Adyatama yang merasa diperhatikan dari balik pintu itu kemudian bangkit berdiri dan bergegas mendekati pintu kamar Melody. Tetapi dengan cepat pula Melody menutup pintu kamarnya kembali dan menguncinya.
"Mas Tama, jangan lihat Lody. Lody udah kotor Mas. Jangan lihat ya?! Nanti Mas sedih," ujar Melody sarat dengan kesedihan. Melody berkata demikian dengan mengandarkan punggungnya di balik pintu, airmatanya berderai kerinduan dan kesedihannya berbaur menjadi satu. Rasa bersalah tidak bisa memepertahankan harga dirinya membuncah kepermukaan menghalangi rasa rindunya untuk menghambur dalam pelukan sang pemilik hatinya.
Adyatama sendiri juga ikut terisak dengan keningnnya yang menempel pada daun pintu. Ia dengan tubuh kekarnya tentu saja bisa mendobrak daun pintu itu dengan mudah tetapi ia masih menjunjung adab kesopanan terlebih mengingat ia berada di rumah orang lain dan tentu saja ia tidak ingin membuat kekasihnya menjadi ketakutan padanya.
"Lody, buat Mas kamu nggak kotor Sayang. Tetapi perbuatan lelaki itu yang kotor dan tak berprikemanusiaan. Tolong buka pintunya ya?"
"Nggak Mas, Lody udah nggak pantas buat Mas. Mas sama cewek bule itu aja. Cewek bule yang suka dengan Mas itu," jawab Melody dengan suaranya yang semakin terisak kencang.
Melody teringat dengan wanita bule yang dulu pernah Video Call dengan Adyatama dan kebetulan Melody yang menerima teleponnya itu. Gadis bule itu mengaku mencintai Adyatama kepada Melody dan wanita itu juga berujar jika dirinya lebih pantas bersanding dengan Adyatama yang pintar. Sakit dan cemburu rasa hati Melody mengingat hal itu. Tetapi sepertinya untuk saat ini itu yang terbaik bisa Melody lakukan untuk Adyatama.
"Wanita mana yang kamu maksud Sayang?" jawab Adyatama dengan dahinya yang mengkerut kebingungan. Ia sungguh tak mengerti dengan jalan pikiran Melody saat ini. Apakah gadis cantik itu lupa dengan janjinya untuk menunggu Adyatama kembali dan mereka akan bersatu selamanya?
Yono yang sejak tadi menemani Melody di dalam kamar gadis itu, memandang sepupunya dengan rasa iba yang tidak ia tutup-tutupi lagi. Ia tahu pasti Melody pasti akan merasa kesal karena pandangannya itu. Sengaja ia menemani Melody karena ia khawatir gadis itu bisa nekat pergi jika mengetahui akan adanya banyak orang yang datang saat ini. Dan benar saja tak butuh waktu lama gadis itupun menggerutu, "Tolong jangan kasihani Lody, Mas."
"Kamu tidak hanya tampak kasihan tapi menyedihkan," ujar Yono dengan lugas.
Melody seolah melupakan kesedihan dan airmata yang berderai terganti dengan delikan kesal manik matanya kepada Yono. Seraya berkacak pinggang denga kepalanya sedikit miring ke kanan ia pun memprotes Yono, "Kok gitu?"
"Ya gitu, kamu bego. Orang sebaik Tama dianggurin. Emang kamu rela cewek bule peluk-peluk Tama?"
Melody menelan salivanya kasar menjernihkan tenggorokannya yang tiba-tiba kering saat mencerna setiap kata yang Yono utarakan. Ia sendiri bingung dengan apa yang ia rasakan, lebih tepatnya apa yang batinnya rasakan. Rasa mengasihani diri dan menyalahkan saling berhimpitan berlomba siapa yang lebih unggul. Ia sendiri berusaha agar tidak mengalami trauma tetapi untuk melangkahkan kaki keluar dari kamar ini, ia merasa berada dalam lautan pandangan mata iba dan pastinya menyalahkan serta yang paling buruk adalah menganggap dirinya adalah wanita menjijikkan, korban pemerkosaan. Pemikiran gila ini yang bercokol dan menghantui pikirannya.
