"Yono, cari Lody dong. Kasihan lho, hujan deras begini kok belum sampai rumah." Jinah menyuruh sang putra yang hendak menaikkan sepeda motornya ke atas teras rumah. Jinah dilanda kegelisahan karena ponsel Melody tidak bisa dihubungi dan juga sampai badai datang keponakan cantiknya itu tidak tampak batang hidungnya.
Yono kemudian mengurungkan niatnya dan segera mengambil mantel dan memakainya. Ia dalam rintik hujan yang seketika berubah deras membelah jalanan mencari keberadaan sepupu tersayangnya. Semua ia lakukan bukan karena sekedar kepatuhan kepada sang ibunda tetapi juga kepeduliannya terhadap saudaranya.
***
"Mas Tama tolong! ... Maafkan Lody ya, Mas. Maaf Mas, Melody sudah nggak pantas mendampingi Mas Tama."
Adyatama membalikkan badannya yang terasa gerah padahal udara lumayan dingin dan penghangat ruangan pun sudah ia atur dengan tepat. Tidurnya benar-benar terganggu, mimpi tentang Melody yang duduk dipojok ruangan pengap dengan tubuh memar dan pakaian yang terkoyak, gadis itu bahkan tak berani menatap wajahnya saat mengatakan kata-kata itu. Gadisnya seperti tepat berada di depan matanya tetapi tubuhnya terasa terbelenggu tak bisa bergerak untuk merengkuh sang gadis kedalam pelukan.
"Melody apa maksudmu?" racau Adyatama dengan wajah dan tubuh bersimbah keringat walaupun netranya masih terpejam rapat.
"Lupakan aku, Mas. Aku sungguh sudah tak pantas lagi untukmu."
"Apa maksudmu?! Melody!" Adyatama terjaga lalu terduduk dengan nafas yang terengah- engah. Sungguh mimpi terburuk, hatinya bergetar dan terasa sesak penuh dengan kecemasan. Ia sungguh cemas dengan apa yang ia pikirkan tentang mimpinya akan menjadi kenyataan.
"Ya Tuhan, jaga kekasihku." Adyatama berdoa. Kemudian ia mengusap wajahnya kasar dengan kedua tangannya. Iapun segera bangun dan mencuci mukanya. Sebenarnya matanya sangat berat, kantuk dan juga rasa lelah seolah menumpuk serta berkumpul di bahu dan kakinya. Ia bekerja mati-matian agar proyek yang ia kerjakan di sini segera selesai dan ia bisa segera kembali ke Indonesia.
***
Melody menatap kosong pada langit-langit pondok itu dengan tarikan nafasnya yang masih tidak karuan, sedangkan Yoga sudah tertidur dengan mendengkur keras di sebelahnya. Tubuhnya sungguh terasa nyeri luar biasa terutama lagi pada bagian inti tubuh dan pinggangnya yang terasa ingin terbelah manjadi dua. Hatinya hancur berkeping-keping, kepercayaan dirinya dan juga harga dirinya, musnah tak bersisi direnggut oleh lelaki jah***m di sampingnya ini.
Walaupun demikian Melody tetap dalam pendiriannya tidak akan meminta pertanggungjawaban dari laki-laki ini. Yang menjadi pemikirannya adalah apa yang dimaksud oleh Yoga, dengan mengetahui orangtuanya yang sesungguhnya? Apakah ia hanyalah anak angkat?
Memikirkan hal ini membuat tubuhnya semakin terasa sakit, keringat dingin kembali membasahi tubuhnya. Melody memaksakan dirinya untuk bangkit dan tertatih memunguti pakaiannya ia segera membersihkan diri seadanya di kamar mandi kecil di sudut ruangan itu lalu bergegas keluar. Dengan langkahnya yang tertatih dalam guyuran hujan lebat itu ia memusatkan pandangan matanya dan kembali memungut tas belanjaannya yang teronggok di sana.
Baru beberapa langkah ia akhirnya bertemu dengan Yono sang sepupu. Yono terperangah tak percaya melihat keadaan Melody. Yono dengan serampangan memarkirkan sepeda motornya dan bergegas merengkuh adik sepupunya itu.
"Lody, apa yang terjadi. Siapa yang melakukan ini padamu?" tanya Yono seraya mengusap punggung Melody yang bergetar.
"Manusia jahanam yang melakukan ini pada Melody, Mas."
