πππ
Suara pukulan di atas ring tinju terdengar menggema di seluruh bangunan. Nampak dua orang remaja yang sudah bersimbah keringat terus menerus mengadu kekuatan. Dan sebenarnya, menepati ucapan salah satu dari mereka saat siang hari.
Saat sedang fokus-fokusnya, suara berat membuat mereka berhenti. "Bukankah kamu punya laporan, Kimberly?"
Dengan nafas tersenggal-senggal, Kimberly menjawab. "Bukannya ini bagian Sheila?" Heran Kimberly. Dia menatap Sheila yang masih sibuk dengan samsak yang ada di hadapannya.
Sheila yang mendengar namanya di panggil, menghentikan kegiatannya dan berjalan mendekati dua orang itu. "Nggak ada yang harus di lapor. Gue belum ketemu sama target," ujarnya
"Lo bodo apa gimana?!" Protes Kimberly. Sheila memandang wajah Kimberly tak paham. "Orang yang pertama kali lo liat di sekolah itu orangnya!"
Sheila terkejut ketika mendengar itu. Bahkan mulutnya sedikit menganga. "Tapi kan nama belakang dia D?!"
Laki-laki yang dari tadi bersama Kimberly dan Sheila menggelangkan kepalanya. "Kayaknya kamu harus belajar lebih giat lagi, Sheila."
"Aku udah terlalu banyak belajar daddy!" Protes Sheila.
"Lo belajar cuman dari internet! Kali-kali nugas lapangan," ujar Kimberly. Sheila tidak mengindahkan perkataan Kimberly. Dia lebih memilih kembali kepada samsak tinjunya.
Daddy mereka hanya menggelengkan melihat tingkah laku 'anak' nya itu. "Kalau begitu, apa rencana kalian selanjutnya?" tanyanya
"Ntah, gue nggak ada ide," jawab enteng Sheila. Berbeda dengan Kimberly yang sudah muncul dengan segala ide gilanya.
"Gue punya ide, tapi pelaku utamanya lo, La!" seru Kimberly.
"Kok gue?! Ide, ide siapa? Yang jalanin siapa?" gerutu Sheila
"Kalau kamu nggak mau, sift kerja kamu daddy tambah!" ancam Daddynya.
Sheila memebelakkan mata tak percaya. Sift kerja sudah seharian, masih mau di tambah. Oh ayolah, Sheila juga manusia yang punya lelah. Jadi, dia memilih mengalah. Untuk sekarang.
"Ya udah, apa ide nya?!" pasrah Sheila.
Kimberly menerbitkan senyuman licik di bibirnya. Dia menyuruh Sheila dan Daddy nya mendekat. "Jadi....."
πππ
"Sheila!"
Seruan itu membuat Sheila dan Kimberly yang hendak menuju kelas terhenti. Mereka berbalik, dan menemukan seorang perempuan yang lumayan tinggi dengan wajah putih berseri, sedang melambaikan tangannya kepada mereka. Dia adalah Karin.
Kimberly dan Sheila saling tatap karena tak paham, kenapa Karin memanggil mereka. Apa dia mau marah? Karena kemarin mereka berdua hampir membuat Karin di hukum.
"Kenapa?" Tanya Kimberly ketika Karin sudah menghampiri.
"Ke kelas bareng yuk!" Ajak Karin dengan wajah berseri.
Sheila memiringkan kepalanya ke arah kanan, dan berkata "Kan kita nggak sekelas,"
Wajah berseri Karin tiba-tiba memudar. "Kalau kalian nggak mau, ya udah! Gue nggak maksa," ujarnya dengan nada kecewa.
"Lah? Kan kita emang nggak sekelas, Rin!" Heran Kimberly.
"Lo manggil gue apa tadi?!" Kaget Karin. Matanya membelak ketika Kimberly mengatakan Rin.
"Kaarin?" Jawab Kimberly ragu-ragu. Dalam pikirannya, dia mencerna semua perkataannya. "Apa gue salah ngomong?" Batinnya.
"Nggak pernah ada yang manggil gue Karin selain Brandon sama..." Karin menggantungkan kalimatnya. Dia menatap intens Sheila dan Kimberly yang kebingungan. Satu pikiran terlintas di kepala Karin. Tapi dia langsung menepis perkiraan gila itu.
"Waktu itu kan mereka kumel kucel. Nggak mungkin Sheila sama Kimberly itu mereka kan?"
