Masa tenang seusai perang. Penduduk Samarkand mulai bergeliat membangun kotanya bersama para prajurit Khawarizm. Orang-orang yang tersisa mulai kembali ke rumahnya, tak sedikit masih bertahan di Madrasah Al Ilm milik Tuan Barka.
Hampir setiap hari Tuan Syeifiddin bersama para muridnya membantu orang yang sakit dan memberi makanan bagi pengungsi. Sebuah masalah selalu muncul setelah perang. Ketersediaan bahan makanan dan obat-obatan mulai menipis. Sang Sultan mulai membuka peluang bagi pengusaha di seluruh kesultanan Khawarizm untuk memberikan bantuan ke Samarkand dan Bukhara yang baru saja di taklukkan.
Bantuan seringkali terlambat datang, karena jalur menuju Samarkand tak aman. Beredar kabar tentang perampok-perampok yang menyerang para kafilah yang membawa bahan makanan, obat-obatan dan yang lainnya. Hal ini sungguh meresahkan masyarakat.
Tuan Syeifiddin sedang mengobati seorang prajurit yang luka di ruang madrasah yang sudah dialihfungsikan sebagai rumah sakit. Dalam ruangan itu berjajar dipan-dipan yang berisi para pasien korban perang. Datang seorang muridnya mendekat kepadanya.
"Tuan, obat-obatan di gudang sudah semakin menipis. Takkan cukup untuk sebulan ke depan jika pasokan dari luar tak segera datang, saya khawatir ... ," lapor sang Murid tak menyelesaikan kalimatnya lalu menunduk dengan wajah cemas.
Tuan Syeifiddin menoleh lalu tercenung. Lelaki tua itu menghela napas.
"Baiklah, persiapkan perjalanan ke luar kota. Kerahkan beberapa orang yang tahu tentang tanaman herbal. Bawa serta penduduk setempat yang tahu jalan. Di luar sekarang tak kondusif, aku khawatir jika terjadi sesuatu," perintah Tuan Syeifiddin.
"Baik Tuan," jawab sang Murid lalu pergi.
"Oh ya, bawa serta gadis kecil bermata biru itu," seru Tuan Syeifiddin pada sang Murid.
Tuan Syeifiddin tahu jika si Gadis Kecil anak Shafiyya itu tahu seluk beluk gunung dan hutan. Dia teringat saat mengurusi pengungsi, gadis kecil itu membantu ibunya mencari makanan di hutan. Tuan Syeifiddin benar-benar terkesan dengan sosok gadis kecil itu.
"Siapa namamu, Nak?" tanya Tuan Syeifiddin ramah suatu kali, saat si Gadis Kecil membagikan umbi-umbian yang sudah dimasak pada para pengungsi.
"Rumiyah, anak Shafiyya," jawab si Gadis Kecil dengan senyum manis.
"Nama yang indah, anak yang baik," puji Tuan Syeifiddin sambil tersenyum, lalu membiarkan Rumiyah membagikan makanan untuk yang lain.
***
Tuan Syeifiddin bersama beberapa muridnya mulai menjelajahi gunung dan hutan dikawal beberapa penduduk setempat. Di antara mereka ada Rumiyah yang ikut serta membonceng kuda pada salah seorang penduduk lokal. Dia memakai baju seperti anak lelaki dengan sorban kumal di atas kepalanya. Baju dan rompinya lusuh, dan hanya memakai sepatu dari jerami. Dia paling paham daerah hutan dan gunung karena sering diajak ibunya mencari tanaman herbal.
Mereka menyusuri jalanan setapak, menaiki bukit dan mengorek tanah di beberapa tempat. Mereka berpencar menjadi dua kelompok. Rumiyah berjalan bersama Tuan Syeifiddin, dan dua orang muridnya. Dipunggung mereka tergantung keranjang rotan untuk menaruh hasil apa pun yang di dapat dari hutan. Rumiyah berjalan kesana kemari dengan riangnya. Baginya hutan sudah seperti lahan bermain. Tuan Syeifiddin tersenyum memandang Rumiyah yang berkeliaran tanpa rasa takut bak seekor kelinci yang lompat kesana kemari.
