Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

RUMIYAH (Senja Turun di Samarqand)

Maria_Ispri
--
chs / week
--
NOT RATINGS
91.8k
Views
Synopsis
Rumiyah hidup dan besar di Samarkand yang saat itu di bawah kekuasaan Dinasti Khawarizm, negara vassal kekhilafahan Abbasiyyah. Dia bersahabat dengan teman-teman masa kecilnya yang memiliki latar belakang berbeda-beda. Sebuah konspirasi, peperangan, pemberontakan membuat mereka tercerai berai. Berjibaku dengan nasib saat Mongol menguasai Samarqand. Bagaimana perjuangan dan nasib Rumiyah selanjutnya? Bisa dibaca di setiap lembar cerita novel ini.
VIEW MORE

Chapter 1 - PROLOG

"Bila tak kunyatakan keindahanMu dalam kata, kusimpan kasihMu dalam dada"

(Jalaluddin Rumi)

--------------------------------------------------------

Hentakan masa mengguncang dunia

Mata kami memandang ke arah Timur

Bau darah dan kematian mulai bergerak

Memberangus setiap sudut tanah

Tak tersisa

Dari satu kekacauan kepada kekacauan yang lain

Menyisakan rasa terkejut dan sedih yang tak berkesudahan

Kami sudah ditaklukkan

***

Sekelompok lelaki menderap kudanya melintasi padang rumput. Di belakang mereka seakan ada badai pasir yang membumbung memenuhi langit. Badai itu berasal dari ribuan pasukan berkuda yang mengikut di belakang pemimpinnya. Lelaki yang berwajah merah, bermata sipit di bawah poni dan topi bulunya. Mereka bergerak menuju Xi Xia untuk menaklukkan suku Tangut.

Di balik penghinaan, kemiskinan, dan kesulitan ada sebuah pelajaran. Itu semua adalah batu asah kehidupan. Sulit belum tentu tak dapat diselesaikan. Dia yakin selama langit masih membentang dan bumi masih dihamparkan, maka Langit Biru (Tengri) akan memberikan kekuasaan pada dirinya. Sang Putra Langit untuk menguasai segalanya dan mencari jalan bagi segala permasalahan yang dihadapi. Berpijak dari hal inilah sang Pemimpin membangun sebuah impian serta idealisme bagi kaumnya.

Pada musim semi, 1206 Masehi. Di sebuah forum Kurultai, mereka sepakat mengangkat lelaki yang bernama Temujin sebagai pemimpin mereka. Mereka bersama berusaha lepas dari kesulitan hidup, berjuang bersama dalam sebuah janji sumpah setia dengan taruhan nyawa dan anak keturunan.

Sosok lelaki yang berumur sekitar tiga puluh tahunan, dalam balutan baju wol kombinasi satin dan bulu binatang, sedang duduk dalam sebuah ritual pengangkatan sebagai pemimpin dari suku-suku yang terserak di daratan Mongolia.

Di tangan Temujin kesetiaan mereka bak emas, jarang, sulit didapatkan, dan mudah hilang. Oleh karena itu, dia meminta setiap anak-anak Mongolia dari para kepala suku ikut bergabung bersamanya, sehingga jika mereka berkhianat, maka anak-anak mereka sebagai tawanannya.

Di Pegunungan Khenti, di puncak tertingginya Burkhan Khaldun, disaksikan oleh sang Tengri, hamparan daratan tanah Mongolia di bawahnya, para shaman, para sanak keluarganya, para pengikutnya, Danau Biru, padang rumput yang menghijau dan segala penghuni stepa, Temujin bersumpah akan menjadikan setiap sudut di bawah langit biru sebagai daerah kekuasaannya. Dia diberi julukan Jenghiz Khan yang berarti Raja dari segala raja.

Dia "berhutang nyawa" pada Burkhan Khaldun, karena telah menjadi tempat persembunyiannya selama tiga hari dari kejaran suku Merkit, dan dia selamat. Suku Merkit hendak membunuhnya karena dendam masa lalu yang pernah dilakukan ayahnya, Yesugei yang telah mengambil paksa ibunya, Hoelun, dari suku Merkit.

