Kota Samarkand, namanya berasal dari kata samar yang berarti, dan kand yang berarti . Sebuah kota di daratan Transoxania yang luas. Tempat dimana jika seseorang mendaki beberapa dataran tinggi, dia akan melihat kehijauan dan tempat yang menyenangkan. Di sana tidak terdapat pepohonan atau padang rumput yang berdebu.
Samarkand tempat dimana tanaman hijau dan kebun yang tak terputus. Tanaman hijau pepohonan dan tanah yang ditabur membentang di sepanjang kedua sisi sungai. Tempat para hewan gembalaan berlarian di padang rumput berkelompok-kelompok. Setiap kota dan pemukiman memiliki benteng. Kota yang paling subur dari bagian bumi milik . Di dalamnya ada pohon, dan buah terbaik, di setiap rumah ada kebun, waduk dan air mengalir.
Samarkand tempat para pencari cinta Tuhan dan pemuas dahaga ilmu. Kota tempat para ahli ilmu menyibak segala rahasia alam yang terhampar di depan matanya. Disediakan oleh sang Pencipta, sang Pemilik ilmu, agar manusia lebih dekat kepadaNya. Bangunan-bangunannya tinggi dengan bata kekuningan ciri khas Arab dipadu dengan gaya Persia bertabur batu berwarna biru lapis lazuli.
Derak-derak noriya* yang menyuplai air memutar memberikan kepastian sumber air sangat mudah di Samarkand. Bangunan roda noriya digerakkan oleh hewan dan aliran air berukuran raksasa dibangun di sudut kota oleh para ilmuwan teknik demi kesejahteraan sesama manusia.
Suara azan menggema di seluruh kota dari menara-menara masjid. Lantunan kalam Ilahi dan hadits nabi terdengar dari madrasah-madrasah para penuntut ilmu yang dimuliakan Allah.
Langit jernih berwarna biru dan padang rumput luas terbentang memantul sempurna pada sepasang mata jernih berwarna kebiruan. Sepasang mata yang memandang bahwa kota Samarkand tempat kelahiran dan tempat bermain untuknya. Samarkand pada mata polosnya merupakan sebuah surga.
Sepasang mata seorang gadis kecil berkulit putih mengerjap, lalu sekuntum senyum pun merekah menghiasi wajahnya. Dalam balutan baju sutera kualitas rendah bercampur katun yang sudah terlihat berdebu, gadis kecil bersorban itu tertawa girang berlari melintasi padang rumput mengejar kupu-kupu.
"Ruuumiyaaaah!"
Seorang gadis kecil kurus dengan baju sutera mahal muncul dari balik bukit hijau dengan napas yang tersengal-sengal. Gadis kecil berpipi kemerahan sebaya dengan gadis bermata kebiruan yang bernama Rumiyah.
"Tunggu aku!" teriak gadis berkerudung merah. Anak rambutnya tersembul di keningnya bergoyang tertiup angin padang rumput.
Rumiyah berhenti, lalu membalik badannya menghadap si Gadis berkerudung merah.
"Ayo Nona, kupu-kupu itu akan kabur jika kau berlari seperti siput," ajak Rumiyah.
"Kau ... awas kau menyebutku siput. Takkan kuajari kau menulis jika kau berani padaku," ucap si Gadis berkerudung merah malah diam berdiri merajuk dengan lengan bersedekap di dadanya. Di sebelah tangannya sebuah jala penangkap kupu-kupu menjulang panjang ke atas.
Rumiyah akhirnya berlari mendekat, lalu berdiri di depan si Gadis Kerudung Merah.
"Baiklah Nona Laila, mau kugendong sampai gerbang kota?" tanya Rumiyah.
Gadis yang bernama Laila itu menoleh dengan kerlingan mata jenaka, senyumnya mulai merekah.
"Baiklah, anggap saja itu sebagai hukuman kau sudah kurang ajar padaku dengan menyebutku siput," ucap Laila dengan nada merajuk.
Rumiyah tersenyum, lalu membalik badan dan berjongkok di depan Laila. Serta merta Laila langsung menclok di punggung Rumiyah. Badan mereka tak sama besar walau seumur. Rumiyah tak merasa keberatan menggendong Laila. Angin mulai berdesir kencang. Laila langsung terbatuk-batuk. Rumiyah langsung mengerutkan dahinya.
"Rapatkan kerudung dan jubahmu, Nona, sebentar lagi kita akan sampai ke gerbang kota," ucap Rumiyah menenangkan Laila
Sebelum petualangan mencari kupu-kupu dimulai. Seperti biasa Rumiyah menemani majikan kecilnya, Laila bermain dan membaca buku di kamar. Laila senang bisa memiliki teman yang sebaya, apalagi sesama perempuan. Sehabis bermain saling menghias diri, lanjut membaca buku. Rumiyah buta aksara, Laila mengajarinya mengenal huruf arab dan menulis.
"Sini, kuajari kau menulis namamu," ajak Laila sambil mengambil alih pena di tangan Rumiyah, lalu mengambil selembar kertas, "Perhatikan," lanjutnya.
Rumiyah mengamati cara penulisan nama Rumiyah dalam tulisan arab yang sangat mudah. Rumiyah termasuk orang yang cepat belajar banyak hal, sehingga tak sulit bagi Laila untuk mengajarinya.
"Ayo, coba. Kau sekarang tulis namamu di sini,"pinta Laila.
Rumiyah mencoba meniru tulisan Laila. Sempurna. Rumiyah bisa menulis sedemikian mirip dengan tulisan Laila.
"Rumiyah, kau tahu aku benar-benar bosan di rumah terus. Apa kau mau menemani aku jalan-jalan melihat dunia luar. Aku suka melihat pemandangan, tapi kau tahu kesehatanku sangat buruk. Seandainya ibuku masih ada, aku ingin dia mengajakku kemana saja," keluh Laila.
Rumiyah berhenti menulis, lalu menatap Laila dengan simpati.
"Aku tahu tempat yang indah. Ada sebuah bukit dekat sungai, tapi di luar benteng kota. Di sana ada sebuah taman bunga dan banyak sekali kupu-kupu. Nona mau menangkap kupu-kupu?" tawar Rumiyah.
Wajah Laila seketika cerah.
"Ayo ... ayo ... Sssst ... kita keluar secara diam-diam ya, jangan sampai Bibi Khanum tahu," jawab Laila senang.
"Baiklah," ujar Rumiyah. "Aku ambilkan jala penangkap kupu-kupu," lanjut Rumiyah.
"Aku siap-siap dulu. Jangan lupa bawa air minum," pinta Laila.
Mereka berangkat ke luar kota secara diam-diam melalui pintu gerbang samping, lalu berlari menuju jalan raya. Rumiyah menghentikan sebuah gerobak pengangkut barang, dan mengajak Laila menumpang gerobak sampai keluar kota. Rumiyah senang melihat majikan kecilnya begitu bahagia sampai akhirnya mereka lupa waktu. Menjelang senja sakit Laila kambuh. Gadis kurus berpipi kemerahan itu mulai sesak napas dan batuk-batuk membuat Rumiyah khawatir.
Rumiyah menggendong Laila sampai di depan gerbang kota Samarkand. Sebuah kota yang menyambut mereka dengan riuh rendah orang yang keluar masuk kota. Tempat para kafilah dagang singgah di sepanjang rute jalur sutera, di sebuah peradaban yang disebut Khawarizm.
*Kincir air