Chereads / RUMIYAH (Senja Turun di Samarqand) / Chapter 20 - BAB 19 TERUNGKAPNYA SEBUAH RAHASIA

Chapter 20 - BAB 19 TERUNGKAPNYA SEBUAH RAHASIA

Muazzam dan tiga anak buahnya mengawasi aktivitas orang-orang yang keluar masuk sebuah gua yang ada di lembah gunung. Tepatnya, di tanah milik Tuan Jorigt yang diambil alih dari tangan para mertuanya. Orang-orang itu pekerja tambang besi ilegal yang direkrut dari desa-desa yang tak jauh dari gunung.

"Kita tak bisa masuk dan memeriksa ke dalam area tambang siang ini. Kita tunggu malam datang. Kita periksa tempat mayat warga yang mati dalam hutan," jelas Muazzam.

Mereka akhirnya mundur lalu berjalan menuju ke tempat warga menemukan mayat-mayat yang terbakar di lembah gunung.

Sesampainya di tempat yang dituju, Muazzam diam berpikir. Dia melihat posisi matahari yang sudah mulai bergeser ke arah Barat. Posisi mereka saat ini ada di balik gunung, tak jauh dari sungai dekat tambang besi. Muazzam berjalan menuju sungai kecil yang mengalir dekat tempat mereka berdiri. Diciduknya air dengan tangannya, lalu dibauinya. Bau belerang walau sangat samar tercium. Muazzam berdiri lalu berjalan menyusuri sungai menuju ke dalam hutan pinus yang rimbun. Sejauh satu kilometer dia menemukan aliran sungai kecil yang berair hitam pekat dan berbau belerang.

"Jangan sentuh," perintah Muazzam saat salah satu anak buahnya hendak memeriksa aliran air yang busuk, "Itu limbah dari tambang besi yang ada di dalam gunung," terang Muazzam, "Kita periksa ke sana," lanjut Muazzam mengajak anak buahnya mencari sumber aliran air hitam yang mengalir menuju sungai besar.

Muazzam tersenyum mendapat sebuah gua kecil yang dilewati aliran air limbah.Tepat seperti dugaan Muazzam, gua yang tertutup rimbunan semak itu pun disibak. Mereka menemukan sebuah jalan masuk baru menuju tambang besi yang ada di balik gunung.

"Nanti malam kita coba masuk. Kita kembali ke markas," perintah Muazzam lalu diikuti oleh para anak buahnya kembali turun ke desa. Tanpa Muazzam sadari, Tuan Jorigt dan anak buahnya mengawasi pergerakannya dari balik bukit.

***

Di markas tempat Muazzam dan anak buahnya berkumpul, Othman bersama seorang pengikut datang menderap kudanya. Muazzam yang sedang berdiri diselasar rumah kayu menyambut kedatangan mereka. Setelah mengucap salam, Othman melaporkan hasil investigasinya. Mereka berdiri berhadapan di depan sebuah meja yang di atasnya terhampar peta Khawarizm.

"Hanya ada dua mayat yang ditemukan dalam kuburan yang kami bongkar. Hasil pemeriksaan kami, penyebab kematian karena luka bakar. Tapi, Ahli Forensik yang ditunjuk oleh pemerintah desa setempat menghilang, ada dugaan Ahli Forensik yang asli digantikan oleh orang lain dan dibuat sebuah laporan palsu. Ini bukti laporannya," terang Othman.

Muazzam menerima selembar kertas dalam gulungan kulit yang diangsurkan Othman. Muazzam membaca surat keterangan kematian itu dengan seksama. Penyebab kematian karena serangan hewan buas. Muazzam mengerutkan dahinya. Kematian dua orang warga ini benar-benar misterius, batin Muazzam.

"Cari Ahli Forensik yang menghilang itu. Kami berencana akan memeriksa tambang besi malam ini," jelas Muazzam, "Tinggal kita buktikan, apa benar ada markas militer tersembunyi milik Inalchug," lanjut Muazzam sambil mengetuk-ketuk peta Khawarizm yang ada di atas meja di hadapannya.

Seorang anak buah Muazzam datang mendekat.

"Tuan, ada laporan dari kota Merv," ucap anak buah Muazzam.

Muazzam menerima kertas kecil, sebuah surat rahasia yang dikirim melalui burung elang yang terlatih.

Senyum kemenangan terbit di bibir Muazzam. Mata-matanya di kota Merv menemukan bukti kebenaran markas militer rahasia milik Inalchug di tiga kota, Merv, Balkh dan Nishapur. Langkah Muazzam tinggal selangkah lagi untuk membuktikan kejahatan Inalchug.

***

Di sebuah rumah kosong di luar kota Samarqand, Badshah terikat kaki dan tangannya. Matanya juga ditutup, mulutnya disumpal. Dia baru sadar dari pingsannya. Terakhir kali dia ingat sedang berjalan di selasar madrasah mengikuti langkah Humayun, setelah itu dia tidak ingat lagi. Badshah mencoba untuk membuka ikatan yang membelitnya, tapi dia tak kuasa. Dia mendengar derap langkah orang masuk ke rumah. Badshah waspada.

Tiga orang anak buah Tuan Jorigt berjalan mendekat ke arah Badshah.

"Kau sudah bangun?" tanya seorang laki-laki yang memakai anting besi di telinga kanannya dalam bahasa Mongol. Lelaki itu membuka sumpal mulut Badshah.

