Bulan tak terlihat, hanya awan yang menggantung di langit. Empat sosok mengendap di bawah bayang semak-semak yang tinggi di depan sebuah gua di lembah gunung. Mereka adalah Muazzam dan tiga anak buahnya berusaha masuk ke dalam gua.
Mereka membawa sebuah obor menyusuri jalan masuk gua yang hanya bisa dilewati orang satu persatu. Bau buangan limbah dari tambang besi begitu menyengat hidung. Agar tidak menganggu pernapasan, ujung sorban mereka tutupkan di depan wajah. Semakin ke dalam semakin terdengar seperti bunyi besi yang dipukul dan suara orang-orang yang sibuk bekerja melebur besi.
Akhirnya, diujung gua terdapat lubang yang tersembunyi dan hanya bisa dilewati orang sambil membungkuk. Muazzam dan anak buahnya berhati-hati melalui lubang itu, lalu bersembunyi di balik batu besar. Mereka menemukan pemandangan sebuah tambang besi dan peleburannya di dalam perut gunung.
Udara panas terasa pengap. Ada sekitar puluhan orang sedang melebur besi dan membuat pedang. Muazzam yakin itu tambang besi dan pabrik senjata milik Tuan Jorigt. Muazzam merasa di atas angin karena berhasil mendapatkan bukti bahwa Tuan Jorigt dan Tuan Inalchug bekerja sama untuk melakukan pemberontakkan. Nasib manusia tak dapat ditebak, tak disangka beberapa ujung tombak sudah mengarah dari arah belakang. Mereka ketahuan.
Muazzam dan anak buahnya ditangkap lalu diikat. Mereka di dorong menuju ke sebuah tempat pengawasan di hadapan Tuan Jorigt yang sedang memeriksa pedang-pedang dalam peti-peti kayu. Si Mata-mata Mongol itu menyeringai melihat Muazzam.
"Selamat datang, Tuan Muazzam," ucap Tuan Jorigt.
Wajah Muazzam memerah karena kesal.
Tuan Jorigt berjalan mendekat ke arah Muazzam yang sedang berlutut.
"Tangkapan kita hari ini sangat istimewa," ucap Tuan Jorigt sambil mengelap sebuah pedang yang ada di tangannya.
"Pfuiiih!" Muazzam meludahi muka Tuan Jorigt.
Lelaki itu tetap berwajah datar sambil membersihkan wajahnya.
"Kita tunggu seseorang datang untuk menolongmu. Tak lama lagi," ujar Tuan Jorigt sambil menunjukkan simbol di pedang yang ada di tangannya.
Muazzam membulatkan matanya. Dia melihat pedang itu bersimbol bulan bintang milik Pasukan Rasyidin.
"Apa yang kau rencanakan?" ucap Muazzam dengan nada geram.
Tuan Jorigt tertawa lalu mendekatkan wajahnya ke arah Muazzam.
"Membalikkan keadaan. Setelah ini kalian akan seperti batu yang dijatuhkan ke dalam jurang. Meluncur jatuh ... hancur," jawab Tuan Jorigt sambil menuju ke sebuah peti kayu lalu melempar pedang yang ada di tangannya, "Kosongkan tempat ini," perintah Tuan Jorigt sambil berlalu dari hadapan Muazzam dan anak buahnya.
Muazzam hendak berdiri memberontak, tapi sebuah pukulan berhasil membuat dia pingsan lalu terjerembab ke tanah.
***
Di tempat lain, sehari sebelum Muazzam tertangkap, Tuan Nashruddin bersama beberapa anak buahnya menderap kudanya menuju tambang besi milik Tuan Jorigt. Wajahnya tegang. Dia mendapat pesan bahwa Muazzam dalam bahaya. Segera setelah mendapat pesan itu, Tuan Nashruddin langsung berangkat menyelamatkan anaknya. Waktu perjalanan sehari semalam akhirnya dia sampai di gua tempat Muazzam berada.
