Chereads / RUMIYAH (Senja Turun di Samarqand) / Chapter 8 - BAB 7 HUMAYUN

Chapter 8 - BAB 7 HUMAYUN

Sebuah pedang akan tajam jika diasah. Sebuah besi akan menjadi berguna jika ditempa dan dibentuk. Dibakar dalam kesengsaraan, dikepung api yang membarakan kesabaran. Rumiyah berjalan di bawah terik matahari menuju ke kandang kuda. Di tangannya sebuah sekop dan keranjang yang akan digunakan untuk membersihkan kandang kuda.

Tangan mungilnya sudah terbiasa bekerja keras sejak kecil. Tak mudah menjadi anak seorang pelayan, hidupnya penuh kerja keras. Tak pelak di umurnya yang masih tujuh tahun, tangan dan kakinya sudah penuh kapalan, karena pekerjaan kasar yang digelutinya. Tak pernah sekalipun dia menggunakan baju sutera dan kerudung indah seperti para bangsawan. Yang dia pakai hanya dari bahan katun kasar dan sepatu kulit yang terkelupas. Celana, gamis dan rompinya kumal dan hanya memiliki dua pasang baju saja.

Walau dari keluarga pelayan rendahan, dia tak kurang kasih sayang dari ibunya. Shafiyya, ibunya perempuan yang tegas, tapi sabar. Ada saat dia diomeli karena sebuah kesalahan, tapi Rumiyah menganggap itu bentuk kasih sayang ibu padanya. Rumiyah tahu ibunya memiliki hati yang lembut di balik ketegasannya.

Rumiyah ingat setelah dipukuli Bibi Khanum, Maryam, kakak Laila mengantarnya pulang sambil tertatih-tatih. Ibunya langsung memukul pantatnya begitu tahu duduk permasalahannya. Walau setelah itu ibunya memandangnya dengan rasa kasihan, lalu memeluknya. Disingkapnya celana Rumiyah, dan diperiksanya bilur-bilur merah bekas pukulan rotan di betisnya. Shafiyya menghela napas.

"Baru saja kutinggal sehari kau sudah membuat masalah. Rumiyah, sudah kubilang jangan ajak Nona Laila melakukan hal yang aneh-aneh. Lihat hasil dari kelakuanmu. Tengkurap di situ, ibu akan mengambilkan obat untukmu," ucap Shafiyya.

Rumiyah hanya diam saja tak mendebat, dia memandang ibunya. Perempuan yang baik itu menghilang dari balik tirai, lalu masuk ke dalam kamar lagi membawa obat oles dalam botol keramik.

"Tahan, jangan merengek," ucap ibunya.

Rumiyah mengangguk. Menahan sakit sambil nyengir kesakitan. Tak ada keluh mengaduh dari bibirnya. Air matanya mengembun, memerahkan matanya, tapi dia harus tahan semua kepedihan yang dia terima.

"Maafkan ibu. Ibu sudah memukulmu. Kau tahu Nona Laila lemah. Jika terjadi apa-apa dengan Nona Laila, keluarga kita juga takkan lepas dari hukuman. Ibu juga akan kehilangan pekerjaan. Tuan Nashruddin sangat menyayangi Nona Muda. Ada baiknya kau tahu diri. Ada baiknya kau dipukul Bibi Khanum, sebagai pelajaran agar kau tahu batasan," omel Shafiyya dengan suara yang rendah.

"Nona Laila ingin tahu dunia luar ibu. Aku tak sampai hati menolak keinginannya. Aku tahu dia sering sakit-sakitan. Mana bisa aku menolak keinginannya untuk melihat dunia di luar benteng," ucap Rumiyah mengeluarkan uneg-uneg di hatinya.

"Kau harus tahu batasan. Paham!" cetus Shafiyya.

"Ya, aku tahu aku salah," ucap Rumiyah.

"Bagus kalau kau tahu," ujar Shafiyya, "Jangan diulangi lagi," lanjut Shafiyya.

Rumiyah mengangguk, sambil masih nyengir menahan pedih di betisnya. Setelah diobati, Rumiyah duduk dihadapan ibunya. Shafiyya menatap Rumiyah lalu memeluknya.

Setiap hari Rumiyah bangun sebelum subuh, membantu ibunya menyalakan tungku lalu sholat. Setelah sarapan roti gandum kasar, ibunya akan memandikannya dengan air hangat, lalu memasangkan baju, dan menyisir rambutnya yang berwarna hitam panjang. Menganyam lalu mengikatnya.

***

Siang itu, seperti biasa, setelah membantu keperluan Nona Laila, Rumiyah membersihkan kandang kuda. Dia masuk ke dalam kandang. Diedarkannya pandangannya ke arah kandang-kandang kuda yang kosong, karena semua dibawa keluar oleh para pelatih. Ada sepuluh sekat ruang yang harus dibersihkannya di bangunan batu yang kokoh itu.

Bau air kencing dan kotoran kuda menguar ke udara. Rumiyah menutup wajahnya dengan ujung kain kerudungnya sambil menghela napas. Dia menaruh sekop dan keranjang di sudut ruang, lalu mengambil ember kayu yang akan dipakai mengambil air di sumur yang tak jauh dari gudang rumput makanan kuda.

