"Seharusnya kamu tahu diri, kamu hanya anak angkat di sana. Anak angkat seorang pembantu." Begitulah kata-kata yang diucapkan oleh Yoga waktu itu.
"Bu, apakah benar Lody anak angkat? Apakah benar juga kalau keluarga kandung Melody itu orang kaya?" tanya Melody dengan menatap manik mata sang bunda lekat-lekat.
Wajah Tinah saat itu yang sudah mulai lega karena sang putri sudah siuman kembali menjadi pucat pasi dan hal itu tidak luput dari pengamatan Melody. Melody bukan anak kecil lagi jadi ia sangat tahu arti sikap dan perubahan mimik wajah sang bunda. Tiba-tiba hatinya terasa teremas dengan sangat kuat, sesak sekali rasanya. Lebih menyakitkan dari rasa ia kehilangan harga dirinya waktu itu.
Tinah mengangguk dan berkata, "Maafkan Ibu, Nak. Tapi benar Melody itu anak angkat Ibu sama Bapak. Tetapi satu hal yang perlu kamu tahu Ibu sama Bapak sayang banget sama Lody." Tinah tersedu saat mengutarakan kebenaran itu. Kebenaran yang ia harap masih bisa ia tunda untuk mengungkapkan pada gadis cantiknya, sang permata hati.
Melody memalingkan wajahnya ke sisi lain, wajahnya penuh kesedihan dan terluka pastinya. Bayangan bahwa ia tidak dinginkan dan tersingkir dari keluarga kandungnya sungguh-sungguh membuat dirinya semakin hancur berkeping-keping. Meskipun tidak bisa menampik bahwa kedua orang tuanya selama ini sangat baik mengurus dirinya. Orang tua yang penuh kesederhanaan tetapi selalu mampu memenuhi segala keinginnannya, Melody sendiri selalu tahu diri siapa dirinya dan orang tuanya ia tidak pernah meminta sesuatu yang berlebihan.
Melody ingat orang tuanya bahkan bisa membelikan ia segala keperluan pendidikannya tidak kalah dengan apa yang dimiliki oleh anak majikan dan teman-teman sekolahnya istimewanya ia bersekolah di sekolah unggulan dengan memakai teknologi yang maju pastinya. Apalagi perlengkapan kuliahnya yang pasti tidaklah murah.
Komputer terbaik, alat gambar terbaik ia tahu itu karena setiap ia pergi berbelanja sang ayah Sapri selalu menemaninya dan ia juga senang ditemani sang ayah supaya orang tuanya tahu hasil jerih payah mereka untuk apa. Saat melody bertanya dari mana uang itu berasal, orang tuanya selalu bilang itu adalah hasil tabungan mereka. Mereka tidak pernah berhutang katanya, padahal Melody tahu pasti penghasilan seorang ART tidak sebanding dengan apa yang orang tuanya keluarkan untuknya. Apalagi ayahnya juga memiliki beberapa petak tanah yang dibeli keduanya saat Melody menginjak bangku kuliah. Alasan keduanya itu adalah bekal mereka pensiun nantinya dan setelah memastikan Melody benar-benar bisa mandiri.
Melody semakin terisak, ia ingin menghapus semua pernyataan sang bunda barusan. Ia tidak ingin ada orang tua lain selain mereka berdua. Mereka terlalu sempurna untuk tergantikan. Ia tidak ingin mengenal siapa keluarga kandungnya, ia yakin dahulu pasti ia seperti anak-anak yatim piatu itu terbuang disuatu tempat antah berantah dan tidak diinginkan.
"Melody nggak mau tahu siapa orang tua kandungmu,Nak?" tanya Tinah dengan lembut seraya mengusap bahu sang anak yang saat ini berbaring memunggunginya, ia sadar sang putri pasti sangat terpukul.
"Nggak mau, Melody nggak sudi punya orang tua selain Bapak sama Ibu," ujar Melody terbata-bata ditengah isakan tangisnya, bahkan suaranya sudah semakin serak dan tenggorokannya terasa sakit seperti ada sesuatu yang mengganjal.
"Tapi mereka sudah di sini,Nak? Mereka sudah kangen banget sama Lody."
Melody seketika membalik badannya dan menatap tajam ke arah sang bunda dengan matanya yang memerah. "Siapa?! Siapa yang mereka yang masih punya muka bertemu dengan Melody setelah seperempat abab umur Melody mereka bahkan tidak pernah menampakan batang hidungnya, huh?!"
Melody kemudian bangkit duduk di ranjangnya saat pintu kamar terbuka dan menampakan Luna beserta sang suami kevlan berdiri menatapnya dengan penuh kerinduan.
"Kami orang tua kandungmu,nak. Kami tidak pernah pergi, Melody sering bertemu dengan kami bukan?" ujar kevlan dengan kelembutan.
