Aku merasa berada di tepi tebing saat ini, tebing yang tak terkira tingginya sehingga sungai yang ada di bawah sana tak terlihat permukaannya dan aku sangat ingin menjatuhkan diri kesana sekalian hancur lebur tak bersisa. Tetapi bayangan Mas Tama yang tersenyum menyambutku tak mau pergi dari benakku. Maafkan aku Mas Tama, aku yang tidak bisa menjaga kesucian diriku hanya untukmu, jangan tunggu aku kembali.
Suasana di kediaman Jinah sungguh mencekam saat ini. Pintu dan pagar rumah yang selalu terbuka untuk siapa saja seminggu terakhir ini tampak tertutup rapat. Jinah tak hentinya menangis sedih setiap habis menengok sang keponakannya di kamar. Seperti saat ini ia kembali terisak dalam dekapan sang suami Taryo.
"Gimana ini Mas? Aku sampai tidak punya muka untuk menghadapi Mas Sapri."
"Kamu masih punya aku, kita hadapi bersama ya. Namanya malapetaka kita nggak tahu kapan akan terjadi," ujar Taryo dengan kegetiran yang jelas terdengar dalam nada suaranya.
Ia tahu siapa yang telah berbuat seperti itu kepada keponakannya tetapi sang keponakan tidak mau berurusan dengan tersangka. Melody sangat terguncang ia tidak mau mendengar nama Yoga disebutkan. Gadis malang itu selalu menggumamkan kata 'maaf Mas Tama' dengan rintihan yang menyayat hati. Satu minggu berlalu dan tubuh gadis itu sudah terlihat berkurang berat badannya. Bagaimana tidak, hanya beberapa suap nasi saja yang bisa masuk itu pun jika Yono yang membujuknya.
"Ayo Dek, makan. Kalau kamu nggak makan, trus nanti sakit. Mas Tama kalau lihat Adek pasti sedih."
Hanya kata-kata itu yang bisa menarik kembali kesadaran Melody dari lamunannya.
"Maaf Mas Tama. Lody makan kok."
Selalu hanya kata itu yang terucap dengan diiringi derai air mata.
"Lody kangen Mas Tama?" tanya Yono.
Melody mengangguk dan menjawab, "Tapi Lody udah kotor. Nanti Mas Tama nggak mau sama Lody. Mas Tama nanti sedih."
♥
Sapri dan Tinah duduk berhadapan tanpa satupun kata yang terucap diantara keduanya. Mereka berdua tenggelam dalam pikiran masing-masing.
Sapri tenggelam dalam pikirannya yang merasa bersalah membiarkan sang putri kembali ke desa. Seharusnya ia mendengarkan kata hatinya yang gelisah waktu ini. Tentu saja malapetaka ini tidak akan terjadi. Terlebih ia pusing bagaimana mempertanggungjawabkan kepada keluarga Alsaki dan keluarga Perkasa nantinya. Sebagai kepala keluarga sesedih apapun ia harus berusaha kuat dan bertahan demi istri dan anaknya. Segala sesuatunya harus ia terima dengan lapang dada.
Ia menatap wajah istrinya yang kuyu, ia bukannya tidak peduli dan peka. Istrinya tentu saja tampak syok dengan semua yang terjadi dan tak hentinya menyalahkan dirinya sendiri. Yang bisa ia lakukan sekarang adalah bersabar dan harus terbuka kepada Davka dan Almira perihal apa yang terjadi pada Melody.
Sapri takut membayangkan bagaimana reaksi sang majikan dan juga Adyatama nantinya jika mengetahui kenyataan ini.
Pasrah, hanya itu yang bisa ia lakukan. Berserah sepenuhnya pada campur tangan Tuhan.
Deru mobil memasuki halaman dan tak berselang beberapa lama Davka beserta sang istri masuk melalui pintu utama.
"Pak Sapri," seru Davka.
Sapri yang sedang memasuki rumah utama melalui pintu samping segera menghampiri sang majikan dengan wajah yang gundah dan sedikit pucat.
Davka mengerutkan dahinya menatap salah satu pekerjanya itu. Seketika perasaannya juga tidak enak seperti halnya kemarin saat ia mendapat telepon dari Adyatama yang mengatakan akan kembali hari ini. Ya, perasaan gundah yang dirasakan oleh Davka alih-alih senang. Ia merasa ada sesuatu yang sedang terjadi.
"Mana Melody, Pak?" tanya Davka begitu menyadari anak gadis itu tidak terlihat dan terdengar suaranya karena biasanya Melody selalu suka bersenandung sesuai dengan nama yang ia sandang.