Kelompok Tuan Nashruddin tak langsung masuk ke dalam gua. Mereka mengawasi terlebih dahulu kondisi sekitar. Sepi. Tak ada aktivitas di luar maupun di dalam gua. Tuan Nashruddin pun mengendap masuk ke dalam gua. Di ruang peleburan besi, dia melihat Muazzam dan ketiga anak buahnya tergeletak tak sadarkan diri. Segera Tuan Nashruddin memeriksa kondisi Muazzam dan yang lainnya. Rasa cemasnya hilang saat tahu Muazzam hanya pingsan.
"Muaz ... Muaz ...!" panggil Tuan Nashruddin membangunkan Muazzam.
Muazzam membuka matanya. Kepalanya puyeng setelah dipukul. Anak buah Tuan Jorigt memberi mereka obat bius.
"Ayah, mengapa ayah bisa ada di sini?" tanya Muazzam dengan nada terkejut.
"Aku mendapat pesan bahwa kau dalam bahaya," terang Tuan Nashruddin.
Muazzam berusaha duduk sambil mengumpulkan kembali kesadarannya.
"Kita harus segera pergi dari sini. Ini jebakan," ucap Muazzam.
"Apa maksudmu?" tanya Tuan Nashruddin tak paham lalu membantu Muazzam berdiri.
Muazzam berjalan sempoyongan dibantu Tuan Nashruddin menuju pintu gua.
"Nanti kujelaskan. Tak ada waktu. Cepat kita pergi dari sini," ajak Muazzam diikuti yang lainnya.
Mereka berhasil keluar dari gua, tapi satu peleton prajurit yang dipimpin oleh Tuan Mustafa sudah menghadang mereka di depan gua. Mereka tak menyangka Tuan Jorigt dan Inalchug memasang jebakan untuk mereka. Saat ini merekalah yang akan dituduh sebagai pemberontak dengan bukti pedang-pedang yang bersimbol Pasukan Rasyidin yang ada di dalam gua.Tanpa melakukan perlawanan Tuan Nashruddin digelandang menuju ke Samarkand. Mereka berusaha bersikap tenang dan mengikuti langkah Tuan Mustafa.
Di sudut lain di balik semak, Othman dan seorang dari pasukan Rasyidin melihat pemimpinnya ditangkap. Wajah Othman memerah. Dia marah, tapi tak sampai menghilangkan akalnya. Dia segera berlari menuju ke markas pasukan Rasyidin untuk mengabarkan penangkapan Tuan Nashruddin dan Muazzam. Jika pemimpin mereka ditangkap, tak lama lagi para pengikutnya pasti juga akan ditangkap. Othman mencari jalan agar pasukan Rasyidin bisa selamat dari penangkapan.
***
Humayun berjalan gontai melintasi barak militer di Samarkand. Dia merasa putus asa karena tak menemukan Badshah dimana pun juga. Tuan Syeifiddin juga ikut membantu berkeliling kota, bahkan di sudut-sudut kumuh kota Samarkand. Humayun juga minta bantuan Baba, tapi orang tua itu juga tak menemukan keberadaan sahabatnya. Dimana kau Badshah? batin Humayun.
"Humayuuuun!" seru sebuah suara memanggilnya dari jauh.
Humayun menoleh. Dilihatnya temannya sedang berlari terengah-engah mendekat ke arahnya.
"Kabar buruk ... kabar buruk ...! ucap temannya sambil masih berlari.
Wajah Humanyun penuh tanya.
"Ada apa? Tenang dulu," ucap Humanyun pada temannya yang sedang mengatur napas.
"Kabar buruk. Tuan Nashruddin dan Muazzam ditangkap dengan tuduhan merencanakan pemberontakan. Mereka sedang dalam perjalanan menuju ke sini," terang temannya yang masih terengah.
Humayun terkejut. Tanpa menunggu lama remaja tanggung itu berlari menuju ke tenda ayahnya.
