Humayun berdiri di samping sebuah bangunan memandang ke arah kediaman Nashruddin. Dia melihat Maryam, Hamida, Othman dan para pelayan digiring oleh prajurit Khawarizm. Kediaman itu di segel. Humayun geram, tapi dia tak berdaya untuk menolong keluarga Nashruddin. Melobi ayahnya, bukan solusi. Dia berpikir harus segera ke Urgench untuk memberitahu Laila dan Rumiyah.
Humayun bergegas menuju ke markas militer untuk mempersiapkan perjalanan ke Urgench dan mengendarai kuda terbaik miliknya. Dia khawatir utusan ayahnya akan mendahuluinya untuk menangkap keluarga Tuan Nashruddin yang tersisa. Dia tak ingin Laila dan Rumiyah juga ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara bersama ayah dan kakaknya.
***
Badshah bersama Turgen berdiri di salah satu sudut kedai memandang ke arah kediaman Nashruddin. Mereka juga melihat keluarga Tuan Nashruddin yang tersisa digelandang menuju markas militer. Badshah menunduk, dia merasa bersalah atas tragedi yang menimpa keluarga Tuan Nashruddin. Dia tahu semua yang terjadi karena sebuah konspirasi yang dilakukan oleh pihak orang-orang yang tak suka terhadap Tuan Nashruddin.
"Ayo, kita pergi. Mereka sudah menunggu kita. Tugasmu sudah selesai," ajak Turgen, lalu menarik Badshah pergi dari kedai tempat mereka melakukan pengawasan.
Badshah tak bisa menolak kemauan Tuan Jorigt, karena ibunya yang menjadi tawanan. Dia menoleh untuk kesekian kali melihat ke arah Maryam dan yang lainnya. Rasa bersalah terhadap Rumiyah dan Laila menghantui hidupnya.
***
Tuan Ozturk, ayah Hamida duduk dihadapan Muazzam dan Tuan Nashruddin di dalam sel.
"Aku ingin kau menceraikan Hamida. Dia tak boleh terlibat dalam hal ini," ucap Tuan Ozturk pada Muazzam memecah keheningan suasana di penjara.
Muazzam menunduk, sedangkan Tuan Nshruddin tersenyum sinis.
"Ozturk … Ozturk … kau telah menampakkan kulit aslimu. Apakah kau kira kami benar-benar melakukan kejahatan ini?" tanya Tuan Nashruddin yang terlihat lusuh dan lelah.
"Aku tahu kalian pasti dijebak oleh seseorang. Mustafa sudah menyampaikannya padaku, tetapi bukti-bukti itu terlalu kuat. Kita tak tahu apakah Shah akan mempercayaimu lagi. Hamida tak terlibat dalam konspirasi keluarga kalian. Jika kau mencintai Hamida, maka ceraikan dia," terang Tuan Ozturk masih bertahan dengan keinginannnya.
Cahaya suram dalam sel tak sesuram hati Muazzam. Dia tak langsung menjawab keinginan Tuan Ozturk. Bagaimanapun Hamida adalah istri yang dicintainya. Muazzam menghela napas lalu menetapkan hatinya.
"Baiklah. Engkau sebagai saksi, aku talak tiga Hamida," ucap Muazzam dengan nada berat hati.
Tuan Ozturk mengangguk.
"Aku tahu kau pasti akan melakukannya. Aku akan membawa Hamida pulang ke Otrar," ucap Tuan Ozturk, lalu beranjak pergi dari hadapan Muazzam.
Tuan Nashruddin hanya bisa mendengkus kesal.
"Habis manis sepah dibuang. Setelah tak lagi memegang kejayaan, mereka pergi begitu saja. Tak setia … tak setia," gumam Tuan Nashruddin dengan wajah sinis sambil memandang kepergian Tuan Ozturk yang diantar oleh penjaga.
Tak lama kemudian datang seorang penjaga penjara. Lelaki itu mengantarkan makanan untuk Muazzam dan Tuan Nashruddin.
"Makanlah, dan tunggu kabar," bisik sang penjaga saat mengulurkan semangkok roti dan kuah ke dalam penjara.
