Madrasah Al Ilm gempar saat tersiar kabar bahwa tadi malam Tuan Barka, kepala Madrasah ditangkap pihak penguasa Khawarizm. Desas-desus beredar madrasah akan diambil alih pihak militer. Tuan Barka ditangkap karena pihak Al Ilm menolak keputusan wajib militer bagi para murid yang ada di tiga kota. Keputusan wajib militer bagi rakyat Samarqand sudah disampaikan beberapa bulan sebelum keluar keputusan Shah untuk menggempur Bagdad. Tuan Barka tak menyetujui langkah Shah yang menjadikan rakyat Samarqand, khususnya para murid Al Ilm sebagai prajurit tambahan yang akan digunakan untuk menyerang Bagdad. Itu sama saja dengan pemberontakan terhadap Khalifah.
Desas-desus itu menjadi kenyataan. Tuan Mustafa, ayah Humayun sendiri yang datang dari Urgench untuk memimpin pelatihan keprajuritan. Tanpa melihat umur, kedudukan dan status latar belakang para murid, mereka dipersiapkan untuk menjadi prajurit siap perang. Murid perempuan tak ada lagi aktifitas belajar selain mempersiapkan diri untuk membantu di bagian logistik dan obat-obatan.
Tuan Syeifiddin berdiri di selasar bangunan kantor guru. Lelaki tua itu hanya bisa menyaksikan madrasah yang biasanya khidmat dan tenang berubah menjadi hingar bingar oleh lalu lalang prajurit memimpin para murid berlatih. Dahi lelaki tua itu berkerut dan hanya bisa menghela napas.
"Guru," sapa sebuah suara.
Tuan Syeifiddin menoleh. Humayun dalam baju kulit dan turikah di atas kepalanya terlihat gagah, tapi pandangannya menunduk seakan penuh sesal.
"Maafkan ayah," ucap Humayun.
Tuan Syeifiddin tersenyum.
"Ayahmu hanya menjalankan tugas. Aku bisa memakluminya. Tapi...," ucapan Tuan Syeifiddin tak selesai terucap.
"Kami akan jatuh pada posisi sebagai pemberontak oleh Khalifah di Bagdad. Aku tak rela jika mati di medan perang sebagai seorang pengkhianat," terang Humayun sambil menatap gurunya.
Tuan Syeifiddin tersenyum tapi kesedihan mewarnai rautnya karena. Dilema.
"Mati di medan perang atau mati dipancung karena menolak berperang, sama saja. Sudah sejak lama aku tak sejalan dengan langkah yang diambil oleh Shah. Tapi, saat ini kita tak punya pilihan selain mengalah. Kita juga tak boleh memberontak terhadap Shah," jelas Tuan Syeifiddin.
"Bagaimana dengan Tuan Barka?" tanya Humayun.
"Siang ini aku akan mengunjunginya di penjara," ucap Tuan Syeifiddin.
"Aku ikut," ucap Humayun.
Raut wajah Tuan Syeifiddin terlihat seakan tak berkenan.
"Aku akan minta izin ayahku. Guru, izinkan aku ikut denganmu," pinta Humayun lagi.
Tuan Syeifiddin tak bisa menolak keinginan Humayun.
"Baiklah. Asal Tuan Mustafa mengizinkanmu aku akan mengajakmu," janji Tuan Syeifiddin.
Wajah Humayun berubah ceria, senyumnya lebar.
"Baiklah, aku akan mengajak Badshah," ucap Humayun lalu dengan semangat beranjak pergi mencari ayahnya untuk minta izin menemui gurunya.
Tuan Syeifiddin tersenyum. Dia menatap sosok Humayun yang berlari melintasi taman madrasah. Sosoknya makin tinggi dan ramping. Tak ada lagi jejak anak manja padanya. Tuan Syeifiddin menatap dedaunan perdu yang tumbuh di hadapannya sambil menghela nafas. Semua berlalu begitu cepat, seakan baru saja kemarin perang antara Samarqand dengan Khawarizm, sekarang perang akan pecah kembali. Tak tanggung-tanggung kepongahan Khawarizm. Mereka akan menyerang Bagdad hanya karena sang Khalifah menolak mengakui sang Shah.
