Shafiyya berjalan cepat-cepat menuju ke bagian ruang guru madrasah Al Ilm. Tuan Syeifiddin memanggilnya. Dia memperbaiki kerudung katun bersulamnya ketika hendak masuk ke ruangan. Setelah memberi salam, lelaki tua itu mempersilakan Shafiyya masuk. Di dalam ada seorang tamu yang sedang berbincang dengan Tuan Syeifiddin.
Seorang laki-laki tampan berumur empat puluhan dengan jenggot tebal dan alis yang bertaut. Dilihat dari bajunya, dia seorang prajurit Khawarizm walau Shafiyya tak tahu dia berpangkat apa. Shafiyya masih berdiri di dekat pintu malu-malu. Tatapan mata Ja'far langsung membuat hatinya berdebar.
"Masuklah," ucap Tuan Syeifiddin, "Ini Tuan Ja'far mengantar surat padaku meminta bantuan untuk mencari orang sebagai pelayan di rumah baru Tuan Nashruddin. Kupikir kau lebih tahu siapa saja yang cocok untuk bekerja di tempat itu," jelas Tuan Syeifiddin.
Shafiyya berjalan mendekat, langsung memutar otak memikirkan siapa saja yang cocok untuk bekerja pada Tuan Nashruddin.
"Berapa orang dibutuhkan Tuan?" tanya Shafiyya.
"Sekitar sepuluh orang perempuan," jawab Tuan Syeifiddin.
"Beri saya waktu dua hari. Selain saya dan Rumiyah, saya akan mencarikan sisa delapan orang yang lain," terang Shafiyya.
Tuan Ja'far tersenyum, lalu menoleh pada Tuan Syeifiddin.
"Baiklah kalau begitu Tuan. Hal ini sudah bisa diselesaikan. Dua hari lagi saya datang menjemput mereka. Saya pamit," ucap Tuan Ja'far lalu berdiri.
"Baik ... Baik ... titip salamku buat Tuan Nashruddin," ucap Tuan Syeifiddin juga sambil berdiri dari duduk lalu mengantar Tuan Ja'far keluar ruangan. Shafiyya mundur memberi jalan sambil menundukkan pandangan. Tuan Ja'far menatap lembut pada Shafiyya. Kiranya hati sang Tuan Ja'far mulai tertarik pada Shafiyya.
***
Sebuah iring-iringan empat kereta berkuda dikawal puluhan prajurit Khawarizm masuk ke dalam gerbang kota Samarkand. Itu rombongan keluarga Tuan Nashruddin yang akan tinggal di kota yang berudara bening, yang terletak di antara dua sungai, Syr Darya dan Amu Darya*. Keluarga ini pindah dari Balkh ke Samarkand untuk mengikuti Tuan Nashruddin yang mulai bertugas menjaga perbatasan di Utara.
Rombongan keluarga Tuan Nashruddin menyibak jalanan kota yang sudah mulai normal kembali. Beberapa bulan setelah peperangan, aktivitas ekonomi mulai bergeliat, pendatang dari luar kota juga sudah mulai berani masuk ke Samarkand. Iring-iringan itu menarik perhatian orang-orang, termasuk dua orang yang sedang duduk-duduk di sebuah kedai di pinggir jalan. Dua orang itu si Hidung Elang dan seorang anak buahnya. Mereka sedang duduk-duduk di sambil memakan camilan memperhatikan sekeliling.
"Siapa mereka?" tanya si Hidung Elang.
"Mereka keluarga Tuan Nashruddin baru pindah dari Balkh. Tuan Nashruddin saat ini yang menjaga perbatasan Utara, orang kepercayaan Ibu Suri di Urgench," terang anak buahnya.
"Otrar juga jatuh, dan Inalchug sepupu Sultan, orang kepercayaan Ibu Suri juga dijadikan gubernur di sana. Sepertinya Ibu Suri ini memiliki pengaruh yang besar terhadap keputusan sang Sultan," gumam si Hidung Elang lalu tersenyum sinis.
Di otaknya memikirkan suatu rencana untuk memperkeruh suasana
***
Rombongan keluarga Tuan Nashruddin sampai di depan halaman rumah mereka yang baru. Sebuah istana luas dan besar dihiasi batu pualam putih. Tamannya indah dengan macam-macam bunga dan pepohonan. Di belakang rumah masih terdapat lahan yang luas tempat para pelayan tinggal, kandang kuda dan sebuah lembah luas yang indah.
