Chereads / RUMIYAH (Senja Turun di Samarqand) / Chapter 11 - BAB 10 KEPUTUSAN SANG KHALIFAH

Chapter 11 - BAB 10 KEPUTUSAN SANG KHALIFAH

Bagdad, sebuah kota kosmopolitan yang memiliki warna yang indah. Kesejahteraannya tak dapat dipungkiri menjadi sebuah gambaran kota idaman bagi manusia. Kota ini menjadi rumah bagi muslim, yahudi, nashrani, dan bangsa pagan yang tersebar dari seluruh asia tengah dan timur tengah. Sebuah kota yang didirikan oleh Khalifah Abu Ja'far Al Mansur menjadi ibu kota, pusat kebudayaan, ilmu pengetahuan, perdagangan, sastra, dan mercusuar peradaban dunia.

Banyak para sastrawan yang memuji kota Bagdad dengan keindahannya. Kota yang berada di pinggir Sungai Tigris ini memiliki tiga lapis benteng yang berbentuk lingkaran. Istana dan taman-tamannya yang indah, struktur tata kota yang dibangun seperti kota Firouzabad pada masa Persia masih berjaya. Pasar-pasar di bangun di luar benteng untuk menghindari penyusup serta mata-mata yang sering menyamar dan mengacau di dalam kota. Bagdad didesain untuk pusat pemerintahan, keagamaan, fasilitas umum dan rumah bagi para pejabat.

Setiap masa yang dilalui, memberikan warna masing-masing. Setiap umat pasti memiliki masa pasang surut. Masih membekas kecemerlangan para Khalifahnya yang sholih dan amanah sehingga memberikan kesejahteraan dan keamanan bagi setiap warga yang bernaung di bawah kepemimpinan mereka. Tak sedikit  juga dari para pemimpin yang bersinggasana di Bagdad termasuk orang yang tidak kompeten, gila harta, haus kekuasaan dan menjadi boneka orang-orang yang ambisius dan kejam. Masa yang cemerlang akan menyurut seiring dengan diabaikannya amanah, dan membuang kebenaran Islam yang seharusnya dijunjung tinggi para penguasa muslim yang bertahta.

Bagdad di ujung tanduk. Bak sebuah pembakaran arang,  peradaban Islam membara dan siap terbakar hangus. Semua negeri-negeri vassal Daulah Abbasiyyah berlagak di atas kelemahan otoritas Khalifah yang ada di Bagdad. Mereka menganggap Khalifah hanya sebagai simbolis belaka. Di sana bak sebuah papan catur, dengan bidak yang berasal dari berbagai latar belakang dan kepentingan. Bahkan seperti sebuah hal umum masyarakat akan menilai bahwa kekuatan dan tentara ada di tangan para kaum Turan (Turki), khalifah dan nilai keagamaan milik para orang Arab, birokrasi dan kebijakan milik kaum Syiah, budaya serta kesenian milik para kaum Persia.

Tak dipungkiri banyak pihak-pihak lain lagi yang ingin tampil dalam pentas peradaban Islam yang menguasai dunia secara rahasia dan bergerak di bawah tanah. Mereka memendam kekecewaan dan memiliki idealisme sendiri yang malah membuat kericuhan tak terelakkan. Munculnya Kaum Hashashin dari sekte Syiah Ismailiyah membuat perut para pemimpin Bagdad mulas-mulas. Para mata-mata Syiah, dan Turki juga mencoba menjadi dalang di balik segala konspirasi. Masing-masing pihak saling tarik ulur dan saling mempengaruhi pasang surut kepemimpinan.  Seakan "kesejahteraan" yang terhampar sebuah isti'draj bagi orang-orang yang sudah melampaui batas di dalam istana-istana para raja-raja.

Ironisnya, tak sedikit rakyatnya sudah merasa bahagia ketika dunia dihamparkan di hadapan mereka, serta berlomba-lomba untuk mengambilnya, membuat mereka dikuasai wahn, cinta dunia, dan takut mati. Tak sedikit dari peradaban Islam masa Abbasiyyah muncul sosok yang sholih, alim, yang akan memberikan nasihat dan memberi petunjuk pada kebenaran. Tak sedikit juga yang dengan kesadaran iman mampu melejitkan ilmu pengetahuan sampai pada taraf keemasan, saat di sudut bumi yang lain mereka mengalami kegelapan dan kemiskinan.

Di latar belakang kondisi negeri yang mengalami pasang surut sang Khalifah Al Nashir (Khalifah ke 34) bertahta. Kebijakannya lebih condong kepada kaum Syiah yang memiliki tipikal suka mengadu domba. Dia bertahta di balik tembok istana Bagdad yang mewah dan agung, sedangkan segala urusannya di berikan pada Amirul Umara' untuk menyelesaikan semua tugas-tugasnya. Mengambil kebijakan sesuai denga arahan pemegang kepentingan yang mengendalikannya sehingga hilang keadilannya dan selalu dirudung rasa takut kehilangan tahtanya. Di sekelilingnya para budak Turki menjadi tentara pengamannya dan memberikan urusan birokrasi pada tangan para Syiah Rafidhah. Semua kebijakannya berseberangan dengan para pemimpin negara vassal, hingga timbul permusuhan dan hilang rasa percaya di antara mereka yang membuat kedudukan Khalifah di Bagdad makin melemah. Setiap umat memiliki ajal, peradaban Islam dengan Bagdad sebagai mercusuarnya memasuki fase surut menuju kehancuran dan kematian. Sekarat!

