Chereads / RUMIYAH (Senja Turun di Samarqand) / Chapter 17 - BAB 16 RENCANA MEMBALIKKAN KEADAAN

Chapter 17 - BAB 16 RENCANA MEMBALIKKAN KEADAAN

Api unggun membara tertiup angin padang rumput. Jilatan lidah api meliuk menghantarkan panasnya yang merambat melalui udara, menghangatkan sekelompok orang yang duduk disekelilingnya. Rombongan Laila dalam perjalanan menuju Urgench berhenti untuk bermalam.

Laila duduk sambil berselimut tebal di dekat api unggun bersama Bibi Khanum. Gadis itu mulai terbatuk-batuk karena hembusan angin malam, membuat Bibi Khanum khawatir. Penyakit Laila kambuh jika terkena angin. Rumiyah juga terlihat khawatir dengan kondisi Laila. Gadis itu membuatkan air rebusan jahe untuk nonanya. Azkar memasukkan kayu-kayu kering ke dalam api unggun sambil menatap Laila dengan wajah simpati.

"Ini air jahenya, Bi," ucap Rumiyah sambil mengangsurkan mangkuk berisi air jahe.

Bibi Khanum langsung mengambil alih lalu mengipasi air jahe itu agar cepat dingin.

"Aku cari kayu bakar dulu," ujar Azkar lalu beranjak meninggalkan api unggun.

"Aku ikut!" ucap Rumiyah lalu berdiri menyusul Azkar.

Azkar memerintah anak buahnya menjaga Laila dan Bibi Khanum.

Rumiyah mengikuti langkah Azkar menuju ke semak-semak yang tak jauh dari perkemahan.

"Hei kau, tunggu!" teriak Rumiyah.

"Untuk apa kau mengikutiku?" tanya remaja yang memakai baju hangat dari bulu binatang tanpa menghentikan langkahnya.

"Tunggu, siapa kau sebenarnya?" tanya Rumiyah yang membuat Azkar langsung menghentikan langkahnya.

Azkar menoleh, rautnya penuh tanya.

"Aku? Azkar," jawab Azkar santai sambil menatap Rumiyah.

Rumiyah mendekat, lalu menatap penuh rasa curiga pada Azkar.

"Kau bukan sekedar seorang pencopet miskin kan? Kau seorang ahli pedang dan memanah. Aku bisa menilai dari tanganmu" ucap Rumiyah berasumsi.

Azkar menyimpan tangannya.

"Kau sok tahu anak kecil," ucap Azkar lalu berjalan meninggalkan Rumiyah.

Rumiyah cemberut karena rasa ingin tahunya tak terpenuhi.

"Tunggu. Kenapa kau mau menjadi pengawal Nona Laila. Aku tahu kau sengaja mengalah saat menantang kami main bola tangan waktu itu," terang Rumiyah.

Azkar berhenti lalu berbalik menghadap Rumiyah. Tanpa sungkan Azkar menarik kerah baju hangat Rumiyah. Gadis itu terbelalak karena terkejut. Kakinya terangkat beberapa senti dari tanah.

"Kau gadis pintar. Matamu jeli. Seharusnya kau gunakan itu untuk mengawasi temanmu yang bernama Badshah itu daripada kau mencurigaiku," ucap Azkar dengan tatapan tajam, lalu menjatuhkan Rumiyah begitu saja.

Buugh!

Rumiyah meringis kesakitan. Gadis itu langsung berdiri sambil mengelus-elus pantatnya.

"Apa maksudmu?" tanya Rumiyah dengan nada kesal

"Apa kau tak curiga dia mata-mata orang Mongol?" tanya Azkar.

"Mongol?" tanya Rumiyah sambil mengerutkan dahi, tak paham.

Azkar terlihat jengkel dengan ketidaktahuan Rumiyah.

"Anak kecil ... kau hanya membuang waktuku," jawab Azkar kesal lalu mengambil kayu-kayu kering yang ada di sekitarnya.

Rumiyah diam memikirkan ucapan Azkar. Dia memang tak pernah tahu latar belakang Badshah. Dia dan Tuan Syeifiddin menemukannya secara ganjil tergeletak di samping kuda yang terluka di dekat tebing. Rumiyah bisa memahami jika Azkar curiga karena secara fisik Badshah berbeda dengan mereka.

"Aku cuma ingin memastikan bahwa kau tak memiliki maksud tersembunyi terhadap Nona Laila," terang Rumiyah.

Azkar menegakkan tubuhnya. Ranting kering sudah menumpuk banyak di tangannya.

"Jangan khawatir. Aku telah berjanji akan menjaga nonamu walau dengan taruhan nyawa sekalipun," janji Azkar tanpa menoleh pada Rumiyah lalu meneruskan mengambili ranting kayu, "Jangan banyak bicara. Bantu aku membawa ini," lanjut Azkar lalu melemparkan setumpuk kayu kering ke tanah tepat di bawah kaki Rumiyah.

"Pegang janjimu. Jika kau melanggarnya, aku bisa patahkan kakimu," ancam Rumiyah sambil bersungut-sungut mengangkut ranting kayu.

Azkar hanya menatap sambil mencebik.

Rumiyah berjalan sambil menggendong kayu bakar menuju tempat perkemahan. Dia memikirkan kembali ucapan Azkar tentang sosok Badshah. Jika benar temannya itu mata-mata Mongol, Khawarizm dalam bahaya. Rumiyah ingat batu giok kecil bertuliskan huruf yang tidak dia ketahui dari baju Badshah. Mengapa saat itu Badshah langsung merebutnya kembali dengan wajah marah. Rumiyah curiga ada sebuah rahasia. Rumiyah ingat buku yang dibelinya dari toko Baba. Mungkin saat ini dia harus mulai membuka dan memahami maksud simbol yang mirip dengan huruf-huruf yang terukir di batu giok milik Badshah.

