"Allah menciptakan manusia, sebagai makhluk yang sempurna dan sebaik-baik bentuk. Dalam diri kita ada tanda-tanda kekuasaan Allah yang perlu kita perhatikan dan pikirkan. Di balik itu semua ada sang Pencipta yang memiliki kesempurnaan yang agung, Rabb kita. Yang memiliki bumi ini, Pemilik diri kalian, hewan peliharaan kalian, kebun-kebun kalian, harta-harta kalian, bahkan pemilik ayah ibu dan saudara kalian. Jadi, jika Allah memberi perintah kepada manusia sebagai makhlukNya untuk mengurusi bumi ini, maka kita harus mengikuti apa yang diperintahkan dalam aturan-aturanNya agar kita tak melenceng dari misi kita di atas muka bumi, sebagai hamba Allah yang sholih. Penuhi hakNya sebagai sang Khaliq dan Rabb kita, yaitu sebagai Zat yang dicintai, ditaati ,dan disembah," terang guru Ameera, kepala maktab perempuan di madrasah Tuan Barka.
Di depan perempuan yang berumur tengah abad itu duduk Rumiyah dan Laila beserta anak-anak perempuan yang sebaya. Mereka semua memakai gamis hitam bersulam perak dengan kerudung sutera putih. Rumiyah terlihat sederhana di antara anak-anak perempuan itu. Semua terlihat sama dengan seragam hitam putih, tak ada pembedaan antara anak bangsawan maupun anak pelayan. Mereka semua diam memperhatikan penjelasan sang Guru sambil duduk dibelakang meja kecil mereka masing-masing.
"Baiklah, kita akhiri pertemuan hari ini. Waktu sudah menjelang salat dhuhur, bersiap kita pulang, jangan lupa kita akan belajar menulis besok ya anak-anak," ucap sang Guru.
Para siswi maktab bersiap pulang lalu berdoa. Mereka baru keluar kelas setelah sang Guru keluar terlebih dahulu.
Rumiyah berjalan keluar kelas beriringan dengan Laila. Mereka berjalan melewati taman menuju gerbang.
"Nona, aku tak bisa menemanimu pulang," ucap Rumiyah.
"Kau mau kemana?" tanya Laila dengan nada penasaran.
"Aku mau menjenguk teman yang sedang sakit," jawab Rumiyah.
"Siapa? Temanmu adalah temanku. Boleh aku ikut?" tanya Laila dengan mata membulat dan sudut bibirnya terangkat membentuk senyuman yang membujuk.
Rumiyah tak bisa memutuskan, dia diam sejenak.
"Aku khawatir nanti akan dimarahi Bibi Khanum. Jika terjadi sesuatu dengan dirimu. Lebih baik kau pulang dan istirahat," saran Rumiyah.
Raut wajah Laila langsung berubah kecewa.
Slaaap!
Sebuah batu meluncur mengenai kepala Rumiyah dari arah belakang.
"Aduuuh!" Rumiyah mengaduh lalu menoleh mencari sosok yang sudah melemparnya pakai batu.
"Pssst ... pssst...," sebuah suara dari arah semak.
Rumiyah memelototkan mata saat melihat Humayun sedang bersembunyi di balik semak dengan senyum lebar. Laila berjalan menuju ke arah Humayun.
"Hei Gendut, kau tahu anak laki-laki tak boleh masuk ke maktab perempuan," terang Laila.
Humayun mendelik ke arah Laila yang sudah memanggilnya gendut.
"Aku ke sini mencari Rumiyah, bukan kau," jawab Humayun dengan nada sengit.
"Benar kata Laila jika para guru tahu, kita akan kena tegur," jelas Rumiyah.
Humayun diam menunduk.
"Aku hanya ingin mengajakmu ke rumah Baba untuk menjemput Badshah. Tuan Syeifiddin yang memintaku. Ayo!" ajak Humayun.
Rumiyah memahami maksud baik Humayun, lalu mengikuti langkah anak laki-laki itu.
Laila memegang tangan Rumiyah.
