"Mas Tama ngomong sesuatu sama Melody tadi?" Melody tadi seperti mendengarkan Adyatama mengatakan sesuatu saat ia tidur. Makanya ia ingin memastikan kembali.
"Hmmm ... Iya, Mas akan memastikan siapapun yang jahat pada kamu dan keluargamu akan mendapatkan hukuman yang setimpal."
"Maksud Mas apa? Bukannya cuma cowok jahat itu saja?" tanya Melody seraya menelan ludahnya kasar. Mengucapkan dan mengingat seorang Yoga masih sangat sulit dan menyakitkan untuk dirinya.
"Tidak hanya dia Sayang. Masalah yang menimpa dirimu lebih dari itu."
"Maksudnya apa Mas? Lody betul-betul tidak mengerti?" Melody sangat penasaran dengan pernyataan Adyatama sampai-sampai ia bangkit dan duduk bersandar pada kepala ranjang rumah sakit.
"Nanti kamu akan tahu Sayang. Saat ini biar Ayah dan Om Edgar yang mengurus bersama dengan Papa kandungmu juga tentunya."
"Papa kandung?" Melody menatap lekat-lekat wajah Adyatama mencari candaan yang mungkin muncul di raut wajah sang kekasih hati. Tetapi jelas Melody tidak menemukan hal itu. Jadi semuanya benar keluarga kandungnya saat ini bersama dengan orang tua yang selama ini ia ketahui.
"Mas udah kenal mereka?"
"Kenal dan Mas juga baru tahu kemarin sebelum menemuimu di sini."
Ponsel Yoga berdering, rupanya Bardi yang saat ini menghubunginya. Yoga mengernyitkan dahinya tak biasanya teman minumnya itu menghubunginya sesiang ini.
"Halo, Bardi ada apa? Aku nggak punya banyak waktu meladeni kamu. Keluarga Melody akan segera datang," ujar Yoga tanpa jeda.
"Justru itu aku mau sampaikan sama kamu. Tuh banyak mobil lho ke rumahmu. Ada mobil keluarga Alsaki juga."
"Ah ... Masa?!" Yoga kaget dengan berita dari Bardi. Ia teringat dengan ucapan Hendi di telepon. Nyali Yoga seketika menguap tidak berbekas.
"Emm.. Bar, kamu bisa bantu aku nggak?"
"Tentu dong, kamu mau kabur 'kan? Nih aku dah siap di seberang tembok samping. Cepetan loncat," terang Bardi seraya terkekeh. Bardi tahu cepat atau lambat Yoga pasti akan meminta bantuannya dan ia jelas juga bisa memanfaatkan teman kayanya tersebut.
"Makasih teman tunggu ya." Setelah berkata demikian Yoga mengintip ke arah halaman depan. Masih dalam jangkauan pengelihatannya tampak 3 mobil beriringan menuju kediaman orang tuanya dan Yoga bergegas melesat dari sisi jendela yang lain tetapi sebelumnya ia sudah menyambar tas ranselnya yang memang sudah ia persiapkan jika keadaan dirasa tidak kondusif dan dengan cekatan melalui dahan pohon mangga yang kebetulan berada di samping kamarnya, ia melompat menuju tembok samping dan melarikan diri, dibantu oleh Bardi. Kebetulan Sampit rumahnya terdapat jalan kecil menuju tepi desa. Jadi jelas dengan mudah ia bisa melarikan diri.
***
Deru tiga mobil memasuki pekarangan rumah Harsa Tanwira. Harsa sendiri sudah mempersiapkan dirinya dengan menyambut mereka tepat di teras rumahnya. Juleha berdiri dengan canggung dan raut wajah cemas menatap para pria gagah perkasa yang menjadi tamunya saat ini. Sebagai seorang ibu ia tahu benar anaknya benar-benar harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Tetapi ia juga tahu bahwa bukan pernikahan yang akan menyambut sang putra tetapi jeruji penjara. Tidak mungkin mereka mau menerima Yoga menjadi menantu mereka, firasat Juleha sangat yakin dengan hal itu.
"Apa kabar Tuan Kevlan, Tuan Davka dan Pak Sapri?" sapa Harsa dengan tersenyum ramah yang dijawab dengan ramah juga oleh ketiga pria setengah baya itu.
Harsa melirik sekilas pada pria muda tampan yang wajah datar tanpa ekspresi yang sedari tadi tampak memindai halaman rumahnya itu. Harsa tidak mengenali, tetapi sepertinya pemuda itu seumuran dengan putranya.
"Perkenalkan anak saya Kalvin, Pak. Dia dulu teman sekolah Yoga, anak Bapak. Sekaligus juga kakak dari Melody." Kevlan memperkenalkan sang putra.