Pandangan mata Yono menatap tajam pada pondok yang pintunya terbuka lebar di depannya sana. Pikiran terburuknya semoga tidak menjadi kenyataan. Jika semuanya terbukti pastilah rasa bersalah akan menghantuinya seumur hidup. Yono segera membawa adiknya pergi dari sana. Sudah dua jam lamanya ia berkeliling mencari Melody dan tempat ini adalah daftar terakhir yang sempat ia pikirkan sebelumnya, karena ia tidak ingin menaruh curiga terhadap Yoga sebenarnya. Jikalau ia mengikuti firasatnya tadi sudah pasti tempat ini adalah yang pertama kali ia datangi dqan mungkin saja hal buruk tidak akan menimpa sang sepupu cantiknya.
Di kediaman Perkasa, Kevlan sedang melangkah hendak membuka pintu saat ia merasakan jantungnya yang tiba-tiba berdetak sangat kencang. Ia berhenti sebentar menyandarkan dahinya pada daun pintu seraya mengatur nafasnya. Tetapi jantungnya masih berpacu sangat cepat di dalam sana. Ia mengerutkan keningnya, ia jelas tahu, ia sehat tak ada riwayat sakit jantung dan lain sebagainya sampai diusia senjanya ini.
Ia menatap sang putra yang berjalan menghampirinya. Raut wajah putranya memang tampak lelah tetapi jelas putranya baik-baik saja. Entah mengapa ia merasa tidak enak hati seperti ada sesuatu terjadi pada anggota keluarganya.
Pyar ...
Kevlan dan Kalvin bergegas masuk dan menuju asal suara. Di dapur tampak Luna tertegun menatap pecahan dua mangkok yang tadinya berisi sup jagung dan bayam untuk makan malam keluarganya. Luna masih menekuri pecahan mangkok tersebut dengan pandangan mata kosong.
Kevlan menyentuh bahu istrinya dengan lembut. "Sayang? Kamu baik-baik saja?" tanya Kevlan lembut, tetapi ia juga tidak bisa menyembunyikan rasa khawatirnya.
Luna mengangkat wajahnya dengan raut wajah pucatnya menatap bergantian kepada sang suami dan putranya. Iapun mendesah lega.
"Syukur kalian baik-baik saja," gumamnya.
"Memangnya ada apa Ma? Biasanya Mama selalu rapi dan sangat berhati-hati." Kelvin mendekat dan menggenggam tangan sang bunda.
"Mama nggak tahu, tetapi perasaan Mama nggak enak."
"Papa juga perasaannya nggak enak."
Deg ...
"Melody?!" pekik Kevlan dan Luna bersamaan dengan saling pandang.
"Kenapa dengan Melody, Ma?" tanya Kalvin kebingungan.
"Aduh Pa, bagaimana jika terjadi sesuatu pada putri kita?"
"Papa akan segera mencari tahu, Sayang. Kamu tenang ya," ujar Kevlan sembari membimbing sang istri dan mendudukkan di kursi meja makan.
Para pelayan sudah membersihkan kekacauan yang ada di dapur.
"Ini yang Kalvin takutkan. Seharusnya sudah sedari dulu kita jemput adikku, Pa. Semoga dia baik-baik saja. Dasar Surya Deoni sialan! Andai dia tidak terobsesi menghabisi para anak gadis musuhnya, tentunya adikku tidak akan terpisah seperti ini, ya 'kan. Ma?!" Mata Kalvin sudah memerah dan berkaca-kaca, dengan dirinya yang semakin dewasa sekarang tentu ia semakin memahami apa yang terjadi pada keluarganya. Walau tentu saja dulunya ia merasa terpukul harus dipisahkan dengan adiknya yang berusia dua tahun saat itu.
Kejahatan Surya Deoni dan para anteknya harus segera dimusnahkan. Rasanya ia ingin segera menjemput adiknya, usia adiknya juga sudah lebih dari dua puluh tahun bahkan adiknya sudah menyelesaikan pendidikannya. Seharusnya hidup adiknya sudah semakin baik sekarang. Meskipun penyelidikan tentang antek Surya masih berlanjut. Masih banyak musuh dalam selimut di sini.
***
Setelah makan malam, Kalvin akan segera menemui Edgar Berto dan meminta saran pada sepupunya itu agar adiknya bisa segera kembali ke rumah ini. Adiknya harus merasakan kehidupan yang layak. Ia sendiri tidak tahu di mana adiknya berada. Kedua orangtuanya tidak mau terbuka dengannya. Mereka selalu beralasan, menunggu waktu yang tepat untuk membawa Melody kembali ke dalam rumah mereka tempat di mana Melody seharusnya berada, tempat yang nyaman dan berkecukupan.
***