Semua gunung dianggapnya keramat, tapi Burkhan Khaldun yang paling dihormatinya.

"Benih dari benihku akan meneladani ini," ucapnya setiap pagi sambil menghadap matahari yang tengah naik, ia mengalungkan ikat pinggangnya di sekeliling leher, membuka topinya, memukuli dadanya, bersujud ke arah matahari sebanyak sembilan kali, lalu berlutut untuk mengolesi tanah dengan lemak binatang dan airag (susu fermentasi beralkohol).

Di Khaldun keramat

Aku adalah seekor kutu

Tapi aku berhasil lolos

Dan nyawaku terselamatkan

Dengan satu kuda

Mengikuti jejak rusa

Membuat tenda dari kulit kayu

Aku mendaki Khaldun

Di Khaldun keramat

Aku adalah seekor burung layang-layang

Tapi aku dilindungi

Temujin memerintah dari ger-nya di Avraga, menata ulang masyarakatnya yang selama ini tenggelam dalam peperangan antar suku. Memimpin mereka melalui jalan untuk lepas dari kehidupan "miskin" yang dihadapi saat bencana kekeringan melanda.

Dia membangun kejayaan bangsa Mongol agar setara dengan negeri-negeri di seberang gurun Gobi dan dibalik pegunungan. Temujin mencari solusi bagi rakyatnya yang buta baca dan tulis dengan mengadopsi tulisan dari suku Naiman yang berdarah Uighur di Qara Qithai.

Dia membuka peluang perdagangan dengan bangsa-bangsa yang lain, walau selama ini selalu dihina sebagai bangsa barbar. Temujin menahan rasa sakit hinaan itu, dan menyusun siasat untuk membalas sang Penghina dengan perang psikologis, mata-mata, ekspedisi pasukan dan penaklukkan. Sasaran pertama mereka adalah suku Tangut, Dinasti Xi Xia di Selatan.

"Panggil para jenderal perang. Persiapkan para prajurit dengan latihan yang intensif. Latih anak-anak mereka untuk siap-siap bergabung dengan pasukan dan menjadi mata-mata. Perjalanan bangsa kita akan sangat berat dan panjang. Kita mulai taklukkan mereka!" titah Sang Jenghiz Khan pada Teb Tengri, sang Shaman kepercayaannya untuk memulai penaklukkannya.

***

Sebelum itu, tahun 1200 Masehi, Al Ad Din Muhammad II putra Tekish, Shah Khawarizm naik tahta. Di dadanya hanya ada sebuah ambisi untuk menegakkan kebijakan ekspansi kepada dinasti-dinasti yang ada di sekeliling Khawarizm. Dinasti Khawarizm didirikan oleh Anush Tigin Garchai, budak bekas Sultan Seljuk yang dijadikan Gubernur di Provinsi Khawarizm. Khawarizm dikuasai oleh Qara Khitai dan bisa disingkirkan sejak Tekish naik menjadi penguasa. Hubungan antara Qara Khitai dan Khawarizm dalam masa-masa kritis. Khawarizm juga memiliki hubungan yang tegang dengan Ghurid.

Dunia Islam yang dikuasai Kekhilafahan Abbasiyyah memiliki pengaruh yang lemah, bahkan Khalifah Al Nashir di Baghdad hanya sebagai simbol formalitas kekuasaan Islam saja. Para dinasti lokal menggila dan saling serang, semakin melemahkan kesatuan, sedangkan di Timur jauh sebuah imperium baru lahir sebagai sang Penakluk. Mereka terlena dalam lautan ambisi dan kesombongan, cikal bakal sebuah keruntuhan imperium yang memiliki keunggulan pada masanya.

Peperangan dimana-mana, masa stabil seakan sebuah kerinduan yang tak kan pernah berbalas. Rakyat kecil yang akan dikorbankan. Di antara cerita pedih itu ada sebuah romansa keindahan menyela di antara penderitaan yang terlukis oleh zaman.