Malam menjelang, magrib baru selesai turun. Jalanan sepi, karena orang-orang lebih memilih untuk tinggal di rumahnya atau berkumpul di masjid. Hanya beberapa orang yang baru saja merapikan barang dagangannya. Bebarapa kedai tutup menjelang magrib, dan akan dibuka kembali nanti malam. Rumiyah berlari di jalanan kota. Di tangannya membawa busur panah milik Humayun. Dia menuju Madrasah Al Ilm untuk mengabarkan pada Tuan Syeifiddin bahwa Badshah terluka dan sedang di rawat oleh Baba. Dia berlari masuk ke halaman Madrasah langsung menuju ke bangunan tempat Tuan Syeifiddin. Dia berjalan menyusuri teras, dan terdengar sebuah suara yang tidak asing di telinganya. Suara Shafiyya. Rumiyah tak langsung masuk, langkahnya terhenti ketika mendengarkan percakapan antara ibunya dengan Tuan Syeifiddin. Sosoknya tak terlihat di kegelapan bayangan malam.
"Saya tak bisa menerima pinangan Tuan Ja'far. Minta tolong sampaikan padanya permohonan maaf saya," ucap Shafiyya dengan nada sedih.
Tuan Syeifiddin yang duduk di hadapan Shafiyya hanya diam menghela nafas.
"Apa alasanmu? Tuan Ja'far orang yang baik. Dia tangan kanan Tuan Nashruddin. Kehidupanmu akan lebih baik jika ada yang melindungi, apalagi dia berterus terang menyukaimu dan memiliki niat baik padamu," terang Tuan Syeifiddin mencoba mempersuasi kembali Shafiyya agar menerima pinangan Tuan Ja'far.
"Saya tak bisa menerima siapa pun dan takkan menikah sebelum saya memenuhi janji pada seseorang," terang Shafiyya.
Tuan Syeifiddin menampakkan raut wajah penasaran.
"Apakah ini ada kaitannya dengan Rumiyah?" tanya Tuan Syeifiddin
Shafiyya lama diam tak menjawab kemudian mengangguk perlahan.
"Saya sudah berjanji untuk mempertemukan Rumiyah dengan ayahnya," terang Shafiyya jujur.
Dia yakin Tuan Syeifiddin seorang yang sholih dan bisa menjaga rahasia. Shafiyya memutuskan untuk menceritakan semua pada lelaki tua yang sudah dianggap guru bagi penduduk Samarkand. Rumiyah makin penasaran dengan percakapan antara Shafiyya dan Tuan Syeifiddin. Dia lebih mendekat ke arah jendela untuk menguping.
"Sebenarnya Rumiyah bukan anak kandung saya," terang Shafiyya lalu diam sesaat mempersiapkan dirinya untuk bercerita sebuah tragedi,
"Dia anak Tuan Rustam dengan Nona Aisara, anak bangsawan di Balasagun. Kisah cinta yang tragis. Nona Aisara adalah majikan saya saat di Balasagun. Dia dikirim untuk pernikahan politik dengan Khawarizm demi perdamaian. Tapi, Shah menolaknya, dia tinggal di Urgench di kediaman Ibu Suri Terken Khatun. Suatu saat sebuah musibah menimpa Ibu Suri. Nona Aisara ahli dalam pengobatan, nyawa Ibu Suri pun terselamatkan. Untuk membalas kebaikan Nona, Ibu Suri menikahkan Nona dengan Tuan Rustam yang saat itu masih menjadi pemimpin pasukan yang menjaga Ibu Suri. Mereka hidup bahagia, bahkan Nona Aisara sangat bahagia dengan berita kehamilan dirinya. Saat itu perang tak dapat dihindari. Qara Khitai dan Khawarizm mulai saling konfrontasi. Nona Aisara menjadi tawanan. Demi menyelamatkan diri, kami lari ke Samarkand dengan bantuan seorang prajurit anak buah Tuan Rustam. Ironinya, sang Shah meminta Tuan Rustam, suami yang dicintainya untuk mengejar dan membunuh Nona. Saat itu, kami tertangkap pasukan Tuan Rustam, tapi karena tak sampai hati, kami dilepaskan dengan memberikan sebuah kematian palsu untuk kami. Sampai akhirnya kami selamat masuk ke Samarkand dan Nona meninggal saat melahirkan," jelas Shafiyya sambil terisak,
"Kami menjadi buronan. Di mata banyak orang kami sudah mati. Allah yang menjaga kami sampai saat ini, masih beruntung bisa menyembunyikan identitas kami," lanjut Shafiyya,
"Tapi sekarang di sini saya hampir tiap hari serasa diteror ketakutan, jika orang-orang Shah akan mengetahui identitas Nona Rumiyah. Itu akan menjadi sebuah malapetaka buatnya. Rumiyah tidak bersalah," terang Shafiyya.