"Siapa kau?" tanya Badshah dengan nada tegas tanpa rasa takut.

Lelaki beranting itu terkekeh lalu membuka penutup mata Badshah.

"Helan Oktai. Lama tak jumpa," sapa lelaki beranting tersenyum lebar sambil berjongkok di depan Badshah.

"Turgen!" seru Badshah, "Lepaskan aku!" pinta Badshah.

Ketiga orang di hadapannya hanya memandang Badshah sambil tertawa. Badshah heran.

"Kami akan membuka ikatanmu tapi dengan satu syarat. Kamu harus melakukan apa yang kami minta, jika tidak ...," jelas Turgen sambil mengeluarkan sebuah anting manik berwarna biru tosca.

Mata Badshah terbelalak.

"Jangan pernah sentuh ibuku," ancam Badshah dengan wajah geram.

Turgen dan kawanannya tertawa terbahak.

Badshah mendengus kesal.

"Baiklah, apa maumu?" tanya Badhsah akhirnya mengalah.

Turgen mengeluarkan dua buah buku leger dari balik bajunya.

"Aku ingin kau menaruh ini di kediaman Tuan Nashruddin, dan curi peta kemiliteran milik Khawarizm," jelas Turgen sambil mendekatkan wajahnya ke wajah Badshah.

Badshah tak langsung menjawab. Wajahnya masih penuh kegeraman. Dia memang orang Mongolia dan datang ke Khawarizm sebagai mata-mata, tapi mengingat kebaikan orang-orang yang selama ini menolong dan menampungnya, Badshah merasa tak tega. Badshah bak makan buah simalakama, jika tidak menjalankan misinya, maka nyawa ibunya sebagai bayarannya.

"Baik, aku akan melakukannya," jawab Badshah pada akhirnya.

Turgen terkekeh.

"Anak baik. Lakukan tugasmu," ucap Turgen sambil menepuk pipi Badshah.

Lelaki jahat itu menyeringai, lalu memerintahkan anak buahnya membuka ikatan kaki dan tangan Badshah.

Badshah menatap kawanan mata-mata Mongol pergi keluar dari rumah kosong dengan penuh kemarahan yang terpendam.

***

Di perpustakaan istana yang luas berdinding batu, rak-rak buku berjajar dipenuhi buku-buku yang tertata rapi. Di sudut-sudut ruangan lentera minyak menerangi ruangan. Rumiyah duduk di kursi dekat jendela menekuri sebuah buku. Rumiyah tenggelam dalam lembaran buku yang ada di hadapannya. Wajahnya terlihat serius di depan sebuah buku dan secarik kertas bertuliskan huruf Uyghur.

"Helan Oktai, hmmm ... simbol-simbol ini jika dibaca berbunyi Helan Oktai. Apa benar demikian? Kata ini lebih mirip sebuah nama. Apakah nama asli Badshah adalah Helan Oktai. Jika benar demikian, benar apa yang disangkakan oleh Azkar. Badshah adalah orang Mongol. Oh yaa Allah, Laila dan Azkar harus segera memberitahu Tuan Nashruddin jika ada mata-mata Mongol di Samarqand," batin Rumiyah lalu segera beranjak pergi dari perpustakaan menuju kediaman Tuan Mustafa.

Rumiyah berlari cepat-cepat sampai akhirnya sampai di kediaman Tuan Mustafa. Gadis itu bertemu dengan Azkar yang sedang menuju keluar gerbang.

"Azkar sini ... sini ... ada hal penting yang ingin kusampaikan pada Tuan Nashruddin," ucap Rumiyah masih dengan napas yang terengah-engah.

"Ada apa?" tanya Azkar sambil mengikuti langkah Rumiyah yang menariknya menjauh dari penjaga gerbang.

"Benar dugaanmu. Badshah temanku, dia mata-mata Mongol. Bantu aku mengirimkan surat kepada Tuan Nashruddin tentang hal ini," terang Rumiyah.

Azkar mengerutkan dahi.

"Darimana kau tahu dia benar-benar mata-mata Mongol?" tanya Azkar.

"Aku dulu pernah menemukan sebuah plakat batu jade di dalam jahitan bajunya. Ada sebuah simbol yang tak kumengerti. Seperti ini," terang Rumiyah sambil mengeluarkan dari balik bajunya secarik kertas, lalu diberikan pada Azkar. " Aku baru tahu simbol ini adalah aksara Uyghur suku Naiman. Jika diartikan berbunyi Helan Oktai. Tidakkah kata ini seperti nama seseorang?" Rumiyah menjelaskan asumsinya.

Azkar mencoba memahami.

"Jika benar demikian, aku harus memberitahu Tuan Nashruddin untuk mengawasi Badshah," putus Azkar."Jangan beritahu hal ini pada Nona Laila," lanjut Azkar, "Aku pergi dulu," pamit Azkar.

Rumiyah mengangguk paham. Gadis itu menatap Azkar yang pergi keluar gerbang kediaman Tuan Mustafa untuk mengirim berita secepatnya. Samarqand dalam bahaya. Rumiyah mengkhawatirkan orang-orang yang disayanginya di sana. Ibunya, Tuan Syeifiddin, teman-temannya di Al Ilm, dan keluarga Tuan Nashruddin. Deras doa terucap dalam hatinya agar Allah melindungi mereka semua.