Walau bagaimanapun Kevlan sangat bersyukur jika selama ini ternyata anaknya tinggal bersama dengan keluarga Alsaki. Kita tidak bisa menolak suratan takdir bukan? Apa yang menimpa Melody tentu saja tidak mereka inginkan terjadi. Yang terpenting saat ini Melody tidak melakukan sesuatu yang membahayakan nyawanya.
Melody adalah kekasih anak sulung Davka, kevlan tahu siapa itu Adyatama, ia beberapa kali bertemu dengan pria muda itu. Pria mandiri dan pekerja keras, lahir dalam keluarga kaya raya tidak membuat bocah itu manja. Buktinya setiap ia libur sekolah ia selalu meluangkan waktu membantu sang ayah mengurus perusahaan bersama dengan saudara perempuannya yang saat ini juga masih menempuh pendidikan di luar negeri.
Kesedihan Sapri tentu saja berlipat ganda pasalnya memang Melody bukan anak kandungnya tetapi adalah anak titipan dari sang majikan Kevlan karena dahulu Melody menjadi incaran para musuh usaha Kevlan dan para partner bisnisnya. Demi Tuhan, Sapri mencintai Melody sudah seperti anak kandungnya sendiri, terlebih ia tidak bisa memberikan keturunan kepada sang istri. Dengan mendapatkan mandat untuk mengurusi Melody tentu saja menjadi pelipur lara untuk dirinya dan juga sang istri. Curahan kasih sayang mereka seratus persen hanya untuk Melody.
Melody itu bukannya tidak berpendidikan tinggi, anaknya sudah menyelesaikan pendidikan tingginya dalam konsultan design grafis tetapi gadis itu memilih bekerja secara online dari pada ikut bekerja dengan orang lain. Toh bagi sang putri yang tahu nantinya dirinya akan menjadi nyonya Adyatama Alsaki mengurusi sang suami dan keluarga kecilnya nanti adalah tugas yang lebih penting untuknya dari pada karir gemilang di kantor bonafit. Semua bisa Melody lakukan nanti dengan membagi waktu mengurus keluarga kecilnya.
♥
"Bapak, gimana sekarang? Ayo kita lamar Melody untukku," rengek Yoga.
Juragan Harsa sang ayah menggebrak meja di depannya sehingga gelas berisi kopi miliknya meluncur jatuh membentur lantai dan pecah. Dengan mata merah melotot marah menatap anak laki-laki semata wayangnya itu.
"Dasar bocah dungu! Kau sadar tidak dengan apa yang lakukan hah!"
"Tau dong Pak, Yoga itu cinta dengan Melody. Makanya ayo lamar Melody," ujar Yoga dengan santai, seolah-olah apa yang dia lakukan tidak bersalah sama sekali.
"Bagaimana jika keluarga asli Melody menuntutmu? Apa kamu sudah pikirkan sejauh itu sebelum memperkosanya?!"
"Lha gimana mau mikir, waktu Yoga lihat Melody aja udah pingin aja bawaannya." Yoga masih dengan santai membalas ucapan sang ayah tanpa rasa takut sedikitpun.
"Bocah sinting kamu!" Kemarahan dan bentakan sang ayah tidak berpengaruh apapun untuk Yoga, anak lelakinya sudah berubah dan Harsa akan mencari tahu penyebabnya.
"Anak Bapak lho ini." Yoga terkekeh menimpali.
Sedangkan Harsa menggelengkan kepalanya tidak habis pikir dengan jalan pikiran sang putra ini. Ia sangat takut jika nantinya keluarga Melody murka dan menghancurkan seluruh usahanya selama ini. Keluarga asli Melody bukan orang sembarangan, karena Harsa tahu dirinya termasuk salah satu saksi saat orang tua kandung Melody menitipkan gadis cantik itu kepada Sapri. Ya, Sapri adalah sahabatnya dahulu.
***
"Yono, kamu sudah suapi Adekmu?" tanya Jinah menemui ssang putra di ruang makan.
Yono berpaling menatap sang bunda, "Ini baru mau Yono suapi Bu," jawab Yono.
"Sekalian bilang Melody ya. Si Mas udah pulang kangen sama Lody. Pingin ketemu, siapa tahu dengan begitu Adekmu bisa kembali ceria." Harapan dan doa Jinah ia sematkan dalam setiap perkataannya. Ia berharap keponakannya bisa kembali ceria dan semangat untuk melanjutkan hidup.