"Hello..! Karina!" Panggil Sheila untuk menyadarkan lamunan Karin.
"A-ah, gapapa," balas Karin "Ayo kita jalan," lanjutnya dan menarik tangan Sheila dan Kimberly menuju kelas masing-masing.
Sementara Kimberly dan Sheila sudah mengerutkan kening mereka tak paham. Ada apa dengan Karin? Itu yang ada di benak mereka.
πππ
"Si Karin kenapa sih?" Heran Sheila begitu ia dan Kimberly sampai di kelas. Kimberly mengangkat kedua tangannya. Dia juga tak punya ide apa yang ada di pikiran Karin.
"Tapi kalau di pikir-pikir, dia masih Karin yang sama." Ujar Kimberly dengan senyum kecut.
Sheila juga melakukan hal yang sama seperti Kimberly. "Karin yang pemaksa,"
"Orang emang nggak bisa berubah. Sekali busuk tetep busuk," ujar Kimberly dengan menekan kata busuk. Ia mengalihkan pendangannya menatap Sheila "Bentar lagi masuk, lo jangan lupa rencana gue!" Peringat Kimberly.
"Yayayaya," Sheila membalas ucapan Kimberly dengan malas "Padahal otak gue lebih pinter daripada otak lo!" Gumam Sheila.
Tapi rupanya itu masih terdengar oleh Kimberly. "Apa lo bilang?!"
"Nggak! Nggak ada," elak Sheila. Kimberly menoyor kepala Sheila dengan kasar "Yak!" Protes Sheila. Ia ingin melanjutkan aksinya, tapi guru datang.
Sheila nampak terkejut saat melihat guru yang datang. "Loh? Kok BuLet?" Tanya Sheila dengan suara lantang. Itu cukup membuat seisi kelas tertawa.
"Kamu panggil saya apa tadi?!" Geram Bu Leti.
"BuLet itu panggilan kesayangan bu!" Jawab Sheila. Jangan lupa cengiran bodoh di wajahnya jelas terlihat.
"Sembarangan kamu ya!" Geram Bu Leti lagi. Kenapa dia bisa bertemu dengan murid seajaib Sheila ini?
Sheila hanya terkekeh untuk merespon Bu Leti "Kok ibu yang masuk? Kan sekarang pelajaran Pa Broto," heran Sheila
"Pak Broto nggak masuk, jadi dia nitip tugas ke ibu," ujar BuLeti. "Kerjain tugasnya, kalau nggak akan ibu hukum!" Ancam Bu Leti.
"Yah! Kok mainnya hukum-hukuman sih bu?!" Protes Ando, sang ketua kelas.
"Terserah ibu dong! Ibu percaya, kalau disini nggak akan ada yang bolos!" Ujar Bu Leti sembari menekan kata bolos. Tapi matanya hanya menatap satu orang.
"Waktu ngomong bolos nggak usah ngeliat ke saya deh bu!" Ujar Sheila "Saya jadi terharu loh," lanjutnya, yang mendapat balasan pedas dari Bu Leti.
"Mana ada yang bolos malah bangga kayak kamu?!" Bentak Bu Leti. Tapi Sheila tidak takut dengan bentakan gurunya itu. Dengan tingkah ajaibnya, dia hanya tersenyum tanpa dosa.
Setelah perdebatan Bu Leti dengan murid ajaibnya, ia membagikan kertas yang di beri Pak Broto. Sheila membelak ketika melihat semua pertanyaan simpel matematika itu. Iya, pertanyaannya hanya sedikit, tapi jawabannya pasti sepanjang rel kereta api.
Mood Sheila seketika turun dari semangat menjadi malas. Sheila menenggelamkan kepalanya di atas kedua tangannya yang bersandar di meja.m"Mendingan bolos," gumam Sheila. Dengan suara benar-benar kecil. Ia takut kalau terdengar Bu Leti. Bisa-bisa beneran di hukum. "Dasar BuLet," ledek Sheila lagi dengan suara kecil.
Sheila mengangkat kepalanya untuk melihat anak-anak lain. Semua nya nampak santai-santai saja melihat soal matematika dengan rumus-rumus nya. "Anak pinter mah beda," batinnya. Ia melirik ke sebelahnya. Nampak Kimberly begitu fokus mengerjakan soal tersebut.
"Pssttt! Kimber," panggil Sheila. Sepertinya suara Sheila tidak terdengar saking kecilnya. Atau mungkin, Kimberly memang sengaja tidak mendengarnya. "Woi Kim!" Panggil Sheila lagi.