"Aku ikut," ucap Laila.
Rumiyah menoleh lalu mengangguk pasrah sembari dalam hati berdoa semoga Laila tidak kambuh sakitnya sehingga tak perlu merasakan sabetan rotan Bibi Khanum.
Mereka bertiga berangkat ke rumah Baba untuk menjemput Badshah yang sedang sakit.
Laila begitu gembira sambil melompat-lompat kecil di samping Rumiyah. Dia memperhatikan sekeliling jalanan yang di laluinya.Para pedagang jalanan menggelar dagangannya di pinggir jalan. Toko-toko ramai pengunjung. Orang lalu lalang dari berbagai macam etnis dan gaya, bercampur baur dengan unta yang melenguh kelebihan beban. Keledai penarik gerobak susah payah berjalan, berbaur suara derap kereta yang melaju ditarik kuda-kuda yang gagah.
Para perempuan yang berdandan dengan baju sulaman warna warni, dihiasi perhiasan emas dan perak di atas kepala serta di setiap pergelangan tangan kakinya. Tak jarang Laila juga penasaran pada sosok perempuan yang menutup tubuh dan wajahnya dengan kain yang panjang hingga tak nampak secuilpun bagian tubuhnya. Laila menatap mata dibalik cadar penutup wajah dengan tatapan penasaran.
Para lelakinya berdandan tak kalah gayanya. Para bangsawan menggunakan sirwal dan baju dari katun kualitas bagus, bahkan ada yang menggunakan sutera panjang yang terseret di tanah. Mereka menggunakan Tikka (ikat pinggang sutera) dengan pedang atau pisau yang tersarung di dalam baldrik mereka. Yang tak kalah menarik di mata Laila adalah rakyat kebanyakan. Mereka tak jarang hanya memakai sirwal dan bertelanjang dada. Kulit mereka menghitam terbakar matahari karena bekerja keras. Dunia yang menarik bagi Laila yang jarang keluar rumah.
Buah-buahan melimpah di jual di pinggir jalan. Laila meneguk ludah saat melihat jeruk yang besar-besar. Anggurnya sebesar telur ayam bertumpuk-tumpuk menggiurkan. Laila lapar mata saat melihat orang berjualan roti yang ukurannya besar bertumpuk di gerobak. Dia berlari menuju penjual minuman sari buah delima. Minuman berwarna merah itu terlihat begitu nikmat. Rumiyah tersenyum melihat Laila yang berlari ke sana ke mari seakan ingin memuaskan dahaga ingin tahunya.
Di pinggir jalan mereka melihat sebuah pertengkaran antara lelaki dan perempuan. Mereka saling teriak dan memaki, menyita perhatian banyak orang. Tak lama kemudian datang sekelompok polisi yang melerai dan menyelesaikan urusan mereka. Mereka bertiga memperhatikan semua itu dari pinggir jalan.
Tak lama kemudian jalanan yang ramai tetiba tersibak oleh iring-iringan orang yang membawa jenazah. Begitu banyak orang yang mengiringi sang Mayit menuju tempat peristirahatannya yang terakhir. Suasana berkabung sedemikian mengharukan. Dari dalam kereta kuda yang berjalan lambat terdengar suara tangis perempuan yang meratapi kepergian sang Mayit. Rumiyah dan Humayun saling tatap saat melihat sosok yang ada di paling depan rombongan. Si Hidung Elang yang baru beberapa hari lalu menikahi putri seorang tuan tanah.
"Bukankah itu Tuan Jörigt? Saudagar yang baru beberapa hari lalu menikahi putri Tuan Akram?" tanya Rumiyah pada Humayun.
"Benar. Siapakah yang meninggal itu?" tanya Humayun, "Apakah istri barunya meninggal juga?" tanya Humayun lagi.
"Sungguh aneh. Apakah hidupnya dikutuk orang sehingga setiap kali menikah, istrinya selalu mati," tanya Rumiyah heran.
"Ah mengerikannya jika demikian," komentar Laila.
