Yoga berjalan dengan langkah lebar dan terburu-buru menuju gazebo yang terbuat dari kayu yang tepat berada di samping pohon jambu darsono milik sang ayah di kebun belakang rumahmya. Ponselnya berdering nyaring sedari tadi. Ia tadi sengaja meninggalkan sebentar di gazebo saat dirinya masuk ke dapur untuk membuat sepiring mie goring instan dan es teh manis. Ia segera meletakkan piring dan gelas esnya dan menerima panggilan tersebut.
"Lama sekali, dari mana saja kamu?!" herdik sang penelepon tanpa basa-basa.
"Aduh ... aduh ... Om Hendi yang terhormat kenapa ngambek gitu sih? Seperti anak cewek saja."
"Jangan kurang ajar kamu!" bentak Hendi seraya mendengkus kasar. Suara tarikan nafas menahan amarahnya terdengar jelas di gendang telinga Yoga.
Yoga menelan salivanya kasar, pria muda itu menjadi gusar. Sudah pasti ada sesuatu terjadi yang di luar dugaan mereka. "Apa yang terjadi?" tanya Yoga akhirnya.
"Apa yang terjadi? Aku yang harusnya bertanya apa yang sudah kamu lakukan anak bodoh. Aku menyuruhmu untuk membunuhnya, tidak hanya menghancurkan hidupnya. Sekarang sang kesatria sudah datang! Apakah kau bisa menjamin si gadis akan tetap terpuruk?"
"Aku sudah memperkosanya dan sebentar lagi dirinya akan segera menjadi milikku."
"Tidak bisa semudah itu, Adyatama Alsaki pasti tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Kau tahu Tama dan Melody sudah menjalin kasih sejak usia belia."
"Aku tahu Om dan aku jelas tidak peduli. Aku juga mencintai Melody jauh lebih lama dari itu. Aku mencintai gadis itu sejak dirinya masih sangat kecil."
"Simpan saja cerita cintamu itu aku tidak peduli, karena setahuku kamu lebih mencintai aset yang aku berikan kepadamu sebagai upah daripada kehormatan wanita yang kamu cintai itu."
"Kenapa tidak, jika aku bisa mendapatkan keduanya iya bukan? Kenapa tidak sekalian sang kesatria dilenyapkan? Toh dia masih bocah ingusan."
"Jangan ngawur!Kau tidak tahu siapa bocah itu. Bahkan pimpinan kita tidak berani berurusan dengan keluarga besarnya."
Yoga menegakkan duduknya dan mulai menyimak dengan baik apa yang akan dituturkan oleh Hendi, ia memiliki firasat bahkan masalah ini bisa menjadi lebih besar dari yang ia duga. Tetapi apa yang saat ini dipikirkannya akhirnya ia utarakan juga daripada menjadi penasaran.
"Bukannya Tuan Surya Deoni sudah meninggal?" tanya Yoga dengan kegusaran mulai melanda dirinya.
Hendi terkekeh di ujung sana, "Kau pikir Surya adalah pemimpin tertinggi? Surya itu hanyalah ketua cabang kecil saja. Sang pemimpin tertinggi bahkan tidak berdomisili di negara ini, bodoh!"
Yoga mulai berpikir cepat, sekaligus sangat penasaran. "Siapa sebenarnya Adyatama Alsaki Om?" tanyanya.
"Kau akan mengetahuinya nanti, jika waktunya sudah tepat. Aku tahu jika Tama sedang berada di kampungmu sekarang. Lebih baik kau tunda dulu niatmu untuk menemui Melody, jangan sampai dirimu terlihat di depan mereka."
Yoga menganggukan kepalanya seolah-olah berhadapan langsung dengan Hendi.
"Kau dengar yang aku katakana anak muda?!" tanya Hendi penuh penekanan.
"Ah ... iya Om, saya mengerti," jawab Yoga menyakinkan Handi. Setelah menutup sambungan telepon tersebut. Yoga kembali duduk dengan santai dan menghabiskan makanan dan minumannya.
Ia tidak menyadari ada sesosok yang menguping semua pembicaraannya di balik pohon durian yang tak jauh jaraknya dari tempatnya berada. Besarnya lingkar pohon tersebut sehingga bisa menyembunyikan dengan baik sosok tersebut. Sosok tersebut memandang ke arah Yoga dengan raut wajah kecewanya. Ia tidak menyangka jika putranya ini bisa berbuat sekeji itu. Ternyata alasan putranya yang telah diungkapkan kepadanya itu bohong belaka. Masih ada maksud tersembunyi lainnya yang di sembunyikan anaknya tersebut.
