"Anu ... Mas Tama," ujar Tinah lirih seraya meremas kedua tangannya di depan perutnya. Tinah bahkan tak sanggup menatap wajah Adyatama yang tampak gembira ingin bertemu dengan putrinya yang malang.
"Ada apa sih?! Mana Lody?" kegusaran menyeruak memasuki benak Adyatama. Ia sudah tahu sekarang pasti ada sesuatu yang tidak beres.
"Jangan bilang Melody masih di kampung," tambah Adyatama lagi.
"Benar Nak. Lody masih di kampung. Ayo Tama duduk dulu," bimbing Davka seraya meremas bahu putranya dengan sayang.
Adyatama akhirnya menuruti perkataan sang ayah. Ia kemudian duduk pada kursi tunggal di antara keempat orang dewasa di sekitarnya itu.
"Bisa jelaskan apa yang terjadi ini?" tanya Adyatama dengan kegusaran yang tampak dalam nada suaranya.
"Minum dulu Nak," ujar Almira seraya menyodorkan cangkir miliknya yang berisikan teh hangat.
Adyatama menerima pemberian sang bunda dan segera menghabiskan isi cangkir tersebut. Ia ternyata sangat membutuhkan air teh tersebut lebih dari yang ia kira. Sekiranya air itu bisa sedikit menghangatkan hatinya yang terasa panas dingin tak karuan saat ini.
Bayangannya yang ingin segera pulang karena sangat rindu dengan kekasih hati dan ternyata tidak bisa ia temui membuat hatinya tentu sangat kecewa saat ini. Bahkan Adyatama masih mengingat dengan jelas janji Melody yang akan menyambut kedatangannya. Tapi nyatanya gadis itu tidak ada disini dan masih betah menghabiskan waktu di kampung.
"Sudah, bisa jelaskan pada Tama sekarang?" Adyatama meletakkan cangkir di atas meja dengan sedikit lebih keras sehingga menimbulkan bunyi saat gelas dan kaca beradu. Ia tidak ingin hal itu terjadi tetapi ia berusaha sekuat tenaga menahan emosinya yang seakan-akan ingin meledak saat ini.
"Begini Mas Tama, saya rasa sebaiknya Mas lupakan saja tentang Melody," ujar Sapri.
Adyatama tercengang dan melotot ke arah Sapri tak berbeda jauh dengan kedua orangtuanya. Sedangkan Tinah sudah kembali terisak dan kemudian di peluk oleh Sapri. Sepasang suami istri itu tampak mengenaskan di mata Adyatama.
"Kenapa begitu Pak? Apa yang terjadi dengan Melody? Melody mengkhianati saya? Melody menikah dengan orang dari kampung?" Pemikiran demi pemikiran buruk yang terlintas dalam benak Adyatama terucap begitu saja. Adyatama bahkan dengan wajahnya yang sudah memerah dan deru nafasnya yang memburu jelas sekali berusaha mati-matian menahan emosinya.
"Bukan begitu Mas. Aduh Bapak bingung menjelaskannya." Sapri sungguh kebingungan.
"Melody sudah nggak suci lagi Mas. Melody diperkosa orang," ujar Tinah dalam sela-sela isak tangisnya.
"APA!" Saking terkejutnya Adyatama sampai berdiri dengan matanya yang memerah melotot ke arah kedua orang itu dengan kedua telapak tangannya yang sudah terkepal di kedua sisi tubuhnya.
Kepalanya berdenyut keras dan pandangannya tampak berkunang-kunang. Seketika lutut dan kaki Adyatama bergetar dan tak kuat menopang tubuhnya. Ia pun roboh tak sadarkan diri akibat berita yang diterimanya.
Almira dan Davka menjerit dan segera beranjak menghampiri sang putra yang untungnya terjatuh kembali ke tempat duduknya semula.
Sapri dan Tinah ikut panik dibuatnya dan kemudian Davka bersama dengan Sapri mengangkat tubuh Adyatama dan membaringkannya di ranjangnya.
"Tuan bagaimana ini?" Tinah gusar mendapati Adyatama yang tidak sadarkan diri seperti itu. Walau bagaimanapun ia juga sangat menyayangi pemuda itu.
"Biarkan saja dulu. Dia masih terguncang. Nanti biar saya dan bundanya yang bicara dulu ya. Apapun keputusannya nanti saya tidak bisa memberikan janji apapun. Biarkan Tama tenang dulu ya."
"Terima kasih Tuan. Tetapi ada satu hal lagi yang harus saya katakan. Karena saya juga bingung bagaimana mencari solusinya."