Tuan Syeifiddin menghela nafas panjang seakan bisa memahami dan mengerti beban berat dan kesedihan Shafiyya. Lelaki tua itu hanya diam menatap Shafiyya yang masih menangis terisak. Tuan Syeifiddin merasa pernah melihat pisau bergagang merah yang dipakai oleh Rumiyah. Dia baru ingat itu milik Tuan Rustam. Ketika melihat Rumiyah dengan mata birunya, Tuan Syeifiddin merasa pernah melihat wajah yang mirip dengan kawan lama.
Rumiyah terkejut. Tubuhnya panas dingin dan bergetar. Air matanya sudah tak terbendung mengalir dengan suara yang tertahan agar tak ketahuan. Tubuhnya seketika melemah. Busur panah yang ada di tangannya seketika jatuh membuat suara gaduh. Rumiyah sadar telah ketahuan. Dia langsung berlari pergi meninggalkan Madrasah.
Shafiyya dan Tuan Syeifiddin yang ada di dalam ruangan langsung keluar memeriksa siapa yang sudah menguping pembicaraan mereka. Shafiyya melihat Rumiyah berlari menjauh lalu menghilang di balik bangunan asrama. Dia hanya nanar memandang sosok mungil yang bisa dipastikan sudah mengetahui semua rahasia besar yang selama ini ditutupinya.
Rumiyah berlari menuju rumahnya yang ada di belakang rumah Tuan Nashruddin. Dia membuka pintu lalu berjalan perlahan menuju kamarnya. Di sana dia menangis sejadi-jadinya. Dia kecewa, sedih, ternyata Shafiyya, bukanlah ibunya. Dia memiliki sebuah rahasia besar yang selama ini ditutupi darinya.
***
Rumiyah diam merenungi hidupnya dalam kamarnya yang gelap. Kecewa dan sedih menyesakkan dadanya. Matanya menatap bulan di langit yang meneranginya melalui jendela sambil berebah di atas dipan. Suara jengkerik dan katak ramai di luar sana bersorak sorai seakan tak simpati dengan kekalutan Rumiyah. Pikirannya yang sederhana belum mampu menerima suatu rahasia besar tentang dirinya. Ibu kandungnya sudah tiada, dan selama ini yang bersamanya bukanlah ibunya. Rumiyah kecewa pada Shafiyya yang tidak pernah memberitahunya, bahkan tidak pernah menunjukkan dimana makam ibunya. Dia marah pada Shah dan Ibu Suri yang telah jahat menjadikan ibunya seorang kriminal, padahal sudah berjasa baik pada orang dalam Istana Urgench. Tuan Rustam, ayahnya, dia bahkan tak berusaha mencari dirinya sampai hari ini. Rumiyah marah karena merasa terbuang.
Rumiyah mendengar suara langkah kaki mendekat ke rumahnya. Itu pasti Shafiyya.
Greeek!
Suara pintu kayu terbuka. Shafiyya masuk ke dalam kamar Rumiyah. Rumah masih gelap, tanpa ada cahaya yang menerangi selain dari pendar bulan yang menerobos melalui jendela. Shafiyya menyalakan semua lentera lalu menatap Rumiyah yang sedang tertelungkup diam di atas dipan.Dia tahu Rumiyah sedih. Dia duduk dekat Rumiyah lalu mengelus kepala gadis kecil itu.
"Maafkan aku," ucap Shafiyya lalu diam sejenak melihat respon Rumiyah yang masih pura-pura tidur, "Aku melakukannya demi keselamatan diri kita. Jika orang Khawarizm tahu kita akan dalam bahaya," lanjut Shafiyya.
Rumiyah masih diam menatap langit melalui jendela. Dia menghela nafas.
"Ibu, kupikir sekarang saatnya kau memikirkan diri dan kebahagiaanmu sendiri. Mengapa kau menolak lamaran Tuan Ja'far. Ada saatnya kau harus memenuhi apa yang menjadi keinginan dalam hatimu sendiri. Jangan menjadikanku alasan untuk tidak mencari kebahagiaaanmu sendiri," jelas Rumiyah pada akhirnya.
Shafiyya heran.
"Apakah kau ingin membuangku? Aku tahu aku bukan ibu kandungmu. Kebahagiaanku adalah bisa menjagamu sesuai dengan amanah ibumu," jelas Shafiyya.
"Sebaiknya Ibu pikirkan baik-baik. Aku tak keberatan jika kau menikah dengan Tuan Ja'far. Masa lalu tak dapat diperbaiki. Aku tahu aku anak seorang kriminal. Jika Shah mengetahui bahwa aku anak Tuan Rustam, dan kau masih hidup di sini, aku pikir Tuan Rustam juga akan dalam bahaya karena telah memalsukan kematian kalian pada masa lalu," terang Rumiyah.
Shafiyya mengelus kepala Rumiyah.
"Aku takkan menikah sebelum kau bertemu dengan ayahmu. Dengan begitu aku akan tenang. Cuma sekarang aku tak tahu bagaimana cara agar kau bisa ke Urgench bertemu dengan Tuan Rustam," jelas Shafiyya.
Rumiyah duduk lalu menatap Shafiyya. Dia menatap mata ibunya yang teduh dan senyum manisnya.
"Kita hidup berdua saja seperti biasa. Anggap aku ibumu walau aku bukan ibu kandungmu," ucap Shafiyya.