Muazzam hanya menatap sang penjaga yang pergi setelah menaruh makanan. Tuan Nashruddin langsung mengambil roti yang ditaruh di lantai berdebu di dekat pintu sel. Dia membelah roti dan menemukan sebuah kertas terselip di dalamnya. Tuan Nashruddin membaca surat itu. Wajahnya berubah serius, lalu tersenyum.
***
Fatamorgana naik meliuk ke udara. Tampak para prajurit yang membawa Maryam dan yang lainnya melintasi padang rumput yang kering. Maryam berjalan kaki di samping Hamida. Shafiyya dan beberapa pelayan tersuruk-suruk kelelahan di belakang majikannya. Othman, berjalan di sampingnya dengan tatapan mata yang siaga.
Tak lama kemudian, datang sekelompok prajurit berkuda yang dipimpin Tuan Ozturk. Pemimpin rombongan memberi tanda untuk berhenti. Kelompok Tuan Ozturk juga berhenti. Lelaki tua itu turun dari kudanya, lalu mendekat pada pemimpin prajurit. Mereka saling berbisik, dan sang pemimpin prajurit mengangguk. Tuan Ozturk mendekat ke arah Hamida yang mengerutkan keningnya karena silau.
"Hamida, ikut ayah kembali ke Otrar," ucap Tuan Ozturk.
Hamida kebingungan.
"Untuk apa? Aku akan tetap di sisi suamiku," terang Hamida.
"Kau harus pulang ke Otrar. Apa yang terjadi tak ada sangkut pautnya denganmu," terang Tuan Ozturk.
Hamida langsung memeluk lengan Maryam.
"Aku tak mau pergi," tolak Hamida.
"Jangan keras kepala. Prajurit, seret Nonamu," perintah Tuan Ozturk.
Beberapa prajurit Tuan Ozturk langsung bergerak menarik Hamida. Perempuan itu meronta menolak untuk ikut ayahnya.
"Maryam … Maryam!" panggil Hamida pada adik iparnya.
Maryam hanya bisa diam tanpa bisa menolong.
Rombongan prajurit yang mengawal Maryam melanjutkan perjalanan. Hamida tak berdaya terus diseret oleh pengawal ayahnya.
"Diam. Muazzam telah menalakmu. Kau harus pulang bersama ayah ke Otrar demi keselamatanmu!" terang Tuan Ozturk dengan nada tinggi.
Hamida terkesiap. Tubuhnya langsung lemas, lalu terduduk karena syok mendengar berita yang disampaikan ayahnya. Dia menangis tergugu, lalu berteriak kesal. Dia marah pada kenyataan hidupnya yang menyedihkan.
***
Sekelompok orang memakai penutup wajah mengintip dari balik bukit berumput ilalang. Mereka mengawasi rombongan Maryam yang masih berjalan menuju markas militer. Sang pemimpin penguntit memberi aba-aba dengan tangan untuk turun menyerang. Secepat kilat dari berbagai arah, ratusan orang membawa senjata tajam menyerang rombongan prajurit Khawarizm.
Maryam dan perempuan yang lain hanya bisa menjerit ketakutan dan saling berpelukan di tengah palagan. Othman tersenyum lebar. Waktunya telah tiba. Seseorang melemparkan sebuah pedang padanya. Pedang itu langsung dipakainya untuk menebas kepala prajurit Khawarizm yang ada di dekatnya.
"Lindungi Nona Maryam," teriak Othman.
Prajurit Khawarizm kewalahan. Mereka kalah jumlah dan ketangkasan. Tak lama kemudian mereka berhasil ditaklukkan, semua terbunuh tak tersisa.
Othman mendekat pada sosok lelaki tinggi memakai penutup wajah.
"Aku tahu kau pasti akan datang," ucap Othman.
Lelaki yang memakai sorban itu pun membuka penutup wajahnya. Tampak Ja'far tersenyum lebar lalu memeluk Othman.
"Kita segera pergi dari sini," ajak Ja'far pada yang lainnya.
Maryam tersenyum bahagia. Ternyata Allah masih berkenan menolong mereka. Ja'far anak buah Tuan Nashruddin berhasil mengumpulkan prajurit Rasyidin yang tersisa untuk menyelamatkan Maryam dan yang lainnya.