"Ada masalah apa lagi Pak?" tanya Davka semakin penasaran.
"Sebenarnya Melody itu bukan anak kandung kami. Dan kami jadinya sekarang bingung bagaimana caranya memberitahukan keadaan Melody kepada keluarganya yang sebenarnya," terang Sapri dengan nada suaranya yang sarat dengan ketakutan.
"Astaga ... Apa yang sebenarnya terjadi dengan kalian? Apakah saya tahu keluarga kandung Melody?"
Sapri menggeleng, "Sepertinya nggak Tuan. Tapi Pak Edgar tahu semuanya."
Davka terpaku menatap kedua orang pekerjanya itu. Ia tak menyangka kedua orang dihadapannya ini memiliki begitu banyak rahasia yang selama ini tertutup rapat. Sepertinya juga ia harus segera bertemu dengan Edgar agar semua permasalahan ini segera berakhir.
Bukannya ia ingin ikut campur dengan urusan keluarga Sapri. Tetapi dengan Sapri yang sudah mengungkapkan hal itu kepadanya, sebagai warga negara yang baik setidaknya ia akan membantu sebisanya.
"BUNDA!" jerit Adyatama dengan peluh yang membasahi wajah dan tubuhnya sampai kemeja putih yang membungkus badan kekar itu melekat ketat bagai kulit kedua. Adyatama terduduk, pria muda itu menitikkan airmatanya meratapi apa yang menimpa sang kekasih saat kesadarannya kembali beberapa saat lalu.
Almira bangkit dari tidur ayamnya di atas sofa tidak jauh dari ranjang sang putra sulungnya dan mendekati Adyatama yang menutupi wajahnya dengan kedua tangannya. Kesedihan meliputi hatinya menyaksikan putranya yang seperti ini. Apa yang menimpa Melody tentu saja melukai hati sang putra yang memang berhati lembut dan penyayang.
"Bunda," panggil Adyatama, kali ini dengan suaranya yang serak dan lirih menahan isak tangisnya. Adyatama memalingkan pandangannya dan menatap sang bunda yang mendekatinya.
Hatinya terluka, perih seperti tersayat sembilu. Ia bingung, apa yang menimpa sang kekasih hati sepertinya sampai membuat ia merasa sesak di dadanya. Ia takut Melody akan menjadi trauma dan menjauhinya. Biasanya begitu bukan, para kurban pemerkosaan bisa sangat takut bertemu dengan lawan jenisnya.
"Iya Sayangnya Bunda. Bunda di sini Nak," ujar Almira lembut dan mengusap puncak kepala sang putra dan mendekapnya di dada. Yang bisa dilakukan oleh Almira saat ini hanya menghibur dan menguatkan sang putra.
"Bunda, Mas pingin ketemu Lody. Bolehkan Bunda?"
"Tentu Nak, tunggu kabar dari Ayah ya."
Adyatama mengangguk patuh, kemudian ia berkata, "Bagaimana kalau Lody nanti takut ketemu sama Mas, Bunda?"
"Kita tidak tahu pasti Sayang, jangan berprasangka buruk dulu ya. Kita hadapi bersama-sama, Bunda selalu ada untuk Mas."
***
Di tempat lain Davka sedang menemui Kevlan di kediaman pria itu. Kevlan adalah salah satu kolega Davka juga, jadi mereka sudah saling kenal walaupun tidak terlalu dekat. Davka menunduk menekuri lantai, di depannya ada Sapri yang bersimpuh di lantai tepat di depan kaki Kevlan Perkasa. Kevlan tampak pucat pasi, jelas dirinya terguncang. Putri semata wayang yang sampai ia relakan dijauhkan dari segala marabahaya ternyata mendapatkan malapetaka seperti ini. Orangtua mana yang tidak akan terguncang jiwa dan raga bahkan istrinya Luna saat ini telah jatuh pingsan dan sedang ditangani oleh Dokter Raja.
"Ampun Ndoro, saya nggak becus momong Den Lody." Sapri terisak histeris dengan rasa bersalahnya di depan Kevlan.
"Nasi sudah menjadi bubur, malang tak dapat ditolak lagi Sapri. Kehormatan anakku sudah luluh lantak tak bersisa. Sesal sebesar gunung pun tiada guna, anakku tetap sudah ternoda. Sekarang kita harus memcarikan keadilan untuk anakku dan jangan sampai hal-hal yang tidak kita inginkan terjadi padanya," gumam Kelvan seraya menatap Davka yang saat ini balas menatap ke arahnya.