Melody melotot menatap Kevlan dengan penuh kemarahan kedua telapak tangannya yang semula terkepal dikedua sisi tubuhnya seketika menjambak rambutnya sendiri seraya berteriak histeris, "TIDAK KALIAN BOHONG!! Melody anak bapak bukan anak tuan Kevlan! Bapak ... Lody mau Bapak!"
Sapri bergegas maju menghampiri sang putri dan memeluknya, menggumamkan kata-kata menenangkan seraya mengusap pungunggnya dengan lembut. Sampai sang putri kembali tak sadarkan diri di dalam pelukannya.
Luna yang menyaksikan betapa terlukanya sang putri hanya bisa menangis dalam pelukan Kevlan suaminya. Ia tak tega menyaksikan keadaan sang putri bungsu. Tetapi apa lacur semua sudah terjadi, kebenaran tak bisa ditunda lagi. Ia sudah tak kuasa memendam semuanya, terlebih ia juga sudah tak muda lagi harus menunggu berapa lama lagi ia bisa mencurahkan kasih sayang untuk sang buah hatinya.
"Emm ... Haus, Lody haus," rintih Melody begitu sadar dengan mengusap-usap lehernya. Matanya bahkan masih setelah tertutup, tetapi kemudian terbuka lebar saat ia merasa seseorang menaikkan sisi ranjangnya bagian atas sehingga posisinya setengah duduk di ranjang dan mengulurkan gelas ke arahnya seraya berkata dengan lembut, "Buka matamu sayang, minum dulu ya?"
Suara sang kekasih yang selalu memenuhi mimpi dan kerinduan Melody. Sejenak Melody ingin melupakan keadaan dirinya yang sudah tidak pantas untuk sang kekasih. Ya, begitu. Kali ini saja Melody ingin egois dan menerima segala bentuk cinta dari Adyatama Alsaki sang pujaan hati. Melody membuka matanya dan memberikan senyum tipis yang rasanya sudah berabad lamanya tak dilihat oleh Adyatama.
Melody mengulurkan kedua tangannya menerima gelas pemberian Adyatama dengan rona merah menjalari kedua pipinya. Apalagi Adyatama tersenyum dengan tampan dan tulusnya kepadanya. Kekasihnya yang bukan lagi pemuda ingusan tumbuh dengan gagah perkasa dan jelas dengan postur tubuh yang benar-benar terjaga. Tampan dan tampak berwibawa dengan pembawaannya yang sedikit pendiam bagi orang yang tidak terlalu dekat dengannya dan sangat remah kepada siapapun yang mengenalnya.
Adyatama memperhatikan Melody dalam diam, ia merasa lega si gadis siuman dan tidak menolak kehadiran dirinya. Jantungnya yang berdetak tidak beraturan karena penuh kecemasan berangsur berkurang walaupun masih menyisakan keresahan. Ia sendiri menunggui Melody saat ini karena kedua orang tuanya dan keluarga Perkasa beserta dengan Sapri sedang mencari Yoga dan mengusut motifasinya merusak Melody.
Adyatama dengan sadar tahu apa yang menimpa Melody tetapi tak ada setitik debu juga ia merasa jijik terhadap sang gadis. Terluka jelas ia merasakan itu, bagaimana sang kekasih hati telah ternodai oleh seorang pria bejat. Tetapi satu yang pasti dirinya tidak akan melepaskan Melody, ia yakin Melody juga tidak akan rela melepaskan dirinya untuk wanita lain seperti racauan wanita itu.
Adyatama mengulurkan tangannya menggapai gelas kosong yang digenggam oleh Melody. "Mas panggil Dokter ya?" bujuk Adyatama.
"Buat apa Mas? Melody nggak sakit kok."
"Melody memang nggak sakit, tapi Melody sedang memerlukan perawatan intensif."
"Untuk apa Mas? Apa yang sudah terjadi nggak bisa kembali lagi. Sekalipun Melody harus operasi selaput dara, semuanya sudah terjadi," terang Melody.
"Siapa yang membahas tentang selaput dara Sayang? Cinta Mas terhadap Melody tidak ada hubungannya dengan hal itu," ujar Adyatama dengan menatap delam tepat pada manik mata sang kekasih. Ia merasa tersinggung dengan pernyataan Melody tetapi ia menekannya agar sang kekasih tidak mengetahuinya.
"Tapi Melody sudah menjanjikan hal itu sejak dahulu Mas. Menjaga kehormatan Melody untuk Mas Tama dan hal itu saat ini tidak bisa Melody lakukan," terang Melody dengan keras kepala.
Adyatama menggeram dengan memalingkan wajah kemudian ia kembali menatap Melody dengan hangat, "Melody, tidak semua hal yang kita inginkan dan harapkan akan sesuai dengan kenyataan, kita harus bisa berlapang dada menerima semua yang sudah ditakdirkan. Bersyukurlah walaupun kepahitan sudah terjadi di depan mata, setidaknya kita masih hidup untuk menebus dengan hidup yang lebih baik."