***

Tuan Coskun menatap cahaya yang masuk melalui jendela jeruji besi. Dia sedang menyesali diri, duduk bersandar ke dinding batu yang dingin. Dia telah mengakui kejahatannya. Penjara bertembok batu tebal yang lembab sudah merenggut kebebasannya. Hanya dari jendela jeruji kecil itu saja dia terhubung dengan dunia luar.

Lelaki yang pernah menjabat sebagai Diwan Militer itu ditangkap setelah digerebek oleh Tuan Nashruddin dan Tuan Ja'far. Kedua lelaki itu hanya menatap Tuan Coskun yang menunggu pemeriksaan dan pengadilan. Dia dituntut hukuman mati karena dianggap telah melakukan rencana pemberontakan.

Tuan Coskun tersenyum sinis.

"Jangan kira kalian akan aman setelah ini. Kehancuran juga sedang menunggu kalian ha ha ha ha!" sumpah Tuan Coskun lalu tertawa terbahak.

Tuan Nashruddin dan Tuan Ja'far hanya menatap diam, tak terprovokasi ancaman Tuan Coskun.

"Ja'far, kita pergi," ajak Tuan Nashruddin sambil beranjak pergi meninggalkan Tuan Coskun yang menatapnya dengan penuh dendam di balik jeruji besi.

Sehari sebelumnya, segera setelah mengantar kepergian anak perempuannya, Laila, Tuan Nashruddin menderap kudanya bersama beberapa prajurit Rasyidin menuju kediaman Tuan Kasar. Mereka tak langsung menyergap transaksi senjata ilegal yang dilakukan Tuan Coskun bersama Tuan Kasar, tapi menunggu utusan Tuan Coskun datang untuk mengambil kotak-kotak yang berisi senjata.

Pucuk di cinta ulam tiba, Tuan Coskun datang sendiri bersama anak buahnya. Mereka membawa beberapa gerobak yang disamarkan dengan jerami. Saat dilakukan bongkar muat kota-kotak kayu yang berisi senjata itulah Tuan Nashruddin memerintahkan anak buahnya menangkap Tuan Coskun dan Tuan Kasar.

Tuan Kasar menolak untuk ditangkap. Dia meminum racun agar jejak kejahatannya terputus. Tuan Jorigt aman dari endusan para penegak hukum.

"Tuan. Dia sudah mati," ucap Tuan Ja'far saat memeriksa kondisi Tuan Kasar yang telah tergeletak di tanah.

Tuan Nashruddin mengepalkan tangannya. Penyelidikannya kembali menemukan jalan buntu. Dia harus mencari bukti keterlibatan Tuan Jorigt, si Hidung Elang. Dia yakin ada orang yang memiliki kekuasaan di belakang kasus korupsi senjata dan kurangnya stok bijih besi.

***

Seorang laki-laki dalam jubah warna ungu keemasan duduk di sebuah ruangan yang indah sambil menumpukan sebelah sikunya di tumpukan bantal. Wajahnya terlihat serius sambil memutar-mutar cincin besi miliknya. Rambutnya klimis terurai panjang sepundak. Dia tak lagi muda karena gurat ketuaannya terlihat jelas di bawah pendar cahaya lentera minyak yang jumlahnya puluhan menerangi ruangan berdinding batu marmer yang luas.

Di hadapannya seorang laki-laki berhidung melengkung bak elang, Tuan Jorigt, sedang duduk memandang sosok yang ada di hadapannya.

"Tuan Inalchug, Coskun sudah tertangkap. Aku khawatir dia akan membuka mulut tentang Anda," ucap Tuan Jorigt.

"Jorigt...Jorigt...sekian lama kita berteman dan saling menguntungkan satu sama lain. Kau tahu hanya orang mati saja yang takkan bisa bicara," ucap Tuan Inalchug yang menjabat sebagai Gubernur Otrar.

"Baik, aku akan mengatur hal itu. Hanya saja mata-mataku mengatakan Tuan Nashruddin mengirim Muazzam dan Othman pergi ke tambang besi. Izinkan saya menggunakan jasa Hashashin untuk menghentikan mereka di jalan," terang Tuan Jorigt.

Tuan Inalchug mengeluarkan plakat besi bertuliskan namanya dari ikat pinggang, lalu ditaruhnya di meja kecil yang ada di hadapannya.

"Pakailah. Carilah seseorang yang bisa masuk ke kediaman Tuan Nashruddin, lalu taruh ini di ruangannya. Kita harus membalikkan keadaan," perintah Tuan Inalchug sambil mengambil dua buah buku lalu menaruhnya di atas meja dekat plakat besi.

Tuan Jorigt mengambil plakat dan buku. Senyum liciknya terbit saat membaca apa isi buku yang diberikan Tuan Inalchug.

"Saya mengerti, akan saya laksanakan," jawab Tuan Jorigt menyanggupi perintah Tuannya.

Mata Tuan Inalchug berkilat menatap cahaya api lentera minyak. Dia tak bisa membiarkan Tuan Nashruddin mengganggu hidupnya. Dia tahu Tuan Nashruddin menjalankan tugas atas perintah Shah. Bagi Inalchug, sosok Shah hanya seekor tikus yang siap diterkam olehnya. Baginya tak masalah kehilangan satu tambang besi.

Sepertinya Shah mulai menunjukkan gerakkannya melalui Nashruddin, hmm ... akan kubuat kalian saling menghunuskan pedang satu sama lain, ucap Tuan Inalchug dalam hati.