"Haaah ... di sini terlihat begitu membosankan. Kalian tahu, aku ingin sekali tetap tinggal di Balkh. Di sini terlalu sepi, dan rumah ini, kamar ini ... huuuh sempit sekali. Aku tidak suka. Aku bosan ... aku bosan ... aku bosan," keluh seorang anak perempuan kurus berpipi kemerahan mengomel-omel sambil berguling-guling dia atas ranjangnya yang empuk. Para pelayan yang sibuk merapikan barang-barang dan baju-baju milik gadis kecil itu hanya tersenyum geli melihat tingkah majikan kecilnya.
Seorang lelaki yang berkulit kecokelatan dan berhidung mancung masuk ke dalam kamar si Gadis Kecil. Lelaki itu berumur sekitar tujuh belas tahunan. Para pelayan yang melihat kehadiran sang Pemuda langsung memberi hormat, tapi dia memberi tanda diam dengan jari di depan bibir agar tidak ketahuan. Si Pemuda mendekat ke arah si Gadis Kecil yang sedang tidur tengkurap.
Sebuah pukulan di pantat mengejutkan si Gadis Kecil yang langsung menjerit. Dia berbalik melihat siapa yang sudah menepuk pantatnya.
"Kakaaaak!" protes si Gadis Kecil, "Aku sudah besar, aku gadis dewasa, jangan sembarangan pukul pantat seorang gadis," omel si Gadis Kecil yang masih berumur tujuh tahun. Si Pemuda langsung tertawa terbahak begitu juga para pelayan yang mendengarkan omelan si Pipi Kemerahan.
"Kenapa? Bosan? Ikut aku," ajak si Pemuda.
"Kemana? Jangan bilang ada gadis cantik yang kau temukan di pinggir jalan saat kemari," oceh si Gadis Kecil.
"Di belakang ada pohon jeruk manis. Kau suka jeruk kan?" tanya si Kakak
"Ayo ... ayo ... aku mau," ucap si Adik antusias.
"Baiklah, ayo kugendong," ajak si Kakak langsung berjongkok membelakangi si Gadis Kecil.
Badannya yang kecil dan kurus langsung naik ke punggung kakaknya. Si Pemuda menggendongnya di belakang, lalu berjalan keluar ke kebun belakang rumah.
***
Rumiyah berusaha naik ke atas pohon jeruk yang ada di belakang rumah Tuan Nashruddin. Pohonnya sedang berbuah lebat, dia mengambil jeruk atas perintah Bibi Khanum, pengasuh majikannya.
Si Pemuda berjalan bersama adiknya menuju ke bawah pohon. Melihat ada sesuatu yang mencurigakan di atas pohon, seketika si Pipi Kemerahan langsung melototkan mata.
"Woooi pencuri!" teriak si Pipi Kemerahan.
Rumiyah terkejut membuat kakinya terpeleset dan hilang keseimbangan.
Si Pemuda langsung melihat ke arah pohon jeruk, dia melihat seorang gadis kecil yang sedang memetik buah jeruk lalu meluncur jatuh ke bawah. Beruntung Rumiyah berhasil di tangkap oleh si Pemuda.
"Siapa kau?" tanya si Pipi Kemerahan.
Merasa masih digendong si Pemuda, Rumiyah menatap penuh tanya.
"Oh, Maaf," ucap si Pemuda, lalu menurunkan Rumiyah dari gendongan.
Rumiyah memberi hormat dengan sedikit membungkukkan badan.
"Saya Rumiyah, saya pelayan di sini, anak Shafiyya. Bibi Khanum memintaku mengambilkan jeruk untuk persediaan di dapur, makanya ...," jawab Rumiyah tanpa berani memandang para majikannya.
"Sudahlah ... sudahlah ... kau baik-baik saja?" sela si Pemuda.
Rumiyah mengangguk.
"Kau tahu siapa kami?" tanya si Pipi Kemerahan ketus.
"Saya tahu. Anda Nona Laila dan Tuan Muda Muazzam, majikan kami," jawab Rumiyah sedikit khawatir jika masih akan terus dimarahi.
"Sudahlah Laila," sela Muazzam lalu beralih ke Rumiyah,"Kau juga suka jeruk?" tanya Muazzam sambil berjongkok di depan Rumiyah.
Gadis yang memakai sorban dan berbaju seperti laki-laki itu mengangguk sambil tersenyum. Muazzam tersenyum, sambil mengelus pipi Rumiyah.
"Bantu kami memanennya. Kau bisa melakukannya?" tanya Muazzam dengan wajah ramah.
