Chereads / RUMIYAH (Senja Turun di Samarqand) / Chapter 24 - BAB 23 SALING MENGHUNUS PEDANG

Chapter 24 - BAB 23 SALING MENGHUNUS PEDANG

Berita mengenai penyerangan pasukan yang mengawal keluarga Tuan Nashruddin membuat penjagaan kota di perketat. Esok pagi hakim sudah menentukan hukuman eksekusi mati bagi Tuan Nashruddin dan Muazzam. Bisa dipastikan Samarkand dalam kondisi siaga satu. Pintu gerbang kota ditutup lebih awal. Ada desas-desus tersebar bahwa pasukan Rasyidin memberontak dan melakukan perlawanan karena pemimpinnya dipenjara. Rakyat gelisah dan memilih berdiam diri di dalam rumah. Jam malam diberlakukan. Pasukan Khawarizm pimpinan Tuan Mustafa berjaga dan berpatroli keliling kota.

Pasukan Rasyidin terlatih untuk penyusupan dan penyamaran. Mereka lebih tahu celah tiap sudut kota. Satu-persatu pasukan Rasyidin yang menyamar sebagai gelandangan dan pedagang yang telah berhasil masuk ke dalam kota pada siang hari mulai membuka penyamarannya. Mereka bergerak secara cepat dan terkoordinasi. Mereka akan membuat huru-hara untuk menarik perhatian para prajurit Khawarizm.

Sosok-sosok berbaju hitam, bersorban dan memakai penutup wajah menjatuhkan satu persatu penjaga penjara dan sebagian penyusup menyaru sebagai tentara Khawarizm menggantikan tugas penjagaan. Mereka berjalan bak bayangan tanpa suara menjatuhkan penjaga yang ada di dalam area penjara lalu meyeret mereka untuk disembunyikan. Sosok hitam berjumlah dua orang masuk ke bangunan tempat Tuan Nashruddin dan Muazzam berada.

"Tuan," panggil seorang yang berbaju hitam ke dalam sel Tuan Nashruddin.

Nashruddin dan Muazzam yang sedang menunggu para pembebas mereka langsung berdiri mendekat ke arah pintu sel.

Dua sosok berbaju hitam itu membuka penutup wajahnya. Mereka Othman dan Tuan Ja'far.

"Kalian," ucap Tuan Nashruddin.

Othman segera membuka kunci pintu sel.

"Mari. Kita segera pergi dari sini," ajak Tuan Ja'far.

Mereka berempat langsung keluar dari penjara. Malang tak dapat ditolak, orang-orang mereka yang menjaga gerbang penjara sudah tergeletak di tanah dan satu peleton pasukan Khawarizm sudah menghadang.

Tuan Nashruddin dan yang lainnya menghentikan langkah. Lelaki tua itu menatap Tuan Mustafa yang sudah menghunuskan pedang ke arahnya.

"Demi pertemanan kita selama ini menyerahlah Nashruddin," ucap Tuan Mustafa.

"Kau tahu aku tak bersalah," ucap Tuan Nashruddin.

"Kenyataan takkan berubah. Aku hanya menjalankan tugas," ucap Tuan Mustafa sambil perlahan berjalan mendekat.

Othman dan Tuan Ja'far menghunus pedang bersiaga.

Tiba-tiba dari arah Timur meluncur bunga api tanda bahaya.

"Tuan, pintu gerbang berhasil dibuka musuh," ucap salah satu anak buah Tuan Mustafa.

Tuan Mustafa secepat kilat menerjang Tuan Nashruddin. Pertempuran tak terelakkan. Kekacauan benar-benar terjadi di kota Samarkand. Pedang berkelebat membabat setiap tubuh pasukan Khawarizm. Pasukan Rasyidin menjagal mereka, tak terkecuali para pejabat kota yang pro Shah Khawarizm. Mayat bergelimpangan di lorong-lorong jalan dan ada yang menggantung potongan-potongan tubuh mereka di pasar-pasar.

Samarkand jatuh ke tangan Tuan Nashruddin dengan berhasilnya sebuah tusukan pedang ke perut Tuan Mustafa. Lelaki tua itu menutup matanya saat berhasil menjatuhkan teman baiknya. Air mata menetes di ujung matanya.

"Andai kau tak keras kepala ...," ucap Tuan Nashruddin sambil mencabut pedangnya dari tubuh Tuan Mustafa.

***

Dalam desauan angin malam kota Urgench, sekelompok manusia berkuda melintasi padang rumput. Humayun menderap kudanya, diikuti kereta berkuda yang membawa Laila dan Bbi Khanum. Rumiyah menderap kudanya sendiri di samping kereta. Azkar juga dengan wajah serius mengikuti di belakang. Mereka hendak kembali ke Samarkand setelah mendapat kabar bahwa ayah Laila dan Muazzam ditangkap. Berita tentang jatuhnya kota Samarkand di tangan Pasukan Rasyidin belum sampai pada mereka.

Humayun tiba-tiba menghentikan langkah kuda, membuat rombongan juga ikut berhenti mendadak. Azkar membawa kudanya menderap ke arah Humayun.

"Ada apa?" tanya Azkar.