"Ah sudahlah lebih baik kita segera jemput Badshah," ajak Humayun.
Rumiyah mengangguk lalu berjalan mengikuti langkah Humayun, tapi matanya masih menatap sosok si Hidung Elang yang lewat di depannya. Lelaki itu sekilas menatapnya, membuat Rumiyah bergidik lalu cepat-cepat menyusul Humayun.
Dari ujung jalan terdengar keributan. Orang-orang berteriak ada pencopet. Sontak jalanan ricuh karena ada empat remaja tanggung berbaju kumal lari tunggang langgang membelah kerumunan orang di jalan. Humayun terkejut lalu menarik tangan Rumiyah agar menepi, tapi Laila terlambat bergerak.
Bruuuk!
Sesosok pencopet menabrak Laila sampai gadis kecil itu jatuh terduduk ke belakang. Si Pencopet yang berwajah lusuh itu juga jatuh menimpa Laila.
"Whooooaaa!' teriak Laila mulai menangis karena terkejut dan kesakitan.
Si Pencopet itu pun berdiri dengan panik.
"Ssst...diamlah adik kecil...ssst," bujuk si Pencopet lalu menoleh ke belakang melihat korban yang dicopetnya masih mengejarnya sambil berteriak. Tak ingin ditangkap dan jadi bulan-bulanan massa, si Pencopet itu pun lari menyusul kawanannya yang sudah lari menjauh, meninggalkan Laila yang terisak di tengah jalan.
Humayun yang melihat Laila jatuh langsung mendekat.
"Kau tak apa-apa?" tanya Humayun sambil membantu Laila bangun.
Laila mengangguk sambil masih terisak.
"Ah sudahlah, ayo," ajak Humayun.
Rumiyah mengambilkan tas Laila yang jatuh lalu diangsurkan kepada nona majikannya. Mereka melanjutkan perjalanan ke rumah Baba.
***
Badshah duduk di kursi kayu di halaman belakang rumah Baba. Dia menatap aneh pada sosok gadis kecil yang menatapnya penuh tanya. Laila menatap Badshah mulai dari ujung rambut sampai ujung kepala, seakan anak laki-laki itu makhluk aneh. Laila menusuk-nusuk pipi Badshah.
"Kau aneh. Mengapa ada manusia macam kamu yang berkulit kuning dan bermata sipit. Kata Rumiyah kau tak bisa bahasa Arab. Katakan asalmu darimana?" tanya Laila sambil mendekatkan wajahnya mendekat ke wajah Badshah dengan mata membulat penuh rasa penasaran.
Merasa tak nyaman dengan sikap Laila Badshah pun menggeram seperti harimau lalu menunjukkan giginya seakan ingin menggigit Laila. Laila ketakutan lalu menjerit. Gadis itu melompat ke belakang. Badshah pun tertawa terbahak lalu nyengir kesakitan karena pundaknya masih dibebat. Laila merasa kasihan lalu mendekat. Badshah mengambilkan sebuah apel untuk Laila.
"Untukmu. Jangan kira aku tak tahu apa yang kau katakan. Aku banyak belajar dari kalian," ucap Badshah dalam bahasa Arab yang buruk, tapi Laila bisa memahaminya.
"Apa kau mau kuajak mencari belalang?" tanya Badshah.
Laila mengangguk senang.
"Ayo, di kebun sebelah sana kau bisa mendapat belalang yang banyak. Nanti kita kasih makan ke Ciung Batu milik Baba," terang Badshah lalu beranjak duluan ke arah kebun yang berumput di belakang rumah Baba. Laila di belakang berjalan dengan semangat mengikuti Badshah.
Rumiyah dan Baba hanya tersenyum melihat tingkah mereka berdua.
"Kelihatannya mereka akan jadi teman akrab. Nona Laila selalu penuh rasa penasaran. Gadis cerdas," ujar Baba.
"Ya, tapi sayang sekali tubuhnya lemah," ucap Rumiyah.
