Chereads / RUMIYAH (Senja Turun di Samarqand) / Chapter 2 - BAB 1 JATUHNYA SAMARKAND

Chapter 2 - BAB 1 JATUHNYA SAMARKAND

Tahun 1207. Senja turun di kota Samarkand. Tak ada yang sanggup menghalangi sebuah takdir Ilahi atas suatu kaum. Tak ada yang sanggup untuk menghindar jika kalam telah dituliskan dan ketetapan sudah diturunkan. Masa para raja-raja menggigit, yang berarti masa itu para penguasa bak seorang pendaki gunung yang terjal dan berusaha mengigit Al Quran dan As Sunnah dengan gigi-gigi mereka agar tak jatuh dan terabaikan.

Kehidupan yang penuh dengan fitnah, tak sedikit yang tergoda dengan fitnah kekuasaan. Tak sedikit melanggar apa yang digariskan dalam aturan yang telah mereka "gigit" dengan geraham mereka, karena kedua tangannya sibuk berpegangan pada tali dunia untuk mencapai kemahsyuran dan kekuasaan yang fana. Syariat Ilahi banyak yang sudah terabaikan, sedangkan mereka sibuk mengejar dunia dan saling serang.

Sebuah rasa sesak dan sedih menghujam kalbu sosok berjubah putih dengan sorban di atas kepalanya. Dahinya berkerut, alisnya bertaut. Dia berjalan dengan sebilah tongkat di tangannya, sebuah buntalan kain di pundaknya, sepatunya yang berdebu menunjukkan dia melakukan perjalanan yang jauh. Lelaki berjenggot panjang yang sudah beruban itu berwajah teduh.

Si Jubah Putih tak sendiri, ada seorang lelaki yang lebih muda menemani perjalanannya. Dia memakai topi kerucut dan sorban yang dililit di atas kepalanya. Baju gamis mereka berkibar tertiup angin padang rumput. Suasana menjelma menjadi warna tembaga karena sinar matahari yang perlahan masuk ke peraduan. Angin senja membawa bau amis darah yang dari kota Samarkand.

Kedua lelaki itu berjalan menuju sebuah bukit, lalu berdiri mematung di atas tumpukan batu yang membuat jarak pandangnya leluasa ke arah lembah. Di depan matanya sebuah peperangan yang usai, menyisakan puing-puing reruntuhan kota Samarkand. Asap membumbung dari api-api yang masih berkobar. Para prajurit terluka dan mayat-mayat bergelimpangan diangkut satu persatu untuk dikuburkan. Bayangan mereka terlihat bak titik-titik hitam jika dilihat dari arah bukit. Sang Lelaki Tua menghela napas sambil menatap ke langit.

"Katakanlah, "Wahai Rabb Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu".

Setelah mengucapkan sebuah ayat tentang kekuasaan di tangan Allah, lelaki itu menatap nanar ke arah lembah.

"Tuan, apakah kita akan lanjutkan perjalanan menuju kota? Samarkand sudah ditaklukkan, tak mudah jika kita masuk kota malam ini," tanya lelaki yang lebih muda.

"Kita tunggu sampai keadaan lebih kondusif baru kita masuk kota. Sebaiknya kita menginap di hutan lagi malam ini. Syukur-syukur bisa bertemu dengan para pengungsi. Kita bisa bergabung dengan mereka. Sang Shah bukan orang yang tak berbelas kasih. Aku yakin mereka akan mengizinkan para pengungsi untuk kembali ke dalam kota. Saat itu kita bantu mereka. Obati yang sakit, beri makan yang lapar, dan membuka kembali madrasah kita," terang lelaki yang lebih tua.

"Baiklah kalau begitu," jawab lelaki yang lebih muda dengan penuh hormat.

Mereka beranjak dari bukit lalu menuju ke hutan untuk mencari tempat yang aman untuk bermalam.

***

Sebulan sebelum lelaki tua bersorban datang ke Samarkand. Hujan badai salju melanda di lembah Pegunungan Tian Shan. Sepuluh orang berbaju dan bertopi bulu tebal mengendarai kuda-kuda mereka yang sudah terlihat kepayahan menembus salju yang turun dengan lebat. Dua buah gerobak kayu penuh muatan ditarik oleh yak berjalan perlahan di belakang. Mereka menemukan sebuah cekungan gua untuk berlindung dari badai. Salah satu dari mereka terlihat masih sangat muda. Umurnya sekitar sepuluh tahunan.