Wajah Sapri semakin pucat, bahunya merosot tak bersemangat. Ia bahkan tak berani menatap kedua mata Davka, pandangannya menekuri lantai dan sepatu Davka.
"Dimana Melody, pak?" Kali ini pertanyaan berasal dari Almira yang telah bergabung dengan mereka berdua.
"Anu ... Pak, Bu. Melody di kampung," ujar Sapri gugup.
"Lalu kenapa Pak Sapri gelisah?" Pandangan mata Davka meneliti pria yang berhadapan dengannya itu.
Sapri balas menatap Davka dengan mata berkaca-kaca sekuat tenaga menahan laju airmatanya.
"Ada apa, Pak? Ayo duduk dulu." Almira menyentuh lengan atas Sapri dan membimbingnya untuk duduk pada sofa terdekat di ruang keluarga.
Sapri mendudukkan dirinya di sebelah Davka sedangkan Almira duduk berseberangan dengan mereka berdua.
"Mbak Tini, tolong buatkan teh hangat buat kami ya," pinta Almira pada salah satu ARTnya.
"Iya Bu," jawab Tini yang kebetulan melintas di depan ruang keluarga.
Sapri menarik nafas panjang dan menghembuskan secara perlahan. Dengan nada suaranya yang bergetar dan mengumpulkan nyalinya untuk mengungkapan kebenaran keadaan Melody saat ini.
"Begini, saya sendiri sebetulnya bingung mau mulai dari mana. Dilain sisi saya juga ikhlas dengan keputusan yang akan diambil oleh Bapak dan Ibu nantinya."
"Kami tidak bisa mengatakan apapun jika Bapak tidak bercerita," ujar Davka.
Sapri kemudian menceritakan malapetaka yang menimpa Melody satu Minggu yang lalu itu sedetail mungkin tanpa ada yang terlewati sesuai dengan penuturan Jinah.
Almira menangis dan mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Almira tentu sangat sedih mendapati kenyataan yang menimpa calon menantunya tersebut, malang betul nasib gadis itu. Pasti batinnya terguncang.
"Saya takut kalau Mas Tama nanti marah dan kecewa," terang Sapri.
"Jelas sedih yang pasti. Apalagi hari ini juga Tama kembali," jelas Almira.
Deg ...
Sapri bengong menatap majikan perempuannya.
"Lalu saya harus bagaimana ini, Bu?" Sapri panik.
Baru saja Sapri selesai berbicara. Suara nyaring di pintu depan membuat ketiganya saling bertatapan.
"Lody, Mas Tama pulang nih. Kamu nggak mau sambut Mas datang, Sayang?!"
Adyatama memasuki ruang keluarga dan mendapati kedua orang tuanya beserta dengan Sapri sudah berdiri di tempatnya masing- masing.
Almira mendekati sang putra sulungnya dan memeluknya erat dan dibalas oleh Adyatama dengan tak kalah eratnya. Tetapi pandangan Adyatama yang tajam dan menilai ke arah Sapri tak urung membuat pria paruh baya itu merasa tak enak hati. Sapri mengalihkan pandangannya dari Adyatama pastinya sudah menyadari ada yang tidak beres.
Sejurus kemudian Tinah menyusul mereka. Tinah bergegas menyusul sang suami tadi saat mendengar suara Adyatama yang menggema mencari keberadaan Melody. Ia sama dengan sang suami sudah pasrah dengan apapun reaksi yang di dapatkan dari para majikan mereka.
Adyatama melerai pelukan sang bunda dan beralih memeluk sang ayah.
"Adek mana?"
"Adekmu betah di kebun sama Kakek dan Nenek jadi nggak mau kembali ke sini," terang Davka.
Adyatama mendekati Tinah dan memegangi kedua lengan atas calon mertuanya tersebut. Ya dengan bangga Adyatama mengatakan hal tersebut. Sebentar lagi ia akan segera meminang Melody untuknya. Tak ada lagi yang bisa menjauhkan dirinya dari Melody, Adyatama bisa memastikan hal itu, yakin!
"Bi Tinah kenapa sedih gini mukanya? Lody mana?" Adyatama dengan seksama meneliti wajah wanita di depannya ini. Terbersit rasa khawatir yang beberapa Minggu ini mengganggu batinnya kembali hadir. Dalam hatinya selalu berdoa semoga semuanya baik-baik saja. Tetapi ya manusia hanya bisa berikthiar selebihnya adalah rencana Tuhan.