***
Keringat bak bulir jagung menetes dari dahi para murid Al Ilm yang sedang berlatih di bawah terik matahari. Instruktur mengawasi setiap aktivitas dengan ketat. Para murid Al Ilm sedang mengangkut batu dalam karung sambil berlari di padang rumput. Tak terkecuali Badshah. Baginya latihan fisik seperti itu bukan hal yang berat, karena sejak kecil sering berlatih bersama ayahnya. Tak heran jika tubuhnya terbentuk dengan sangat bagus walau dia paling kecil.
"Tiga putaran lagi, setelah itu kalian boleh istirahat!" ucap sang Instruktur, seorang lelaki bertubuh tinggi, berjenggot tebal dalam balutan baju kulit. Wajahnya sangar, rambutnya panjang teranyam rapi.
Para murid Al Ilm berjuang keras menyelesaikan tiga putaran lari, sampai akhirnya azan duhur menghentikan semua aktivitas mereka. Semua orang bergerak menuju sungai kecil yang jernih membelah padang rumput. Tak lama kemudian mereka sudah berbaris rapi menata saf untuk salat berjamaah. Semua serba teratur dan terarah, karena mereka sudah terbiasa.
"Tuan Syeifiddin mengajak kita menjenguk Tuan Barka," terang Humayun setelah salat duhur selesai.
"Benarkah? Ayo!" jawab Badshah antusias, tapi wajahnya mulai cemas kembali, "Tapi ... apakah kita akan diizinkan?" tanya Badshah ragu.
"Aku sudah izin mereka. Ayo," ajak Humayun lalu melangkah pergi meninggalkan kelompok para murid yang mulai latihan kembali.
Badshah mengikuti langkah Humayun. Sang Instruktur hanya menatap mereka tanpa komentar. Dia merasa tenang karena yang diucapkan Humayun memang benar. Padahal pada kenyataannya, tak ada yang berani menolak permintaan Humayun, anak Jenderal Mustafa.
Humayun dan Badshah berjalan melalui lorong-lorong bangunan madrasah mencari Tuan Syeifiddin. Humayun berjalan mendahului Badshah. Tiba-tiba saja sepasang tangan terulur membekap mulut Badshah dan menariknya menghilang di balik bangunan. Humayun merasa aneh karena tak mendengar derap langkah Badshah. Anak Jenderal itu menghentikan langkahnya lalu menoleh. Badshah menghilang.
"Badshah ... Badshah! Dimana kau? Jangan bercanda!" panggil Humayun dengan wajah panik karena temannya tiba-tiba menghilang.
Humayun mulai mencari kesana kemari mencari Badshah, tetapi temannya itu seakan menghilang tanpa jejak.
***
Suara nay* mulai terdengar syahdu mengawali gerakan tangan para penari istana Ratu di Urgench. Suaranya menggema ke seluruh ruangan aula penyambutan para gadis bangsawan dan pejabat yang akan menjalani pendidikan selama bebeberapa bulan. Ruangan aula itu indah berlapis batu lapis lazuli biru tosca yang membuat Rumiyah tak henti-hentinya mengagumi keindahannya, sedangkan Laila membulatkan matanya menatap kecantikan para penari yang meliuk menggerakkan tubuh dan jemarinya yang lentik. Senyum mereka terkembang lalu menari mengikuti alunan musik. Makanan melimpah di depan meja. Para pelayan wanita sibuk membagikan minuman dan mengantar makanan. Tak terlihat laki-laki di ruangan itu.
"Aku tak pernah melihat keindahan dan kemewahan seperti ini," gumam Laila.
"Apakah kau senang, Nona?" tanya Rumiyah.
Laila mengangguk. Rumiyah tersenyum ikut bahagia untuk majikannya.
Rumiyah juga tak pernah merasakan keindahan dan kemewahan yang saat ini dihadapannya. Rumiyah ingat nasihat Tuan Barka, semua keindahan dan kemewahan dunia hanya sebuah fatamorgana. Mengingat hal itu membuat Rumiyah langsung menunduk. Dunia sudah dibukakan bagi Khawarizm, tapi Rumiyah merasa khawatir jika kesenangan dan kemewahan yang dirasakan oleh mereka saat ini hanya sebuah isti'draj, sebuah azab yang berwujud kenikmatan. Rumiyah ingat saat di luar aula, dia mendengar para dayang berbincang tentang kebiasaan Shah yang suka berpesta, minum khamr dan memanggil para penari untuk menghibur. Di mata Rumiyah yang hanya seorang rakyat kecil, sang Shah bukan sosok ideal sebagai pemimpin negeri.