Mereka menemukan ranting-ranting kayu di dalam gua untuk menyalakan api unggun, lalu duduk berdempetan untuk menghindari dingin yang menggigit. Tak seorang pun dari mereka yang tertidur. Udara dingin di lembah gunung saat salju turun bisa mendatangkan kematian karena hipotermia.

"Jika cuaca membaik siang ini, kita akan teruskan perjalanan. Dalam beberapa hari akan sampai di Khawarizm," terang seseorang yang lebih tua dari mereka kepada lelaki yang berhidung melengkung bak elang, "Jalur yang kita lalui adalah jalur baru, tapi merupakan jalur yang tercepat dibanding melalui gerbang daratan Dzungaria. Apalagi Qara Khitai juga sedang berperang dengan Khawarizm sungguh tidak aman," terang lelaki yang memiliki kumis panjang terpilin.

Orang yang lebih tua dan berkumis itu sebagai penunjuk jalan. Mereka mencarikan jalur alternatif agar cepat sampai ke Khawarizm. Lelaki dewasa yang berhidung elang adalah pemimpin rombongan.

"Terima kasih atas kesedian Anda mengantar kami," ujar sang Pemimpin rombongan.

"Beberapa hari yang lalu aku mendengar kabar perang antara Khawarizm dan Qara Khitai akan meletus. Kalian hati-hati dalam perjalanan. Bisa jadi akan ada para pengungsi yang kehilangan akalnya lalu melakukan perampokan terhadap para pedagang seperti kalian," nasihat sang Penunjuk Jalan Tua.

"Baik," jawab si Pemimpin Rombongan lalu memandang si Anak Kecil, "Makanlah, kau pasti lapar. Sejak pagi aku lihat kau tak makan," lanjut si Hidung Elang.

Si Anak Kecil menggeleng, tapi hanya diam tak bersuara. Wajahnya masih terlihat murung.

"Kau merindukan ibumu?" tanya si Hidung Elang.

Si Anak Kecil mengangguk. Si Hidung Elang tersenyum. Pandangannya lembut menatap anak kecil di sebelahnya.

"Kau harus kuat mulai sekarang. Kau lelaki satu-satunya dalam keluargamu yang terpilih. Makanlah, agar kau tak pingsan di jalan. Jika sampai terjadi apa-apa aku akan membuangmu di jalanan sebagai makanan serigala," tegas si Hidung Elang tersenyum tipis sambil menyodorkan sepotong daging kering.

Si Anak Lelaki langsung mengambil daging itu, lalu dimakan dengan lahap. Dia hanya bisa bergantung pada dirinya sendiri mulai sekarang. Sejak bergabung dengan si Hidung Elang dia bukan lagi anak ibunya. Bahkan nyawanya bukan lagi miliknya, hidup matinya dipegang oleh sang Pemimpin rombongan.

Dia ingat beberapa bulan sebelum mereka berangkat ke Khawarizm, dia dijemput paksa oleh prajurit Mongol dari ger-nya. Setiap anak yang berumur sepuluh tahun semuanya wajib untuk pelatihan sebagai prajurit. Dia menangis sejadi-jadinya saat dipisahkan dari ibunya. Sang Ibu tak berdaya menahan anak lelakinya saat dijemput paksa.

Di kamp pelatihan dia dilatih bak prajurit dengan intensif walau semua dasar memanah, berkuda, mencari jejak dan berburu sudah diajari oleh ayahnya yang sudah tak terdengar lagi kabarnya sejak berangkat berperang ke Selatan melawan Xi Xia. Tak mudah baginya untuk bertahan. Namun, seakan menjadi takdirnya harus ikut melakukan ekspedisi bersama si Hidung Elang ke Barat karena ada sebuah misi rahasia.

Menjelang sore badai salju berhenti total. Si Hidung Elang keluar dari gua, lalu memandang ke langit. Seekor burung elang terbang berputar-putar di langit, lalu turun menukik ke arah si Hidung Elang. Burung predator itu pun mendarat mulus di lengan si Hidung Elang. Dia melihat sebuah bambu kecil terikat tali, lalu diambilnya secarik kulit yang tersimpan di dalam tabung bambu.