Ya, Harsa. Ayah Yoga tepatnya yang telah menguping semuanya. Ia mencatat dalam hati nama orang yang sempat di sebut oleh anaknya itu. semoga saja ia bisa mencari tahu tentang sosok tersebut. Ia tidak menyangka akan mendapatkan masalah sepelik ini. Ia rasanya menyesal dulu pernah mengirimkan sang putra untuk bersekolah di kota besar. Harsa merasa kecolongan karena ia tidak bisa dengan optimal dahulu untuk mengawasi pergaulan sang putra.
Ia sendiri merasa beruntung karena sang putra tidak pernah mengkonsumsi narkoba, tetapi sejak lulus kuliah putranya itu berubah menjadi seorang anak pemalas yang dilakukannya hanya nongkrong dan mabuk-mabukan kalau tidak mengurung dirinya sepanjang hari di dalam kamar menghabiskan waktu di depan komputer. Entah apa yang anak itu perbuat, tetapi setahu Harsa anaknya memperoleh penghasilan dari apa yang anaknya lakukan tersebut.
***
Adyatama dan Melody saling mencuri pandang, mereka saat ini duduk berhadapan di meja makan. Ya, mereka semua sedang makan siang sebelum melanjutkan perbincangan tentang Melody kedepannya.
Luna dan Kevlan merasa gugup untuk memulai bicara kepada Melody. Melihat keadaan Melody saat ini, mereka merasa belum tega. Mereka akhirnya mengalah untuk menunda hari ini, memberitahukan pada gadis itu siapa mereka sebenarnya. Mereka berjanji akan membantu Adyatama dan Melody untuk tetap bersama bagaimanapun caranya dan yang terpenting sekarang menyembuhkan luka batin Melody terlebih dahulu.
Setelah makan bersama berakhir, Melody pamit untuk mengambil sesuatu di dalam kamarnya. Ia merasa lebih baik memberikan oleh-olehnya untuk Adyatama sekarang. Ia merasa tidak sanggup untuk menatap wajah pria tersebut lebih lama lagi. Melody takut semakin lama ia bertemu dengan Adyatama ia akan menjadi egois dan ingin memiliki Adyatama sedangkan ia adalah wanita yang kotor. Ia sudah mengingkari janjinya untuk menjaga dirinya bagi Adyatama. Sekali lagi Adyatama berhak mendapatkan pendamping yang sempurna.
♥
Tangan Melody yang terulur meraih kemeja batik yang sudah ia khususkan untuk Adyatama dengan bergetar hebat. Melihat pakaian itu saja membuat ingatannya kembali kepada saat ia mengalami pelecehan itu. Adegan demi adegan berkelebat dalam benaknya. Akhirnya ia bersimpuh seraya medekap pakaian itu di depan dadanya dengan tersedu-sedu. Semakin lama isak tangisnya terdengar nyaring.
Adyatama yang gelisah karena Melody tak kunjung ke luar dari kamar begitu mendengar isakan sang kekasih segera beranjak dari duduknya dan tanpa permisi ia segera membuka pintu kamar Melody dan merengkuh sang kekasih yang sudah terbaring meringkuk di lantai seperti janin.
"Sayang ada apa?" tanya Adyatama dengan penuh kekhawatiran. Hatinya seperti terhujam pisau mendapati kesakitan yang di derita sang kekasih seolah dirinya ikut merasakan nyerinya.
"Aku kotor Mas ... Aku kotor," rintih Melody dalam pelukan Adyatama yang saat ini sudah menarik tubuhnya dengan duduk dipangkuan Adyatma yang melantai bersamanya.
"Tidak Sayang, Melodynya Mas Tama nggak kotor. I love You, Baby," bisik Adyatama seraya mengecup pipi basah Melody.
Kasih sayang yang ditunjukkan Adyatama malah semakin membuat melody histeris dan akhirnya sang gadis tak sadarkan diri di dalam pelukannya.
Saat ini Adyatama dengan setia duduk di kursi tepat di sudut kamar yang ditempati oleh Melody sejak dua jam yang lalu. Melody histeris saat tadi sempat tersadar dan keluarga terpaksa membawanya ke rumah sakit jiwa untuk penanganan lebih lanjut dan saat ini sang gadis tidur dengan damai setelah mendapatkan obat penenang.
Melody memang sengaja di bawa ke rumah sakit Jiwa bukan karena keluarga menganggap dirinya benar-benar gila, tetapi itu semata mereka lakukan agar depresi yang dialami gadis itu tidak semakin parah karena lambatnya penanganan akan jiwanya.
Tadi saat masih di rumah, tiba-tiba Melody terbangun dan menanyakan kepada Tinah akan ucapan Yoga yang masih diingatnya. Adyatama ada di kamar itu menemani Sapri dan Tinah, ia tidak ingin melewatkan segala sesuatu tentang sang kekasih lagi