"Aku benar-benar beruntung bisa melihat langsung Ibu Suri," bisik Laila pada Rumiyah, "Kau tahu siapa itu yang memakai baju berwarna kuning di sebelah sana?" tanya Laila.
Pandangan Rumiyah mengarah pada seorang perempuan setengah baya, berbaju sutera kuning, berambut panjang terjalin rapi. Doppa emasnya bermanik indah.
"Aku tak tahu siapa perempuan itu," jawab Rumiyah sambil mengupas jeruk buat Laila, "Maaf, Nona. Kau tahu siapa berbaju kuning itu?" tanya Rumiyah pada seorang pelayan wanita yang lewat di dekatnya.
"Itu Nyonya Ruqayyah, istri Tuan Mustafa," jawab sang Pelayan.
Rumiyah menyampaikan informasi yang didapat pada Laila.
"Setelah acara ini kita sapa beliau," ucap Laila.
Rumiyah mengangguk.
Acara penyambutan selesai setelah sang Ibu Suri memberikan nasihatnya. Para hadirin bubar keluar aula setelah Ibu Suri mengundurkan diri dari acara. Semua perempuan memakai kerudung lebar yang menutup hampir seluruh tubuhnya, berjalan keluar bak burung warna warni yang berlomba terbang. Laila dan Rumiyah berlari kecil menyusul langkah Nyonya Ruqayyah, ibu Humayun.
"Nyonya ... Nyonya Ruqayyah!" panggil Laila yang membuat ibu Humayun langsung menoleh.
Perempuan itu tersenyum ramah sambil merapikan kerudung penutup kepalanya.
"Ya, ada apa Nona cantik?" tanya ibu Humayun sambil membalikkan badannya menghadap Laila.
"Apakah Anda ibu Humayun?" tanya Laila, "Saya Laila, anak Tuan Nashruddin," terang Laila.
Rumiyah hanya berdiri di belakang Laila.
"Aaah, kau teman Humayun yang disebutkannya dalam surat. Nona kecil, senang bertemu denganmu. Humayun memintaku untuk menjaga kalian. Dimana barang bawaan kalian, biar para pelayan membawakannya ke rumah. Kalian bisa tinggal di rumah kami. Pelayan, bantu Nona Laila membawakan barang. Bawa ke rumah," perintah Nyonya Ruqayyah pada pelayannya.
Rumiyah langsung tanggap mengantar pelayan Nyonya Ruqayyah ke kereta milik rombongan dari Samarqand.
Rumiyah memberitahu Azkar untuk mengantar barang bawaan dan kereta mengikuti pelayan kediaman Tuan Mustafa. Rumiyah menatap kereta barang beserta rombongan menjauh. Rumiyah beranjak kembali ke aula. Langkah Rumiyah terhenti saat ada serombongan prajurit berbaju zirah menuju ke arahnya.
Rumiyah menepi di depan pintu gerbang batu. Matanya menangkap sosok prajurit dalam baju zirah dengan pedang panjang di pinggangnya. Sosok itu berjalan dengan gagah diikuti anak buahnya menuju ke aula. Mata Rumiyah tak berkedip saat menatap sosok yang menoleh kepadanya. Seorang lelaki yang berjenggot kemerahan, dengan mata biru, umurnya sekitar tiga puluh tahunan. Ada desir menyelusup hati Rumiyah. Siapa dia? tanya Rumiyah dalam hati. Rumiyah mengikut langkah rombongan prajurit itu agak jauh di belakang, lalu berbelok menuju aula.
"Tuan Rustam, Ibu Suri meminta kalian menghadap," ucap seorang pelayan pada pemimpin prajurit.
Deg!
Hati Rumiyah berdesir saat nama Tuan Rustam disebutkan. Rumiyah menghentikan langkah lalu membalikkan badan memandang sosok yang berjalan menuju kediaman Ibu Suri. Ayah! sebut Rumiyah dalam hati.
*seruling ala Uzbekistan