Humayun terus berlari. Dari jauh dia melihat Tuan Nashruddin, Muazzam dan beberapa prajurit Rasyidin digelandang masuk ke dalam tenda Tuan Mustafa. Beberapa anak buah ayahnya juga ikut di belakang mengangkut muatan peti-peti kayu yang tak diketahui apa isinya. Humayun sedih, tak berdaya, kecewa melihat ayah Laila ditangkap oleh ayahnya. Humayun tak berani mendekati tenda ayahnya. Dia menunggu sampai siang, sampai pemeriksaan atas Tuan Nashruddin dan yang lainnya selesai. Para tahanan akhirnya digiring keluar tenda menuju ke penjara militer. Saat itulah Humayun berjalan cepat masuk ke dalam tenda ayahnya.
Humayun diam berdiri tegak menatap tajam ayahnya yang sedang memunggunginya. Tuan Mustafa menoleh lalu menatap anak laki-lakinya dengan tatapan tenang.
"Ada apa kau kemari?" tanya Tuan Mustafa.
"Apa yang terjadi dengan Tuan Nashruddin?" tanya Humayun langsung.
Tuan Mustafa tidak langsung menjawab tapi berjalan mendekat ke arah Humayun yang tingginya tiga perempat dari tinggi ayahnya. Tuan Mustafa menatap mata sang Anak.
"Pergilah...Aku akan memeriksa kasus ini. Percayalah padaku," ucap Tuan Mustafa.
"Tuan Nashruddin orang yang setia terhadap negara. Bagaimana mungkin dia melakukan kejahatan?" ucap Humayun.
"Nak, kita tak bisa mempercayai orang begitu saja. Aku tahu Tuan Nashruddin orang yang baik dan setia pada negara. Aku juga tak percaya jika dia memiliki rencana untuk memberontak, tapi bukti-bukti itu ada di sini," terang Tuan Mustafa sambil menunjuk pada peti-peti kayu yang diletakkan berjajar di lantai.
Humayun mendekati salah satu peti lalu membukanya. Matanya membulat saat melihat begitu banyak pedang bersimbol bulan bintang milik pasukan Rasyidin di dalam peti.
"Itu ditemukan di pabrik peleburan besi di lembah gunung di luar kota. Aku menduga seseorang telah menjebak Tuan Nashruddin ," terang Tuan Mustafa.
Humayun diam menatap tumpukan pedang yang ada di dalam peti. Dia berpikir siapa orang yang ingin mencelakai Tuan Nashruddin dan yang lainnya.
"Ayah, siapa kira-kira yang ingin menjebak Tuan Nashruddin?" tanya Humayun.
"Aku belum bisa memastikan. Malam ini aku akan menginterogasi mereka lagi. Aku yakin mereka tak bersalah, tapi keadilan tetap harus ditegakkan," terang Tuan Mustafa, "Jika tuduhan ini benar, Tuan Nashruddin dan keluarganya akan dieksekusi," lanjut Tuan Mustafa.
Humayun mengerutkan alisnya. Dia mencemaskan keluarga Tuan Nashruddin. Remaja itu langsung pergi berjalan keluar tenda ayahnya. Dia ingin berbuat sesuatu untuk membantu keluarga Tuan Nashruddin.
"Humayuuun ... hei berhenti. Jangan ikut campur masalah ini!" panggil Tuan Mustafa, tapi Humayun tak menggubrisnya. Dia terus berjalan tanpa menoleh lalu berlari menuju kediaman Tuan Nashruddin.
***
Maryam berjalan mondar-mandir, sedangkan Hamida duduk di kursi dengan wajah cemas. Shafiyya berdiri dekat Hamida, tak kalah khawatir hatinya. Mereka menunggu kabar pelayan yang mencarikan kebenaran informasi tentang ayah dan kakaknya yang ditangkap pihak militer. Tak lama kemudian seorang pelayan laki-laki masuk melalui pintu dengan napas yang terengah. Maryam dan Hamida langsung mendekat.
"Bagaimana?" tanya Maryam langsung.
Nampak jelas wajah cemasnya.
"Nona ... benar tentang berita itu. Tuan Besar dan Tuan Muda ditangkap dengan tuduhan merencanakan pemberontakan. Saat ini mereka ada di dalam penjara bawah tanah di barak militer," terang sang Pelayan.