Rumiyah melihat rombongan keluarga Tuan Nashruddin dari jauh. Di balik pohon di halaman rumah. Ibunya dan beberapa pelayan serta Tuan Ja'far berbaris menyambut kedatangan mereka. Seorang laki-laki yang lebih tua dengan kumis tebal, berbaju rompi satin bersulam dan bersorban turun dari kudanya. Itu Tuan Nashruddin, seorang jenderal Turkic dari Balkh yang setia terhadap Shah Khawarizm. Sejak Samarkand jatuh ke tangan Khawarizm, sang Shah menaruh semua pionnya di daerah-daerah taklukkan, termasuk Tuan Nashruddin.
Seorang lelaki yang lebih muda bertubuh tegap dan tampan berbaju berwarna biru dengan kaftan putih juga ikut turun dari kuda lalu membantu seorang perempuan berbaju sulam emas dan merah dengan kerudung yang menutupi separuh wajahnya untuk turun dari kereta kuda. Seorang gadis kecil kurus dalam balutan baju berwarna merah muda bersulam perak dan memakai rok putih muncul juga dari dalam kereta kuda.
Rumiyah belum tahu siapa mereka, tapi dia menduga itu pasti anak-anak Tuan Nashruddin. Tak lama kemudian muncul juga dari dalam kereta kuda yang kedua, seorang perempuan tua berhidung mancung, dengan wajah garis yang tegas. Tubuhnya tinggi dan terlihat angker di mata Rumiyah. Gadis itu bergidik, seakan lebih baik tak berurusan dengan perempuan tua itu.
Rumiyah mengendap pergi lalu keluar dari kediaman Tuan Nashruddin dari pintu gerbang samping. Shafiyya mengedarkan pandangannya mencari Rumiyah. Di saat penyambutan, si Gadis Kecilnya tak muncul membuat Shafiyya khawatir.
***
Rumiyah berjalan masuk ke dalam madrasah Al Ilm. Dia menuju tempat anak lelaki misterius yang mereka temukan di gunung. Anak lelaki itu sedang manjalani perawatan di sebuah bangunan di dekat dapur umum. Rumiyah menyibak tirai yang menutupi pintu. Di dalam sepi, hanya ada si Anak Misterius sedang tertidur belum sadarkan diri selama dua hari. Rumiyah menarik sebuah kursi kayu lalu di dekatkan ke arah tempat tidur. Rumiyah memadang wajah pucat anak lelaki itu dengan pandangan simpati.
"Siapa kamu?" tanya Rumiyah, "Bangunlah. Kau sudah dua hari ini tak sadarkan diri," ucap Rumiyah bermonolog.
Si Anak Lelaki masih bergeming. Napasnya teratur seperti orang yang tidur. Rumiyah hanya memandang si Anak Lelaki dalam diam. Dia menoleh ke arah tumpukan baju milik si Anak Lelaki di atas lemari dekat ranjang. Rumiyah mengambil baju itu dan memeriksanya. Siapa tahu ada tanda pengenal yang tersimpan dalam baju kulit dan bulu binatang itu.
Rumiyah mengerutkan dahi saat tangannya menyentuh sesuatu yang aneh di keliman tepi baju. Sesuatu yang keras teraba jelas. Rumiyah mengambil pisau yang terselip dipinggangnya lalu membuka jahitan tepi baju. Setelah terbuka, Rumiyah mengeluarkan sebuah token batu giok kecil bertuliskan huruf yang tak dipahaminya. Rumiyah mengerutkan dahi, seakan berpikir, mengingat-ingat, dimana dia pernah melihat huruf yang ada di token itu. Tiba-tiba saja sebuah tangan merebut token itu dengan cepat.
"Lancang sekali kau mengambil barang milik orang lain," ucap si Anak Lelaki yang tanpa disadari oleh Rumiyah sudah bangun dan merebut token giok itu.
Rumiyah bengong lalu menaikkan alisnya. Dia tak paham apa yang dibicarakan oleh si Anak Lelaki. Dia hanya tahu kalau si Anak Lelaki merasa keberatan jika batu giok itu dipegang orang lain.
