memberikan kesempatan bagi Pasukan Khawarizm untuk menginvasi kota. Para prajurit merangsek masuk ke dalam kota. Menghancurkan kota dan membunuh siapa pun yang melakukan perlawanan.
Pasukan Khawarizm menyerang kediaman Nashruddin. Prajurit penjaga berhasil dilumpuhkan. Maryam dan Rumiyah menghunus pedang mempertahankan diri. Azkar tak kalah gigihnya membabat setiap orang yang mencoba masuk ke dalam rumah. Dalam sekali pukulan Maryam terjatuh dan sebuah sabetan pedang mengakhiri hidupnya. Mata Rumiyah terbelalak melihat Maryam tumbang.
Seorang pasukan Khawarizm yang bengis mendekati Rumiyah lalu menyerangnya. Rumiyah berhasil menangkis serangan dan mengayunkan kembali pedangnya. Gerakan Rumiyah lincah dalam mengayunkan pedang tak kalah bagus gerakannya dengan Azkar karena Muazzam yang telah melatihnya.
Suara jeritan para perempuan dari dalam rumah terdengar nyaring. Rumiyah lari ke dalam setelah menjatuhkan beberapa prajurit Khawarizm. Beberapa pasukan Khawarizm membantai para pelayan perempuan dan tepat di depan Rumiyah, sebuah sabetan pedang menghabisi nyawa Laila. Rumiyah dengan sekali lompat mengayunkan pedang dan menebas kepala musuh yang telah membunuh Laila. Rumiyah langsung memeriksa kondisi Laila. Sahabatnya sudah tak bernyawa. Tubuh Rumiyah bergetar karena sedih. Dia meletakkan pedangnya lalu memeluk sahabatya.
"Lailaaa ...Lailaaa ...," ucap Rumiyah sambil menangis tergugu memeluk sahabatnya.
Rumiyah melihat sekeliling. Tak tersisa seorang pun yang hidup. Dia meletakkan Laila lalu mendekati jenazah Shafiyya yang tergeletak tak jauh dari Bibi Khanum. Dia berharap ibunya masih hidup. Dia memeluk ibunya yang bersimbah darah sambil menangis.
Rumiyah berdiri lalu mengambil pedangnya kembali, dia keluar dan menerjang pasukan Khawarizm yang mengeroyok Azkar. Pemuda itu juga sudah kepayahan dan terluka. Tak kalah gesit Rumiyah juga menyerang dan menyabetkan pedangnya yang juga sudah bersimbah darah. Rumiyah tak lagi menangis. Di hatinya ada segumpal amarah yang ingin dia luapkan menjadi senjata yang akan membunuh semua orang yang telah menyakiti orang-orang yang dia cintai. Gerakan Rumiyah tak lagi bagus, cenderung membabi buta memberi kesempatan musuh untuk menyerang dan mereka berhasil menghujamkan pedang ke perut gadis itu. Mata Rumiyah terbelalak, kakinya goyah, matanya kabur.
"Rumiyaaah! Rumiyaaah!
Telinga Rumiyah mendengar sebuah suara meneriakkan namanya sesaat sebelum pandangannya gelap dan ambruk tak sadarkan diri.
***
Pada tahun 1212 Masehi Samarkand kembali ditaklukkan oleh Shah Al Ad Din Muhammad II dengan korban sepuluh ribu orang tewas. Sang Shah masuk ke dalam kota dengan mengendarai gajahnya. Dia memerintahkan kepala pemimpin Rasyidin untuk dipenggal dan ditancapkan di benteng. Shah juga memerintahkan untuk menjadikan Samarkand sebagai ibu kota sementara sebelum melanjutkan perjalanan untuk menyerang Bagdad. Rakyat yang tersisa hanya bisa menerima kekalahan dan memandang benci pada sosok Shah yang angkuh. Para penduduk yang telah kalah menitikkan air mata saat melihat kepala Tuan Nashruddin dan Othman di tancapkan di sebilah kayu lalu diarak untuk ditancapkan di benteng kota.
***
Dua sosok berjubah putih dan berjubah kelabu berdiri di bukit batu di luar kota. Mereka memandang dari kejauhan perang yang telah usai di kota Samarkand.
"Barka, kapan kidung kematian itu akan berhenti dan keheningan kembali menyapa? Aku merindukan kedamaian," ucap Tuan Syeifiddin.
"Selama sunatullah manusia yang suka mengalirkan darah sesama tidak dicabut, kidung itu akan tetap mengalun. Bertahanlah, bersabarlah," jawab Tuan Barka.
Tuan Syeifiddin menghela napas panjang.
"Hatiku selalu dirudung rasa sedih saat melihat manusia menderita," ucap Tuan Syeifiddin lagi.
"Itu karena hatimu terlalu lembut, saudaraku," ucap Tuan Barka sambil menatap ke arah Samarkand yang ada di lembah nun jauh di sana.
"Kita lanjutkan perjalanan. Kota Balkh sudah menunggu," ucap Tuan Syeifiddin lalu beranjak dari tempatnya berdiri.