Harsa terhenyak dan menatap lekat-lekat pada pemuda yang menjabat tangannya yang mendingin, tanpa perubahan ekspresi yang berarti.
Kalvin sendiri kemudian mundur dan memeluk bahu Sapri. Ia tahu, Sapri sedari tadi tampak cemas untuk berhadapan dengan Harsa. Pandangan pria yang sudah merawat adiknya seperti anaknya sendiri itu tampak gusar, bermacam emosi berkecamuk dan Kalvin tahu itu.
"Mas Kalvin, Bapak nggak kuat untuk bicara soal Melody ini. Gimana Mas?" bisik Sapri dengan matanya yang berkaca-kaca, bahu yang sedari tadi dipeluk oleh Kalvin bergetar hebat. Sesak dadanya membayangkan akan bertatap muka dengan pria kejam yang sudah menghancurkan anak gadis kesayangannya.
Kalvin meremas bahu Sapri dengan lembut, "Bapak tenang saja, biar Papa dan Om Davka yang selesaikan semuanya," bujuk Kalvin menenangkan.
"Mari silahkan masuk semuanya, kita berbincang di dalam," ajak Harsa yang kemudian berdiri menyamping memberikan jalan untuk para tamunya masuk ke ruang tamu.
Semuanya sudah berkumpul di ruang tamu rumah Harsa yang luas karena memang ia sering kali menerima tamu dalam jumlah yang banyak.
"Saya tidak ingin mengulur-ulur waktu lagi Pak Harsa. Saya mohon segera panggilkan anak Bapak," ujar Kevlan tanpa basa-basi.
Juleha yang tadi duduk di samping Harsa buru-buru bangkit setelah mendapat kode dari sang suami dan bergegas menuju kamar anaknya. Tetapi betapa terkejutnya ia saat mendapati kamar anaknya kosong dengan jendela samping yang terbuka lebar.
"Aduh ... Anak ini pasti kabur!" Juleha mengusap wajahnya dengan kasar, ia takut sekali jika anaknya akan menjadi buronan setelah ini, tetapi apa yang bisa ia perbuat sekarang? Jelas tidak ada.
Juleha membalikkan badan dan berdiri di luar pintu anaknya, seraya memanggil sang suami dengan kekalutan hatinya. "Pak! Yoga kabur Pak, gimana ini Pak?!"
Semua orang yang berada dalam ruang tamu seketika berdiri dan menatap Juleha yang saat ini sudah berdiri di atas puncak tangga dengan berpegangan pada pinggir pagar.
Harsa tampak pucat pasi tak habis pikir dengan ulah anaknya yang berubah menjadi sepengecut ini. "Maaf Bapak-bapak saya priksa dulu ya."
"Ya, silahkan Pak," ujar Davka.
Davka berserta yang lainnya saling bertukar pandang dan menggelengkan kepalanya. Semoga saja Yoga tidak menemui Hendi. Jika sampai Yoga sudah terlebih dulu ke sana. Davka dan yang lainnya tidak bisa mengorek informasi lebih dari pemuda tersebut dan pada akhirnya Yoga akan habis di tangan Hendi.
***
Tinah, Almira dan juga Luna bergegas menyusuri lorong rumah sakit untuk bertemu dengan Melody. Ketiganya tampak berjalan dengan tergesa-gesa dengan berbagai pemikiran mereka masing-masing. Ada rasa haru, penasaran dan juga sungkan yang dirasakan oleh Tinah dan Luna.
Luna tampak gugup dan sekaligus antusias untuk bertemu dengan putrinya kembali. Putri yang selama ini hanya ia berani lihat dari jauh tanpa berani menyapa.
Tetapi ketiganya langsung menghentikan langkahnya begitu melihat seorang pria asing dengan tongkat di tangan kanannya duduk di bangku tunggu rumah sakit persis di luar kamar Melody. Pria tua tersebut jelas tidak sendirian ada beberapa pria kekar bersama dengannya.
Almira mendekat dengan senyum lembutnya yang tersungging, "Paman Greg, apa kabar?" sapanya.
Greg Alsaki menyambut Almira dengan pelukan hangatnya. "Menantuku sayang, bagaimana kabarmu? Paman jelas sehat dan masih kuat."
"Al, sehat tentu saja." Dalam hati Almira bertanya-tanya ada apa gerangan paman suaminya yang tinggal di Meksiko bisa berada di sini.
"Paman langsung datang ke sini karena ada yang mengincar cucuku," ujar Greg seolah-olah bisa membaca isi hati Almira.
"Cucu?" gumam ketiga wanita itu serempak.