Rumiyah berjongkok dekat serumpun tanaman berdaun panjang seperti daun bawang. Dia mengeluarkan sebuah pisau bergagang merah dengan hiasan bebatuan yang indah. Tuan Syeifiddin tertarik dengan pisau yang dipakai Rumiyah untuk mengorek tanah. Lelaki itu mendekat lalu berjongkok dekat Rumiyah.
"Pisau yang bagus," ucap Tuan Syeifiddin mengomentari pisau milik Rumiyah.
Rumiyah menoleh lalu tersenyum.
"Ini peninggalan ayahku," jawab Rumiyah.
"Siapa ayahmu?" tanya Tuan Syeifiddin.
"Aku tak tahu. Aku hanya tinggal bersama ibuku sejak kecil. Ibuku tak pernah bercerita tentang ayah," jawab Rumiyah.
Tuan Syeifiddin manggut-manggut. Dia masih menatap pisau yang dipegang Rumiyah. Dia merasa pernah melihat pisau itu, tapi dia tak ingat dimana dan milik siapa. Rumiyah menyentak lamunanannya saat mengangkat sesuatu di depan wajahnya. Tuan Syeifiddin menaikkan alisnya.
"Apa itu?" tanya Tuan Syeifiddin.
Rumiyah tersenyum lebar, lalu dengan jemarinya dia memotong daun dan mengupas kulit tanaman yang seperti bawang. Di dalamnya terdapat semacam umbi-umbian kecil berwarna putih, lalu Rumiyah memakannya sambil tertawa kecil.
"Ini, mau coba?" tawar Rumiyah pada Tuan Syeifiddin.
Tanpa menunggu jawaban, Rumiyah langsung mengupas sebuah lalu disodorkan pada si Lelaki Tua. Tuan Syeifiddin menerimanya dengan senang hati lalu memakannya.
"Mmm ... rasanya tawar. Seperti kentang," komentar Tuan Syeifiddin, "Masyaallah ... bahkan di bukit batu seperti ini, Allah memberi alam kelimpahan bahan makanan," lanjut Tuan Syeifiddin.
Rumiyah mencabut beberapa tanaman yang ada di bawah kakinya lalu memasukkan ke dalam keranjang rotan yang ada di sampingnya. Tuan Syeifiddin tersenyum lebar. Dia melihat Rumiyah sosok yang istimewa.
"Kita ke arah sana, biasanya di sana banyak berry liar," ajak Rumiyah pada Tuan Syeifiddin.
Si Lelaki Tua mengangguk lalu berjalan mengikuti Rumiyah menuju arah tebing.
Tiba-tiba terdengar sebuah suara keras berdebum ke tanah tak jauh dari tebing. Tuan Syeifiddin dan Rumiyah langsung berlari menuju ke arah sumber suara. Dia melihat seekor kuda jatuh tergeletak tewas di tanah, dan seorang anak lelaki tergeletak tak jauh dari kuda yang terluka.
"Yaa Allah!" seru Tuan Syeifiddin terkejut melihat hal yang terjadi di depan matanya.
Tuan Syeifiddin dan Rumiyah bergegas mendekat lalu berjongkok untuk memeriksa kondisi si Anak Lelaki yang memakai baju bulu-bulu yang bagus. Hilang rasa khawatir Tuan Syeifiddin. Anak lelaki itu masih hidup. Lelaki tua itu mengangkat, lalu menggendong si Anak Kecil yang pingsan.
"Kita kembali ke Madrasah," ajak Tuan Syeifiddin pada Rumiyah lalu menuju ke pinggir hutan untuk membawa si Anak Malang kembali ke kota untuk mendapat pertolongan.
Rumiyah mengangguk lalu membawakan keranjang rotan milik Tuan Syeifiddin. Dia menatap si Anak Malang dalam diam. Pipi anak itu merah, tembem, matanya sipit dan rambutnya tebal hitam di anyam. Rumiyah pikir si Anak malang itu bukan orang Khawarizm maupun Qara Khitai. Apakah dia datang dari Negeri Timur? batin Rumiyah.