Rumiyah tersenyum.
"Bagiku kau tetap ibuku," terang Rumiyah.
Shafiyya mengelus pipi Rumiyah, lalu memeluk erat anak majikannya, Nona Aisara yang sudah berjasa banyak dalam hidupnya. Shafiyya berjanji akan menjaga Rumiyah, peninggalan nonanya dengan sebaik-baiknya.
***
Siang hari, di jalanan kota Samarkan terlihat ramai orang turun di jalanan. Mereka berbaur bersuka ria menari diiiringi genderang dan suara terompet. Semua terlihat bersuka ria di depan sebuah rumah yang besar milik Tuan Jörigt. Rumiyah dan Humayun lewat di antara kerumunan orang itu dengan rasa penasaran tentang perayaan yang diadakan di rumah pedagang kaya itu.
"Ada perayaan apa?" tanya Rumiyah pada seorang lelaki yang juga sedang menonton keramaian.
"Tuan Jörigt, dia menikah hari ini. Itu arak-arakan menuju ke rumah pengantin perempuan anak Tuan Tanah di Selatan kota, Tuan Akram," jelas lelaki itu.
Humayun dan Rumiyah mengangguk paham.
"Kau tahu, Tuan Jorigt memiliki banyak istri, tapi semuanya bernasib buruk. Semuanya meninggal di kediamannya karena sakit. Anehnya, semua pernikahannya hanya selang sebulan. Semoga saja kali ini hal buruk tidak akan terjadi lagi," lanjut lelaki itu.
Rumiyah dan Humayun merasa heran. Bagi mereka hal seperti itu hanya sekedar sebuah berita gossip yang tak jelas. Tak lama kemudian sosok Tuan Jorigt keluar dari gerbang rumahnya bersama para pengawal pribadinya. Rumiyah menatap sosok Tuan Jorigt yang bermata sipit dan berhidung melengkung bak paruh elang masuk ke dalam kereta kudanya. Arak-arakan pengantin bergerak membelah jalan raya menuju ke Selatan kota. Rumiyah dan Humayun melanjutkan perjalanannya lagi menuju rumah Baba untuk menjenguk Badshah.
***
Badshah bangun dari tempat tidurnya. Dia masih merasakan sakit di bekas lukanya. Perlahan dia bangkit lalu berjalan menuju jendela menatap lahan kosong dan rerumputan yang bergoyang ditiup angin. Dia tak tahu sedang dimana.
"Kau sudah bangun?" tanya Baba dalam bahasa Mongol saat masuk ke dalam kamar sambil membawa semangkuk obat.
Badshah menoleh. Wajahnya penuh tanya.
"Siapa Anda?" tanya Badshah melihat sosok Baba yang bermata sipit.
"Namaku Goyo. Rumiyah dan Tuan Humayun yang membawamu ke sini," jawab Baba, "Mereka memanggilku dengan sebutan Baba. Kau bisa memanggilku demikian," lanjut Baba.
Badshah lalu berlutut dan memberi hormat pada Baba.
"Terima kasih kau sudah menolongku. Saya berhutang budi pada Anda, akan kubayar kelak bahkan dengan taruhan nyawa," ucap Badshah
"Bangkitlah, kau sedang sakit tak usah terlalu formal," ucap Baba sambil membantu Badshah berdiri, "Duduklah," lanjut Baba.
Badshah pun duduk di pinggir dipan.
"Siapa kau sebenarnya?" tanya Baba serius sambil duduk di kursi yang ada di dalam kamar.
"Aku lihat Anda juga seorang Mongol. Namaku Helan Oktai," jawab Badshah.
Baba diam menatap Badshah.
"Ada misi apa seorang anggota suku Taychiut bisa sampai ke Samarkand?" tanya Baba penasaran.
Badshah tertawa kecil.
"Anda sudah tahu identitasku. Karena jasa Anda terhadapku, maka aku akan mengampuni dan tak membunuh Anda," jawab Badshah.
Baba tertawa kecil.
"Kupkir hutang nyawa kita sudah impas. Aku tak peduli apa misi kalian ke kota ini. Tapi, kuharap kalian tak menumpahkan darah dengan hal yang tak perlu,"
Badshah menatap sosok tua yang ada di hadapannya. Baba hanya tersenyum tipis. Lelaki tua itu bisa merasakan sosok anak kecil dihadapannya itu tak sembarangan. Dia anak dari keturunan yang terhormat, dan Baba yakin tak sedikit orang yang ada di belakang si Anak Kecil yang akan menuntut balas jika terjadi sesuatu yang serius terhadapnya.
"Istirahatlah, minum obatmu, aku akan menyiapkan makanan untukmu," ucap Baba sambil berjalan keluar kamar.
"Tuan!" panggil Badshah.
Baba menghentikan langkahnya.
"Anggap kau tak pernah mengenal Helan Oktai," ucap Badshah.
Baba menganggukkan kepala lalu keluar kamar. Badshah menatap sosok Baba yang menghilang di balik tembok. Dia percaya lelaki tua itu bisa menjaga rahasia.