***

Langit mendung sejak pagi. Sang Khalifah Al Nashir berdiri di teras istananya memandang gemericik hujan yang turun dari atap istana. Tanaman dan pepohonan di taman basah, air mengalir mengular di atas tanah mencari titik terendah lalu terkumpul mencipta genangan.

Cuaca murung, walau sebenarnya itu tergantung dari sudut pandang siapa yang menikmati hujan, yang seharusnya disyukuri sebagai karunia Tuhan di tengah kegersangan yang menyapa saat musim kering tiba. Langit mendung semendung suasana hati sang Khalifah yang memikirkan kesejahteraan rakyatnya dan mempertahankan kekuasaannya yang meliputi daratan Khurasan, Transoxania, Sind bahkan sampai Hind. Si Tua yang sudah lama bertahta dengan segenap kebijaksanaanya memiliki pengaruh bahkan sampai seberang samudra. Tapi kemegahan tahtanya dan keagungannya terusik dengan bara api yang muncul dari Khawarizm. Sultan Muhammad II mengirim utusan untuk meminta pengakuan sebagai Shah Khawarizm.

Harga diri sang Khalifah yang memiliki latar belakang yang agung turun temurun sejak Daulah Abbasiyyah didirikan merasa tercabik dengan arogansi bekas budak Seljuk yang sangat beruntung bisa menjadi penguasan Khawarizm. Ekspansinya sampai ke imperium Ghurid, bahkan Qara Khitai habis dikuasainya. Aliansi Ghurid dan Kharakhanid di seberang pegunungan Tian Shan juga tak kalah menggetarkan. Bahkan sudah sampai di telinganya kekuatan kaum nomaden padang rumput dipimpin lelaki yang bernama Temujin mulai mendobrak Xi Xia dan berencana mencaplok Jin. Belum lagi kekuatan orang-orang Nashrani yang mulai mengusik dari arah Utara mengobarkan perang Salib demi mendapatkan kembali kejayaan Romawi pada masa lalu.

Sang Khalifah merenung, wajahnya yang sudah mulai keriput terlihat serius, lalu menghela nafas. Dia sudah memutuskan sesuatu.

"Pelayan!" panggil sang Khalifah akhirnya bersuara setelah lama bersenandika.

Seorang pelayan dalam balutan sirwal, berompi dan memakai tutup kepala merah datang menghadap.

"Sampaikan pesanku pada Shafwan, aku ingin bicara padanya," perintah sang Khalifah.

Sang pelayan pun menangguk paham lalu beranjak pergi menjalankan tugasnya. Sang Khalifah pun kembali memandang hujan yang semakin mereda seiring waktu berlalu. Dia juga merasa, waktunya sudah tak lama lagi, seperti berlalunya hujan yang deras dan akhirnya hilang sama sekali.

***

Di ruang kerja sang Khalifah duduk sambil menulis. Sebuah ruang kerja yang luas dengan sebuah meja kursi di tengah ruangan. Jendela-jendelanya terbuka dengan tirai-tirai yang bergantung. Lentera-lentera menyala terang di pojok-pojok ruang, menyinari ruangan dengan cahayanya yang temaram.

Seorang laki-laki berkumis dalam balutan gamis dan kaftannya yang bersulam indah masuk bersama dua orang lelaki di belakangnya. Mereka berpakaian biasa seperti orang kebanyakan, dengan seorang dari mereka berkepala gundul tercukur bersih.

"Yang mulia kami minta izin masuk," ucap lelaki yang berbaju indah.

"Masuklah … apakah kau sudah mendapatkan orang yang kuminta?" tanya sang Khalifah.

Ketiga lelaki yang datang menghadap masuk ke dalam ruangan.

"Saya sudah menemukan orang yang tepat," jawab si Lelaki berkaftan indah berdiri di tengah ruangan.

Khalifah selesai menulis lalu menggulung surat keputusannya.

"Shafwan … Berikan ini pada utusan Khawarizm," perintah sang Khalifah mengulurkan gulungan kain berisi surat.

Lelaki yang bernama Shafwan itu menerimanya. Dia seorang Syiah yang ditunjuk sebagai penjaga dan pelayan sang Khalifah.

Sang Khalifah berdiri lalu berjalan menuju dua orang laki-laki yang ada di belakang Shafwan. Sang Khalifah menatap seorang yang berkepala gundul.

"Kau sudah tahu tugasmu?" tanya sang Khalifah dengan raut tenang tapi berwibawa.

"Sudah yang mulia,"jawab si Kepala Gundul.

"Lakukan seperti yang kuperintahkan!" perintah sang Khalifah lalu berjalan menuju jendela memandang taman istana.

"Baik," ucap Shafwan lalu memberi kode pada seorang yang bersorban di belakangnya untuk bersiap.

Lelaki bersorban membuka sebuah kotak kayu yang ada di atas meja sang Khalifah. Salah satu dari mereka yang berkepala gundul duduk bersila di tengah ruangan. Lelaki bersorban mulai menato kepala si Gundul yang berisi pesan sang Khalifah kepada Temujin penguasa Mongol. Si Gundul meringis menahan sakit, tapi perintah sang Khalifah sudah diturunkan. Jiwanya sudah dipertaruhkan, tak ada lagi jalan untuk mundur.

Seringai sinis muncul di bibir sang Khalifah, dia memutuskan untuk tidak mengakui Al Ad Din Muhammad II sebagai Shah Khawarizm. Untuk membendung kekuatan sang Shah, dia perlu melakukan aliansi dengan kekuatan dari negeri-negeri yang lain. Dia takkan segan lagi menunjukkan ketidaksukaannya terhadap lawan politiknya, jika perlu bekerja sama dengan kekuatan yang baru muncul di Timur, yaitu bangsa Mongol.