Rumiyah membawa ember kayu menuju sumur yang ada di belakang kandang. Dia mengambil air secukupnya, lalu membawanya kembali ke kandang kuda.

Tiba-tiba Rumiyah mendengar sebuah suara mencurigakan dari arah ruangan penyimpanan rumput makanan kuda. Rumiyah mengerutkan dahi, curiga. Siapa tahu itu suara hewan liar yang sering tersesat ke kandang kuda. Rumiyah mengendap-endap menuju asal suara sambil membawa ember kayu berisi air.

Kroosaaak!

Rumiyah mendengar suara lagi, lalu...

Byuuurrr!

Rumiyah menyiramkan air seember yang dibawanya ke arah sumber suara di balik tumpukan jerami kering.

"Whoooaaaa!"

Sebuah suara teriakan histeris terdengar nyaring dari balik tumpukan jerami.

"Siapa yang telah kurang ajar menyiramku!" ucap suara protes dengan nada marah.

Rumiyah terkesiap. Dia membelalakan matanya karena terkejut, tak disangkanya yang ada di balik tumpukan jerami adalah manusia. Rumiyah berjalan mendekat perlahan menuju balik tumpukan jerami. Raut wajahnya penasaran bercampur ketakutan. Dia melihat seorang anak laki-laki gendut basah kuyup dengan sebuah ayam goreng madu sebesar paha anak kecil di tangannya. Di sekeliling kakinya juga berbagai macam buah-buahan dan kue-kue.

"Siapa kamu?" tanya Rumiyah sedikit khawatir.

Melihat dari penampilan si Anak Gendut, dia seorang bangsawan. Bajunya bagus, kaftannya bersulam indah dengan sorban berwarna keemasan.

"Kau," hardik si Anak gendut dengan wajah kesal, "Apa kau tidak melihat siapa yang kau siram?" lanjut anak laki-laki beralis tebal berhidung mancung.

Mata si Gendut berwarna cokelat terang jernih, bulu matanya lentik, pipinya tembem kemerahan, tapi tubuhnya yang gendut sungguh membuatnya terlihat buruk dimata Rumiyah. Jemarinya gemuk-gemuk dengan beberapa cincin besi bermata indah.

"Maafkan saya Tuan. Saya tak tahu. Saya kira hewan liar yang sering menyusup dalam kandang kuda. Maafkan saya," ucap Rumiyah dengan mimik ketakutan.

Anak gendut itu masih memasang wajah kesal.

"Lihat semua makananku. Semuanya basah kuyup gara-gara kamu," hardik si Gendut.

"Sungguh saya minta maaf. Saya tak tahu jika Tuan ada di situ," ucap Rumiyah lagi.

Tiba-tiba telinga Rumiyah mendengar suara teriakan yang tak asing. Dari kejauhan terdengar suara Bibi Khanum sedang berteriak-teriak.

"Kemana semua makanan di meja?" teriak perempuan itu, "Ada pencuri ... ada pencuri!" teriak Bibi Khanum lagi histeris.

Rumiyah langsung menoleh, menatap si Gendut dengan wajah melongo lalu berubah kesal.

"Kau yang mencuri makanan di dapur?" tanya Rumiyah curiga pada si Gendut.

Si Gendut yang merasa ketahuan langsung gemetaran. Ayam di tangannya langsung jatuh.

"Aduh ... aduh ... ketahuan ... ketahuan," ucap si Gendut panik.

"Kau ... dasar pencuri," hardik Rumiyah balik.

Dia tak menyangka seorang bangsawan bisa mencuri makanan.

"Tolong aku. Bibi Khanum pasti akan marah besar," mohon si Gendut sambil menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya memohon pada Rumiyah.

Rumiyah tak bisa berkata-kata. Dia hanya mengarahkan telunjuknya ke arah si Gendut.

"Kau," ucap Rumiyah kesal.

Terdengar suara langkah kaki mendekat ke gudang rumput.

"Cepat sembunyi," ucap Rumiyah sambil menutupi makanan yang ada di lantai dengan jerami.

Si Gendut pun duduk berjongkok ketakutan di balik tumpukan jerami. Rumiyah menurunkan jerami, lalu ditutupkan ke atas tubuh si Gendut.

"Rumiyah," suara seorang pelayan menyapa Rumiyah.

Rumiyah menoleh.

"Apa kau melihat seseorang yang mencurigakan lewat sini?" tanya pelayan itu

Rumiyah menggeleng.

"Tak ada orang lewat sini," jawab Rumiyah berbohong demi menutupi kelakuan si Gendut.

Si Pelayan mengangguk.

"Baiklah, jika ada yang mencurigakan cepat melapor. Makanan untuk tamu dari Urgench tetiba hilang. Kau tahu betapa murkanya Bibi Khanum," terang si Pelayan.

"Baik," jawab Rumiyah.

Si Gendut badannya panas dingin ketakutan di bawah tumpukan jerami. Setelah pelayan itu pergi, Rumiyah menuju tempat persembunyian si Gendut.