"Iya, sekarang Yono ke kamar Melody dulu ya."
Tak berselang lama sejak Yono masuk ke dalam kamar yang di tempati Melody. Jinah dan anggota keluarga yang lain dikejutkan oleh teriakan Melody yang sungguh menyayat hati siapa pun yang mendengarnya.
"TIDAK ... TIDAK! MELODY UDAH KOTOR, MAS TAMA NGGAK BOLEH LIHAT MELODY. MELODY NGGAK PANTAS LAGI BUAT MAS TAMA. MELODY UDAH KOTOR, JIJIK ... JIJIK! MELODY JIJIK!"
Prank! Bunyi piring yang direbut Melody dari tangan Yono dan ia lemparkan membentur tembok samping pintu kamarnya.
Yono memeluk sang adik sepupu dan berusaha menenangkannya.
Melody berbaring terlentang di atas lantai memandang langit-langit kamarnya. Airmata deras mengalir di pelipisnya membasahi sisi rambut panjangnya yang tergerai dan membasahi lantai dibawahnya.
"Dek, jangan gini. Ayo bangun bobo di kasur. Nanti masuk angin lho," tegur Yono yang duduk bersandar daun pintu. Ia tidak berani meninggalkan Melody sendirian. Kali ini ia tidak mau kecolongan lagi, firasatnya tidak enak dan ia akan mengikuti instingnya tersebut.
"Mas, kalau Lody mati. Mungkin lebih baik ya Mas. Melody udah nggak pantas untuk Mas Tama. Mas Tama itu harus dapat gadis yang baik luar dalam. Lody udah kotor Mas," gumam Melody yang masih bisa di dengar Yono.
"Dek, hidup dan mati seseorang itu bukan diri kita yang menentukan begitu juga jodoh dan rejeki. Tugas kita hanya berusaha menjalani hidup dengan sebaik mungkin, mengumpulkan pahala dan menebar kasih karunia untuk bekal kita di kehidupan setelah kematian nanti. Jika Melody berjodoh dengan Tama, sampai ke ujung bumi Lody pergi pasti nantinya akan tetap bersatu."
Melody menatap Yono dengan wajah sembabnya yang polos, "Memangnya bumi ada ujungnya?" tanyanya seraya mengerutkan dahinya.
Meledakkan tawa Yono dibuatnya, Yono yang iba dan kasihan kepada sepupunya ini menjadi terhibur oleh gadis penuh duka lara ini.
"Kalau menurut Adek, Bumi itu berujung nggak?" Yono kembali bertanya dengan ikutan Melody berbaring di lantai dingin dengan tengkurap dan menopang tubuhnya dengan siku.
"Kalau menurut Globe yang berbentuk bulat, ujungnya bumi itu ya pas di lobang untuk penyangganya itu," celetuk Melody.
Yono terkekeh mendengar jawaban sang adik. Tadi ia sempat khawatir saat Melody berteriak histeris. Sampai-sampai tidak hanya keluarganya saja datang tetapi tetangga kiri kanan juga berdatangan memenuhi rumahnya.
Yono bukannya tidak tahu apa yang dirasakan oleh sepupunya itu. Rasa takut untuk percaya dengan pria, lalu rasa rendah diri karena merasa tidak pantas bersanding dengan kekasihnya pasti memenuhi benak Melody. Melody pernah mengatakan kepadanya takut membuat kedua orangtuanya malu. Harga diri dan kepercayaannya terjun bebas.
Yono sendiri sedang memutar otak bagaimana agar Melody mau keluar dan bersosialisasi dengan masyarakat kembali, tidak selalu mengurung diri di kamar seperti ini. Ia sendiri dengan Yoga menjadi bermusuhan ia tidak menyangka teman baiknya tega berbuat seperti itu. Ia sudah menyarankan untuk melaporkan Yoga ke polisi tetapi keluarganya menunggu orangtua Melody datang terlebih dahulu. Apalagi Melody jika mendengar nama pria itu tampak sangat ketakutan dan tertekan tentu saja.
Niat awal Yoga untuk mendapatkan Melody jelas pupus. Apapun yang terjadi keluarga Yono tidak akan membiarkan Melody menjadi milik Yoga. Hidup gadis istimewa dalam keluarga mereka ini tidak bisa begitu saja diserahkan kepada keluarga Tanwira yang mereka anggap lalai mendidik anak.