Rumiyah mengangguk lagi.
"Baiklah. Laila kau bawa keranjangnya, kami yang akan memetikkannya untukmu," perintah Muazzam pada adiknya.
Laila masih merengut, tapi kemudian senyum terbit di bibirnya menyetujui saran kakaknya. Muazzam menatap Rumiyah sambil tersenyum ramah.
"Mata birumu indah," gumam Muazzam sambil menepuk kepala Rumiyah, berdiri, lalu berjalan menuju pohon.
Wajah Rumiyah memerah karena malu dipuji Muazzam. Dia langsung bergerak menuju pohon, lalu dengan gesit naik ke atas memetik jeruk yang berbuah lebat. Muazzam kagum dengan kegesitan Rumiyah. Dia menduga Rumiyah sudah terbiasa dengan kehidupan bebas di luar sana.
Hari itu penuh kebahagiaan bagi Laila, karena dia bisa makan banyak buah jeruk kesukaannya. Mereka memanen sekeranjang penuh, Muazzam mengambil sebuah, lalu diberikan pada Rumiyah.
"Untukmu," ucap Muazzam.
Rumiyah hanya diam menatap membuat Muazzam bertanya-tanya.
"Kurang?" tanya Muazzam.
"Mmm ... jika Tuan mengizinkan saya meminta satu lagi untuk teman saya. Dia sedang sakit," pinta Rumiyah.
Muazzam mengangguk paham, lalu diambilnya empat buah lagi untuk Rumiyah.
"Ini ... cukup?"tanya Muazzam.
Rumiyah mengangguk sambil tersenyum lebar.
"Terima kasih ... terima kasih," jawab Rumiyah, lalu melepas rompi katun usangnya untuk membungkus jeruk yang diberikan Muazzam.
"Pergilah. Semoga temanmu cepat sembuh," ucap Muazzam.
Rumiyah mengangguk, lalu membungkukkan badan memberi hormat. Dia meninggalkan Muazzam dan Laila yang sedang sibuk makan jeruk di bawah pohon dengan hati yang bahagia.
***
Rumiyah berlari di antara orang-orang yang sedang ramai lalu lalang di jalanan. Debu terhambur di jalanan karena derap kuda dan roda kereta yang berderak membelah jalan. Ditingkah suara orang yang sedang mengobrol dan berjualan di pinggir jalan.
Kaki mungilnya dengan cepat berlari menuju Madrasah Al Ilm. Dia melihat sekilas ke arah Tuan Syeifiddin yang sedang mengadakan majelis di bawah pohon bersama beberapa muridnya. Rumiyah berlari lagi menuju ke bagian belakang madrasah tempat Badshah berada.
Rumiyah melihat Badshah duduk di teras sambil menganyam tali berwarna merah. Badshah tersenyum saat melihat Rumiyah datang menghampirinya. Rumiyah berhenti, lalu berdiri di hadapan temannya.
"Jeruk, kau mau?" tanya Rumiyah sambil membuka bungkusannya.
Badshah langsung mengangguk saat melihat jeruk berwarna jingga yang berbau harum.
"Kau suka? Kukupaskan untukmu," ucap Rumiyah, lalu duduk di samping Badshah yang masih diam sibuk dengan talinya.
"Bagus sekali anyaman talimu. Buat apa?" tanya Rumiyah sambil membersihkan jeruk.
Badshah menoleh pada Rumiyah. Anak lelaki itu masih diam sambil tersenyum. Dia menunjukkan anyaman tali yang sudah berbentuk gelang pada Rumiyah.
"Untukmu," ucap Badshah dalam bahasa Mongol.
Rumiyah mencoba memahami.
"Untukku?" tanya Rumiyah.
Badshah mengangguk lalu mengambil tangan Rumiyah. Anak lelaki itu memasangkan gelang anyaman merah pada tangan Rumiyah. Badshah menepuk punggung tangan Rumiyah.
"Jangan sampai hilang atau lepas," ucap Badshah.
Rumiyah tersenyum walau tak paham apa yang dibicarakan Badshah.
"Terima kasih," ucap Rumiyah, "Oh ya, ini jerukmu. Makanlah," lanjut Rumiyah.
Badshah menerima jeruk yang diangsurkan Rumiyah. Mereka memakan jeruk itu bersama-sama di teras madrasah di saksikan matahari siang yang hangat dan burung Skylark serta Perkutut yang bernyanyi merdu sambil melompat dari satu pohon ke pohon yang lain.