"Kau juga gadis yang cerdas, banyak akal, pemberani. Apa hari ini kau jadi belajar menulis Nona Kecil?" tanya Baba sambil membungkuk mendekatkan wajahnya ke wajah Rumiyah.
Rumiyah tersenyum lalu mengangguk.
"Ayo kita ke ruang baca," ajak Baba lalu berjalan menuju ke sebuah ruang yang tersambung dengan toko tempat memajang buku-buku.
Rumiyah mengikuti langkah Baba sambil memandang ke sekeliling. Begitu banyak buku dan barang-barang antik yang dijual di toko Baba. Mata Rumiyah menangkap sebuah buku yang tebal bersampul putih yang memiliki tulisan aneh. Bukan tulisan Arab bukan pula tulisan Latin maupun Persia. Dia tertarik karena tulisan di sampul buku mirip dengan tulisan yang tertera di batu giok kecil di baju Badshah. Rumiyah mengambilnya lalu dibawanya masuk ke dalam ruang baca menyusul Baba.
Di dalam ruang itu ada Humayun yang sudah menunggu. Anak lelaki gendut itu sedang membaca sebuah buku sambil tertawa sendiri. Rumiyah mendekat lalu melihat buku yang dibaca oleh Humayun yang ternyata sebuah buku cerita bergambar.
"Apa asyiknya," gumam Rumiyah lalu meninggalkan Humayun yang sedang asyik cekikikan sendiri.
Rumiyah menuju ke meja pendek di tengah ruangan untuk memulai sesi belajar menulis tulisan Hanja.
Baba menyiapkan kertas dan kuas untuk Rumiyah. Gadis itu menggerus tinta lalu duduk sopan dihadapan Baba.
"Kita mulai mengenal huruf dan goresannya," ucap Baba.
"Baik," ucap Rumiyah hormat.
Rumiyah mulai belajar dengan intensif apa pun yang ingin dia ketahui. Tak hanya belajar di madrasah Al Ilm untuk belajar agama, menulis dasar, ilmu pengetahuan dan bahasa Arab, di rumah dia sering belajar bersama ibunya bahasa Persia dan Turki pasaran yang sering dipakai masyarakat. Nona Laila banyak mengajarinya berhitung, menulis dan bahasa Arab.
Bagi Rumiyah hal seperti itu tak cukup, dia ingin belajar lagi banyak bahasa asing dan ilmu yang lainnya. Baba termasuk orang asing yang menguasai banyak bahasa, tak salah jika Rumiyah juga berguru pada lelaki tua berjenggot panjang yang ramah itu. Dia ingat pesan Muazzam agar Rumiyah banyak belajar. Tak mencukupkan diri secara fisik, tapi otak juga harus diasah dengan menambah ilmu.
Siang menjelang di kota Samarkand. Anak-anak itu asyik dengan dunia mereka. Matahari di atas ubun-ubun lalu bergeser ke arah Barat. Seperti halnya kota Samarkand yang mengalami pasang surut dan pergantian keadaan. Saat kacau telah berlalu, tiba masa tenang, dan entah kapan ketenangan itu akan pecah kembali dan membuat semua menderita dalam peperangan. Di saat anak-anak sedang bermain dan belajar dengan tenang menikmati masa-masa indahnya, perintah genderang perang sudah mulai terdengar dari pusat pemerintahan. Shah Khawarizm memerintahkan perekrutan prajurit untuk persiapan menyerbu kota Bagdad.
Keceriaan anak-anak akan hilang berganti teror rasa takut. Penderitaan karena peperangan akan tak terperikan bagi jiwa-jiwa mereka yang masih rapuh. Perang akan mengusik anak-anak yang memiliki keceriaan seperti Laila yang sedang bermain dengan Badshah di halaman belakang, mengusik asyiknya anak seperti Humayun yang sedang membaca buku, mengusik nikmatnya belajar anak-anak seperti halnya Rumiyah yang dahaga akan ilmu. Perang hanya akan menyengsarakan banyak orang, dan melukai jiwa-jiwa manusia.