Sheila merobek kertas dari bukunya dan membentuknya seperti bola. Ia melemparnya ke arah Kimberly. Tapi apa daya, ia terlalu bersemangat. "Siapa yang melempar-lempar kertas?!" Suara kesal Bu Leti terdengar di seluruh kelas.
Yap, kertas itu mendarat tepat di atas kepala Bu Leti yang sedang berpatroli. Sheila menenggelamkan wajahnya di atas meja. Berharap Bu Leti tidak menyadari kalau Sheila pelakunya.
Dalam hati, Kimberly terkikik melihat penderitaan sahabat masa kecilnya itu. "Mampus lo!" Batinnya.
"Sheila! Kamu yang lempar kan?!" Tanya Bu Leti. Dia sudah berada tepat di samping meja Sheila. "Mampus!" Batin Sheila.
Perlahan, Sheila mengangkat kepalanya. Dan yang pertama ia lihat, Bu Leti yang sedang berdecak pinggang di depan Sheila. "Eh! Ada BuLet," ujar Sheila. Dia tersenyum untuk menutupi kegugupannya.
"Saya bilang jangan panggil saya dengan sebutan aneh!" Geram Bu Leti. Hukuman Sheila akan bertambah berat sepertinya. "Kenapa kamu lempar-lempar kertas, hah?!" Tanya Bu Leti
"Ya maaf bu," jawab Sheila dengan nada. Seolah, ia menggampangkan.
"Lari sepuluh keliling di lapangan!" Titah Bu Leti.
"Yahhh..... masa ibu jahat sama murid kesayangan?" Ucap Sheila kecewa.
Bu Leti mendelik mendengar penuturan Sheila "Ngarep kamu!" Ketus Bu Leti. Seisi kelas sontak menertawakan Sheila yang terlalu percaya diri. Sementara wajah Sheila sudah merah menahan malu.
"Mangkanya jangan ke ge-er an!" Ledek Airin, salah satu temen sekelas mereka. Dia termasuk orang paling pintar. Saking pintarnya, ia suka menindas orang yang kepintarannya di bawah rata-rata.
"Sudah-sudah!" Peringat Bu Leti. Seketika seluruh kelas hening, dan kembali fokus pada soal matematika mereka. "Setelah kamu selesai berlari, pergi ke ruang OSIS!" Titah Bu Leti kepada Sheila lagi.
Seketika mata Sheila membelak, "Ngapain bu??" Tanyanya.
"Nanti akan ada hukuman tambahan bagi kamu," jawab Bu Leti santai tanpa memperhatikan wajah protes Sheila.
"Tapi b-" ucapan Sheila terpotong cepat oleh Bu Leti. "Nggak ada tapi-tapi! Ker-ja-kan!" Titah Bu Leti. Dan tanpa babibu, Sheila pergi menuju lapangan dan berlari sepuluh keliling.
πππ
Keringat sudah turun membasahi seluruh wajah cantik Sheila. Dengan nafas tersenggal-senggal, ia mengelap keringatnya. Dan sekarang, Sheila sudah berada di kantin. Ia perlu mengisi tenganya setelah berlari sepuluh keliling di lapangan yang super besar itu.
"Bu, baso satu porsi!" Seru Sheila.
"Siap neng!" Balas Bu Neng, penjual kantin.
"Lahhh.. kan yang namanya Neng, mah ibu! Gimana sih?" Canda Sheila. Bu Neng terkekeh mendengar candaan receh Sheila.
"Siaplah! Bos kan?" Tanya Bu Neng. Sheila mengacungkan dua jempol kepada Bu Neng atas kepekaannya. "Ibu tau aja!"
Sembari memakan bakso, Sheila sesekali melirik jam tangannya. "Gue telat, biarlah! Toh mereka nggak tau, " Batinnya. Ya, Sheila memang sudah terlambat menuju ruang OSIS. Tapi, ia tetap santai. Karena, kamus diri seorang Sheila bab 1 ayat 1 adalah 'makanan lebih utama dari hal lain'.
Setelah makan, Sheila dengan santainya berjalan menuju Ruang OSIS. Ia tidak tahu, bahwa bencana besar akan mendatanginya sekarang. Saat Sheila membuka kenop pintu Ruang OSIS, ia sudah di sambut dengan suara tak mengenakan dari orang paling menyebalkan.
"Lo telat,"