***
Sebulan perjalanan dari lembah pegunungan Tian Shan menuju ke Samarkand. Rombongan si Hidung Elang akhirnya hampir sampai di luar kota. Dari atas bukit, mereka bisa melihat kota Samarkand yang baru saja ditaklukkan. Jika tak meleset sehari semalam akan sampai setelah melewati hutan, dan stepa untuk sampai ke kota.
Saat senja, tetiba sekelompok orang membawa senjata tajam dan batang kayu menghadang rombongan si Hidung Elang. Tanpa rasa takut gerombolan perampok dengan berani menutup jalan.
Si Hidung Elang menghentikan laju rombongan lalu menatap dengan waspada.
"Izinkan kami lewat Tuan-Tuan!" seru si Hidung Elang.
"Serahkan apa yang kalian miliki terlebih dahulu baru boleh kalian lewat," ucap salah seorang perampok yang berbadan besar dengan jenggot kemerahan.
Si Hidung Elang sudah menduga pasti perjalanan mereka takkan semulus yang diperkirakan.
"Kami hanya pedagang yang ingin mencari hidup, sama dengan kalian. Janganlah kita saling menyusahkan," jawab si Hidung Elang.
"Jika tak memberikan apa yang kami inginkan. Lebih baik kalian semua mati," ancam pemimpin gerombolan yang berbadan besar, berhidung mancung, di tangannya sebilah pedang berujung melengkung.
"Serang!" teriak si Pemimpin Perampok memberi komando untuk bergerak merampas barang yang dibawa oleh kelompok si Hidung Elang.
Perkelahian tak terelakkan. Suara denting pedang dan suara pekik kemarahan terdengar mengerikan. Seorang berkulit hitam dan berambut keriting tersenyum menyeringai ke arah si Anak Kecil. Tak kalah gesit si Anak Kecil mengendalikan kudanya membuat kaki kudanya menendang keras dada si Rambut Keriting hingga jatuh terjerembab ke belakang.
"Awaaas!' teriak si Hidung Elang kepada si Anak Kecil yang lengah saat sebuah tombak diarahkan kepadanya. Si Anak Kecil membungkukkan badannya, tombak meleset lalu melukai punggung kuda. Kuda itu meringkik kesakitan, lalu berlari ketakutan membawa serta si Anak Kecil menjauh dari arena perkelahian.
Sambil berkelahi menghadapi perampok, si Hidung Elang menatap khawatir terhadap si Anak Kecil yang sudah menghilang dari pandangan. Tak lama kemudian, para perampok sudah berhasil dikalahkan. Mereka semua terkapar. Si Hidung Elang melihat anak buahnya tiga orang meninggal dan si Anak Kecil menghilang.
"Kamu, urusi mereka dulu. Aku cari si Helan Oktai, aku yakin kudanya takkan jauh berlari. Ayo cepat, kamu ikut aku!" ajak si Hidung Elang dengan wajah khawatir pada salah satu anak buahnya.
Si Hidung Elang memacu kudanya bersama seorang dari anggota rombongannya. Mereka melihat jejak kuda menuju ke dalam hutan. Tak jauh dari sebuah jurang si Hidung Elang melihat kuda milik Helan Oktai tergeletak mati di dalam jurang, bersimbah darah.
"Itu kudanya. Ayo cepat periksa ke bawah," ajak si Hidung Elang lalu turun dari kuda dan berjalan ke bawah menuruni lereng jurang.
Si Hidung Elang merasa heran, dia tak menemukan tubuh Helan Oktai di sekitaran kuda yang jatuh ke jurang. Dia menduga Helan Oktai, si Anak Kecil itu masih hidup. Si Hidung Elang langsung beranjak pergi meninggalkan tempat kuda itu tergeletak, dia tak punya waktu untuk mencari si Anak Kecil. Ada sebuah misi mendesak yang harus segera dilakukan.