Maryam limbung dan hampir jatuh, Shafiyya menahan tubuh majikannya.
"Nona ... sabar...istighfar," ucap Shafiyya menenangkan.
"Laa haula wal quwwata ilabillah," ucap Hamida matanya mulai berembun oleh air mata.
Para perempuan keluarga Tuan Nashruddin semunya berduka.
Tak lama kemudian seorang pelayan perempuan datang menaghadap memberitahu bahwa ada utusan dari pasukan Rasyidin yang ingin bertemu dengan Maryam.
"Suruh dia masuk," jawab Maryam.
Othman masuk ke dalam ruangan setelah dipersilakan oleh sang Pelayan.
Laki-laki teman dekat Muazzam itu berdiri menghadap Maryam yang sedang duduk di kursi dengan raut duka.
"Ada apa kau kemari?" tanya Maryam.
"Nona, sebaiknya kita segera pergi dari sini," ajak Othman.
Maryam tak langsung menjawab.
"Jika kita melarikan diri, itu akan membuat orang berpikir kita memang bersalah," ucap Hamida.
Othman menunduk.
"Maafkan saya yang tak mampu melindungi ayah dan kakak Nona," sesal Othman.
"Kau tak salah, untuk apa minta maaf. Bagaimana dengan para anggota pasukan Rasyidin?" tanya Maryam.
"Kota sekarang sedang chaos. Prajurit Khawarizm menangkap sebagian dari mereka, sedangkan yang lainnya sudah melarikan diri ke luar kota. Nona ...," terang Othman tak selesai karena terinterupsi suara gaduh dari luar.
Seorang pelayan perempuan lari masuk ke dalam ruangan Maryam.
"Nona... Nona ...prajurit Khawarizm datang kemari," seru sang Pelayan.
Semua orang yang ada di dalam ruangan keluar menyambut kedatangan prajurit Khawarizm.
Maryam berdiri paling depan menyambut mereka dengan raut wajah tenang.
Setelah memberi hormat salah satu dari prajurit Khawarizm menyampaikan maksud kedatangan mereka.
"Nona, kami mendapat perintah dari Tuan Mustafa untuk melakukan pemeriksaan dan penggeledahan di kediaman Tuan Nashruddin," ucap sang Prajurit.
"Berani sekali kalian masuk. Ayahku bukan seorang pemberontak!" ucap Maryam tegas.
"Nona jangan mempersulit kami. Ini surat perintah penggeledahan. Kami hanya menjalankan tugas," ucap si Prajurit.
Othman mendekat, mengambil gulungan surat penggeledahan lalu diberikan kepada Maryam.
Gadis itu membuka lembaran kertas, lalu membacanya.
Tanpa menunggu lama para prajurit langsung berpencar memeriksa dan menggeledah setiap ruang yang ada di kediaman Tuan Nashruddin. Maryam dan yang lainnya tak berkutik selain pasrah dengan keadaan.
Seorang prajurit datang melapor kepada pemimpin pasukan yang berdiri di depan Maryam.
"Tuan, kami menemukan dua buku ini dari salah satu ruangan."
Pemimpin prajurit menerima buku-buku itu lalu memeriksa isinya. Dua buah buku leger tentang tambang besi dan pabrik senjata, terselip di dalamnya sebuah surat kepemilikan lahan atas nama Tuan Nashruddin.
"Nona, ini bukti bahwa Tuan Nashruddin memiliki rencana pemberontakan. Tangkap mereka semua," perintah sang Pemimpin pasukan.
Maryam mulai emosi begitu juga Othman yang langsung menghunuskan pedang untuk melawan. Maryam menahan Othman agar tidak melakukan perlawanan.
"Baik, kami akan ikut kalian. Keadilan akan ditegakkan. Allah tidak tidur," ucap Maryam.
Maryam mengangkat tangannya dengan wajah yang menengadah ke langit.
Yaa Allah, sungguh mereka telah menunjukkan kekuatan dan kekuasaannya dengan menzalimi kami. Tunjukkanlah kekuatan dan kekuasaanMu, doa Maryam terlantun dalam hati.