"Kau ... ah syukurlah kau sudah sadarkan diri. Kau membuatku cemas. Kami menemukanmu di jurang bersama kudamu yang terluka. Syukurlah kau baik-baik saja," terang Rumiyah dengan wajah ceria seakan wajah merengut dan dingin yang ada dihadapannya tak mempengaruhi emosinya sama sekali.
"Maafkan aku ... aku tak bermaksud mengambil barangmu," terang Rumiyah sambil tersenyum, "Kau orang dari Timur? Siapa namamu?" lanjut Rumiyah lagi.
Anak lelaki yang berambut panjang dan berkuncir itu hanya diam memasang wajah dingin. Tiba-tiba sebuah bunyi perut keroncongan terdengar jelas di telinga mereka. Rumiyah menaikkan alisnya menduga-duga itu suara perut siapa? Rumiyah tertawa terbahak.
"Aku akan memanggil tabib dan mengambilkan makanan untukmu. Tunggu ya," ucap Rumiyah lalu beranjak pergi keluar dari ruangan.
Si Anak Lelaki hanya memandang Rumiyah pergi dengan wajah dingin tanpa senyuman, lalu menatap token giok yang ada di tangannya.
Rumiyah kembali dengan membawa semangkok bubur yang masih panas. Di ruang itu tabib masih memeriksa si Anak Lelaki didampingi Tuan Barka.
"Apakah dia baik-baik saja Tuan?" tanya Rumiyah penasaran setelah menaruh mangkuk bubur di atas meja.
"Dia baik-baik saja. Benturan di kepalanya sangat keras mungkin membutuhkan waktu beberapa bulan untuk sembuh dari pusing," jawab Tabib.
"Dia berbicara bahasa asing tadi, saya tak paham apa yang dibicarakannya," terang Rumiyah.
Tuan Barka menoleh ke arah Rumiyah lalu duduk di tepi ranjang.
"Kau berasal dari mana?" tanya Tuan Barka, lelaki tua seumuran Tuan Syeifiddin dengan garis wajah lebih ke arab-araban di banding Tuan Syeifiddin yang lebih mirip orang Turki.
Anak Lelaki itu hanya diam memandang Tuan Barka seakan tak paham apa yang ditanyakan lawan bicaranya. Tuan Barka hanya memandang tak paham dengan sikap diam si Anak Lelaki, lalu berdiri.
"Tuan Tabib, saya tinggal dulu saja. Periksa kondisinya secara berkala. Sepertinya dia memang tak paham bahasa kita. Kupikir dia orang Timur. Aku akan bertanya pada kepolisian kota untuk menanyakan informasi anak hilang, siapa tahu dari situ kita tahu dia anak siapa," terang Tuan Barka lalu pamit keluar ruangan.
Setelah sang Tabib keluar untuk membuat obat, Rumiyah mendekati si Anak Lelaki sambil membawa semangkuk bubur.
"Makanlah ... agar kau cepat sembuh. Jangan khawatir, Tuan Barka akan mencari orang tuamu. Kau sungguh beruntung masih hidup dan bertemu kami," ucap Rumiyah sambil menyodorkan semangkuk bubur ke hadapan si Anak Lelaki.
Si Anak Lelaki diam memandang Rumiyah, lalu perlahan tangannya mengambil mangkuk bubur yang ada di tangan Rumiyah, lalu memakan bubur dengan lahap. Gadis kecil itu tersenyum.
"Hati-hati masih panas. Oh ya, karena kau tak menyebutkan namamu, bagaimana kalau aku memberimu sebuah nama," ucap Rumiyah dengan ekspresi berpikir serius mencari nama, "Bagaimana kalau Badshah ... ya Badshah. Kupikir itu cocok denganmu," lanjut Rumiyah.
Si Anak Lelaki berhenti menyuap bubur, lalu tersenyum.
"Badshah ... baiklah," ucap si Anak Lelaki dalam bahasa Mongol yang tak dipahami Rumiyah.
Rumiyah mencoba untuk memahami ucapan si Anak Lelaki, lalu tersenyum, karena si Anak Lelaki mau bicara padanya.
*Sungai Jihun dan Sungai Seyhoun