"Keluarlah!" perintah Rumiyah.

Tumpukan jerami pun bergerak, lalu kepala si Gendut pun muncul.

"Sudah aman," ucap Rumiyah.

Si Gendut menganggukkan kepala. Rumiyah melepas rompinya lalu mengambili makanan yang tertumpuk oleh jerami.

"Tak kusangka kau seorang bangsawan bisa mencuri makanan. Apakah kau kelaparan?" tanya Rumiyah sambil masih sibuk membersihkan bekas makanan si Gendut.

"Aku ... aku ... lapar," ucap si Gendut terbata sambil masih duduk di samping Rumiyah.

Rumiyah menoleh heran.

"Berapa ruang perutmu? Pantas badanmu gemuk seperti itu. Makanmu banyak sekali," sindir Rumiyah.

Dia menatap makanan enak yang ada di tangannya. Ayam goreng madu yang sia-sia, kue-kue dan buah-buahan yang basah kuyup. Rumiyah merasa sayang jika makanan itu dibuang. Dia sendiri tak pernah kenyang makan dengan selembar roti gandum. Rasanya ingin menangis sambil meneguk liur melihat makanan itu.

"Aku disuruh diet oleh ayahku. Selama dua hari ini dalam perjalanan dari Urgench ke Samarkand aku tak diizinkan makan selain bubur," ucap si Gendut yang berumur sekitar dua tahun lebih tua dari Rumiyah.

"Pantas," gumam Rumiyah, lalu berdiri sambil membungkus makanan bekas si Gendut.

"Akan kau bawa kemana makanan itu?" tanya si Gendut.

"Aku akan membuangnya. Semua ini akan memberatkanku nanti. Siapa tahu mereka akan menuduhku mencuri makanan jika masih ada di sini," terang Rumiyah.

Wajah si Gendut terlihat murung, tak rela. Rumiyah heran.

"Kau masih mau makan ini?" tanya Rumiyah.

Si Gendut langsung tersenyum lebar. Rumiyah melongo.

"Baiklah. Ini ... sayang juga jika dibuang," ucap Rumiyah sambil menyodorkan rompinya yang berisi makanan.

Si Gendut dengan wajah cerah langsung mengambilnya, lalu duduk di pojokan. Dia membuka buntalan rompi, lalu memakan dengan lahap.

"Whoaaa ... rakus sekali," batin Rumiyah melihat si Gendut makan dengan lahapnya.

Melihat Rumiyah hanya berdiri menatapnya, si Gendut pun berhenti makan.

"Kau mau?" tanya si Gendut menawarkan makanan.

"Tuan Barka mengajarkan tidak boleh memakan makanan yang haram," tegas Rumiyah.

"Tapi kenapa kau tadi berbohong?" tanya si Gendut.

Rumiyah langsung kesal.

"Kau dasar tak tahu terima kasih sudah ditolong," hardik Rumiyah, "Kau tak tahu betapa kejamnya Bibi Khanum. Pantatmu bisa terbelah empat dipukulnya jika ketahuan," terang Rumiyah melebih-lebihkan.

Si Gendut langsung mengkerut memegang pantatnya. Rumiyah tersenyum.

"Hah anak laki-laki pengecut," gumam Rumiyah pelan, "Aku pergi dulu. Kau makan yang tenang di sini," ucap Rumiyah hendak pergi.

"Kau temani aku di sini. Kumohon," ucap si Gendut.

Rumiyah berhenti melangkah, lalu berbalik. Dia menghela napas menahan kesal.

"Kau ckckckck ... benar-benar," jawab Rumiyah kesal, tapi kakinya melangkah mendekat si Gendut.

"Duduk di sini. Temani aku makan sampai selesai," pinta si Gendut.

"Baiklah, cepat. Jika kau bukan tamu Tuan Nashruddin mana mau aku menemanimu di sini," terang Rumiyah.

"Siapa namamu?" tanya si Gendut sambil makan kue bolu.

Rumiyah menatap jemari si Gendut yang menyuapkan kue itu dengan lahapnya ke mulut.

"Rumiyah,"

"Aku, Humayun, anak Jenderal Mustafa dari Urgench. Terima kasih sudah menolongku. Aku berhutang kebaikan kepadamu, suatu saat aku akan membalas kebaikanmu," ucap si Gendut sambil mengunyah makanan.

Rumiyah tersenyum geli melihat selera makan si Gendut. Wajah si Gendut sampai kemerahan dan berkeringat.

"Aku akan tinggal lama di Samarkand. Ayahku akan memasukkanku ke madrasah Tuan Syeifiddin dan belajar kemiliteran. Kita akan sering bertemu," cerita Si Gendut.

Humayun terus saja nyerocos bercerita tentang dirinya, rumahnya, orang tuanya, kota Urgench sambil mengunyah makanan. Rumiyah mendengar semua cerita Humayun dengan setia. Suara serangga musim panas terdengar indah, ditingkah suara Humayun yang dengan semangat bercerita tentang dunianya di kota Urgench, ibu kota negeri Khawarizm.