Humayun memberi tanda dengan kepalanya ke arah pasukan Urgench yang sudah menghadang. Satu peleton pasukan berkuda pimpinan Tuan Rustam berjajar menghalangi jalan.

Laila menyibak korden pintu kereta. Dia bersama Bibi Khanum mengintip.

"Ssst Rumiyah, mengapa kita berhenti?" tanya Laila penasaran.

"Sebentar, aku akan menanyakannya," ucap Rumiyah lalu menderap kudanya mendekat ke arah Humayun dan Azkar. Para prajurit pengawal siaga menjaga Laila.

Rumiyah melihat pasukan dari Urgench mendekat. Debu menguar ke udara karena derap kuda mereka. Pasukan pimpinan Tuan Rustam pun berhenti saat berhadapan dengan Rumiyah dan yang lainnya. Tuan Rustam mendekat.

"Tuan Humayun, biarkan kami membawa mereka kembali ke Urgench. Mereka keluarga pemberontak. Demi ayahmu, jangan kau nodai kehormatannya demi melindungi mereka," pinta Tuan Rustam.

Rumiyah menatap nanar sosok ayahnya. Dia memiliki kharisma pemimpin yang kuat dan suaranya tegas. Ada sekelebat harap dalam hati Rumiyah, lelaki itu bisa mengenali dirinya sebagai anaknya.

"Aku takkan membiarkan kalian menyentuh mereka," ucap Humayun lalu menghunuskan pedangnya diikuti oleh Azkar yang juga ikut siaga.

Rumiyah turun dari kuda. Humayun dan Azkar heran dengan aksi Rumiyah.

Gadis itu tanpa mengalihkan pandangan ke arah Tuan Rustam terus berjalan lalu berlutut. Rumiyah mengambil sesuatu dari pinggangnya, lalu mengangkatnya ke atas dengan kedua tangannya ke arah Tuan Rustam.

"Demi Aisara ibuku. Tuan, tolong bebaskan kami," ucap Rumiyah sambil masih mengangkat pisau bergagang merah.

Tuan Rustam terkesiap. Dia terkejut mendengar gadis cilik di hadapannya menyebut nama Aisara. Dia mengenal pisau yang dipegang oleh Rumiyah, itu adalah miliknya yang dihadiahkan pada Aisara.

Tuan Rustam turun dari kudanya, lalu perlahan mendekat. Dia berlutut dihadapan Rumiyah dengan mata berkaca-kaca. Tuan Rustam memegang pipi dan wajah Rumiyah. Dipandangi mata biru yang mirip dirinya.

"Kau bilang kau siapa?" tanya Tuan Rustam seakan ingin mendengar lagi penjelasan Rumiyah.

"Aku Rumiyah, anak Aisara," ucap Rumiyah tenang.

Tuan Rustam menangis lalu memeluk Rumiyah. Gadis itu tak menangis karena perasaan antara ayah dan anak belum nyata terlukis di hatinya. Demi keselamatan teman-temannya dia harus mengungkap jati dirinya pada ayahnya. Tuan Rustam mengambil alih pisau di tangan Rumiyah. Pisau itu benar miliknya. Humayun dan Azkar turun dari kudanya lalu mendekat ke arah ayah dan anak yang baru bertemu.

"Apakah Tuan akan melepaskan kami?" tanya Rumiyah.

Tuan Rustam mengelus kedua pipi anaknya, lalu menghela napas.

"Aku akan mencari jalan agar kalian tetap selamat, tapi dengan syarat kau ikut denganku," ucap Tuan Rustam.

"Tak bisa!" seru Rumiyah tegas.

Tuan Rustam terkesiap.

"Ada ibu Shafiyya yang akan mengkhawatirkanku di Samarkand. Aku harus pulang,"

Tuan Rustam menunduk. Dia baru saja bertemu dengan anaknya, tapi harus berpisah kembali.

"Kondisi Samarkand sedang siaga satu, kalian mungkin akan kesulitan masuk ke dalam kota. Kalian singgah dulu di rumah Tuan Aydin di luar benteng kota sampai kalian mendapatkan kabar kejelasan kondisi kota. Aku akan memerintahkan beberapa anak buahku menjaga keselamatan kalian. Bagaimana?" tanya Tuan Rustam.

Humayun dan Azkar tersenyum saling pandang. Tuan Rustam tersenyum menatap Rumiyah yang membalasnya dengan senyum lebar.

"Namun sebelum itu, aku ingin kalian melakukan sesuatu. Berikan baju kalian," ucap Tuan Rustam.

Tuan Rustam membiarkan rombongan Rumiyah melanjutkan perjalanan ke Samarkand. Di tangannya ada baju anaknya dan yang lainnya. Baju itu di sobek di beberapa bagian.

"Carikan hewan untuk kita ambil darahnya," perintah Tuan Rustam sambil memberikan baju-baju itu pada anak buahnya,"kita gunakan ini sebagai bukti bahwa kita berhasil membunuh mereka," lanjut Tuan Rustam lalu menaiki kudanya.

Kenangan Tuan Rustam kembali pada saat dia membiarkan Aisara dan Shafiyya pergi meninggalkan Urgench saat perang Khawarizm dan Qara Khitai meletus. Dia merasa sedih, seakarang dia melakukan hal yang sama pada Rumiyah, buah cintanya dengan Aisara.