[Perang usai. Al Ad Din menang. Sultan sedang dalam perjalanan menuju Samarkand. Rencana sudah kami persiapkan]

Lembaran kulit berisi pesan itu dikirim oleh seseorang yang memata-matai Khawarizm. Si Hidung Elang mengangguk lalu tersenyum. Semua sesuai rencana.

***

Kota Samarkand mulai tenang. Para penduduk yang mengungsi diperkenankan masuk ke kota, walau tak sedikit dari mereka yang kehilangan sanak saudaranya. Tak sedikit juga rumah-rumah mereka hancur berantakan. Peperangan yang kejam telah menorehkan kepedihan yang akan selalu dikenang. Setelah selama ini dikuasai oleh Qara Khitai, mereka memiliki seorang pemimpin baru, Shah Al Ad Din Muhammad II, penguasa Khawarizm.

Satu persatu para pengungsi digiring masuk ke dalam kota dan diperiksa. Seorang perempuan berkerudung compang-camping, dengan sepatu kulit yang robek ujungnya berjalan bersama seorang gadis kecil bermata biru jernih.

Gadis kecil itu memakai kerudung katun pendek yang diikatkan di bawah dagunya. Gamis sepanjang lututnya kumal, bahkan celananya robek di bagian lutut. Raut mukanya tegang dan terlihat khawatir jika sesuatu menimpa mereka saat masuk ke dalam kota. Dia berbaur bersama para pengungsi dengan wajah-wajah kuyu penuh debu mengantri berdiri mengular bergantian masuk ke kota.

Kelompok pengungsi itu tak sendirian masuk ke kota, seorang lelaki tua bersorban putih dengan tongkat di tangannya mengantar mereka, beserta beberapa prajurit Khawarizm yang ditugaskan mengumpulkan kembali para penduduk Samarkand yang lari mengungsi keluar kota.

Seorang penjaga gerbang kota menatap si Lelaki Tua bersorban, lalu sedikit membungkukkan badan memberi hormat.

"Tuan Syeifiddin. Saya mendengar kabar bahwa Anda sudah dua hari yang lalu datang dari Urgench ke Samarkand untuk membantu para korban perang. Saya sangat senang dan merasa terhormat bisa bertemu dengan Anda," sambut sang Pemimpin prajurit.

Lelaki yang dipanggil Tuan Syeifiddin itu pun tertawa kecil.

"Kami datang untuk membantu. Izinkan kami segera masuk, karena para korban perang sudah menunggu pertolongan" ucap Tuan Syeifiddin sambil memberi tangannya menunjuk ke arah para pengungsi yang ada di belakangnya.

"Baik Tuan. Silakan," jawab sang Pemimpin Prajurit lalu mempersilakan rombongan pengungsi yang datang bersama Tuan Syeifiddin masuk ke dalam kota.

Perempuan kumal berkerudung compang camping berjalan cepat-cepat menuju ke tengah kota bersama gadis kecil bermata biru. Kondisi dalam kota tak separah yang diperkirakan, tapi di pinggiran kota kehancuran tak terelakkan. Kota terlihat lengang karena hampir separuh penduduk mati di medan perang yang tertinggal hanya perempuan, anak-anak dan orang tua.

Prajurit Khawarizm lalu lalang, menata kembali kota dan berpatroli. Si Perempuan merasa khawatir jika terjadi sesuatu dengan diri mereka, mengingat mereka hanya seorang perempuan dan seorang anak kecil. Dia khawatir jika para prajurit-prajurit Khawarizm itu akan berlaku kurang ajar pada mereka.

"Ibu, apa kita akan kembali ke rumah?" tanya si Gadis kecil bermata biru sambil berjalan di samping ibunya.

Tangan mereka tak pernah lepas saling bergandeng tangan.

"Ibu saja yang pulang ke rumah. Kau ikut Tuan Syeifiddin ke tempat penampungan pengungsi sementara waktu," jawab ibunya.

"Tapi Bu ...," ucap si Gadis Kecil tak ingin terpisah dari ibunya.

"Ibu akan baik-baik saja," ucap ibu si Gadis Kecil meyakinkan anaknya.