Melody mendengkus, " Tidak, Mas Tama berhak mendapatkan yang lebih baik dari Melody." Melody merasa keputusannya untuk Adyatama sekali lagi ini sudah paling tepat. Ia tidak ingin Adyatama mendapatkan 'sisa' dari Yoga, yaitu dirinya. Tanpa ingin membicarakan hal itu dengan Adyatama terlebih dahulu.
"Ya sudah jika kamu tidak ingin menyesal nantinya, sekarang keluar. Banyak orang yang menunggu keputusanmu itu," ujar Yono yang kemudian bangkit dari duduknya di tepi ranjang Melody dan keluar dari bilik kamar.
Melody duduk terhenyak pada tempat yang ditinggalkan oleh Yono tadi. Ia merasa ingin menjadi pribadi yang pengecut, lari dari semua orang yang menunggunya di luar kamarnya ini. Terlebih pergi sejauh mungkin dari iblis yang sudah menghancurkan masa depannya. Sebagai anak pun ia sudah merasa tak punya muka untuk berhadapan dengan kedua orang tua polosnya. Bayangan wajah ayu sang bunda Tinah seolah menari-nari di depan matanya saat ini. Ia tahu bagaimana wanita paruh baya itu sangat mencintai dirinya bahkan saat ia kelelahan saja sang bunda rela menghapus istirahat malamnya demi memijat tubuh lelahnya. Sekarang pasti wanita itu juga merasa sedih akan apa yang menimpanya. Apa yang harus dilakukan oleh Melody?
Tetapi ada hal yang lain juga yang sangat mengusiknya saat ini adalah keberadaan dua sosok lainnya yang ia tebak adalah orang tua Kelvin sang kakak kelas. Apa yang dilakukan mereka di sini tepatnya? Melody merasakan sesuatu yang berbeda saat memandang keduanya sekilas tadi. Melody berusaha menelaah semuanya, ia yakin belum pernah merasakan dadanya berdesir penuh kerinduan memandang kedua orang itu. Bahkan saat ia hampir dua bulan KKN dahulu dan tidak bertemu dengan orang tuanya Tinah dan Sapri, rasa rindu itu berbeda.
Ia tahu juga, ia merasa sayang kepada Kelvin sedari dulu entah karena perhatian yang pemuda itu berikan dahulu atau ada sebab lain. Tetapi jelas berbeda dengan rasa sukanya kepada Adyatama. Ia mencintai Adyatama sebagai seorang pria sedangkan dengan kelvin ia merasa mencintai pemuda itu karena merindukan sosok kakak yang tak ia punyai. Berbeda juga dengan perhatian dari Yono, hanya Yono satu-satunya saudara laki-laki yang paling dekat dengan Melody. Sumber tempatnya mencurahkan isi hati, pria yang paling tahu rahasia terdalamnya.
Melody menoleh menatap ke arah pintu kamarnya yang tertutup rapat dan bersamaan dengan suara halus yang ia rindukan membujuknya untuk keluar, "Melody Sayang, beneran nggak kangen sama Mas. Nggak mau peluk Mas gitu?"
Airmata melody kembali berderai. Melody kangen Mas, kangen ... banget malah. Tapi Melody udah nggak pantes lagi.
"Cah Ayu, ibu kangen Nduk. Sini yuk keluar ibu pingin peluk Melody." Kali ini suara Tinah membujuknya dengan lembut dan tulus. Tinah jelas merindukan putrinya itu, gadis cantik yang sudah ia rawat sedari bayi merah.
Hati Melody luluh seketika, ia yang merasa kotor tak baik juga semakin memupuk dosa dengan mengabaikan sang ibu yang sudah melahirkan dan membesarkan dirinya dengan penuh cinta kasih serta kesabaran. Ia masuk ke bilik kamar mandi memandang pantulan wajahnya yang berantakan dengan wajah memerah, bibir pucat dengan hidung dan telinganya yang merah serta kedua matanya yang tampak bengkak. Apakah pantas menemui para tamu dengan keadaan yang seperti itu?
Melody yang belum menutup pintu kamar mandi kemudian sedikit berseru, "Sebentar Bu, Lody mandi dulu ya. Lody bau asem." Melody bergegas membersihkan dirinya dari ujung rambut sampai ujung kakinya.