Wajah si Gadis Kecil terlihat tak rela, lalu berhenti berjalan. Tuan Syeifiddin mendengar percakapan mereka, lalu ikut berhenti. Lelaki itu menatap si Gadis bermata biru yang sedang merajuk dengan tatapan penuh tanya.

"Shafiyya, lebih baik kalian langsung ke Madrasah Al Ilm. Biar nanti muridku yang akan memeriksa rumah kalian," sela Tuan Syeifiddin.

"Baiklah jika begitu Tuan. Terima kasih," ucap ibu si Gadis yang bernama Shafiyya dengan wajah cerah.

Si Gadis Kecil pun tersenyum. Lalu menggandeng tangan ibunya lagi menuju ke Madrasah milik Tuan Barka yang saat ini dialihfungsikan sebagai tempat penampungan korban perang dan pengungsi yang sudah tak memiliki sanak saudara.

"Terima kasih Tuan," bisik si Gadis bermata biru pada Tuan Syeifiddin sambil tersenyum manis. Tuan Syeifiddin membalas dengan senyuman, lalu melanjutkan langkahnya.

Si Gadis kecil teringat pada saat malam hari dia dibangunkan ibunya untuk segera keluar dari kota. Para prajurit Qara Khitai membantu para warga mengungsi keluar dan menuju tempat aman. Selama dua hari mereka tinggal di hutan-hutan menggunakan tenda dari kulit kayu dan selimut wol. Sebagian yang beruntung bisa tinggal dalam gua. Hampir semua pengungsi adalah wanita, anak-anak dan orang tua. Bahkan sebagian dari mereka orang-orang yang sakit dan cacat. Tak terbayangkan betapa menyedihkannya keadaan mereka. Sebagian prajurit yang membantu membuat gubuk-gubuk kayu dan dapur umum. Mereka kewalahan dan kelelahan.

Di saat kritis Tuan Syeifiddin bersama rombongan murid-muridnya datang dengan unta-unta yang penuh muatan. Itulah pertemuan pertama kali dengan Tuan Syeifiddin yang datang dari Urgench untuk membantu para korban perang. Lelaki tua itu langsung mencari kantung-kantung pengungsi di lembah gunung dan memberikan bantuan berupa makanan, obat-obatan dan selimut. Para pengungsi pada awalnya menolak bantuan Tuan Syeifiddin karena lelaki tua itu berasal dari wilayah musuh.

"Untuk apa kami menerima bantuan dari musuh. Lebih baik kami mati daripada menerima bantuan dari kalian," teriak seorang tua pada rombongan Tuan Syeifiddin.

Tombak dan pedang para prajurit sudah terhunus ke arah mereka. Tapi Tuan Syeifiddin tak gentar.

"Kami datang karena ingin menolong. Tak ada niat apa pun di balik bantuan yang kami bawa. Kalian semua adalah saudara saya. Tuan Barka pemilik madrasah Al Ilm masih saudara saya. Jadi, tolong terima uluran tangan kami!" seru Tuan Syeifiddin.

Mendengar nama Tuan Barka disebut, para pengungsi mulai berubah pandangan. Salah seorang dari mereka meminta prajurit penjaga menurunkan senjatanya. Akhirnya rombongan Tuan Syeifiddin pun diterima dengan tangan terbuka.

Udara dingin menggigit menambah penderitaan para pengungsi yang bak anak ayam kehilangan induknya. Dua hari mereka berdiam diri di dalam hutan, di lembah gunung atau di perbukitan batu. Si Gadis Kecil bahkan hampir mati kedinginan dan kelaparan. Satu persatu pengungsi tumbang karena sakit. Tuan Syeifiddin dan murid-muridnya kewalahan menangani orang-orang yang sakit. Shafiyya dan beberapa perempuan pengungsi yang pintar mengobati ikut turun tangan membantu.

Sampai akhirnya kabar kota Samarkand benar-benar jatuh ke tangan musuh dibawa oleh seorang lelaki yang berlarian menuju ke arah mereka sampai jatuh terguling-guling ketika mendaki bukit. Mereka menunggu beberapa hari sampai akhirnya pasukan Khawarizm datang menawan mereka. Pada akhirnya datang kabar sang Sultan mengampuni mereka dan meminta para pengungsi kembali ke kota.